A. Pengertian Dalalat al-Iqtidha.
Dalalat menurut bahasa artinya petunjuk. Sedangkan menurut istilah ulama ushul al-fiqh, dalalat adalah sesuatu pengertian yang ditunjukkan oleh perkataan atau ucapan.
Dalalat ialah sesuatu yang dikehendaki oleh perkataan ketika diucapkan secara mutlak. Dalalat menurut imam Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa, yaitu: Makna lain, bukan yang ditunjukkan oleh perkataan (lafaz), tidak juga diunjukkan ucapan (mantuqan), tetapi makna yang dimaksud adalah makna yang muncul dari apa yang dikehendaki oleh perkataan itu. Makna itu harus ada (sebagai kebutuhan) karena tanpa makna itu tidak mungkin perkataan seseorang dapat dianggap benar. Makna itu harus ada karena tanpa makna itu keberadaan yang diucapkan itu terhalang dari segi syara’ (tidak punya makna hukum). Makna inti harus ada karena tanpa makna itu akal tidak dapat menerimanya secara logi.
Abd al-Wahab dalam kitabnya ilmu ushul al-fiqh menerangkan bahwa dalalat al-iqtidha yaitu :
Dalalat al-iqtidha yaitu makna, yang perkataan itu tidak kokoh, kecuali yang telah disebutkan, kata itu secara teks tidak ada, tetapi validitas dan kekokohan maknanya baru muncul jika makna kata itu ditetapkan, demikian juga dari segi kebenaran dan keselarasannya dengan realitas baru muncul jika makna kata itu ditetapkan .
Menurut Ali Hasballah dalam kitab Ushul al-Tasri’ al-Islami memberikan definisi dalalat al-iqtidha sebagai berikut :
Dalalat al-iqtidha yaitu arti perkataan yang dijelaskan dari sesuatu yang secara teks tidak disebut, validitas perkataan itu hanya dapat diketahui jika makna itu ditetapkan, atau makna itu tidak kokoh tanpa memastikan ketetapan maknanya .
Pengertian lain tentang dalalah al-iqtidha dijelaskan oleh Muhammad Abu al-Yusr ‘Abidin dalam kitabnya muhadlarat fi ushul al-Fiqh al-islami, seperti dikutip oleh syekh Abdurrahman al-‘Ak. Ia berpendapat bahwa dalalat al-iqtidha yaitu menentukan kata yang lain yang tidak disebut secara teks sehingga kata baru itu seakan itulah yang ditetapkan oleh nash. Maksudnya, menjadikan sesuatu yang tidak disebutkan seakan-seakan itulah yang disebutkan, fungsinya untuk membuat yang disebutkan itu (teks) benar .
At-Taftazani berpendapat bahwa dalalah al-iqtidha adalah makna lafaz yang ditunjukkan oleh makna di luar teks itu, kebenaran dan validitas lafaz itu secara syar’i maupun aqli ditentukan oleh makna luar itu. Pendapat lain tentang dalalah al-iqtidha yaitu menjadikan sesuatu yang tidak disebutkan seolah itulah yang disebut, karena hanya dengancara itulah sehingga yang disebutkan itu terasa benarnya .
Bisa disimpulkan bahwa dalil al-iqtidha adalah proses dimana seorang pembaca teks atau penafsir dianggap bisa menemukan arti yang benar dari kalimat (teks) setelah ia melakukan beberapa hal. Pertama, dalam penafsiran terhadap teks itu harus memasukkan makna baru yang secara bahasa tidak ada didalam teks sehingga kalimatnya menjadi sempurna maknanya dan dapat dipahami secara benar. Kedua, ,makna yang ia masukkan itu harus sesuai dengan kenyataan yang dikehendaki susunan kalimat (nash atau teks) yang ada dari segi bahasa atau syara’ atau logika.
B. Contoh Dalalat al-Iqtidha.
Firman Allah swt. Surat al-Maidah ayat 3 :
Pembaca teks akan menangkap makna bahwa yang diharamkan itu tidak berkaitan dengan materinya, tetapi berkaitan dengan perbuatan yang ada kaitan dengan materi itu. Tidak ada kejelasan apakah yang dilarang itu dilihatnya, merabanya, membuangnya. Karena itu perlu ditetapkan maknanya yang secar teks tidak disebut.
Hanya dengan cara itulah sehingga makna yang dimaksud dipahami secara jelas dan kokoh. Jadi perlu ada makna baru dari luar yaitu apa diharamkan memakan bangkai. Memakan itu disebut secara jelas teks di dalam ayat itu, tetapi itulah makna yang dimaksud. Karena itu kata makan itu disandarkan ke teks sesuai dengan yang dituntut. Seakan kata ‘akal’ atau makan itulah makna tetapnya dalam teks atau tanpa penambahan kata itu, secara makna teks itu tidak jelas maksudnya.contoh lain adalah firman Allah :
Ayat diatas secara tekstual belum jelas maksudnya. Ibu diharamkan dalam hal apakah itu, melihatnya, menciumnya, tinggal dengannya atau apa. Karena itu dibutuhkan makna yang datang dari luar sehingga secara hukum teks itu menjadi jelas ditangkap dan sipahami maknanya atau maksudnya. Dalam hal ini, dilalat al-iqtidhanya adalah nikah. Jadi diharamkan menikahi ibu.
C. Pembagian Dalalat al-Iqtidha.
Para pakar membagi dilalat al-iqtidha menjadi tiga macam, sperti yang ditulis Hasballah dalam kitabnya Ushul al-Tasri’ al-Islami (Hasballah, 1391 H/1971 M:278). Pembagiannya yang sama juga yang dilakukan syeikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak .
1. Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan.
Contohnya sabda rasul :
“Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa-apa yang dia dipaksa melakukannya (H.R ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Salah dan lupa tidak mungkin diangkat dari umat manusia, karena itu dua sifat yang terjadi terus pada manusia dan telah terjadi, bagaimana mengangkatnya. Karena itu perlu ditentukan makna yang tidak disebut di teks itu, gunanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan, tidak bertentangan . makna yang perlu dimasukkan itu adalah dosa salah dan lupa. Jadi yang diangkat bukan salah dan lupanya, tetapi dosanya. Demikian juga dengan dosa seseorang yang perbuata (dosa itu) dilakukan karena terpaksa atau dipaksa.
2. keharusan menentukan maknanya, agar kalimat itu benar secara logika.
Seperti firman Allah :
Secara logika tentu saja tidak bisa bertanya kepada kampung atau rombongan. Keduanya tidak dapat menjawab pernyataan. Karena itu perlu makna luar yaitu penduduk. Jadi yang dimaksud disini adalah bertanya kepada penduduk atau anggota rombongan.
Contoh lain
“Biarkanlah ia memanggil tempat perkampungan”
Seseorang tentu tidak mungkin memanggil perkampungan, karena kampung tidak bisa menjawab, yang dimaksud disisni adalah penduduk kampung. Dalam ilmu balagho gaya seperti ini disebut juga majaz mursal.
3. Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu benar secara syar’i.
Contohnya firman Allah swt dalam surah an-Nisa’ : 92 :
Perintah tersebut berkaitan dengan kifarat bagi orang yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja yaitu memerdekakan budak mukmin. Perintah tersebut perlu makna yang tak dissebut di dalam teks yaitu orang yang mempunyai hamba atau orang yang sanggup memerdekakannya. Karen kalau dia tidak mempunyai hamba atau tidak mempunyai kesanggupan tentulah ia tidak akan bisa melakukan itu.
D. Contoh Ta’arudh (pertentangan) Dalalah al-Iqtidha
Contoh ta’arudh antara dalalah al-ibarah dengan dalalah al-iqtidha terlihat antara firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 92, yang berbunyi :
Dengan hadis Nabi saw, yang berbunyi :
“Diampuni dari umatku dosa salah, lupa dan sesuatu yang mereka di paksa melakukannya (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Dalam ayat di atas makna yang dapat dipahami melalui dalalah al-iibarah adalah bahwa pembunuh seorang mukmin karena kesalahan wajib baginya kafarat dengan cara memerdekakakn seorang hamba yang mukmin.
Sedang dalam hadis diatas makna yang dapat dipahami melalui dalalah al-iqtidha adalah bahwa berbuat dosa karena kesalahan seperti membunuh diampuni. Kelihatan maknanya ada pertentangan. Maka dalam hal ini yang dapat dipahami berdasarkan dalalah al-ibarah harus didahulukan dari yang dipahami dari makna dalalah al-iqtidha. Pembunuh dengan kesalahan itu wajib memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, tidak lepas sama sekali dari sanksi karena kesalahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dalalat menurut bahasa artinya petunjuk. Sedangkan menurut istilah ulama ushul al-fiqh, dalalat adalah sesuatu pengertian yang ditunjukkan oleh perkataan atau ucapan.
Dalalat ialah sesuatu yang dikehendaki oleh perkataan ketika diucapkan secara mutlak. Dalalat menurut imam Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa, yaitu: Makna lain, bukan yang ditunjukkan oleh perkataan (lafaz), tidak juga diunjukkan ucapan (mantuqan), tetapi makna yang dimaksud adalah makna yang muncul dari apa yang dikehendaki oleh perkataan itu. Makna itu harus ada (sebagai kebutuhan) karena tanpa makna itu tidak mungkin perkataan seseorang dapat dianggap benar. Makna itu harus ada karena tanpa makna itu keberadaan yang diucapkan itu terhalang dari segi syara’ (tidak punya makna hukum). Makna inti harus ada karena tanpa makna itu akal tidak dapat menerimanya secara logi.
Abd al-Wahab dalam kitabnya ilmu ushul al-fiqh menerangkan bahwa dalalat al-iqtidha yaitu :
Dalalat al-iqtidha yaitu makna, yang perkataan itu tidak kokoh, kecuali yang telah disebutkan, kata itu secara teks tidak ada, tetapi validitas dan kekokohan maknanya baru muncul jika makna kata itu ditetapkan, demikian juga dari segi kebenaran dan keselarasannya dengan realitas baru muncul jika makna kata itu ditetapkan .
Menurut Ali Hasballah dalam kitab Ushul al-Tasri’ al-Islami memberikan definisi dalalat al-iqtidha sebagai berikut :
Dalalat al-iqtidha yaitu arti perkataan yang dijelaskan dari sesuatu yang secara teks tidak disebut, validitas perkataan itu hanya dapat diketahui jika makna itu ditetapkan, atau makna itu tidak kokoh tanpa memastikan ketetapan maknanya .
Pengertian lain tentang dalalah al-iqtidha dijelaskan oleh Muhammad Abu al-Yusr ‘Abidin dalam kitabnya muhadlarat fi ushul al-Fiqh al-islami, seperti dikutip oleh syekh Abdurrahman al-‘Ak. Ia berpendapat bahwa dalalat al-iqtidha yaitu menentukan kata yang lain yang tidak disebut secara teks sehingga kata baru itu seakan itulah yang ditetapkan oleh nash. Maksudnya, menjadikan sesuatu yang tidak disebutkan seakan-seakan itulah yang disebutkan, fungsinya untuk membuat yang disebutkan itu (teks) benar .
At-Taftazani berpendapat bahwa dalalah al-iqtidha adalah makna lafaz yang ditunjukkan oleh makna di luar teks itu, kebenaran dan validitas lafaz itu secara syar’i maupun aqli ditentukan oleh makna luar itu. Pendapat lain tentang dalalah al-iqtidha yaitu menjadikan sesuatu yang tidak disebutkan seolah itulah yang disebut, karena hanya dengancara itulah sehingga yang disebutkan itu terasa benarnya .
Bisa disimpulkan bahwa dalil al-iqtidha adalah proses dimana seorang pembaca teks atau penafsir dianggap bisa menemukan arti yang benar dari kalimat (teks) setelah ia melakukan beberapa hal. Pertama, dalam penafsiran terhadap teks itu harus memasukkan makna baru yang secara bahasa tidak ada didalam teks sehingga kalimatnya menjadi sempurna maknanya dan dapat dipahami secara benar. Kedua, ,makna yang ia masukkan itu harus sesuai dengan kenyataan yang dikehendaki susunan kalimat (nash atau teks) yang ada dari segi bahasa atau syara’ atau logika.
B. Contoh Dalalat al-Iqtidha.
Firman Allah swt. Surat al-Maidah ayat 3 :
حرمت عليكم الميتة
Diharamkan bagimu bangkai.Pembaca teks akan menangkap makna bahwa yang diharamkan itu tidak berkaitan dengan materinya, tetapi berkaitan dengan perbuatan yang ada kaitan dengan materi itu. Tidak ada kejelasan apakah yang dilarang itu dilihatnya, merabanya, membuangnya. Karena itu perlu ditetapkan maknanya yang secar teks tidak disebut.
Hanya dengan cara itulah sehingga makna yang dimaksud dipahami secara jelas dan kokoh. Jadi perlu ada makna baru dari luar yaitu apa diharamkan memakan bangkai. Memakan itu disebut secara jelas teks di dalam ayat itu, tetapi itulah makna yang dimaksud. Karena itu kata makan itu disandarkan ke teks sesuai dengan yang dituntut. Seakan kata ‘akal’ atau makan itulah makna tetapnya dalam teks atau tanpa penambahan kata itu, secara makna teks itu tidak jelas maksudnya.contoh lain adalah firman Allah :
حرمت عليكم أمهاتكم
‘Diharamkan bagimu ibumu’ (an-Nisa :23)Ayat diatas secara tekstual belum jelas maksudnya. Ibu diharamkan dalam hal apakah itu, melihatnya, menciumnya, tinggal dengannya atau apa. Karena itu dibutuhkan makna yang datang dari luar sehingga secara hukum teks itu menjadi jelas ditangkap dan sipahami maknanya atau maksudnya. Dalam hal ini, dilalat al-iqtidhanya adalah nikah. Jadi diharamkan menikahi ibu.
C. Pembagian Dalalat al-Iqtidha.
Para pakar membagi dilalat al-iqtidha menjadi tiga macam, sperti yang ditulis Hasballah dalam kitabnya Ushul al-Tasri’ al-Islami (Hasballah, 1391 H/1971 M:278). Pembagiannya yang sama juga yang dilakukan syeikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak .
1. Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan.
Contohnya sabda rasul :
“Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa-apa yang dia dipaksa melakukannya (H.R ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Salah dan lupa tidak mungkin diangkat dari umat manusia, karena itu dua sifat yang terjadi terus pada manusia dan telah terjadi, bagaimana mengangkatnya. Karena itu perlu ditentukan makna yang tidak disebut di teks itu, gunanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan, tidak bertentangan . makna yang perlu dimasukkan itu adalah dosa salah dan lupa. Jadi yang diangkat bukan salah dan lupanya, tetapi dosanya. Demikian juga dengan dosa seseorang yang perbuata (dosa itu) dilakukan karena terpaksa atau dipaksa.
2. keharusan menentukan maknanya, agar kalimat itu benar secara logika.
Seperti firman Allah :
واسأل القرية التي كنا فيها والعير التي أقبلنا فيها وإنا لصادقون
“Tanyakanlah negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersama mereka, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar . (Q.S Yusuf : 82).Secara logika tentu saja tidak bisa bertanya kepada kampung atau rombongan. Keduanya tidak dapat menjawab pernyataan. Karena itu perlu makna luar yaitu penduduk. Jadi yang dimaksud disini adalah bertanya kepada penduduk atau anggota rombongan.
Contoh lain
“Biarkanlah ia memanggil tempat perkampungan”
Seseorang tentu tidak mungkin memanggil perkampungan, karena kampung tidak bisa menjawab, yang dimaksud disisni adalah penduduk kampung. Dalam ilmu balagho gaya seperti ini disebut juga majaz mursal.
3. Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu benar secara syar’i.
Contohnya firman Allah swt dalam surah an-Nisa’ : 92 :
فتحرير رقبة مؤمنة
…Hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…Perintah tersebut berkaitan dengan kifarat bagi orang yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja yaitu memerdekakan budak mukmin. Perintah tersebut perlu makna yang tak dissebut di dalam teks yaitu orang yang mempunyai hamba atau orang yang sanggup memerdekakannya. Karen kalau dia tidak mempunyai hamba atau tidak mempunyai kesanggupan tentulah ia tidak akan bisa melakukan itu.
D. Contoh Ta’arudh (pertentangan) Dalalah al-Iqtidha
Contoh ta’arudh antara dalalah al-ibarah dengan dalalah al-iqtidha terlihat antara firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 92, yang berbunyi :
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله
“…..Dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)….”Dengan hadis Nabi saw, yang berbunyi :
“Diampuni dari umatku dosa salah, lupa dan sesuatu yang mereka di paksa melakukannya (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Dalam ayat di atas makna yang dapat dipahami melalui dalalah al-iibarah adalah bahwa pembunuh seorang mukmin karena kesalahan wajib baginya kafarat dengan cara memerdekakakn seorang hamba yang mukmin.
Sedang dalam hadis diatas makna yang dapat dipahami melalui dalalah al-iqtidha adalah bahwa berbuat dosa karena kesalahan seperti membunuh diampuni. Kelihatan maknanya ada pertentangan. Maka dalam hal ini yang dapat dipahami berdasarkan dalalah al-ibarah harus didahulukan dari yang dipahami dari makna dalalah al-iqtidha. Pembunuh dengan kesalahan itu wajib memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, tidak lepas sama sekali dari sanksi karena kesalahannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman, Khalid al-‘Ak. Ushul al-Tafsir wa Qowaiduhu, Beirut : Dar an-Nafais, 1994.
- Alkhin, Musthafa Sai’d. Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi ikhtilaf al-Fuqaha”. Beirut: Muassah al-Risalah, 1981.
- Bek, Muhammad Khudari. Ushul fiqh. Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1969.
- Djazuli, A. dan I. Nurul Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
- al-Ghazali, Abi Hamid. al-Mustashfa fi ilmi al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-I’lmiyah, 1996,
- Hasballah, Ali. Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy, Mesir : Dar al-Ma’arif, 1971.
- Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul fiqh, Kairo : Darul Qalam al-Kirbin, 1978.
- Musthofa Amin. Ali al-Jarimy dan al-Balaghoh al-Wadhihah, Mesir : Dar al-Ma’arif, 1957.
- Shihab, M.Quraisy. Mukjizat Alquran, Bandung : Mizan, 1999.
- Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Alquran, Yogyakarta : Lkis, 2001.
- Zaidan, Abd. Al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqih. Baghdad : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993.
0 comments:
Post a Comment