Irak
Ada seorang pedagang yang mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan dan tidak ada lagi yang lain. Ketika kematian mengetuk pintu, anak itu tinggal sendirian bersama ibunya. Nah, perempuan ini menguasai seni ilmu gaib melalui hamparan pasir.
Dia dapat menebarkan segenggam pasir dan membaca masa depan dari ngarai dan lembah yang berbentuk darinya. Suatu hari dia mengucapkan doanya dan memohon kepada Allah agar menuntun tangannya. Tapi ketika dia menebarkan pasir, dia melihat bahwa budaknya yang berkulit hitam ditakdirkan untuk menikahi anak perempuan satu-satunya. Dia memohon pertolongan Allah agar terhindar dari gangguan setan dan mencoba lagi. yang terungkap kepadanya tidak berbeda. Tertulis di situ bahwa pelayan prianya akan menjadi suami putrinya. “Bagaimana mungkin anakku yang cantik disandingkan dengan orang seperti dia?” katanya.
Tidak lama kemudian dia menyusun suatu rencana untuk mengenyahkannya. Dia memanggil pelayan itu dan berkata, “Ada tugas yang harus kamu kerjakan. Aku ingin kamu pergi menemui Mata Matahari, Ain Asy-Syams, dan bertanya kepadanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Aku akan pergi dengan senang hati,” kata si pelayan. Maka perempuan itu mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk perjalanannya dan melepasnya pergi.
Pelayan itu tidak punya pengalaman. Dia tidak bisa membedakan antara kota dan desa dan tidak punya gambaran sama sekali ke mana atau dengan cara apa dia harus pergi. Untunglah di perjalanan dia bertemu seorang pria bertangan bengkok sedang menggembalakan kambing putih hitam dan kambing hitam.
“Damai!” kata si budak.
Pria itu menjawab, “Salaam!”
Si budak bertanya, “Katakan padaku, jalan apakah ini dan ke mana arahnya?”
Pria itu berkata, “Jalan mana yang ingin kamu masuki? Tempat apa yang kamu cari?”
Si budak menjawab, “Aku mencari Ain Asy-Syams untuk bertanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Ho ho!” kata pria itu. “Jika kamu bertemu Ain Asy-Syams maukah kamu membatuku untuk bertanya padanya, ‘Berapa lama lagi gembala itu harus mengawasi ternaknya?’”
Si budak setuju. Lalu dia meneruskan perjalanannya. Dia bertemu seorang pria yang sedang memetik panen, memotong tanam-tanaman yang hijau, dan juga yang telah kering serta melemparkan semuanya ke sungai.
Salaam!” kata si budak.
Pria itu menyahut, “Semoga damai menyertaimu! Kemana kamu akan pergi, Saudara?”
“Aku akan pergi ke tempat Ain Asy-Syams untuk bertanya kepadanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
Pria itu berkata, “Jika kamu sampai di sana maukah kamu mengajukan pertanyaan ini kepada Ain Asy-Syams: ‘Berapa lama lagi orang itu harus melemparkan seluruh hasil panennya ke dalam air, tanpa membedakan antara yang mendah dan yang matang?’”
Si budak setuju dan meneruskan langkahnya, berjalan dan berjalan dan berjalan, hingga dia tiba di lautan yang tidak punya sumber maupun dasar.
Di atasnya seekor ikan mengapung. “Ke mana kamu akan pergi?” ikan bertanya.
“Menemui Ain Asy-Syams untuk menanyakan, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Bagaimana caramu menemuinya?” tanya ikan. Ketika pria itu menjawab bahwa dia tidak tahu, ikan berkata, “Aku akan mengantarmu. Aku akan membawamu menyeberangi lautan di atas punggungku, tapi setelah tiba di sana kamu harus bertanya kepada Ain Asy-syams, ‘Mengapa ikan mengapung di atas air?’” Si budak setuju, dan ikan membawanya ke pantai seberang serta berjanji akan menanti sampai dia kembali.
Pria itu berjalan dan berjalan dan berjalan hingga dia bertemu dengan Ain Asy-Syams. Yang pertama-tama ditanyakannya adalah, “Ya Ain Asy-Syams, akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?”
Dia berkata, “Keberuntunganmu. Milikmu. Milikmu.”
Lalu si budak berkata, “Gembala itu ingin aku menanyakan padamu berapa lama lagi dia harus mengembalakan ternaknya”.
Dia menjawab, “Dialah orang yang harus menggembala siang dan malam. Ini akan tetap menjadi pekerjaannya hingga akhir zaman.”
Si budak berkata, “Bagus. Tapi bagaimana dengan pemetik panen yang memotong buah yang hijau dan yang masak dan melemparkannya ke dalam air, tanpa membeda-bedakannya? Berapa lama lagi dia harus bekerja?”
Dia menjawab, “Dialah orang yang mendatangkan kematian kepada kaum tua dan kaum muda, dan pekerjaannya tidak akan berakhir. Panen buah yang masih hijau itu adalah orang-orang yang masih muda dan bodoh, sedangkan buah yang sudah matang adalah orang-orang yang sudah beruban.”
“Aku masih punya satu pertanyaan lagi,” kata si budak.
“Katakanlah,” undang Ain Asy-Syams.
“Ikan ini, mengapa ia mengapung di atas air, tidak dapat menyelam atau tenggelam?”
“Biar ikan itu membawamu lebih dulu menyeberangi lautan,” sahut Ain Asy-Syams. “Setelah kamu mendarat dengan aman, tepuklah punggungnya. Ia akan meludahkan sebuah mutiara sebesar buah kemiri dan selanjutnya dia akan dapat bergabung dengan kawan-kawannya di bawah laut. Mutiara itu hadiah untukmu. Pada sisi lain jalan yang akan membawamu pulang, kamu akan menemukan sebuah kolam batu. Pada salah satunya terdapat harta melimpah, sedangkan pada yang satu lagi air. Mandilah pada satu kolam dan kamu akan berubah menjadi putih bagai perak. Harta yang melimpah itu untukmu, ambillah.”
Apa yang dikatakannya dilaksanakan budak berkulit hitam itu. Dia berubah menjadi putih bagai perak dan pulang dengan membawa seluruh harta yang diikatkannya pada punggung sebarisan bagal.
Dengan cara yang megah itulah dia sampai di depan pintu majikannya, sementara seluruh masyarakat di kota itu mengikutinya terheran-heran. Dia masuk, dan majikannya tidak mengenalinya. Takjub, perempuan itu berkata pada dirinya sendiri, “Ini pastilah putra saudara lelaki suamiku yang tinggal di kota lain. Dia pasti telah mendengar kabar tentang kematian pamannya dan datang untuk meminang saudara sepupunya. Siapa yang lebih berhak atas putriku selain saudara sepupu pertamanya?”
Maka budak itu tinggal di dalam rumah sebagai tamu kehormatan. Selama itu dia tidak mengajukan pertanyaan dan majikannya tidak menanyakan apa-apa kepadanya. Lalu perempuan itu berkata, “Apakah kamu ingin gadis ini menjadi istrimu?”
“Jika engkau menginginkannya,” katanya.
Maka mereka mengadakan persiapan. Mereka menetapkan sejumlah uang mahar. Apa yang harus dijahit, dijahit, dan yang harus disulam, disulam. Gadis itu dibawa ke tempat mandi umum dan tamu-tamu diundang.
Nah, malam pengantin telah tiba. Gadis itu duduk di kamar pengantin. Mempelai pria mengenakan pakaian yang indah, dan janggutnya berbau wangi kemenyan. Dia berdiri setinggi para pahlawan dalam dongeng, kedua lengannya terlipat di dada dan ketampanannya bersinar layaknya cahaya bulan. Wajah gadis itu memerah saat memandangnya. Meskipun dia menanti suaminya untuk berbicara, pria itu tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu berharap suaminya untuk duduk di sampingnya, tapi dia tetap berdiri.
Akhirnya si gadis berkata, “Mengapa kamu tidak beristirahat?”
Pria itu menyahut, “Wahai putri majikanku, bagaimana mungkin aku datang atau pergi tanpa perintahmu?”
“Betapa anehnya perkataanmu! Mengapa kamu berkata begitu?” tanya si gadis.
“Sebab aku adalah pelayanmu,” katanya. “Ibumu menyuruhku pergi untuk menemui Ain Asy-Syams, dan beginilah aku jadinya!”
“Apa yang kamu sampaikan padaku tidak boleh disampaikan pada siapa pun!” katanya. Seraya tertawa di depan wajah pria tampan itu, si gadis berkata pada dirinya sendiri, “Terpujilah Allah atas takdirku ini! Terpujilah Allah atas keberuntunganku ini!”
Ada seorang pedagang yang mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan dan tidak ada lagi yang lain. Ketika kematian mengetuk pintu, anak itu tinggal sendirian bersama ibunya. Nah, perempuan ini menguasai seni ilmu gaib melalui hamparan pasir.
Dia dapat menebarkan segenggam pasir dan membaca masa depan dari ngarai dan lembah yang berbentuk darinya. Suatu hari dia mengucapkan doanya dan memohon kepada Allah agar menuntun tangannya. Tapi ketika dia menebarkan pasir, dia melihat bahwa budaknya yang berkulit hitam ditakdirkan untuk menikahi anak perempuan satu-satunya. Dia memohon pertolongan Allah agar terhindar dari gangguan setan dan mencoba lagi. yang terungkap kepadanya tidak berbeda. Tertulis di situ bahwa pelayan prianya akan menjadi suami putrinya. “Bagaimana mungkin anakku yang cantik disandingkan dengan orang seperti dia?” katanya.
Tidak lama kemudian dia menyusun suatu rencana untuk mengenyahkannya. Dia memanggil pelayan itu dan berkata, “Ada tugas yang harus kamu kerjakan. Aku ingin kamu pergi menemui Mata Matahari, Ain Asy-Syams, dan bertanya kepadanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Aku akan pergi dengan senang hati,” kata si pelayan. Maka perempuan itu mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk perjalanannya dan melepasnya pergi.
Pelayan itu tidak punya pengalaman. Dia tidak bisa membedakan antara kota dan desa dan tidak punya gambaran sama sekali ke mana atau dengan cara apa dia harus pergi. Untunglah di perjalanan dia bertemu seorang pria bertangan bengkok sedang menggembalakan kambing putih hitam dan kambing hitam.
“Damai!” kata si budak.
Pria itu menjawab, “Salaam!”
Si budak bertanya, “Katakan padaku, jalan apakah ini dan ke mana arahnya?”
Pria itu berkata, “Jalan mana yang ingin kamu masuki? Tempat apa yang kamu cari?”
Si budak menjawab, “Aku mencari Ain Asy-Syams untuk bertanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Ho ho!” kata pria itu. “Jika kamu bertemu Ain Asy-Syams maukah kamu membatuku untuk bertanya padanya, ‘Berapa lama lagi gembala itu harus mengawasi ternaknya?’”
Si budak setuju. Lalu dia meneruskan perjalanannya. Dia bertemu seorang pria yang sedang memetik panen, memotong tanam-tanaman yang hijau, dan juga yang telah kering serta melemparkan semuanya ke sungai.
Salaam!” kata si budak.
Pria itu menyahut, “Semoga damai menyertaimu! Kemana kamu akan pergi, Saudara?”
“Aku akan pergi ke tempat Ain Asy-Syams untuk bertanya kepadanya, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
Pria itu berkata, “Jika kamu sampai di sana maukah kamu mengajukan pertanyaan ini kepada Ain Asy-Syams: ‘Berapa lama lagi orang itu harus melemparkan seluruh hasil panennya ke dalam air, tanpa membedakan antara yang mendah dan yang matang?’”
Si budak setuju dan meneruskan langkahnya, berjalan dan berjalan dan berjalan, hingga dia tiba di lautan yang tidak punya sumber maupun dasar.
Di atasnya seekor ikan mengapung. “Ke mana kamu akan pergi?” ikan bertanya.
“Menemui Ain Asy-Syams untuk menanyakan, ‘Akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?’”
“Bagaimana caramu menemuinya?” tanya ikan. Ketika pria itu menjawab bahwa dia tidak tahu, ikan berkata, “Aku akan mengantarmu. Aku akan membawamu menyeberangi lautan di atas punggungku, tapi setelah tiba di sana kamu harus bertanya kepada Ain Asy-syams, ‘Mengapa ikan mengapung di atas air?’” Si budak setuju, dan ikan membawanya ke pantai seberang serta berjanji akan menanti sampai dia kembali.
Pria itu berjalan dan berjalan dan berjalan hingga dia bertemu dengan Ain Asy-Syams. Yang pertama-tama ditanyakannya adalah, “Ya Ain Asy-Syams, akan menjadi keberuntungan siapakah putri majikanku nanti?”
Dia berkata, “Keberuntunganmu. Milikmu. Milikmu.”
Lalu si budak berkata, “Gembala itu ingin aku menanyakan padamu berapa lama lagi dia harus mengembalakan ternaknya”.
Dia menjawab, “Dialah orang yang harus menggembala siang dan malam. Ini akan tetap menjadi pekerjaannya hingga akhir zaman.”
Si budak berkata, “Bagus. Tapi bagaimana dengan pemetik panen yang memotong buah yang hijau dan yang masak dan melemparkannya ke dalam air, tanpa membeda-bedakannya? Berapa lama lagi dia harus bekerja?”
Dia menjawab, “Dialah orang yang mendatangkan kematian kepada kaum tua dan kaum muda, dan pekerjaannya tidak akan berakhir. Panen buah yang masih hijau itu adalah orang-orang yang masih muda dan bodoh, sedangkan buah yang sudah matang adalah orang-orang yang sudah beruban.”
“Aku masih punya satu pertanyaan lagi,” kata si budak.
“Katakanlah,” undang Ain Asy-Syams.
“Ikan ini, mengapa ia mengapung di atas air, tidak dapat menyelam atau tenggelam?”
“Biar ikan itu membawamu lebih dulu menyeberangi lautan,” sahut Ain Asy-Syams. “Setelah kamu mendarat dengan aman, tepuklah punggungnya. Ia akan meludahkan sebuah mutiara sebesar buah kemiri dan selanjutnya dia akan dapat bergabung dengan kawan-kawannya di bawah laut. Mutiara itu hadiah untukmu. Pada sisi lain jalan yang akan membawamu pulang, kamu akan menemukan sebuah kolam batu. Pada salah satunya terdapat harta melimpah, sedangkan pada yang satu lagi air. Mandilah pada satu kolam dan kamu akan berubah menjadi putih bagai perak. Harta yang melimpah itu untukmu, ambillah.”
Apa yang dikatakannya dilaksanakan budak berkulit hitam itu. Dia berubah menjadi putih bagai perak dan pulang dengan membawa seluruh harta yang diikatkannya pada punggung sebarisan bagal.
Dengan cara yang megah itulah dia sampai di depan pintu majikannya, sementara seluruh masyarakat di kota itu mengikutinya terheran-heran. Dia masuk, dan majikannya tidak mengenalinya. Takjub, perempuan itu berkata pada dirinya sendiri, “Ini pastilah putra saudara lelaki suamiku yang tinggal di kota lain. Dia pasti telah mendengar kabar tentang kematian pamannya dan datang untuk meminang saudara sepupunya. Siapa yang lebih berhak atas putriku selain saudara sepupu pertamanya?”
Maka budak itu tinggal di dalam rumah sebagai tamu kehormatan. Selama itu dia tidak mengajukan pertanyaan dan majikannya tidak menanyakan apa-apa kepadanya. Lalu perempuan itu berkata, “Apakah kamu ingin gadis ini menjadi istrimu?”
“Jika engkau menginginkannya,” katanya.
Maka mereka mengadakan persiapan. Mereka menetapkan sejumlah uang mahar. Apa yang harus dijahit, dijahit, dan yang harus disulam, disulam. Gadis itu dibawa ke tempat mandi umum dan tamu-tamu diundang.
Nah, malam pengantin telah tiba. Gadis itu duduk di kamar pengantin. Mempelai pria mengenakan pakaian yang indah, dan janggutnya berbau wangi kemenyan. Dia berdiri setinggi para pahlawan dalam dongeng, kedua lengannya terlipat di dada dan ketampanannya bersinar layaknya cahaya bulan. Wajah gadis itu memerah saat memandangnya. Meskipun dia menanti suaminya untuk berbicara, pria itu tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu berharap suaminya untuk duduk di sampingnya, tapi dia tetap berdiri.
Akhirnya si gadis berkata, “Mengapa kamu tidak beristirahat?”
Pria itu menyahut, “Wahai putri majikanku, bagaimana mungkin aku datang atau pergi tanpa perintahmu?”
“Betapa anehnya perkataanmu! Mengapa kamu berkata begitu?” tanya si gadis.
“Sebab aku adalah pelayanmu,” katanya. “Ibumu menyuruhku pergi untuk menemui Ain Asy-Syams, dan beginilah aku jadinya!”
“Apa yang kamu sampaikan padaku tidak boleh disampaikan pada siapa pun!” katanya. Seraya tertawa di depan wajah pria tampan itu, si gadis berkata pada dirinya sendiri, “Terpujilah Allah atas takdirku ini! Terpujilah Allah atas keberuntunganku ini!”
0 comments:
Post a Comment