Dalalah Al-Ibarah

Hukum Syara’ adalah kehendak dari Allah SWT, karena Dialah yang mengatur, membaurkan dan mensistematisaskan hukum tersebut bagi umat manusia yang seluruhnya termaktub dalam Alquran. Alquran adalah sumber utama, pertama dan sumber pokok bagi hukum Islam. Alquran merupakan sumber dari segala sumber hukum. Darinya ditimba hukum-hukum lain. Hukum dan undang-undang buatan umat Islam tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah hukum Alquran.

Dalam menggali, mengetahui dan mengeluarkan hukum yang terkandung di dalam Alquran diperlukan berbagai macam ilmu, cara dan metode. Salah satunya adalah dengan melihat dalalah (tunjukan) lafaz Alquran itu sendiri. Pembahasan tentang dalalah nash-nash Alquran sangat penting guna memahami dengan benar maksud dan tujuan dari nash-nash tersebut.

Ulama membagi dalalah/dilalah kepada dua bagian yaitu dalalah lafziah dan ghoiru lafzhiyah. Dalalah lafzhiyah dalam pengertian ini ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dalalah ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dalalah ghairu lafzhiyah ini dikalangan Hanafiyah disbut “dalalah sukut” atau disebut juga dengan “bayan al-dharurah”.[1]

Ulama Hanafiyah membagi dalalah lafzhiyah kepada berbagai macam diantaranya adalah, pertama, dalalah ibarah (ibarah al-Nash) yaitu pemahaman terhadap makna lafaz secara harfiyah yang dipahami dari satuan-satuan kalimat[2], kedua, dalalah isyarah yang didefenisikan oleh Dr. Musthafa Sai’d Alkhin dengan “Penunjukkan lafaz terhadap hukum yang tidak dimaksud, tetapi merupakan kelaziman bagi hukum yang berhubungan dengan bentuk kalam yang dipahami.[3]

Ketiga, dalalah an-nash yaitu tunjukan lafaz terhadap penetapan hukum yang dikatakan dengannya (manthuq bihi) bagi hukum yang dipahami dari padanya (maskut anhu) karena adanya makna yang diketahui setiap orang dalam bahasa mantuq bihi tanpa memerlukan penelitian yang mendalam dan ijtihad yang sungguh-sungguh[4]. Dan yang keempat dalalah al-Iqtidho yaitu penunjukkan lafaz terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengaan mentakdirkan lafaz yang lain.[5]

Dari keempat pembagian dalalah lafzhiyah yang diungkapkan diatas, makalah ini fokus terhadap pembahasan pada pembagian yang pertama yaitu dalalah al-’ibarah yaitu pemahaman terhadap makna lafaz secara harfiyah yang bersumber dari kalimah nash Alquran itu sendiri.

A. Pengertian Dalalah al-‘Ibarah
Secara etimologi dalalah berasal dari kata “dalla-yadullu-dallan-dalalan-dalalatan yang berarti: menunjukkan, menuntun[6] arti dalalah secara umum adalah “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk dan kata sesuatu yang kedua disebut dalil (yang menjadi petunjuk). Contohnya dalam kalimat “asap menunjukkan adanya api”, asap merupakan petunjuk keberadaan api. Asap merupakan dalil dan api adalah madlulnya.[7]

Sedangkan al-’ibarah menurut asal katanya adalah ism dari ‘abbara yang bermakna ibarat, perkataan, gaya berkata (bahasa), penjelasan dan keterangan[8] ‘ibarah dalam Alquran berarti lafaz, kata-kata, nash atau kalimat yang terkandung didalamnya.

Dalalah al-’ibarah atau yang terkadang disebut dengan ‘ibarah an-nash bermakna dalalah lafaz yang maknanya langsung dapat dipahami dari kalimatnya atau bentuk lafaznya sendiri, baik makna yang dimaksud dari bentuk lafaz secara asli maupun dikehendaki secara pengikutan. Maksud dari asli adalah makna sebenarnya dari diucapkannya lafaz, sedangkan pengikutan diartikan sebagai makna kedua dari tujuan dinyatakannya suatu lafaz tersebut .[9]

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, yang dimaksud dengan dalalah al-’ibarah adalah tunjukkan lafaz terhadap makna yang segera dapat dipahami dari bentuk lafaz itu sendiri, baik makna yang dimaksud dari bentuk lafaz secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan. Jelasnya adalah pemahaman terhadap makna lafaz harfiyah yang dipahami dari satuan-satuannya.[10]

Ulama Ushul fiqh tidak membedakan antara maksud dari makna yang asli dan makna yang mengikuti. Mereka menerangkan bahwa jika terdapat suatu nash dan dengan lafaznya menunjukkan suatu hukum, maka pemaknaan yang pertama dari nash tersebut adalah makna asli (asal) dari nash tersebut. jika lafaz nash tersebut memberikan pemaknaan hukum yang kedua itu disebut dengan makna pengikutan. Kedua-duanya merupakan dalalah al-’ibarah atau dalalah an-nash.[11]

B. Contoh-Contoh dari Dalalah al-’Ibarah.
Contoh-contoh nash untuk menunjukkan dalalah al-’ibarah sangat banyak terdapat pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Disini dipaparkan sebagian darinya diantaranya adalah :

1. Firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Isra’ ayat 33 :

ولاتقتلو النفس التى حرم الله إلا بالحق
Artinya :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.

Ayat ini ungkapan lafaz dan ibarahnya tertuju kepada satu hukum, yaitu hukum haram bagi membunuh orang lain tanpa ada alasan yang benar. Hal ini dengan jelas dapat kita pahami dari makna susunan ayat tersebut yang melarang untuk melakukan pembunuhan tanpa alas an yang dapat dibenarkan oleh syari’at.

2. Firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Baqarah ayat : 196 ,

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Artinya :
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah menghilangkan kemungkinan sepuluh ini diartikan secara lain. Inilah yang dimaksud dengan dalalah al-’ibarah. Beberapa sumber menyebutkan bahwasanya jarang sekali terdapat dalalah al-’ibarah ini dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Akan tetapi Imam Haramain menyanggah pendapat ini. Ia berkata tujuan utama dari dalalah al-’ibarah ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti dengan menghilangkan segala ta’wil dan kemungkinan makna lain yang muncul. Yang demikian ini sekalipun jarang terjadi bila dilihat dari bentuk lafaz yang mengacu kepada bahasa, akan tetapi betapa banyak lafaz tersebut karena ia disertai qarinah haliyah dan maqaliyah.

3. Firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 275 :

واحل الله البيع وحرم الربا
Artinya : “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Ayat ini dari segi dalalah al-’ibarahnya dapat dipahami dalam dua makna yang setiap dari pemaknaan tersebut diambil dari teks nash diatas.

pertama, menjelaskan bahwa jual beli itu adalah halal sedangkan riba itu haram. Ini adalah makna asal atau asli dari ayat diatas

Kedua, menafikan persamaan antara jual beli dan riba. Dengan makna lain bahwa jual beli itu adalah bukan seperti riba. Jual beli adalah halal sedangkan riba itu haram. Karena Ayat ini untuk menolak perkataan orang yang musyrik yang mengatakan bahwa jual beli itu sama seperti riba. Seperti dalam firman Allah swt. dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 275 :

إنما البيع مثل الربا
Artinya : “Sesungguhnya jual beli itu seperti riba”.

Pemaknaan ini adalah pemaknaan ikutan, maksudnya adalah bahwa bentuk kalimat tersebut bukanlah untuk menjelaskan makna asli lafaz itu tetapi sebagi pengikutan, dengan argumentasi bahwa nash itu memungkinkan (bisa saja) untuk menafikan persamaan tanpa menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba. Maka tatkala disebutkan makna ini, menunjukkan bahwa itu merupakan makna pengikutan dari bentuk ayat yang gunanya untuk memberikan pemahaman terhadap makna asli ayat itu.

Ayat ini memberikan pemahaman tentang perbedaan antara jual deli dan riba dan penafian terhadap penyamaan keduanya sesuai dengan pengungkapan orang-orang musyrik seperti dalam ayat diatas. Dan makna ini adalah pemaknaan ikutan dari ayat tersebut.[12]

4. Firman Allah swt. dalam Alquran surah an-Nisa ayat 3 :

وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Artinya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..

Sesungguhnya ayat ini nash / teksnya memberikan penunjukkann kepada beberapa hukum diantaranya adalah :
  1. Dibolehkannya menikah.
  2. Dibolehkannya menikahi wanita lebih dari satu (poligami) hingga berjumlah empat.
  3. Kewajiban untuk hanya memiliki isteri satu jika ditakutkan suami tidak dapat berlaku adil ketika berpoligami
Ketiga pemaknaan hukum ini ditunjukkan secara langsung dan jelas oleh nash Alquran tersebut dengan bentuk yang jelas.

Namun ketiga pemaknaan hukum yang diistinbath dari ayat ini tidak seluruhnya asli lafaznya. Bolehnya berpoligami dengan beristerikan lebih dari satu namun dibatasi hingga berjumlah empat saja dan mencukupkan untuk beristeri hanya satu jika takut tidak dapat berlaku adil merupakan maksud asli dari ayat tersebut.


Sedangkan pemaknaan hukum yang ketiga yaitu bolehnya nikah adalah makna ikutan dari kedua pemaknaan sebelumnya. Hal ini dapat dipahami dari asbabun nuzul yang diriwayatkan oleh Thabari dari as-Sa’di bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “mereka keras dalam urusan anak yatim namun tidak keras dalam urusan wanita, mereka menikahi beberapa isteri namunn tidak berlaku adil diantara mereka”.[13]

C. Hukum Dalalah Al-’ibarah.
Hukum dalalah al-’ibarah adalah qoth’i, yaitu jelas pemahamannya dan mengandung arti yang dapat diambil / dipahami melalui kalimat atau nash yang tersusun. Dalalah al-’ibarah wajib diamalkan tanpa ada sedikitpun keraguan dan kebimbangan didalamnya.[14]

Pemahaman dengan menggunakan Dalalah al-’ibarah ini lebih lemah bila dibandingkan dengan dalalah an-Nash dan lebih kuat dari dalalah al-Isyarah. Jika dalalah al-’ibarah bertentangan dengan dalalah isyaarah maka yang diutamakan adalah dalalah al-’ibarah.

Dalalah nash adalah dalalah yang paling terkuat, sehingga dimungkinkan jika terdapat beberapa hukum dalam pemaknaan lafaz nash-nash Alquran yang bertentangan dengannya, maka yang lebih diutamakan adalah pemahaman hukum yang menggunakan dalalah al-nash.[15]

===============
Footnote:
[1]Muhammad Khudari Bek, Ushul fiqh (Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1969), h. 118.
[2]Abd. Al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqih (Baghdad : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993), hal 351.
[3]Dr. Musthafa Sai’d Alkhin, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi ikhtilaf al-Fuqaha” (Beirut: Muassah al-Risalah, 1981), hal. 129.
[4]Musthafa Sa’id al-Khin, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi ikhtilaf al-fuqaha (Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1981), hal. 129.
[5]Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 150.
[6]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab –Indonesia (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), hal. 417.
[7]Taqiyuddin al-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-Munhaj (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), h. 204.
[8]Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 888.
[9]Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu (Damaskus, Dar an-Nafais, 1994), hal, 362.
[10]Abd. Al-Karim Zaidan, al-Wajiz pi Ushul Fiqh, hal. 351.
[11]Khalid Abd Rahman, Ushul Tafsir.., hal. 362.
[12]Abdul Majid Mahmud Mathlub, Ushul al-Fiqh al-Islami (Kairo : Dar an-Nahdhoh al-Arabiyah, 1991), hal. 274.
[13]Abdur Rahman, Ushul Tafsir.., hal 363.
[14]Ibid, h. 364.
[15]Ibid.

==============
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khin, Musthafa Sa’id. Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi ikhtilaf al-fuqaha. Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1981.

Al-Subki, Taqiyuddin. al-Ibhaj fi Syarh al-Munhaj. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.

Bek, Muhammad Khudari Ushul fiqh. Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1969.

Mathlub,Abdul Majid Mahmud. Ushul al-Fiqh al-Islami. Kairo : Dar an-Nahdhoh al-Arabiyah, 1999.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab –Indonesia. Surabaya : Pustaka Progressif, 1997.

Rahman, Syeikh Khalid Abdur Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu. Damaskus, Dar an-Nafais, 1994.

Zahrah, Muhammad Abu. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

Zaidan, Abd. Al-Karim al-Wajiz fi Ushul al-Fiqih. Baghdad : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger