Pengertian Filsafat Hukum dan Manfaat Mempelajarinya

A. PENGERTlAN FILSAFAT, PEMBIDANGAN FILSAFAT DAN LETAK FILSAFAT HUKUM
Secara historis zaman terus berkembang melalui hierarkis perkembangan yang terus dibarengi pula dengan perubahan-perubahan sosial, dimana dua hal ini selalu berjalan beriringan. Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas, menjadi hal yang problematis ketika ia hidup dalam komunitas sosial. Kemerdekaan dirinya mengalami benturan dengan kemerdekaan individu-individu lain atau bahkan dengan makhluk yang lain. Sehingga ia terus terikat dengan tata kosmik, bahwa bagaimana ia harus berhubungan dengan orang lain, dengan alam, dengan dirinya sendiri maupun dengan Tuhannya. Maka muncullah tata aturan, norma atau nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang harus ditaati. Semacam hal tersebut di ataslah peradaban manusia dimulai, dimana manusia harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. la harus memegangi nilai-nilai aturan yang berlaku mengatur hidup manusia.

Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat, mempunyai beberapa cabang ilmu utama . Cabang ilmu utama dari filsafat adalah ontologi, epistimologi, tentang nilai (aksiologi), dan moral (etika). Ontologi (metafisika) membahas tentang hakikat mendasar atas keberadaan sesuatu. Epistimologi membahas pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asalnya (sumber) dari mana sajakah pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh manusia itu dan bagaimanakah susunan pengetahuan yang sudah diperoleh manusia. Ilmu tentang nilai atau aksiologi adalah bagian dari filsafat yang khusus membahas mengenai hakikat nilai berkaitan dengan sesuatu. Sedangkan filsafat moral membahas nilai berkaitan dengan tingkah laku manusia dimana nilai disini mencakup baik dan buruk serta benar dan salah.

Berfilsafat adalah berpikir radikal, radix artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan diluar sesuatu yang fisik (Asy'arie, 2002: 3). Berfilsafat adalah berpikir dalam tahap makna, ia mencari hak ikat makna dari sesuatu, Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu . Dalam filsafat, seseorang mencari dan menemukan jawaban dan bukan hanya dengan memperlihatkan penampakan (appearance) semata, melainkan menelusurinya jauh dibalik penarnpakan itu dengan maksud menentukan sesuatu yang disebut nilai dari sebuah realitas.

Filsafat memiliki objek bahasan yang sangat luas, meliputi semua hal yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia, dan berusaha memaknai dunia dalam hal makna (Anshori, 2005: 3). IImu hukum memiliki ruang lingkup yang terbatas, karena hanya mempelajari tentang norma atau aturan (hukum). Banyak persoalan-persoalan berkenaan dengan hukum membangkitkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang memerlukan jawaban mendasar, Pada kenyataannya banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tidak dapat dijawab lagi oleh ilmu hukum. Persoalan-persoalan mendasar yang tidak dijawab oleh ilmu hukum menjadi objek bahasan ilmu filsafat. Filsafat mernpunyai objek berupa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia (Anshori, 2005: 4).

Konsep hukum mungkin dapat dikatakan mempunyai pengertian yang ambigu, dwiarti, sehingga dapat menimbulkan kekeliruan pengertian, baik secara intelektual maupun secara moral. Dapat dikatakan ada dua macarn hukum, yaitu hukum yang deskriptif dan hukum yang preskript if. Hukum yang deskriptif - decriptive laws - adalah hukum yang menunjukkan sesuatu itu dapat terjadi, misalnya hukum gravitasi, hukum Arehimedes atau hukum yang berhubungan dengan ilmu-ilmu kealaman. Di samping itu, dapat pula terpikirkan oleh kita mengenai hukum yang telah ditentukan atau hukum yang memberi petunjuk - precriptive law - misalnya hukum yang diatur oleh para otoritas yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan, Hukum inilah yang merupakan bahan penelitian filsafat hukum, sedangkan hukum yang deskriptif menjadi objek penelitian ilmu pengetahuan (Asdi , 1998: 2-3).

Dalam konteks umum kesalehan banyak dikaitkan dengan ketaatan kepada ketentuan hukum. Namun kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum akan banyak berurusan dengan tingkah laku manusia, dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal-hal batiniah (Madjid, 1992: 256). Dengan kata lain, orientasi hukum lebih berat mengarah pada dimensi eksoteris, dengan kemungkinan mengabaikan dimensi esoteris. Divergensi antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri (eksoteris) dan batini (esoteris) memunculkan cabang ilmu yang berbeda, yaitu syariah (hukum) dan thariqah (tasawuj).

B. PENGERTlAN FILSAFAT HUKUM, MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM, DAN KEDUDUKAN FILSAFAT HUKUM DALAM KONSTELASI ILMU
1. Pengertian Filsafat Hukum
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mernpelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.

Pertanyaan tentang "apa (hakikat) hukum itu?" sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan temyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldoorn (1985) hal tersebut tidak lain karena hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak.

Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu, pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia lain (sol/en dan mogeni, sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa-apa yang diuraikan diatas, seperti hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai kepada masalah-masalah filsafat hukum yang ramai dibicarakan saat ini (oleh sebagian orang disebut masalah filsafat hukum kontemporer, suatu istilah yang kurang tepat, mengingat sejak dulu masalah tersebut juga telah diperbincangkan) seperti masalah hak asasi manusia dan etika profesi hukum. Tentu saja tidak semua masalah atau pertanyaan itu akan dijawab dalam perkuliahan filsafat hukum. Sebagaimana telah disinggung dimuka, filsafat hukum memprioritaskan pembahasannya pada pertanyaan-pertanyaan yang dipandang pokok-pokok saja.

Apeldoom (1985) misalnya menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu:
  1. apakah pengertian hukum yang berlaku umum;
  2. apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum; dan
  3. apakah yang dimaksud dengan hukum kodrat.
Lili Rasyidi (1990) menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain:
  1. hubungan hukum dan kekuasaan;
  2. hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya;
  3. apa sebab negara berhak menghukum seseorang;
  4. apa sebab orang menaati hukum;
  5. masalah pertanggungjawaban;
  6. masalah hak milik;
  7. masalah kontrak; dan
  8. masalah peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.
Jika kita bandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldoom dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah. Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni filsafat hukum. Pada jaman dulu, filsafat hukum hanyalah produk sampingan di antara sekian banyak objek penyelidikan para filsuf. Pada masa sekarang, filsafat hukum sudah menjadi produk utama yang dibahas sendiri oleh para ahli hukum.

Sebagai catatan tambahan, dalam banyak tulisan filsafat hukum sering diidentikkan dengan jurisprudence yang diajarkan terutama di fakultas-fakultas hukum di Amerika Serikat. Istilah jurisprudence (bahasa Inggris) atau jurisprudenz (bahasa Jerman) sudah digunakan dalam Codex Iuris Civilis di zaman Romawi. Istilah ini dipopulerkan terutama oleh penganut aliran positivisme hukum.

Kata jurisprudence harus dibedakan dengan kata yuriprudensi sebagaimana dikenal daIam sistem hukum Indonesia dan Eropa Kontinental pada umumnya, dimana istilah yurisprudensi lebih menunjuk pada putusan hakim yang diikuti hakim-hakim lain. Huijbers (1988) menyatakan, .... di lnggris jurisprudence berarti ajaran atau ilmu hukum. Maka nampaklah bahwa penganut-penganut positivisme yuridis tidak mau bicara mengenai suatu filsafat hukum. Oleh mereka kata jurisprudensi (sic!) dianggap lebih tepat, yakni suatu kepandaian dan kecakapan yang tinggal dalam batas ilmu hukum.

Agar tidak membingungkan sebaiknya istilah jurisprudence tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (seperti yang dilakukan Huijbers di atas menjadi yurisprudensi), tetapi tetap dipertahankan dalam ejaan aslinya. Menurut Richard A Posner (19 94) yang dimaksud dengan jurisprudence adalah

... the most fundamental. general, and theoritical plain of analyses of the social phenomenon called law. For the most part it deals with problems and use perspectives, remote from daily concerns of legal practioners ; problem that cannot be solved by reference to or by reasoning from conventional legal materials; perspective that cannot be reduced to legal doctrines or to legal reasoning. Many of the problems ofjurisprudence cross doctrinal, temporal and national boundaries.

'" yang paling mendasar, umum, dan merupakan analisis teoritis dari suatu fenomena sosial yang disebut dengan hukum. Pada sebagian besar bagiannya sesuai dengan masalah dan menggunakan berbagai macam pandangan seperti remote dari masalah keseharian yang sering dihadapi para praktisi hukum, masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan rujukan atau jawaban-jawaban dari sumber hukum biasa, yaitu pandangan yang tidak dapat direduksi dalam doktrin hukum. Banyak dari masalah-masalah jurisprudence yang bersifat lintas doktrin, temporal dan national bounderies .

Lalu filsafat diartikannya dengan:
'" the name we give to the analysis of fundamental questions , thus the traditional definition ofjur/sprudence as the philosophy of law. or as the application of philosophy of law, is primafacie appropriate.

... nama tersebut kita berikan untuk menganalisis pertanyaan-pertanyaan mendasar, jadi pengertian tradisional dari jurisprudence adalah filsafat hukum, atau penerapan dari filsafat hukum, yaitu primafacie appropriate.

Jadi Posner sendiri tidak membedakan pengertian dari dua istilah itu, sekalipun banyak juga para ahli hukum yang mencoba mencari distingsi dari keduanya. Hanya saja sebagaimana dikatakan oleh Lili Rasyidi (1988) sekalipun ada perbedaan antara keduanya, tetap sukar untuk mencari batas-batasnya yang tegas.

2. Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum
Bagi sebagian besar mahasiswa, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah: apakah manfaatnya mempelajari filsafat hukum itu? Apakah tidak cukup mahasiswa dibekali dengan ilmu hukum saja? Seperti telah disinggung di muka, filsafat (termasuk dalam hal ini filsafat hukum) memiliki tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh. Dengan cara berpikir yang holistik tersebut, mahasiswa atau siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. itulah sebabnya dalam filsafat hukum pun diajarkan berbagai aliran pemikiran tentang hukum.

Dengan demikian apabila mahasiswa tersebut telah lulus sebagai sarjana hukum umpamanya, diharapkan ia tidak akan bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Ciri yang lain, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar. Artinya dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Mereka yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata.

Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif semata tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik apabila ia menjadi hakim, misalnya di khawatirkan ia akan menjadi "corong undang-undang" belaka.

Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagaimana dinyatakan oleh Suriasumantri (1985) bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru.

Memang salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal baru, Tentu saja tindakan spekulatif yang dirnaksud disini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama.

Ciri lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mernpertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah.

Sebagai bagian dari filsafat tingkah laku, mata kuliah filsafat hukum juga memuat materi tentang etika profesi hukum. Dengan mempelajari etika profesi tersebut, diharapkan para calon sarjana hukum dapat menjadi pengemban amanat luhur profesinya. Sejak dini mereka diajak untuk memahami nilai-nilai luhur profesi tersebut dan memupuk terus idealisme mereka. Sekalipun disadari bahwa dalam kenyataannya mungkin saja nilai-nilai itu telah ,mengalami penipisanpenupisan.

Seperti yang diungkapkan oleh Radhakrishnan dalam bukunya The History of Philosophy, manfaat mempelajari filsafat (tentusaja termasuk mempelajari filsafat hukum) bukan hanya sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya (Poerwartana, 1988).

3. Ilmu-ilmu yang Berobjek Hukum
Setelah memahami filsafat hukum dengan berbagai sifatnya, perlu juga diketahui keterkaitan antara filsafat hukum ini dengan ilmu. ilmu lain yang juga berobjek hukum. Suatu pembidangan yang agak lengkap tentang ilrnu-ilmu yang objeknya hukum diberikan oleh Pumadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1989).

Istilah "disiplin hukum" sendiri sebenamya dialihbahasakan oleh Pumadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dari kata legal theory, sebagaiman dimaksudkan oleh W. Friedmann. Hal ini tampak dalam terjemahan karya Friedmann oleh Pumadi Purbacarakan dan Chidir Ali (1986) yang diberi kata sambutan oleh Soerjono Soekanto. Penerjemahan legal theory dengan "disiplin hukum" disini mungkin akan membingungkan, mengingat untuk istilah yang sama oleh penerjemah lain (Mohammad Arifin, 1990) digunakan istilah "teori hukum".

Disiplin hukum oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali diartikan sama dengan teori hukum dalam arti luas yang mencakup politik hukum, filsafat hukum dan teori hukum dalam arti sempit. Teori hukum dalam arti sempit inilah yang disebut dengan ilmu hukum.

Ilmu hukum dibedakan menjadi ilmu tentang norma (normwissenschafii, ilmu tentang pengertian hukum (begriffenwissenschafii; dan ilmu tentang kenyataan hukum (tatsach enwissenschaft). Ilmu tentang norma antara lain membahas tentang perumusan norma hukum, apa yang dimaksud norma hukum abstrak dan konkrit itu, isi dan sifat norma hukum, essensialia norma hukum, tugas dan kegunaan norma hukum, pemyataan dan tanda pernyataan norma hukum, penyimpangan terhadap norma hukum dan keberlakuan norma hukum.

Selanjutnya ilmu tentang pengertian hukum antara lain membahas tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, subyek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dan hubungan hukum. Kedua jenis ilmu ini disebut dengan ilmu tentang dogmatik hukum. Ciri dogmatik hukum tersebut adalah teoritis rasional dengan menggunakan logika deduktif.

Ilmu tentang kenyataan hukum antara lain: Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Perbandingan Hukum dan Sejarah Hukum. Sosiologi Hukum mempelajari secara empiris dan analitis hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala dengan gejala-gejala sosial lainnya. Antropologi Hukum mempelajari pola pola sengketa dan penyelesaiannya baik pada masyarakat sederhana maupun masyarakat yang sedang mengalami proses modemisasi. Psikologi Hukum mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia. Perbandingan Hukum adalah cabang ilmu (hukum) yang memperbandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di dalam sesuatu atau beberapa masyarakat. Sejarah Hukum mempelajari tentang perkembangan dan asal-usul dari sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu. (Purbacaraka dan Soekanto, 1989). Berbeda dengan ilmu tentang norma dan ilmu tentang pengertian hukum, ciri ilmu tentang kenyataan ilmu ini adalah teoritis empiris dengan menggunakan logika induktif.

Politik Hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai. Filsafat Hukum adalah perenungan dan perumusan nila-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan (materialisme) dan keakhlakan (idealisme), antara kelanggengan nilai-nilai lama (konservatisme) dan pembaharuan (Purbacaraka dan Soekanto, 1989). Dapat pula ditambahkan bahwa politik hukum selalu berbicara tentang hukum yang dicitacitakan (Jus Constituendunu dan berupa menjadikannya sebagai hukum positif (Jus Constitutuniy pada suatu masa mendatang.

Dari pembidangan yang diuraikan di atas, tampak bahwa filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang dari filsafat hukum tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum, karena yang satu mencakup yang lainnya. Satjipto Raharjo (1986) menyatakan bahwa teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.

Teori hukum memang berbicara tentang banyak hal yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, ilmu hukum atau kombinasi dari ketiga bidang itu . Karena itulah teori hukum dapat saja pada suatu ketika membicarakan sesuatu yang bersifat universal, tetapi tidak tertutup kemungkinan ia berbicara mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu. Uraian tentang filsafat hukum dan teori hukum di atas kiranyaakan berguna dalam rangka menjelaskan kelak mengenai apa dan dimana letak filsafat hukum dan teori hukum Indonesia.

Pustaka
Anshori, Abdul Ghofur, 2005, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII Press.
Asdi, Endang Daruni, 1990, Impertif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant, Yogyakarta: Lukman Offset.
Asy'ari, Musa, 2002, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, cet 3.
Madjid, Nurcholish, 2000, Masyarakat Relights , Jakarta: Penerbi t Paramadina, cet 11.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger