Ada ribuan, jutaan, bahkan lebih dari itu tentang sesuatu yang pada mulanya tidak dipersoalkan. Tidak dipersoalkan karena dianggap sudah jadi dan selesai, yang karena itu diterima selaku benar (taken for granted), ketika dipertanyakan, ternyata belum selesai, sebab tidak sepenuhnya benar. Salah satu di antaranya adalah pertanyaan tentang apa itu pengetahuan yang menjadi topik utama tulisan ini.
Memang begitulah, pada berbagai level sosial, mempertanyakan hal-hal yang selama ini dianggap sudah mapan dan diterima (given) bagi sebagian orang dinilai iseng, kurang pekerjaan, manfaatnya apa dan seterusnya. Padahal pengalaman manusia membuktikan, ketika manusia berhenti bertanya, pada saat itulah kehidupan menjadi lamban atau berputar di tempat.
Pada konteks sosial, penindasan selalu terjadi di tempat gelap. Gelap karena pertanyaan dibungkam, sehingga tidak ada cahaya. Di mana saja penindasan bisa terjadi kalau pertanyaan dibungkam. Karena itu, salah satu cara menghindari penindasan adalah dibebaskannya orang mempertanyakan apa saja.
Karena itu membuka diskursus tentang pengetahuan, apalagi bisa dieksplorasi secara luas dan dalam serta melibatkan orang dari berbagai kalangan, bukan hanya sekadar memperluas cakrawala individu, kegiatan itu juga sekaligus membuka ruang bagi setiap orang untuk bertanya. Jika dikaitkan dengan salah satu issu penting yang diusung modernisme, itu berarti menyemai tumbuhnya demokrasi.
Berkaitan dengan topik pengetahuan manusia, ada kisah klasik yang menarik, yaitu apa yang pernah dilakukan berabad-abad silam oleh filsuf Muslim, Muhammad Abu Bakr Ibn Tufayl. Filosof kelahiran Guadix, Spanyol pada 1110 M ini mengemas pandangan filsafatnya pada novel bertajuk Hayy Ibn Yaqzan (The Living Son of Vigilant). Karyanya terinspirasi oleh murid Ibnu Sina yang bernama Hayy Ibn Yaqzan, Salaman serta Absal.
Kerangka karya Tufayl berasal dari cerita kuno di dunia timur, yaitu The Story of the Idol and of the King and His Daughter. Secara garis besar, ia menggambarkan tentang pengetahuan manusia, yang muncul dari sebuah kekosongan. Kemudian ia menemukan pengalaman mistik melalui hubungan dengan Tuhan. Melalui karyanya tersebut, Ibn Tufayl berupaya melakukan rekonsiliasi antara agama dan spekulasi rasional. Ia berupaya mempertemukan filsafat dan agama.
Karyanya diterjemahkan ke bahasa Latin, Spanyol, Prancis, Indonesia, dan beberapa bahasa lain. Karyanya dinilai memiliki pengaruh besar bagi kebangkitan filsafat. Ia wafat pada 1185 M di Maroko.
A. PENGETAHUAN DENGAN ILMU BERBEDA
Bahasa Indonesia sering menyamakan saja arti antara pengetahuan dan ilmu, bahkan dari dua kata itu muncul kata majemuk ‘ilmu pengetahuan’. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ilmu disamakan saja artinya dengan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan.
Tidak demikian halnya pada tulisan ini, keduanya dibedakan secara jelas. Membantu untuk membedakannya diperlukan informasi lain dari segi bahasa. Pada Kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily, knowledge diartikan pengetahuan. Contoh, his knowledge astounds me (pengetahuannya mengagumkan saya). Sedangkan science diartikan ilmu (pengetahuan). Contoh science of language (ilmu pengetahuan bahasa).
Perbedaan itu juga jelas dalam bahasa Arab. Pada kamus A Dictionary of Modern Written Arabic karangan Hans Wehr (edited by J Milton Cowan) kata ‘arf diberi makna fragrance, parfume, scent, aroma, (semua punya arti bau wangi atau harum). Sedangkan ‘ulum jamak dari ‘ilmun diberi makna science.
Begitu pula kalau dirujuk kepada bahasa Alquran, di dalamnya ada pembedaan yang mengindikasikan adanya perbedaan antara dua kata itu.
Artinya, Di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas, dan di atas a’raaf (tempat tertinggi antara surga dan neraka (menurut terjemahan Depag) itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka dan mereka menyeru penduduk surga, ‘salamun alaikum’. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya) (QS, al-A’raf/7: 46)
Artinya. Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui (QS, al-Baqarah/2: 146)
Pada dua ayat di atas kata dibedakan dengan . Berdasarkan beberapa analisa bahasa tersebut jelaslah kiranya bahwa kedua kata itu (pengetahuan dan ilmu) memang berbeda. Dua kata itu sangat penting dibedakan agar lebih jelas dimengerti bagaimana tahap perkembangan manusia kaitannya dengan pengetahuan dan ilmunya.
Pengetahuan (knowledge, ‘arf) adalah sesuatu yang diketahui, yang diketahui bisa apa saja tanpa syarat tertentu. Bisa sesuatu yang didapat dengan atau tanpa metode ilmiah. Ilmu bisa dimasukkan salah satu pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu.
James K. Feibleman dalam bukunya “Knowledge” seperti dikutip H. Endang Saifuddin Anshari, M.A. mengatakan bahwa knowledge: relation between object and subject.
Ilmu (science, ‘ilm) adalah suatu bidang studi atau pengetahuan yang sistematik untuk menerangkan suatu fenomena dengan acuan materi dan fisiknya melalui metode ilmiah. Ilmu bukanlah mistik, kepercayaan atau dongeng, tetapi didapat dengan metode ilmiah yang baku.
Ada juga pendapat yang mendefinisikan ilmu sebagai “a means of solving problems” (suatu cara yang bisa digunakan menyelesaikan masalah). Pendapat lain mengatakan ilmu sebagai “organized knowledge” (pengetahuan yang diorganisir (sistematis).
The Liang Gie membedakan ilmu menjadi dua pengertian. Pertama, ilmu sebagai proses yang merupakan penelitian ilmiah. Kedua, ilmu sebagai prosedur yang mewujudkan metode ilmiah. Dari proses dan prosedur itu pada akhirnya keluar produk berupa pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Perpaduan antara proses dan prosedur ini dikatakan The Liang Gie sebagai pengertian ilmu yang ketiga.
Merujuk pada pengertian-pengertian di atas tentang pengetahuan dan ilmu, penulis berpendapat bahwa pertama-tama manusia mengetahui dengan modal intelek dan panca indera yang dimilikinya. Ketika pengetahuannya itu diperdalam dan disistematisasi maka pengetahuan itu menjadi ilmu. Namun selanjutnya ilmu itu juga menjadi pengetahuannya yang kualitasnya sudah berbeda dengan yang pertama.
Secara sederhana dapat dibuat skemanya sebagai berikut:
Munculnya istilah ilmu pengetahuan di dalam bahasa Indonesia lebih jelas dipahami lewat skema di atas. Seseorang yang sudah mempelajari bidang tertentu secara sistematis atau mengikuti standar prosedur ilmu pada bidang itu dikatakanlah ia telah mempunyai ilmu tentang bidang itu. Kompetensinya pada ilmu itu selanjutnya menjadi bagian dari pengetahuannya, tetapi pengetahuan yang lebih tinggi.
Mempelajari beberapa pengertian terdahulu tentang pengetahuan dan ilmu, ada poin-poin penting yang perlu digarisbawahi. Pertama bahwa pengetahuan itu adalah suatu kegiatan yang sifatnya mengembangkan atau menambah kesempurnaan (perspective activity). Pengetahuan mengantar subjek—manusia dalam kajian ini—yang tadinya tidak mengetahui menjadi mengetahui. Objek yang tadinya tidak diketahui menjadi diketahui. Pengetahuan itulah yang menjadi pendorong evolusi, di dalam diri subjek atau objek.
Evolusi pengetahuanlah pendorong perubahan. Karena itu, ketika pengetahuan dimapankan, dibiarkan ia memfosil atau apa yang dulu diciptakan dinilai benar seterusnya, tidak boleh dipertanyakan, maka perubahan pun akan mandek. Selanjutnya yang terjadi adalah keterbelakangan sebab apa yang dulu diciptakan mengikuti tantangan pada zamannya, sedangkan zaman dan tantangannya sudah berubah.
Berangkat dari pendapat inilah sehingga muncul ide seperti ‘rekonstruksi’. Muhammad Iqbal misalnya menulis buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Begitu juga dengan metode ‘dekonstruksi’ yang pernah digagas Jacques Derrida (ia memakai istilah La deconstruction). Syarat utama untuk mencapai keterbukaan pemikiran misalnya—jika dikaitkan dengan Islam—yaitu dekonstruksi epistema dogmatisme dan ortodoksisme dalam tubuh umat Islam.
Anggaplah penggunaan siwak (pembersih gigi dari kayu khusus, digunakan menjelang shalat) sebagai contoh tentang suatu pengetahuan kebersihan gigi dan itu berdasarkan sunnah Nabi. Namun orang-orang sekarang perlu mempertanyakan substansi hadis yang menganjurkan amalan itu. Sebab, di zaman sekarang ada alat yang lebih bagus dari itu seperti gosok gigi. Kalau orang tidak berani mempertanyakan kembali pengetahuannya itu, maka ia akan bertahan pada pengetahuan lamanya, yang mungkin tidak tepat lagi di zaman sekarang. Padahal boleh jadi—andaikata pada masa Nabi dulunya sudah ditemukan gosok gigi—Nabi punya anjuran yang berbeda.
Kedua, pengetahuan manusia itu sifatnya terbatas, tidak sempurna, dan karena itu tumbuh dan berkembang. Manusia tidak mengetahui secara total segala sesuatu. Manusia mengetahui setapak demi setapak. Pengetahuan manusia sifatnya discursive (tidak saling bersambungan satu sama lain), tetapi juga relational (saling berhubungan), berjalan melalui pola analisa-sintesa, membedakan-menyatukan, pada pengetahuan sederhana atau yang kompleks.
Ketika tiba-tiba banyak ternak unggas bermatian, pada ahli mengatakan itu penyakit flu burung. Di tempat lain, ternak babi juga banyak yang mati dengan gejala yang setelah dipelajari punya kemiripan dengan apa yang dialami ayam. Semula, itu dua pengetahuan yang terpisah (discursive), tetapi kemudian tersambung (relational).
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa mempunyai peran yang luar biasa dalam memajukan pengetahuan manusia. Orang yang mempunyai kemampuan bahasa lebih unggul dari yang tidak memilikinya. Atas dasar itulah sehingga para ahli juga merekomendasikan agar anak-anak cepat diajari berbahasa sehingga ia bisa cepat berpikir. Menurut Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang Swiss, yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu bahasa modern, kita dapat menerima ilmu melalui tanda-tanda.
Bahasa adalah batas dunia seseorang. Bahasa memungkinkan manusia untuk berpikir secara abstrak di mana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak sehingga memungkinkan manusia memikirkan sesuatu secara berkelanjutan. Tanda-tanda bahasa tidak menyatu dengan benda atau nama melainkan dengan konsep atau lambang bunyi.
B. DEFINISI DAN METODE MEMPEROLEH PENGETAHUAN
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah proses dan hasil serapan manusia secara umum, menurut aturan dan tingkatan tertentu. Cara atau proses mendapatkan pengetahuan itu disebut metode. Secara luas metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Uraian dan perbincangan mengenai metode-metode keilmuan ini disebut metodologi. Yaitu ilmu yang membahas tentang metode keilmuan. Dengan demikian gabungan berbagai proses dan langkah, atau jalan-jalan yang mengatur penelitian ilmiah itu disebut metode ilmiah.15
Lantas bagaimana orang memperoleh pengetahuan? Orang pada mulanya menyadari bahwa dirinya memiliki sejumlah pengetahuan, yang dianggapnya pasti dan tidak boleh diremehkan. Itulah apa yang disebut dengan common sense (anggapan umum). 16 Common sense sering juga diartikan sebagai akal sehat.
Begitulah bahwa pada mulanya manusia sudah mempunyai pengetahuan yang muncul dari anggapan-anggapan akal sehatnya. Namun pengetahuan itu belum semua teruji kebenarannya sehingga benar secara ilmiah. Ini merupakan satu cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Manusia mempunyai anggapan tertentu tentang sesuatu dan itu penting baginya sebelum mulai menemukan pengetahuan yang sudah ia uji kebenarannya.
Cara lain yang bisa dilakukan manusia adalah dengan metode trial and error. Yaitu metode coba-coba. Manusia mencoba sesuatu, tentang banyak hal, misalnya tentang mengolah makanan. Melalui coba-coba inilah manusia akhirnya mendapatkan pengalaman (axperience). Melalui pengalaman manusia yang didapatkan dari mencoba-coba tentang sesuatu akhirnya menjadi pengetahuan. Masih ada cara lain yaitu pengamatan atau observasi. Alat yang paling utamanya tentu saja indera manusia. Melalui pengamatannya, manusia dapat mengungkap hubungan antara benda dengan yang lainnya. Lama kelamaan metode ini menjadi metode eksperimentasi yang lebih tertata. Pada tahap ini percobaan-percobaan yang dilakukan lebih melibatkan upaya kesadaran dengan teknik-teknik tertentu secara terukur.17
C. PERBEDAAN PENGETAHUAN, ILMU, DAN FILSAFAT
Telah dikemukakan di bagian terdahulu makalah ini bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh manusia. ilmu adalah apabila pengetahuan itu sudah disistematisasi. Karena itu dilihat dari segi kemunculannya, pengetahuan ada barulah disusul ilmu.
Adapun perbedaan ilmu dengan filsafat menurut Endang Saifuddin Anshari adalah sebagai berikut: 18
D. METODE ILMIAH DAN STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH
Menurut C.A. Van Peursen, ciri ilmu mempergunakan metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Istilah ini mula-mula berarti ‘suatu jalan yang harus ditempuh’. Tidak hanya ilmu yang mempergunakan metode-metode, seni, pembentukan keputusan, karya pertukangan pun memakai metode. Ketika manusia bekerja tidak secara semaunya, tetapi dengan cermat menentukan jalan menuju tujuan, ia menggunakan metode.19
Sedangkan ilmiah adalah hasil kerja yang dapat dibuktikan, bukan sekadar anggapan (asumsi) atau keyakinan. Metode ilmiah yang digunakan tergantung dari objek formal ilmu yang bersangkutan. Sesuai dengan metode yang digunakan, objek formalnya pun selaras dengan metode itu.20
Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan. Pertama, pengamatan (observasi). Kedua, pengukuran (measuring) Ketiga, penjelasan (explaining). Keempat, pemeriksaan benar tidaknya (verifying).21
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yaitu epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagaimana manusia mengetahui sesuatu, dan apa hubungannya antara manusia dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar hakikat realitas. Sedangkan metodologi memfokuskan pada bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan.22 Ada pembagian lain yaitu ada namanya aksiologi yang berusaha menjawab, apa kegunaan ilmu.
Zamroni mengungkapkan posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuan untuk merumuskan berbagai hal. Pertama, berkaitan dengan apa yang harus dipelajari. Kedua, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab. Ketiga, bagaimana metode untuk menjawabnya. Keempat, aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh. 23
Ilmu sebagai pengetahuan sistematik terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan atau dikoordinasikan agar dapat menjadi dasar teoritis. Kesalingterkaitan itu merupakan struktur dari pengetahuan ilmiah. 24
The Liang Gie menyebutkan bahwa sistem pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur. Pertama, jenis-jenis sasaran. Kedua, bentuk-bentuk pernyataan. Ketiga, ragam-ragam preposisi. Keempat, pembagian sistematis. Kelima, ciri-ciri pokok.25
Secara ringkas, struktur pengetahuan ilmiah itu ditunjukkan secara sistematik dalam bagan berikut: 26
E. TREND DALAM PENGKAJIAN ILMIAH
Renaisans atau kebangunan kembali merupakan satu episode masa yang penting bagi Erofa. Yaitu ketika orang Erofa menemukan kembali jati dirinya setelah sebelumnya terkungkung oleh mitos dan dogma gereja. Rasionalisme menjadi berkembang. Melalui rasionalisme inilah muncul antroposentrisme atau humanisme. 27
Ciri yang menonjol dari paham ini adalah kedaulatan manusia berdasarkan rasionya. Implikasinya pada ilmu pengetahuan bahwa segala sesuatu itu dianggap ilmiah jika dapat diverifikasi dengan metode-metode ilmiah seperti diuraikan di bagian terdahulu. Oleh karena itu berkembanglah observasi atas dasar empirisme. Media utama bagi empiris adalah panca indera. Karena itu, segala sesuatu dinilai ilmiah jika dapat diuji secara empiris.
Seiring dengan itu, di bidang filsafat berkembang pula paham pragmatisme. Paham ini menempatkan pentingnya sesuatu tergantung pada nilai kemanfaatannya. Muncullah kecenderungan di dunia pengkajian ilmiah berdasarkan nilai pragmatisme. Tentu saja kemanfaatan itu relatif bagi setiap orang dan kelompok.
Di sisi lain bahwa kecenderungan pengkajian ilmiah menonjol sisi manusia ketika manusia ingin memuaskan dirinya dengan rasio dan pengetahuannya. Karena itu berbagai riset dilakukan dalam rangka memuaskan rasa ingin tahu menusia. Tidak jarang kecenderungan yang demikian membuat para ilmuan melupakan aspek-aspek lain seperti lupa terhadap kerusakan alam yang ditimbulkan percobaannya.
F. SPESIALISASI, INTERDISIPLIN, DAN MULTIDISIPLIN
Spesialisasi yaitu upaya seseorang untuk mengkhususkan diri pada kajian atau bidang tertentu yang ia lakukan secara ilmiah. Paling populer adalah spesialisasi di bidang kedokteran. Di bidang teknologi misalnya ada teknologi penguasaan air, industri, konstruksi, eksplorasi bumi, eksplorasi angkasa, psikoteknologi. Di bidang agama Islam spesialisasi keahlian juga terjadi. Ada ahli sejarah klasik, ada ahli pesanteren, ahli Islam Asia Tenggara, dan lain-lain.
Interdispliner yaitu seseorang yang menekuni satu bidang dan mengaitkannya pada bidang yang lainnya. Ada orang yang semula menekuni psikologi, tetapi selanjutnya dikaitkan dengan agama. Jadilah ia ahli psikologi agama. Ada juga ahli psikologi industri. Ada juga yang ahli medis, tetapi kemudian ia menekuni bidang menajemen sebagai tambahan, ia menjadi ahli manajemen kesehatan masyarakat atau Master Public of Health (MPH).
Multidisiplin yaitu seseorang yang menekuni beragam bidang (multidisiplin ilmu). Tentu saja sosok ilmuan semacam ini sudah jarang ditemukan. Namun pernah dicatat dalam sejarah bahwa ada orang dengan kemampuan multidisiplin ilmu secara baik. Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Alfarabi, Albiruni, Alkhawarizmi merupakan beberapa contoh yang pernah ada. Mereka menekuni dan menjadi ahli pada berbagai disiplin ilmu.
G. KAJIAN WILAYAH
Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, yaitu area dan studies. A.S. Horbiy mendefenisikan area dalam kamus Oxford Advanced dengan region of the earth’s surface28, maksudnya adalah daerah permukaan bumi.
Secara terminologis studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah di mana masalah tersebut terjadi. Contohnya, penelitian tentang respons warga Muhammadiyah di wilayah tertentu tentang bunga bank.29
===============
EndNote:
15 Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, (Medan: IAIN Press Medan, 1995), hal. 23-2416 Kennet T. Gallagher, Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hardi, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1994), hal. 17-18
17 Nur A. Fadhil Lubis, op. cit., hal. 82-83
18 Endang Saifuddin Anshari, op. cit., hal. 92
19 C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terj. J. Drost, (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 16
20 Anton Bekker, Achmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 27
21 Endang Saifuddin Anshari, op. cit., hal. 61
22 Norman K. Denzin dan Y. Vonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (Thousands Oaks), SAGE Publication, 1994), hal. 99
23 Zamroni, Pengantar Teori Pengembangan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 22
24 The Liang Gie, op. cit., hal. 139
25 ibid., hal. 139
26 ibid, hal. 151
27 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 160
28 A.S. Horbiy, Oxford Advanced Leaners’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press, 1987), hal., 40
29 Hasan Asari, disampaikan pada perkuliahan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam (PDPI) dengan topik Pendekatan Studi Wilayah Dalam Studi Islam, Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 9 Januari 2006.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Anton Bekker, Achmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990
A.W.K. Pranaka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1987
A.S. Horbiy, Oxford Advanced Leaners’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1987
C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terj. J. Drost, Jakarta: Gramedia, 1985
Djohansjah Marzoeki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Jakarta: Grasindo, 2000
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: P.T. Bina Ilmu, cet. kesembilan, 1991
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (ed. by J. Milton Cowan) Beirut: Librairie Du Liban, 1980
John Ziman FRS, An Introduction to Science Studies, the Philosophical and Social Aspects of Science and Technology, New York: Cambridge University Press, 1984
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia, 1994
Jurgen Trabaut, Dasar-dasar Semiotik, terj. Sally Pattinasary, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991
Kennet T. Gallagher, Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hardi, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1994
Luthfi Assyaukanie, Jurnal Ulumul Quran No. 1 Vol. V, Th. 1994
Norman K. Denzin dan Y. Vonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (Thousands Oaks), SAGE Publication, 1994
Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, Medan: IAIN Press Medan, 1995
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Liberty, cet. Kedua, 1996
Zamroni, Pengantar Teori Pengembangan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
www. mizan.com/resensi (19 September 2005)
Memang begitulah, pada berbagai level sosial, mempertanyakan hal-hal yang selama ini dianggap sudah mapan dan diterima (given) bagi sebagian orang dinilai iseng, kurang pekerjaan, manfaatnya apa dan seterusnya. Padahal pengalaman manusia membuktikan, ketika manusia berhenti bertanya, pada saat itulah kehidupan menjadi lamban atau berputar di tempat.
Pada konteks sosial, penindasan selalu terjadi di tempat gelap. Gelap karena pertanyaan dibungkam, sehingga tidak ada cahaya. Di mana saja penindasan bisa terjadi kalau pertanyaan dibungkam. Karena itu, salah satu cara menghindari penindasan adalah dibebaskannya orang mempertanyakan apa saja.
Karena itu membuka diskursus tentang pengetahuan, apalagi bisa dieksplorasi secara luas dan dalam serta melibatkan orang dari berbagai kalangan, bukan hanya sekadar memperluas cakrawala individu, kegiatan itu juga sekaligus membuka ruang bagi setiap orang untuk bertanya. Jika dikaitkan dengan salah satu issu penting yang diusung modernisme, itu berarti menyemai tumbuhnya demokrasi.
Berkaitan dengan topik pengetahuan manusia, ada kisah klasik yang menarik, yaitu apa yang pernah dilakukan berabad-abad silam oleh filsuf Muslim, Muhammad Abu Bakr Ibn Tufayl. Filosof kelahiran Guadix, Spanyol pada 1110 M ini mengemas pandangan filsafatnya pada novel bertajuk Hayy Ibn Yaqzan (The Living Son of Vigilant). Karyanya terinspirasi oleh murid Ibnu Sina yang bernama Hayy Ibn Yaqzan, Salaman serta Absal.
Kerangka karya Tufayl berasal dari cerita kuno di dunia timur, yaitu The Story of the Idol and of the King and His Daughter. Secara garis besar, ia menggambarkan tentang pengetahuan manusia, yang muncul dari sebuah kekosongan. Kemudian ia menemukan pengalaman mistik melalui hubungan dengan Tuhan. Melalui karyanya tersebut, Ibn Tufayl berupaya melakukan rekonsiliasi antara agama dan spekulasi rasional. Ia berupaya mempertemukan filsafat dan agama.
Karyanya diterjemahkan ke bahasa Latin, Spanyol, Prancis, Indonesia, dan beberapa bahasa lain. Karyanya dinilai memiliki pengaruh besar bagi kebangkitan filsafat. Ia wafat pada 1185 M di Maroko.
A. PENGETAHUAN DENGAN ILMU BERBEDA
Bahasa Indonesia sering menyamakan saja arti antara pengetahuan dan ilmu, bahkan dari dua kata itu muncul kata majemuk ‘ilmu pengetahuan’. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ilmu disamakan saja artinya dengan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan.
Tidak demikian halnya pada tulisan ini, keduanya dibedakan secara jelas. Membantu untuk membedakannya diperlukan informasi lain dari segi bahasa. Pada Kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily, knowledge diartikan pengetahuan. Contoh, his knowledge astounds me (pengetahuannya mengagumkan saya). Sedangkan science diartikan ilmu (pengetahuan). Contoh science of language (ilmu pengetahuan bahasa).
Perbedaan itu juga jelas dalam bahasa Arab. Pada kamus A Dictionary of Modern Written Arabic karangan Hans Wehr (edited by J Milton Cowan) kata ‘arf diberi makna fragrance, parfume, scent, aroma, (semua punya arti bau wangi atau harum). Sedangkan ‘ulum jamak dari ‘ilmun diberi makna science.
Begitu pula kalau dirujuk kepada bahasa Alquran, di dalamnya ada pembedaan yang mengindikasikan adanya perbedaan antara dua kata itu.
Artinya, Di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas, dan di atas a’raaf (tempat tertinggi antara surga dan neraka (menurut terjemahan Depag) itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka dan mereka menyeru penduduk surga, ‘salamun alaikum’. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya) (QS, al-A’raf/7: 46)
Artinya. Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui (QS, al-Baqarah/2: 146)
Pada dua ayat di atas kata dibedakan dengan . Berdasarkan beberapa analisa bahasa tersebut jelaslah kiranya bahwa kedua kata itu (pengetahuan dan ilmu) memang berbeda. Dua kata itu sangat penting dibedakan agar lebih jelas dimengerti bagaimana tahap perkembangan manusia kaitannya dengan pengetahuan dan ilmunya.
Pengetahuan (knowledge, ‘arf) adalah sesuatu yang diketahui, yang diketahui bisa apa saja tanpa syarat tertentu. Bisa sesuatu yang didapat dengan atau tanpa metode ilmiah. Ilmu bisa dimasukkan salah satu pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu.
James K. Feibleman dalam bukunya “Knowledge” seperti dikutip H. Endang Saifuddin Anshari, M.A. mengatakan bahwa knowledge: relation between object and subject.
Ilmu (science, ‘ilm) adalah suatu bidang studi atau pengetahuan yang sistematik untuk menerangkan suatu fenomena dengan acuan materi dan fisiknya melalui metode ilmiah. Ilmu bukanlah mistik, kepercayaan atau dongeng, tetapi didapat dengan metode ilmiah yang baku.
Ada juga pendapat yang mendefinisikan ilmu sebagai “a means of solving problems” (suatu cara yang bisa digunakan menyelesaikan masalah). Pendapat lain mengatakan ilmu sebagai “organized knowledge” (pengetahuan yang diorganisir (sistematis).
The Liang Gie membedakan ilmu menjadi dua pengertian. Pertama, ilmu sebagai proses yang merupakan penelitian ilmiah. Kedua, ilmu sebagai prosedur yang mewujudkan metode ilmiah. Dari proses dan prosedur itu pada akhirnya keluar produk berupa pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Perpaduan antara proses dan prosedur ini dikatakan The Liang Gie sebagai pengertian ilmu yang ketiga.
Merujuk pada pengertian-pengertian di atas tentang pengetahuan dan ilmu, penulis berpendapat bahwa pertama-tama manusia mengetahui dengan modal intelek dan panca indera yang dimilikinya. Ketika pengetahuannya itu diperdalam dan disistematisasi maka pengetahuan itu menjadi ilmu. Namun selanjutnya ilmu itu juga menjadi pengetahuannya yang kualitasnya sudah berbeda dengan yang pertama.
Secara sederhana dapat dibuat skemanya sebagai berikut:
MANUSIA ==> PENGETAHUAN ==> ILMU ==> PENGETAHUAN
Skema Pengetahuan Manusia, Dayan Lubis, 2005
Skema Pengetahuan Manusia, Dayan Lubis, 2005
Munculnya istilah ilmu pengetahuan di dalam bahasa Indonesia lebih jelas dipahami lewat skema di atas. Seseorang yang sudah mempelajari bidang tertentu secara sistematis atau mengikuti standar prosedur ilmu pada bidang itu dikatakanlah ia telah mempunyai ilmu tentang bidang itu. Kompetensinya pada ilmu itu selanjutnya menjadi bagian dari pengetahuannya, tetapi pengetahuan yang lebih tinggi.
Mempelajari beberapa pengertian terdahulu tentang pengetahuan dan ilmu, ada poin-poin penting yang perlu digarisbawahi. Pertama bahwa pengetahuan itu adalah suatu kegiatan yang sifatnya mengembangkan atau menambah kesempurnaan (perspective activity). Pengetahuan mengantar subjek—manusia dalam kajian ini—yang tadinya tidak mengetahui menjadi mengetahui. Objek yang tadinya tidak diketahui menjadi diketahui. Pengetahuan itulah yang menjadi pendorong evolusi, di dalam diri subjek atau objek.
Evolusi pengetahuanlah pendorong perubahan. Karena itu, ketika pengetahuan dimapankan, dibiarkan ia memfosil atau apa yang dulu diciptakan dinilai benar seterusnya, tidak boleh dipertanyakan, maka perubahan pun akan mandek. Selanjutnya yang terjadi adalah keterbelakangan sebab apa yang dulu diciptakan mengikuti tantangan pada zamannya, sedangkan zaman dan tantangannya sudah berubah.
Berangkat dari pendapat inilah sehingga muncul ide seperti ‘rekonstruksi’. Muhammad Iqbal misalnya menulis buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Begitu juga dengan metode ‘dekonstruksi’ yang pernah digagas Jacques Derrida (ia memakai istilah La deconstruction). Syarat utama untuk mencapai keterbukaan pemikiran misalnya—jika dikaitkan dengan Islam—yaitu dekonstruksi epistema dogmatisme dan ortodoksisme dalam tubuh umat Islam.
Anggaplah penggunaan siwak (pembersih gigi dari kayu khusus, digunakan menjelang shalat) sebagai contoh tentang suatu pengetahuan kebersihan gigi dan itu berdasarkan sunnah Nabi. Namun orang-orang sekarang perlu mempertanyakan substansi hadis yang menganjurkan amalan itu. Sebab, di zaman sekarang ada alat yang lebih bagus dari itu seperti gosok gigi. Kalau orang tidak berani mempertanyakan kembali pengetahuannya itu, maka ia akan bertahan pada pengetahuan lamanya, yang mungkin tidak tepat lagi di zaman sekarang. Padahal boleh jadi—andaikata pada masa Nabi dulunya sudah ditemukan gosok gigi—Nabi punya anjuran yang berbeda.
Kedua, pengetahuan manusia itu sifatnya terbatas, tidak sempurna, dan karena itu tumbuh dan berkembang. Manusia tidak mengetahui secara total segala sesuatu. Manusia mengetahui setapak demi setapak. Pengetahuan manusia sifatnya discursive (tidak saling bersambungan satu sama lain), tetapi juga relational (saling berhubungan), berjalan melalui pola analisa-sintesa, membedakan-menyatukan, pada pengetahuan sederhana atau yang kompleks.
Ketika tiba-tiba banyak ternak unggas bermatian, pada ahli mengatakan itu penyakit flu burung. Di tempat lain, ternak babi juga banyak yang mati dengan gejala yang setelah dipelajari punya kemiripan dengan apa yang dialami ayam. Semula, itu dua pengetahuan yang terpisah (discursive), tetapi kemudian tersambung (relational).
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa mempunyai peran yang luar biasa dalam memajukan pengetahuan manusia. Orang yang mempunyai kemampuan bahasa lebih unggul dari yang tidak memilikinya. Atas dasar itulah sehingga para ahli juga merekomendasikan agar anak-anak cepat diajari berbahasa sehingga ia bisa cepat berpikir. Menurut Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang Swiss, yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu bahasa modern, kita dapat menerima ilmu melalui tanda-tanda.
Bahasa adalah batas dunia seseorang. Bahasa memungkinkan manusia untuk berpikir secara abstrak di mana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak sehingga memungkinkan manusia memikirkan sesuatu secara berkelanjutan. Tanda-tanda bahasa tidak menyatu dengan benda atau nama melainkan dengan konsep atau lambang bunyi.
B. DEFINISI DAN METODE MEMPEROLEH PENGETAHUAN
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah proses dan hasil serapan manusia secara umum, menurut aturan dan tingkatan tertentu. Cara atau proses mendapatkan pengetahuan itu disebut metode. Secara luas metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Uraian dan perbincangan mengenai metode-metode keilmuan ini disebut metodologi. Yaitu ilmu yang membahas tentang metode keilmuan. Dengan demikian gabungan berbagai proses dan langkah, atau jalan-jalan yang mengatur penelitian ilmiah itu disebut metode ilmiah.15
Lantas bagaimana orang memperoleh pengetahuan? Orang pada mulanya menyadari bahwa dirinya memiliki sejumlah pengetahuan, yang dianggapnya pasti dan tidak boleh diremehkan. Itulah apa yang disebut dengan common sense (anggapan umum). 16 Common sense sering juga diartikan sebagai akal sehat.
Begitulah bahwa pada mulanya manusia sudah mempunyai pengetahuan yang muncul dari anggapan-anggapan akal sehatnya. Namun pengetahuan itu belum semua teruji kebenarannya sehingga benar secara ilmiah. Ini merupakan satu cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Manusia mempunyai anggapan tertentu tentang sesuatu dan itu penting baginya sebelum mulai menemukan pengetahuan yang sudah ia uji kebenarannya.
Cara lain yang bisa dilakukan manusia adalah dengan metode trial and error. Yaitu metode coba-coba. Manusia mencoba sesuatu, tentang banyak hal, misalnya tentang mengolah makanan. Melalui coba-coba inilah manusia akhirnya mendapatkan pengalaman (axperience). Melalui pengalaman manusia yang didapatkan dari mencoba-coba tentang sesuatu akhirnya menjadi pengetahuan. Masih ada cara lain yaitu pengamatan atau observasi. Alat yang paling utamanya tentu saja indera manusia. Melalui pengamatannya, manusia dapat mengungkap hubungan antara benda dengan yang lainnya. Lama kelamaan metode ini menjadi metode eksperimentasi yang lebih tertata. Pada tahap ini percobaan-percobaan yang dilakukan lebih melibatkan upaya kesadaran dengan teknik-teknik tertentu secara terukur.17
C. PERBEDAAN PENGETAHUAN, ILMU, DAN FILSAFAT
Telah dikemukakan di bagian terdahulu makalah ini bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh manusia. ilmu adalah apabila pengetahuan itu sudah disistematisasi. Karena itu dilihat dari segi kemunculannya, pengetahuan ada barulah disusul ilmu.
Adapun perbedaan ilmu dengan filsafat menurut Endang Saifuddin Anshari adalah sebagai berikut: 18
- Objek formal ilmu: mencari keterangan yang dapat dibuktikan melalui penelitian, percobaan, dan pengalaman manusia. Sedangkan objek formal filsafat: mencari keterangan sedalam-dalamnya, hingga ke akar persoalan, sampai ke sebab-sebab dan ke ‘mengapa’ terakhir, sepanjang yang kemungkinan dapat dipikirkan.
- Objek materi filsafat ialah:
- Masalah Tuhan, sesuatu yang berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan empiris
- Masalah alam yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu pengetahuan empiris
- Masalah manusia yang juga belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu pengetahuan empiris.
D. METODE ILMIAH DAN STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH
Menurut C.A. Van Peursen, ciri ilmu mempergunakan metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Istilah ini mula-mula berarti ‘suatu jalan yang harus ditempuh’. Tidak hanya ilmu yang mempergunakan metode-metode, seni, pembentukan keputusan, karya pertukangan pun memakai metode. Ketika manusia bekerja tidak secara semaunya, tetapi dengan cermat menentukan jalan menuju tujuan, ia menggunakan metode.19
Sedangkan ilmiah adalah hasil kerja yang dapat dibuktikan, bukan sekadar anggapan (asumsi) atau keyakinan. Metode ilmiah yang digunakan tergantung dari objek formal ilmu yang bersangkutan. Sesuai dengan metode yang digunakan, objek formalnya pun selaras dengan metode itu.20
Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan. Pertama, pengamatan (observasi). Kedua, pengukuran (measuring) Ketiga, penjelasan (explaining). Keempat, pemeriksaan benar tidaknya (verifying).21
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yaitu epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagaimana manusia mengetahui sesuatu, dan apa hubungannya antara manusia dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar hakikat realitas. Sedangkan metodologi memfokuskan pada bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan.22 Ada pembagian lain yaitu ada namanya aksiologi yang berusaha menjawab, apa kegunaan ilmu.
Zamroni mengungkapkan posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuan untuk merumuskan berbagai hal. Pertama, berkaitan dengan apa yang harus dipelajari. Kedua, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab. Ketiga, bagaimana metode untuk menjawabnya. Keempat, aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh. 23
Ilmu sebagai pengetahuan sistematik terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan atau dikoordinasikan agar dapat menjadi dasar teoritis. Kesalingterkaitan itu merupakan struktur dari pengetahuan ilmiah. 24
The Liang Gie menyebutkan bahwa sistem pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur. Pertama, jenis-jenis sasaran. Kedua, bentuk-bentuk pernyataan. Ketiga, ragam-ragam preposisi. Keempat, pembagian sistematis. Kelima, ciri-ciri pokok.25
Secara ringkas, struktur pengetahuan ilmiah itu ditunjukkan secara sistematik dalam bagan berikut: 26
E. TREND DALAM PENGKAJIAN ILMIAH
Renaisans atau kebangunan kembali merupakan satu episode masa yang penting bagi Erofa. Yaitu ketika orang Erofa menemukan kembali jati dirinya setelah sebelumnya terkungkung oleh mitos dan dogma gereja. Rasionalisme menjadi berkembang. Melalui rasionalisme inilah muncul antroposentrisme atau humanisme. 27
Ciri yang menonjol dari paham ini adalah kedaulatan manusia berdasarkan rasionya. Implikasinya pada ilmu pengetahuan bahwa segala sesuatu itu dianggap ilmiah jika dapat diverifikasi dengan metode-metode ilmiah seperti diuraikan di bagian terdahulu. Oleh karena itu berkembanglah observasi atas dasar empirisme. Media utama bagi empiris adalah panca indera. Karena itu, segala sesuatu dinilai ilmiah jika dapat diuji secara empiris.
Seiring dengan itu, di bidang filsafat berkembang pula paham pragmatisme. Paham ini menempatkan pentingnya sesuatu tergantung pada nilai kemanfaatannya. Muncullah kecenderungan di dunia pengkajian ilmiah berdasarkan nilai pragmatisme. Tentu saja kemanfaatan itu relatif bagi setiap orang dan kelompok.
Di sisi lain bahwa kecenderungan pengkajian ilmiah menonjol sisi manusia ketika manusia ingin memuaskan dirinya dengan rasio dan pengetahuannya. Karena itu berbagai riset dilakukan dalam rangka memuaskan rasa ingin tahu menusia. Tidak jarang kecenderungan yang demikian membuat para ilmuan melupakan aspek-aspek lain seperti lupa terhadap kerusakan alam yang ditimbulkan percobaannya.
F. SPESIALISASI, INTERDISIPLIN, DAN MULTIDISIPLIN
Spesialisasi yaitu upaya seseorang untuk mengkhususkan diri pada kajian atau bidang tertentu yang ia lakukan secara ilmiah. Paling populer adalah spesialisasi di bidang kedokteran. Di bidang teknologi misalnya ada teknologi penguasaan air, industri, konstruksi, eksplorasi bumi, eksplorasi angkasa, psikoteknologi. Di bidang agama Islam spesialisasi keahlian juga terjadi. Ada ahli sejarah klasik, ada ahli pesanteren, ahli Islam Asia Tenggara, dan lain-lain.
Interdispliner yaitu seseorang yang menekuni satu bidang dan mengaitkannya pada bidang yang lainnya. Ada orang yang semula menekuni psikologi, tetapi selanjutnya dikaitkan dengan agama. Jadilah ia ahli psikologi agama. Ada juga ahli psikologi industri. Ada juga yang ahli medis, tetapi kemudian ia menekuni bidang menajemen sebagai tambahan, ia menjadi ahli manajemen kesehatan masyarakat atau Master Public of Health (MPH).
Multidisiplin yaitu seseorang yang menekuni beragam bidang (multidisiplin ilmu). Tentu saja sosok ilmuan semacam ini sudah jarang ditemukan. Namun pernah dicatat dalam sejarah bahwa ada orang dengan kemampuan multidisiplin ilmu secara baik. Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Alfarabi, Albiruni, Alkhawarizmi merupakan beberapa contoh yang pernah ada. Mereka menekuni dan menjadi ahli pada berbagai disiplin ilmu.
G. KAJIAN WILAYAH
Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, yaitu area dan studies. A.S. Horbiy mendefenisikan area dalam kamus Oxford Advanced dengan region of the earth’s surface28, maksudnya adalah daerah permukaan bumi.
Secara terminologis studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah di mana masalah tersebut terjadi. Contohnya, penelitian tentang respons warga Muhammadiyah di wilayah tertentu tentang bunga bank.29
===============
EndNote:
15 Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, (Medan: IAIN Press Medan, 1995), hal. 23-2416 Kennet T. Gallagher, Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hardi, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1994), hal. 17-18
17 Nur A. Fadhil Lubis, op. cit., hal. 82-83
18 Endang Saifuddin Anshari, op. cit., hal. 92
19 C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terj. J. Drost, (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 16
20 Anton Bekker, Achmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 27
21 Endang Saifuddin Anshari, op. cit., hal. 61
22 Norman K. Denzin dan Y. Vonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (Thousands Oaks), SAGE Publication, 1994), hal. 99
23 Zamroni, Pengantar Teori Pengembangan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 22
24 The Liang Gie, op. cit., hal. 139
25 ibid., hal. 139
26 ibid, hal. 151
27 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 160
28 A.S. Horbiy, Oxford Advanced Leaners’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press, 1987), hal., 40
29 Hasan Asari, disampaikan pada perkuliahan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam (PDPI) dengan topik Pendekatan Studi Wilayah Dalam Studi Islam, Pasca Sarjana IAIN SUMUT, 9 Januari 2006.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Anton Bekker, Achmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990
A.W.K. Pranaka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1987
A.S. Horbiy, Oxford Advanced Leaners’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1987
C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terj. J. Drost, Jakarta: Gramedia, 1985
Djohansjah Marzoeki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Jakarta: Grasindo, 2000
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: P.T. Bina Ilmu, cet. kesembilan, 1991
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (ed. by J. Milton Cowan) Beirut: Librairie Du Liban, 1980
John Ziman FRS, An Introduction to Science Studies, the Philosophical and Social Aspects of Science and Technology, New York: Cambridge University Press, 1984
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia, 1994
Jurgen Trabaut, Dasar-dasar Semiotik, terj. Sally Pattinasary, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991
Kennet T. Gallagher, Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hardi, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1994
Luthfi Assyaukanie, Jurnal Ulumul Quran No. 1 Vol. V, Th. 1994
Norman K. Denzin dan Y. Vonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (Thousands Oaks), SAGE Publication, 1994
Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, Medan: IAIN Press Medan, 1995
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Liberty, cet. Kedua, 1996
Zamroni, Pengantar Teori Pengembangan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
www. mizan.com/resensi (19 September 2005)
0 comments:
Post a Comment