Pengaruh Al-Quran dan Hadits Terhadap Pengembangan Bahasa Arab

Al-Qur'an dan Hadis, keduanya merupakan dua sumber hukum Islam yang masing-masing memiliki kekuatan yang terkadang saling mengisi dan saling berdiri sendiri. Ketika al-Qur'an membutuhkan jabaran, maka jabaran tersebut diperoleh dalam Hadis, atau ketika Hadis berupaya memperoleh kekuatan dalil yang mendukungnya menjadi lebih falid dan kuat dalam pendalilan, maka ia butuh penegasan dalam al-Qur'an. Al-Qur'an dan Hadis pun terkadang memiliki kekuatan yang masing-masing dapat dijadikan dalil penjabaran suatu persoalan.
Kedua dalil tersebut, secara universal dapat difungsikan sebagai dalil pembawa petunjuk akan langkah dan sikap yang harus ditempuh oleh seseorang dalam hidupnya yang tidak hanya berfungsi sebagai penawar keputusan dalam menentukan sikap dalam perbedaan antara suatu kebenaran dan kesesatan.
Dengan bahasa yang digunakannya adalah bahasa Arab, maka secara pasti untuk memposisikannya sebagai bahan hudan dan sebagai al-furqan dalam kehidupan manusia, langkah yang utama dan penting adalah berupaya memahami dengan landasan apa ia disandarkan, tentunya landasannya adalah bahasa. Tidaklah mengherankan jika dalam tantangan-tantangan selanjutnya dalam menguji keotentikan dalil al-Qur'an secara khusus adalah masalah ketinggian sastra. Tantangan ini pulalah yang diabadikan oleh Allah swt. dalam surah al-Isra; 88 yang mengungkap kemukjizatan tingkat tingginya bahasa al-Qur'an tersebut yang menghendaki kekuatan tandingan itu datangnya tidak hanya dari kelompok manusia sendiri akan tetapi juga dipanggil dari kelompok jin, untuk maju bersatu menyusun sebanding susunan al-Qur'an tersebut. Tantangan yang lebih ringan dari syarat di atas yakni semisal al-Qur'an, tantangan yang lebih ringan yang diajukan kemudian adalah kemampuan kelompok pembangkang kebenaran wahyu tersebut dengan mendatangkan susunan mereka sebanding dalam sepuluh surah saja (QS. Hud; 13). Itupun ternyata tidak dapat diwujudkan karena demikianlah kemukjizan al-Qur'an yang berasal pemilik dan penguasa bahasa.
Demikian pula dengan pemaknaan dan rahasia di balik ungkapan-ungkapan / bahasa Rasulullah yang tentunya bahasa beliau juga tidak dapat dikatakan sebagai bahasa yang terucap tanpa dasar. Bahasa yang diungkapkan, tingkah laku yang diwujudkan dalam perbuatan serta berbagai keputusannya merupakan isyarat-isyarat dan bagian dari format Allah swt. dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul sehingga untuk mendapatkan kedudukan dan fungsi kedua dalil tersebut maka sangatlah dituntut keberadaan pemahaman kebahasaan yang menyertainya yakni bahasa Arab.

Fungsi Bahasa Wahyu Dalam Sejarah
Sudah menjadi ketentuan dan rancangan pasti dari sang pemilik kebenaran bahwa manusia diciptakan sebagai sosok makhluk yang membutuhkan aturan-aturan hidup. Aturan-aturan tersebut secara pasti berlaku sejalan dengan keberadaan diri manusia sepanjang zaman.
Tidaklah Allah swt. Menurunkan petunjuk kebenaran itu di negeri yang tidak pernah terusik oleh dunia luar yang padat dengan kegiatan politik Arabis kecuali dengan maksud tersendiri. Sketsa-sketsa tersebut telah terakumulasi dalam budaya-budaya Kota Makkah yang bersifat inklusif dan sarat dengan dominasi imajinasi sastra.
Itulah al-Qur'an, kitab petunjuk yang tidak diragukan lagi (keabsahannya) petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (QS.al-Baqarah ayat 2). Dalil inilah yang menjadi dasar bahwa pada dasarnya manusia memiliki keinginan yang kuat untuk selalu memperoleh petunjuk yang terbaik dalam hidupnya.
Bagi bangsa Arab, kegiatan yang kuat untuk menganalisa dan mencermati setiap apa yang datang kepada bangsanya dan berdasarkan kepentingan mereka, ia senantiasa mengorbankan pikiran, jiwa dan raganya untuk mencari tahu hal tersebut. Ketika al-Qur'an diwahyukan kepada mereka, Allah swt. mengarahkan kepada bangsa ini suatu susunan kalimat kebenaran yang diungkapkan dalam bahasa mereka, keinginan tersebut ditantang dengan tawaran Allah swt. akan keinginan keras mereka tersebut untuk lebih memahami apa yang diwahyukan kepada nabi bangsa mereka. (QS. Yusuf; 3). Tentunya ini bukanlah hal yang diungkapkan begitu saja melainkan dengan sasaran kiranya memberi isyarat-isyarat kemuliaan, peringatan baik untuk dijalankan dan gambaran keburukan untuk dihindari serta berbagai dampak positif bagi bangsa yang berbudaya, baik bangsa Arab maupun bangsa-bangsa lainnya (QS. Al-Syura; 7).
Bangsa Arab adalah bangsa pengembara, bangsa yang selalu mencari tahu dan terus ingin tahu tentang apa yang datang kepadanya, termasuk wahyu yang datangnya dari nabi yang ummi. Kebiasaan tersebut semakin terus menyebar keberbagai generasi demi generasi berikutnya. Fenomena tersebut bahkan semakin terbuka lebar kemudian hingga mengarungi wilayah-wilayah eropa dan wilayah berikutnya. Semangat tersebut semakin yakin terbukti ketika kajian-kajian al-Qur'an itu semakin berkembang kajiannya kepada pengembangan dan pengkritisan dari sisi tulisan dan bahasanya.
Pada masa Rasulullah, persoalan kebahasaan justeru telah menjadi bahan perdebatan dan tarik-menarik disela-sela tanzil-nya al-Qur'an. Sekelompok dari sahabat menghendaki agar bahasa al-Qur'an disampaikan dalam ungkapan yang sempurna dan dapat terjangkau oleh berbagai kalangan (lihat analisa sab'ah ahruf fi qiraat al-sab'ah).
Pengkritisan tersebut semakin berlanjut ketika teks al-Qur'an berada pada masa sahabat, ragam bahasa pun berkembang sejalan dengan berkembangnya wilayah Islam, sehingga melahirkan masalah baru dalam peng-syakal-an dan sistim pelafadzannya.
Pada zaman sekarang pun setelah perjalanan wahyu ini selama 16 abad lamanya, justeru semakin menarik perdebatan-perdebatan yang melahirkan persoalan bagi para penelitinya, sejalan dengan persoalan-persoalan yang melanda masyarakat dunia. Al-Qur'an seakan terbawa dalam ruang dimana manusia berada. Fenomena itupun ditandai dengan lahirnya metodologi interpretasi bahasa al-Qur'an dan berbagai pendekatan lainnya. Sederetan tokoh-tokoh pengkritis bahasa al-Qur'an pun bermunculan dari jajaran orientalis seperti Goldziher, maupun dari golongan Islam sendiri, misalnya Nasr Hamid Abu Zaid, Amin al-Khulli dan lainnya. Baik yang bernada positif maupun negatif. Namun perlu dipahami bahwa hal tersebut juga sejalan dengan petunjuk Allah SWT. bahwa dengan bahasa al-Qur'an tersebut kecenderungan manusia dalam menyikapinya terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok yang merasa mendapatkan kebaikan dengan merenungkan berbagai petujuk di dalamnya dan kelompok yang merasakan kesempitan dalam hidupnya dan tidak mendapatkan perlindungan (lihat QS. Thaha; 113).

Bahasa Arab Dalam Riwayat Hadis
Permasalahan-permasalahan yang sering bermunculan ketika dalam pengkajian hadis-hadis Rasulullah yang memiliki keterkaitan dengan persoalan kebahasaan adalah satu bentuk persoalan yang berskala luas. Skala persoalan tersebut meliputi perbedaan pelafadzan yang menghendaki pemaknaan dan sekaligus melahirkan pemahaman yang beragam. Satu kata yang memiliki perbedaan struktur terbuka kemungkinan untuk melahirkan berbagai analisa, apalagi ketika dalam satu riwayat diperoleh suatu keterangan ziyadah yang memposisikan pemaknaannya semakin dipersempit dan dapat berfungsi lain sesuai dengan fungsi pendalilannya, misalnya takhsish, muqayyad dan lainnya.
Gambaran singkat ini semakin memperjelas kedudukan bahasa Arab sebagai wacana yang penting dan mendapatkan perhatian khusus dari para kelompok ulama salaf maupun khalaf ketika berupaya meletakkan persoalan dengan landasan dalil-dalil naql. Keteguhan tersebut didasari oleh kondisi sosial mereka yang menghendaki pemahaman nash dan sekaligus upaya menyelesaikan setiap persoalan yang lahir dengan pendekatan keputusan dalam hadis yang tentunya dengan pengantar bahasa Arab.
Fungsi kebahasaan hadis yang tidak kalah pentingnya terhadap kebahasaan nash-nash yang lain seperti terhadap al-Qur'an adalah fungsi tabyin. Fungsi ini secara bahasa / pelafadzan yang secara riil sangat diperlukan. Tanpa adanya fungsi tersebut dalil-dalil itu tidak akan terpahami sebagai mana maksudnya.
Di sisi lain yang terkait dengan kebahasaan Hadis adalah tidak sedikit riwayat-riwayat dalam hadis Rasulullah saw. Yang mengungkapkan kedudukan, keutamaan serta sisi lain terhadap bahasa Arab. Namun perlu diteliti lebih lanjut adalah apakah sejumlah riwayat-riwayat tersebut cukup memadai untuk dijadikan dalil yang sahih sebagai pendukung terhadap kemuliaannya tersebut. Namun ketidak pastian shahihnya hadis-hadis tentang keutamaan bahasa Arab tersebut tidak mengurangi nilai-nilai ke-dharuriyah-annya dalam proses pemahaman keagamaan.
Dengan demikian, benarlah apa yang diungkapkan oleh tokoh ilmuwan Islam, Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa pemahaman terhadap bahasa Arab merupakan suatu keharusan dan hampir dikatakan sebagai suatu perkara yang berstatus hukum fardu kifayah. Pengetahuan terhadap kebahasaan tersebut tidaklah terbatas pada pemahaman qanun pada strukturnya, akan tetapi lebih jauh hingga pada pemberian bimbingan pengalaman dalam menekuni dan memahami kitab-kitab khususnya kitab al-Qur'an dan hadis-hadis.(kutub wa rasail fatawah ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, Jilid 32, h. 252).

Daftar Pustaka
Abu al-'Abbas Ahmad Abd al-Halim bin Taimiyah al-Harraniy (661-728 H). kutub wa rasail fatawah ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, Maktabah Ibnu Taimiyah,
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Sya'b, t.th
Abdullah Abbas Nadwi, Belajar Mudah Bahasa al-Qur'an, Bandung : Mizan, 1992

Oleh :  Muh Jabir. STAIN Datokarama Palu, Jurusan Tarbiyah

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger