Illat dalam Mengambil Hukum

Untuk memahami makna dan hakikat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah swt. — yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia — bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakikatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut — di samping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui alasan-alasan dimaksud.

Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan suatu hal yang penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar makna dan nilai suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut.

Dalam kegiatan Istinbâth hukum yang dilakukan oleh para ulama ushul -sepanjang sejarah pemikiran hukum- salah satu persoalan yang paling mendasar dan yang banyak menimbulkan diskusi di kalangan mereka adalah menyangkut alasan-alasan apa saja yang mendasari atau yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘.

Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan mengandung hikmah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Secara lebih tegas lagi dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah baik perintah maupun larangan, di samping bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, juga mempunyai alasan-alasan atau latarbelakang tersendiri. Sejalan dengan maksud ini, maka dapat disebutkan bahwa setiap perintah dan larangan pasti mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum) dan tujuannya masing-masing.

Pandangan ini memberikan pengertian bahwa suatu ketentuan hukum itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara‘ tersebut.

Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong (alasan-alasan logis) dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama ushul berupaya meneliti Nash al-Qur`an dan al-Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang mendasarinya (Causal – Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan‘illat hukum atau Ta‘lîl al-Ahkâm (تعليل الأحكام), yaitu teori ke-‘illat-an hukum.

Teori ke-‘illat-an hukum atau ‘illat hukum (ta‘lîl al-ahkâm) pada prinsipnya mengkaji dan membicarakan tentang apa yang menjadi ‘illat atau manâth al-hukm (مناط الحكم), yaitu pautan hukum serta apa pula yang menjadi indikator bahwa ‘illat yang dimaksud adalah merupakan alasan yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut. Di samping itu, bagaimana pula prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan suatu ‘illat hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari suatu ‘illat tersebut. Kemudian, pembahasan tentang ‘illat hukum ini juga akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyari’atan hukum (maqâshid al-syarî‘ah).

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang ‘illat. Artinya, dari sini akan terlihat bagaimana eksistensi dan posisi ‘illat yang dipandang sebagai faktor penentu atau alasan yang tidak dapat dipisahkan dari pensyari‘atan hukum syara‘. Bertitik tolak dari sini ulama ushul merumuskan teori ‘illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat dalam kegiatan istinbâth al-ahkâm (penggalian dan penetapan hukum).

Atas dasar kerangka pemikiran ini, maka ulama Ushul Fiqh mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan ada dan tidak adanya ‘illat. Artinya ‘illat-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallâf menyebutkan:

تَدُوْرُ الأَحْكَامُ وُجُوْدًا وَعَدَمًا مَعَ عِلَلِهَا لاَ مَعَ حِكَمِهَا

Maksudnya bahwa hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi oleh ada dan tidak adanya‘illat, bukan oleh hikmahnya.

Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat menjadi kata kunci yang sangat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘ tersebut.

Akan tetapi, pandangan di atas mengundang suatu pertanyaan, yaitu apakah setiap penetapan hukum oleh Allah terpaut dan tunduk kepada ‘illat-nya dan bagaimana hal tersebut dapat dipahami? Ternyata, dalam prakteknya, menimbulkan perdebatan di kalangan ulama kalam yang kemudian diikuti ulama ushul, karena tidak semua ketentuan hukum dapat dipahami dan ditangkap oleh akal manusia apa yang menjadi ‘illat pensyari‘atannya. Banyak ketentuan hukum syara‘ tidak dapat dipahami secara rasional apa yang menjadi ‘illat penetapannya. Aspek inilah yang kemudian oleh Ulama Ushul dikategori-kan kepada persoalan – ta‘abbudî.

Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada ‘illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa ‘illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari ‘illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah.

Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau ‘illat-nya oleh nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan ta‘abbudî, dan terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka — ulama ushul — menyebutnya dengan sebab. Artinya antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas.

Sebagai contoh, bahwa di dalam al-Qur`an diperintahkan untuk mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincirnya matahari. Allah berfirman:

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ… الإسراء [17]: 78.

Dirikanlah shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari (QS. Al-Isrâ`/17:78)

Di sini, hubungan antara perintah mengerjakan shalat Zhuhur dengan tergelincirnya matahari tidak dapat diketahui dan sulit dipahami oleh akal. Oleh karena itu, hal ini tidaklah dinamai dengan‘illat, tetapi disebut dengan sebab.

Banyak ketentuan hukum syara‘ yang sulit dan tidak dapat dipahami oleh akal manusia bagaimana hubungan logisnya dengan alasan-alasan yang melatar-belakanginya. Bila berhadapan dengan persoalan seperti ini, maka sebagian ulama ushul mengatakan haruslah dilihat dari segi nilai yang terkandung di dalamnya dan tujuan disyari‘atkannya hukum syara‘.

Nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan di dalam nash — baik perintah maupun larangan — adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi umat manusia baik memberi manfaat bagi manusia maupun menghindarkan mereka dari kemudaratan. Oleh karena itu, yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum syara‘ adalah kemaslahatan itu sendiri. Jadi berdasarkan pandangan yang disebutkan terakhir ini ternyata tujuan hukum dijadikan sebagai ‘illat yang melatar-belakangi penetapannya. Tujuan hukum itu di kalangan ulama disebut dengan hikmah . Jika demikian halnya, maka penetapan hukum didasarkan kepada hikmah. Artinya, setiap ketentuan hukum syara‘ dibangun atas dasar hikmah dan hikmah itu pula yang menjadi pautan hukum atau ‘illat.

Pandangan ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul antara yang menerima dan yang menolak hikmah dijadikan sebagai ‘illat atas penetapan hukum syara‘, karena apa yang disebut dengan hikmah itu pada dasarnya sesuatu yang samar-samar, perkiraan dan anggapan saja yang kepastiannya belum dapat diakui. Dalam hubungan ini, contoh kasus berikut ini dapat dijadikan bahan perbandingan. Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Allah berfirman:

… فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ … البقرة [2]: 184.

… Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (boleh tidak berpuasa) maka hendaklah ia perhitungkan pada hari-hari yang lainnya… (QS. Al-Baqarah/2:184)

Berdasarkan ayat di atas berlaku ketentuan hukum bolehnya orang sakit tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum syara‘ dibolehkannya orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tidak dapat diketahui secara pasti apa ‘illat yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pemikiran berpaling kepada hikmah yang dijadikan sebagai ‘illat yang mendorong ketetapan hukum syara‘ tersebut, yaitu untuk menghilangkan kesulitan atau apa yang disebut dengan istilah masyaqqat.

Akan tetapi, kesulitan (masyaqqat) yang dijadikan sebagai pendorong dibolehkannya bagi orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebetulnya hal yang samar-samar dan tidak pasti. Sebab, ternyata tidak semua orang mempunyai kondisi yang sama; ada yang merasakan kesulitan dan banyak pula orang yang tidak merasakannya. Dengan demikian, adalah tidak tepat menetapkan suatu hukum hanya berdasarkan kepada hikmah yang keberadaannya samar-samar. Oleh karena itu kalangan jumhur menolak ber-‘illat dengan hikmah semata-mata. Akan tetapi, al-Amidî menerima hikmah sebagai ‘illat secara bersyarat, yaitu hikmah itu harus jelas dan jika tidak jelas maka tidak dapat dijadikan sebagai ‘illat yang mendasari ketetapan hukum syara‘.

Lebih jauh terlihat pula ada ulama yang tidak membolehkan mengaitkan ketetapan hukum syara‘ kepada ‘illat sama sekali, karena hal tersebut menurut mereka berarti menganggap Allah tidak sempurna. Padahal segala sesuatu yang ditetapkan Allah tidak tergantung kepada yang lain; Allah berbuat menurut pilihannya sendiri. Kelompok ini dikenal dengan sebutan nafy al-ta‘lîl (نفي التعليل) yaitu golongan yang menolak ke-‘illat-an hukum. Mereka ini terdiri dari sebagian pengikut Asy‘ariyah, sebagian dari filosof dan di kalangan ulama ushul antara lain Zhahirîyah.

Bila dicermati lebih jauh, perbedaan ini tidak saja terjadi dalam melihat apa yang menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum, tetapi juga dalam penyebutan atau penamaan terhadap ‘illat tersebut serta prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menetapkannya. Dan juga dalam persyaratan yang digariskan bagi eksistensi ‘illat tersebut.

Akibat dari perbedaan tersebut di atas, tampak dengan jelas pengaruh terhadap eksistensi ‘illat itu sendiri dan nilai atau warna hukum yang dihasilkan. Dengan kata lain, perbedaan seperti digambarkan di atas membawa pengaruh yang cukup luas dalam penetapan hukum syara‘. Hal ini tidak saja terlihat pada kasus-kasus yang ada nashnya, sebagaimana dicontohkan di atas, tetapi lebih-lebih lagi pada kasus–kasus baru atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang setiap saat bermunculan sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang.

Terhadap kasus-kasus yang ada nashnya dan telah ditetapkan ketentuan hukumnya di kalangan ulama juga terdapat perbedaan dalam memahami ‘illat-nya. Misalnya kasus yang berkaitan dengan kebolehan musafir melakukan qashar shalat. Tentang qashar shalat ini terdapat dua pandangan yang berbeda dalam penetapan ‘illat-nya. Pandangan pertama mengatakan bahwa ‘illat bolehnya musafir melakukan qashar shalat tersebut adalah karena adanya kesulitan (masyaqqat). Artinya, jika tidak ada kesulitan tentu tidak ada keizinan atau dibolehkan melakukan qashar shalat bagi musafir. Sebaliknya, pandangan kedua mengatakan bahwa bolehnya musafir melakukan qashar shalat ‘illat-nya bukan “kesulitan”, tetapi safar itu sendiri.

Terhadap kasus ini dapat dikatakan bahwa suatu keadaan yang abstrak dan tidak dapat diukur tidak dapat dijadikan ‘illat. Oleh karena itu kasus qashar shalat dengan ‘illat masyaqqah (kesulitan) tidak dapat diterima karena akan berbeda pada setiap orang dan relatif tidak ada ukurannya. Apalagi dalam perkembangan dunia modern sekarang ini apa yang disebut masyaqqah itu untuk mengerjakan shalat bagi musafir dalam perjalanan relatif hampir tidak ada lagi.

Jadi, dapat dipahami bahwa kebolehan qashar shalat bagi musafir itu sebetulnya terkait dengan hubungan sebab akibat dan inilah yang disebut dengan sebab, dan tidak dinamai dengan ‘illat.

Demikian juga halnya dengan kasus-kasus baru dan atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang banyak ber-‘illat kepada nilai dan tujuan yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum. Contoh kasus tentang ini adalah keputusan Komisi Fatwa MUI pusat tentang hukum memakan dan budidaya kodok. Dalam keputusan tersebut dijelaskan, membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam.

Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI di atas tidak tegas, karena tidak semua ulama menerima keputusan ini, sebab lebih condong mempertimbangkan nilai ekonomi meskipun persoalan kodok ini, jauh sebelumnya telah menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab.

Mencermati apa yang telah dipaparkan di atas, maka masalah ‘illat hukum ini sangat perlu untuk diteliti dan dikaji secara mendalam agar diperoleh gambaran yang lebih jelas terhadap eksistensinya dan fungsinya dalam penetapan hukum. Kecuali itu, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, yang mempengaruhi corak pemikiran hukum syara‘ sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari perbedaan pemahaman mereka tentang teori ‘illat yang berkembang dan penerapannya dalam penetapan hukum pada setiap kurun waktu.

Dalam penelitian ini, sengaja dibatasi kajiannya pada teori ‘illat hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi penetapan hukum Islam (tharîqat Istinbâth al-Ahkâm). Kajian tentang ‘illat hukum adalah menyangkut persoalan yang sangat penting, karena ia akan membahas alasan-alasan yang melatarbelakangi lahirnya ketetapan hukum syara’.

Oleh sebab itu, agar kajian ini lebih fokus, maka yang menjadi permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah apa sebenarnya ‘illat hukum itu dan bagaimana fungsi/kedudukannya dalam penetapan hukum syara’? Dari pertanyaan pokok ini, maka permasalahn pokok dapat dirumuskan sebagai berikut;
  1. bagaimana rumusan ‘illat dan syarat-syarat yang ditetapkan baginya?; 
  2. prosedur apa saja yang ditempuh dalam penetapan ‘illat tersebut?;
  3. apa saja yang dijadikan landasan sebagai sumber penetapan ‘illat?;
  4. bagaimana fungsi dan kedudukan ‘illat dalam penetapan hukum?
Permasalahan-permasalahan pokok yang disebutkan ini akan dikembangkan dalam pembahasan berkutnya, antara lain;
  1. ‘illat dan kaitannya dengan tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah),
  2. ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta
  3. ‘illat dan masalah-masalah kontemporer.
Berpijak dari rumusan dan batasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi teori ‘illat dan fungsinya dalam penetapan hukum syara‘ yang meliputi, rumusan ‘illat dan syarat-syaratnya, prosedur yang ditempuh dalam penetapannya, landasan yang menjadi pijakan dalam penetapan ‘illat, fungsi dan kedudukan ‘illat dalam penetapan hukum syara‘, ‘illat dan kaitannya dengan tujuan hukum syara‘ (maqâshid al-syarî‘ah), ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta ‘illat dan masalah-masalah kontemporer.

Sejauh yang dapat penulis telusuri bahwa terdapat beberapa karya baik yang berbentuk buku ataupun hasil penelitian yang telah mengkaji persoalan ‘illat hukum ini. Buku tersebut adalah karya Imam al-Ghazâlî (450-505H/1058-1111) yang ditahqiq oleh Hammâd al-Kubaisî dengan berjudul “Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân al-Syabh wa al-Mukhayyal wa Masâlik al-Ta‘lîl”.

Kajian yang diuraikan dalam buku ini menjelaskan persoalan ‘illat dan qiyâs. Pada bagian muqadimah dari buku ini menjelaskan masalah qiyâs dan pembagiannya, makna ‘illat dan dilâlah. Pada bagian berikutnya membahas cara mengetahui sifat ‘illat dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penetapannya, perbedaan ‘illat dengan sabab, penetapan ‘illat dengan ijmâ‘, istidhlâl dengan ‘illat munâsabah dan pandangan ulama. Pada bagian berikutnya membahas apa saja yang dapat dijadikan ‘illat, macam-macam al-munâsabah dan batasannya, serta dalil-dalil penggunaannya, maqaşid al-syarî‘ah dan ‘illat. Pada bagian akhir ini buku ini menguraikan penggunaan hikmah sebagai ‘illat hukum.

Kemudian, Musthafâ Syalabî , juga menulis tentang ‘illat hukum, dengan judul “Ta‘lil al-Ahkâm; ‘Ard wa Tahlîl Tharîqat al-Ta‘lîl wa Tathawwarâtihâ fî ‘Uşūr al-Ijtihâd wa al-Taqlîd”. Musthafâ Syalabî menguraikan dalam buku ini hal-hal yang meliputi ; ‘illat pada masa sebelum penyusunan Ushul Fiqh dan periode Ijtihad. Pembahasan berikutnya menjelaskan cara penunjukkan al-Qur`an dan al-Sunnah tentang peng-‘illat-an hukum, cara sahabat dalam menentukan ‘illat, ‘illat pada periode penyusunan Ushul Fiqh dan pendekatan dikalangan para ulama tentang ‘illat hukum, hakikat ‘illat di kalangan ulama Ushul, ‘illat dan syarat-syaratnya, dan hikmah, al-munâsabah dan pembagiannya. Musthafâ Syalabî juga membahas persoalan maşlahat dan kaitannya dengan ‘illat serta istihsân dengan maşlahat.

Selanjutnya kajian tentang ‘illat berupa hasil penelitian disertasi dan tesis dapat pula dikemukan berikut ini Karya Juhaya S. Praja misalnya, dalam penelitian disertasinya yang judul “Epistimologi Hukum Islam (Suatu Telaah tentang sumber, ‘illat dan Tujuan Hukum Islam serta Metoda-metoda Kebenarannya Dalam Sistem Hukum Islam Menurut Ibnu Taimiyah”.

Dalam penelitian ini Juhaya S. Praja membahas ‘illat sebagai salah satu sub bab dari Disertasinya dan menempatkannya pada bab Metodelogi Hukum Islam. Pembahasan ini mengungkapkan pandangan Ibnu Taimiyah tentang ‘illat yang meliputi pengertian ‘illat, ‘illat dan tujuan hukum serta cara-cara mengetahui ‘illat.


Hasil penelitian lain adalah juga penelitian disertasi yang ditulis oleh Rafi’i Nazari yang berjudul “‘Illat dan Dinamika Hukum Islam”. Penelitian ini memang merupakan penelitian yang secara khusus mengkaji persoalan ‘illat hukum. Dalam penelitian ini Rafi’i Nazari membahas dan menguraikan ‘illat dan syarat-syaratnya. Cara penentuan ‘illat, dan landasannya, Peranan ‘illat dalam Penetapan hukum Islam serta ‘illat dan dinamika Hukum Islam.

Penelitian serupa dapat pula ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yazwardi dengan judul “Konsep ‘illat Dalam Qiyas Menurut al-Ghazali”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis yang berupaya mengungkapkan pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang ‘illat yang meliputi Pengertian ‘illat, ruang lingkup metodologi ‘illat dan klasifikasinya serta kesalahan dalam metodologi ‘illat. Penelitian Yazwardi ini hanya melihat dan mengkaji kedudukan ‘illat dalam hubungannya dengan qiyâs menurut pemikiran al-Ghazâlî.

Dari beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas belum terlihat pembahasan atau kajian yang menjelaskan secara mendalam tentang ‘illat dalam kaitannya dengan penetapan hukum syara‘; terutama yang berhubungan dengan eksistensi ‘illat dan pengembangan hukum serta keterkaitannya pula dengan masalah-masalah kontemporer yang terus muncul dari waktu ke waktu.

Pengkajian ‘illat dalam hubungannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran Ushul Fiqh. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena belum dibahas secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu.

oleh Ibnu Muchtar
diambil dari http://boedaxbandung88.wordpress.com

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger