Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang mempunyai tiga fungsi, yaitu: memperkuat apa yang telah ditetapkan al-Qur’an, memperjelas atau merinci apa yang telah digariskan Al-Qur’an; dan menetapkan hukum yang belum diatur oleh Al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk dapat menggali atau memahami hukum Islam, seseorang harus dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum (Ayat Ahkam) sekaligus hadis-hadis tentang hukum (Hadis Ahkam). Buku ini hadir untuk melengkapi buku penulis “Ayat-ayat Tematik Hukum Islam“.
Hadis Ahkam adalah koleksi hadis Nabi Muhammad Saw. seputar hadis-hadis tentang hukum Islam, seperti hadis tentang hukum Thaharah, hukum shalat, hukum zakat, hukum puasa, hukum haji, hukum janazah, hukum nikah, hukum jinayat, hukum jihad, hukum makanan dan minuman, hukum sumpah dan nazar, hukum pengadilan dan lain-lain.
Ahâdîts Al-Ahkâm adalah term gabungan berbentuk penyandaran (tarkîb idhâfî) yang terdiri dari dua kata (sebagai mudhâf dan mudhâf ilaih), yaitu kata alahâdîts yang kemudian dibuang al-nya sebagai mudhâf dan kata al-ahkâm sebagai mudhâf ilaih. Keduanya merupakan bentuk jamak (plural) dari masing-masing bentuk tunggalnya (singular, mufrad). Al-Ahâdîts adalah bentuk jamak dari term al-hadîts, sedangkan al-ahkâm adalah bentuk jamak dari term al-hukm. Al-Hadîts secara leksikal-etimologis (lughatan) memiliki arti hal baru atau sesuatu yang baru (al-jadîd), pengabaran (al-ikhbâr), dan dapat pula berarti kejadian (al-jiddah) yang biasanya baru terjadi pula, antonim dari hal yang lama (yuqâbilu alqadîm).
Sedangkan definisi hadits menurut ulama hadits secara terminologis (ishthilâhan) adalah:
Adapun al-hukm, maka secara leksikal-etimologis berarti larangan (alman’) atau keputusan (al-qadhâ‘), karena hukum memang berfungsi sebagai protektor yang melarang atau mencegah suatu pihak dari hal yang tidak diputuskan, atau yang bertentangan dengan ketetapannya. Hukum dalam kajian ushul fikih umumnya dimaksud sebagai hukum syariat (hukm syar’î) yang dapat didefinisikan sebagai ketentuan Allah S.W.T. yang berkaitan dengan segala perbuatan hamba yang telah diwajibkan untuk mengembannya, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun pertimbangan (khithâb Allah al-muta’allaq bi a’fâl al-mukallafîn bi al-iqtidhâ‘ au al-takhyîr au al-wadh’).
Mannâ‟ Al-Qaththân secara ringkas menyatakan bahwa kutub al-ahkâm atau kutub ahâdîts al-ahkâm adalah karya-karya yang hanya menghimpun hadits-hadits hukum (al-kutub allatî iqtasharat ’alâ ahâdîts al-ahkâm faqath), yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang syariat tentang segala perbuatan hamba. Yaitu hadits yang dipilih oleh penyusun kitab-kitab tersebut dari kitabkitab rujukan hadits, dan mereka menyusunnya berdasarkan bab-bab fikih.8 Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hadits Ahkam merupakan hadits-hadits Rasulullah S.A.W. yang dapat diterima (maqbûl) dan bisa dijadikan sebagai landasan bagi hukum fikih Islam tentang perbuatan hamba yang disyariatkan oleh Allah S.W.T.
Kemudian ketika ahâdîts al-ahkâm menjelma menjadi sebuah disiplin ilmu, maka dapat didefinisikan sebagai:
B. Manfaat Mempelajari Hadits
1. Wajah para penuntut ilmu hadits cerah dan berseri-seri.
Rasulullah bersabda:
Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H) rahimahullah berkata :“Tidak seorang pun yang menuntut dan mempelajari hadits kecuali wajahnya cerah dan berseri-seri disebabkan doa dari Nabi shallallohu alaihi wa sallam (di hadits tersebut)” (4)
2. Para penuntut ilmu hadits adalah orang yang paling banyak bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam.
Shalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wasallam adalah perintah Allah ‘Azza wa Jalla yang memiliki keutamaan yang sangat besar, Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda :
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :
Khatib Al Baghdadi (wafat 463 H) rahimahulloh berkata : Abu Nu’aim (wafat 430 H) rahimahulloh menyampaikan kepada kami : “Keutamaan yang mulia ini terkhusus bagi para perawi dan penukil hadits, karena tidak diketahui satu kelompok di kalangan ulama yang lebih banyak bershalawat kepada Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dari mereka, baik itu (shalawat) berupa tulisan ataupun ucapan”.
Menurut Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H) rahimahulloh: “Seandainya tidak ada faidah bagi shohibul hadits (penuntut ilmu hadits) kecuali bershalawat kepada Rasulullahshallallohu alaihi wa sallam (maka itu sudah cukup baginya) karena sesungguhnya dia senantiasa bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam selama nama beliau ada di dalam kitab”.
Selanjutnya Al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan (wafat 1307 H) rahimahulloh -setelah beliau menyebutkan hadits yang menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabishallallohu alaihi wa sallam – beliau berujar : “Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang paling banyak bershalawat adalah ahlul hadits dan para perawi As Sunnah yang suci, karena sesungguhnya termasuk tugas mereka dalam ilmu yang mulia ini (Al Hadits) adalah bershalawat di setiap hadits, dan senantiasa lidah mereka basah dengan menyebut (nama) Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam ….. maka kelompok yang selamat ini dan Jama’ah Hadits ini adalah manusia yang paling pantas bersama Rasulullah di hari kiamat, dan merekalah yang paling berbahagia mendapatkan syafa’at Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam …. maka hendaknya anda wahai pencari kebaikan dan penuntut keselamatan menjadi seorang Muhaddits (Ahli Hadits) atau yang berusaha untuk itu”.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu hadits tentang shalawat:
Imam As Suyuthi (wafat 911 H) rahimahulloh dalam Tadribur Rowi mengabarkan bahwa orang yang pertama kali mengajarkan (mencontohkan) penyingkatan shalawat dijatuhi hukuman potong tangan.
3. Mengadakan rihlah(perjalanan) untuk menuntut ilmu hadits memiliki keutamaan yang sangat besar
Allah shallallohu alaihi wa sallam berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS.At Taubah:122)
Yazid bin Harun (wafat 206 H) rahimahulloh bertanya kepada Hammad bin Zaid (wafat 179 H) rahimahulloh : “Wahai Abu Ismail, apakah Allah menyebut tentang Ashhabul hadits di dalam Al Quran? Beliau menjawab: “Iya, apa engkau tidak mendengar firman Allah I (beliau membaca ayat di atas), perintah ini berlaku bagi setiap yang mengadakan rihlah untuk menuntut ilmu dan fiqh lalu kembali kepada kaumnya untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada mereka”
Imam Ahmad (wafat 241 H) rahimahulloh mengatakan bahwa saya telah mendengarkan Imam Abdurrozzaq (wafat 211 H) rahimahulloh menafsirkan ayat di atas bahwa yang yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah : “Para ashhabul hadits (penuntut ilmu hadits) “
‘Ikrimah Maula Ibnu Abbas (wafat 104 H) radhiyallohu ‘anhuma menafsirkan ayat Allah di surat at Taubah ayat 112 : “Assaaihuuna” sebagai para penuntut ilmu hadits.
Ibrahim bin Adham (wafat 162 H) rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya Allah I mencegah bala'(bencana) pada ummat ini disebabkan rihlah yang dilakukan oleh para penuntut ilmu hadits”
4. Mempelajari hadits memberikan manfaat dunia dan akhirat.
Sufyan Ats Tsaury (wafat 161 H) rahimahulloh berkata : “Saya tidak mengetahui amalan yang lebih afdhal di muka bumi ini dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan dengannya wajah Allah “.
Beliau rahimahulloh juga mangatakan: “Mendengarkan hadits merupakan kebanggaan bagi yang menginginkan dengannya dunia dan merupakan petunjuk bagi yang menginginkan dengannya akhirat”
5. Mempelajari hadits sama kedudukannya dengan mempelajari Al Quran
Sulaiman At Taymi (wafat 177 H) rahimahulloh menceritakan: “Kami pernah duduk di sisi Abu Mijlas rahimahulloh dan beliau membacakan hadits kepada kami, lalu berkata salah seorang (dari kami) : Seandainya engkau membacakan surat dari Al Qur’an”. Maka berkata Abu Mijlas : “Apa yang kita lakukan sekarang ini bagiku tidaklah kurang fadhilahnya dari membaca surat Al Qur’an”.
6. Mempelajari dan meriwayatkan hadits lebih afdhal dari berbagai macam ibadah-ibadah sunnat.
Waki bin Al Jarrah (wafat 197 H) rahimahulloh berkata: “Seandainya (meriwayatkan) hadits tidak lebih afdhal dari bertasbih tentu saya tidak meriwayatkannya”.
Berkata Abu Ats Tsalj rahimahulloh: Saya bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) rahimahulloh: “Wahai Abu Abdillah, yang mana lebih kau sukai : seorang menulis hadits atau dia berpuasa sunnat dan shalat sunnat ?”. Beliau menjawab : “Menulis hadits”.
Al Khatib Al Baghdadi rahimahulloh menyimpulkan : “Mempelajari hadits pada zaman ini lebih afdhal dari seluruh ibadah-ibadah yang sunnat, disebabkan telah hilang sunnah dan orang tidak bergairah lagi dari mengerjakannya serta munculnya bid’ah-bid’ah lalu mereka (para ahli bid’ah) yang berkuasa dan mendominasi sekarang ini”.
Hadis Ahkam adalah koleksi hadis Nabi Muhammad Saw. seputar hadis-hadis tentang hukum Islam, seperti hadis tentang hukum Thaharah, hukum shalat, hukum zakat, hukum puasa, hukum haji, hukum janazah, hukum nikah, hukum jinayat, hukum jihad, hukum makanan dan minuman, hukum sumpah dan nazar, hukum pengadilan dan lain-lain.
Ahâdîts Al-Ahkâm adalah term gabungan berbentuk penyandaran (tarkîb idhâfî) yang terdiri dari dua kata (sebagai mudhâf dan mudhâf ilaih), yaitu kata alahâdîts yang kemudian dibuang al-nya sebagai mudhâf dan kata al-ahkâm sebagai mudhâf ilaih. Keduanya merupakan bentuk jamak (plural) dari masing-masing bentuk tunggalnya (singular, mufrad). Al-Ahâdîts adalah bentuk jamak dari term al-hadîts, sedangkan al-ahkâm adalah bentuk jamak dari term al-hukm. Al-Hadîts secara leksikal-etimologis (lughatan) memiliki arti hal baru atau sesuatu yang baru (al-jadîd), pengabaran (al-ikhbâr), dan dapat pula berarti kejadian (al-jiddah) yang biasanya baru terjadi pula, antonim dari hal yang lama (yuqâbilu alqadîm).
Sedangkan definisi hadits menurut ulama hadits secara terminologis (ishthilâhan) adalah:
ما أثز عن النبي صلى الله عليه وسلم من ز أو صفة خلقية أو ٍ قىل أو فعل أو ثقز خلقية أو سيرة، سىاء أكان قبل البعثة أو بعدها.
Berbagai hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah S.A.W. sebagai petunjuk, baik berupa ucapan, amal perbuatan,ketetapan, sifat fisik dan psikis (akhlak), maupun sejarah kehidupannya, baik sebelum beliau diutus sebagai rasul maupun pasca pengutusannya tersebut. Adapun al-hukm, maka secara leksikal-etimologis berarti larangan (alman’) atau keputusan (al-qadhâ‘), karena hukum memang berfungsi sebagai protektor yang melarang atau mencegah suatu pihak dari hal yang tidak diputuskan, atau yang bertentangan dengan ketetapannya. Hukum dalam kajian ushul fikih umumnya dimaksud sebagai hukum syariat (hukm syar’î) yang dapat didefinisikan sebagai ketentuan Allah S.W.T. yang berkaitan dengan segala perbuatan hamba yang telah diwajibkan untuk mengembannya, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun pertimbangan (khithâb Allah al-muta’allaq bi a’fâl al-mukallafîn bi al-iqtidhâ‘ au al-takhyîr au al-wadh’).
Mannâ‟ Al-Qaththân secara ringkas menyatakan bahwa kutub al-ahkâm atau kutub ahâdîts al-ahkâm adalah karya-karya yang hanya menghimpun hadits-hadits hukum (al-kutub allatî iqtasharat ’alâ ahâdîts al-ahkâm faqath), yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang syariat tentang segala perbuatan hamba. Yaitu hadits yang dipilih oleh penyusun kitab-kitab tersebut dari kitabkitab rujukan hadits, dan mereka menyusunnya berdasarkan bab-bab fikih.8 Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hadits Ahkam merupakan hadits-hadits Rasulullah S.A.W. yang dapat diterima (maqbûl) dan bisa dijadikan sebagai landasan bagi hukum fikih Islam tentang perbuatan hamba yang disyariatkan oleh Allah S.W.T.
Kemudian ketika ahâdîts al-ahkâm menjelma menjadi sebuah disiplin ilmu, maka dapat didefinisikan sebagai:
بحث في أقىال الزسىل وأفعاله ً علم وثقزٍزاثه، من حيث جعلقها بأفعال المكلفين بالاقحضاء أو الحخيير أو الىضع.
Ilmu tentang berbagai ucapan, amal perbuatan, dan ketetapan Rasulullah S.A.W. yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang telah menerima ketentuan hukum tersebut,baik berupa tuntutan, pilihan, maupun pertimbangan.B. Manfaat Mempelajari Hadits
1. Wajah para penuntut ilmu hadits cerah dan berseri-seri.
Rasulullah bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
“Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan sabdaku lalu memahaminya dan menghafalkannya kemudian dia menyampaikannya, karena boleh jadi orang yang membawa (mendengarkan) fiqh akan menyampaikan kepada yang lebih paham darinya” Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H) rahimahullah berkata :“Tidak seorang pun yang menuntut dan mempelajari hadits kecuali wajahnya cerah dan berseri-seri disebabkan doa dari Nabi shallallohu alaihi wa sallam (di hadits tersebut)” (4)
2. Para penuntut ilmu hadits adalah orang yang paling banyak bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam.
Shalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wasallam adalah perintah Allah ‘Azza wa Jalla yang memiliki keutamaan yang sangat besar, Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda :
أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً
“Manusia yang terdekat dariku di hari kiamat adalah orang yang terbanyak bershalawat kepadaku”Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali”Khatib Al Baghdadi (wafat 463 H) rahimahulloh berkata : Abu Nu’aim (wafat 430 H) rahimahulloh menyampaikan kepada kami : “Keutamaan yang mulia ini terkhusus bagi para perawi dan penukil hadits, karena tidak diketahui satu kelompok di kalangan ulama yang lebih banyak bershalawat kepada Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dari mereka, baik itu (shalawat) berupa tulisan ataupun ucapan”.
Menurut Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H) rahimahulloh: “Seandainya tidak ada faidah bagi shohibul hadits (penuntut ilmu hadits) kecuali bershalawat kepada Rasulullahshallallohu alaihi wa sallam (maka itu sudah cukup baginya) karena sesungguhnya dia senantiasa bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam selama nama beliau ada di dalam kitab”.
Selanjutnya Al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan (wafat 1307 H) rahimahulloh -setelah beliau menyebutkan hadits yang menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabishallallohu alaihi wa sallam – beliau berujar : “Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang paling banyak bershalawat adalah ahlul hadits dan para perawi As Sunnah yang suci, karena sesungguhnya termasuk tugas mereka dalam ilmu yang mulia ini (Al Hadits) adalah bershalawat di setiap hadits, dan senantiasa lidah mereka basah dengan menyebut (nama) Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam ….. maka kelompok yang selamat ini dan Jama’ah Hadits ini adalah manusia yang paling pantas bersama Rasulullah di hari kiamat, dan merekalah yang paling berbahagia mendapatkan syafa’at Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam …. maka hendaknya anda wahai pencari kebaikan dan penuntut keselamatan menjadi seorang Muhaddits (Ahli Hadits) atau yang berusaha untuk itu”.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu hadits tentang shalawat:
- Tidak boleh seorang penuntut ilmu hadits bosan dan jemu dengan seringnya bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam, karena itulah letak keutamaan penuntut ilmu hadits.
- Bershalawat hendaknya dipadukan antara tulisan dan ucapan.
- Tidak boleh menyingkat ketika menuliskan shalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam.
Imam As Suyuthi (wafat 911 H) rahimahulloh dalam Tadribur Rowi mengabarkan bahwa orang yang pertama kali mengajarkan (mencontohkan) penyingkatan shalawat dijatuhi hukuman potong tangan.
3. Mengadakan rihlah(perjalanan) untuk menuntut ilmu hadits memiliki keutamaan yang sangat besar
Allah shallallohu alaihi wa sallam berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS.At Taubah:122)
Yazid bin Harun (wafat 206 H) rahimahulloh bertanya kepada Hammad bin Zaid (wafat 179 H) rahimahulloh : “Wahai Abu Ismail, apakah Allah menyebut tentang Ashhabul hadits di dalam Al Quran? Beliau menjawab: “Iya, apa engkau tidak mendengar firman Allah I (beliau membaca ayat di atas), perintah ini berlaku bagi setiap yang mengadakan rihlah untuk menuntut ilmu dan fiqh lalu kembali kepada kaumnya untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada mereka”
Imam Ahmad (wafat 241 H) rahimahulloh mengatakan bahwa saya telah mendengarkan Imam Abdurrozzaq (wafat 211 H) rahimahulloh menafsirkan ayat di atas bahwa yang yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah : “Para ashhabul hadits (penuntut ilmu hadits) “
‘Ikrimah Maula Ibnu Abbas (wafat 104 H) radhiyallohu ‘anhuma menafsirkan ayat Allah di surat at Taubah ayat 112 : “Assaaihuuna” sebagai para penuntut ilmu hadits.
Ibrahim bin Adham (wafat 162 H) rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya Allah I mencegah bala'(bencana) pada ummat ini disebabkan rihlah yang dilakukan oleh para penuntut ilmu hadits”
4. Mempelajari hadits memberikan manfaat dunia dan akhirat.
Sufyan Ats Tsaury (wafat 161 H) rahimahulloh berkata : “Saya tidak mengetahui amalan yang lebih afdhal di muka bumi ini dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan dengannya wajah Allah “.
Beliau rahimahulloh juga mangatakan: “Mendengarkan hadits merupakan kebanggaan bagi yang menginginkan dengannya dunia dan merupakan petunjuk bagi yang menginginkan dengannya akhirat”
5. Mempelajari hadits sama kedudukannya dengan mempelajari Al Quran
Sulaiman At Taymi (wafat 177 H) rahimahulloh menceritakan: “Kami pernah duduk di sisi Abu Mijlas rahimahulloh dan beliau membacakan hadits kepada kami, lalu berkata salah seorang (dari kami) : Seandainya engkau membacakan surat dari Al Qur’an”. Maka berkata Abu Mijlas : “Apa yang kita lakukan sekarang ini bagiku tidaklah kurang fadhilahnya dari membaca surat Al Qur’an”.
6. Mempelajari dan meriwayatkan hadits lebih afdhal dari berbagai macam ibadah-ibadah sunnat.
Waki bin Al Jarrah (wafat 197 H) rahimahulloh berkata: “Seandainya (meriwayatkan) hadits tidak lebih afdhal dari bertasbih tentu saya tidak meriwayatkannya”.
Berkata Abu Ats Tsalj rahimahulloh: Saya bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) rahimahulloh: “Wahai Abu Abdillah, yang mana lebih kau sukai : seorang menulis hadits atau dia berpuasa sunnat dan shalat sunnat ?”. Beliau menjawab : “Menulis hadits”.
Al Khatib Al Baghdadi rahimahulloh menyimpulkan : “Mempelajari hadits pada zaman ini lebih afdhal dari seluruh ibadah-ibadah yang sunnat, disebabkan telah hilang sunnah dan orang tidak bergairah lagi dari mengerjakannya serta munculnya bid’ah-bid’ah lalu mereka (para ahli bid’ah) yang berkuasa dan mendominasi sekarang ini”.
0 comments:
Post a Comment