Tes Bahasa Diskret, Integratif dan Pragmatik

Tes bahasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Kemunculan dan perubahan penekanan dalam tes bahasa dimaksudkan untuk memperbaharui tes sesuai dengan pandangan, pendekatan, dan fokus pembelajaran bahasa. Pembaruan yang dilakukan sering berdasarkan kelemahan yang ada sebelumnya. Tetapi, betapapun kelemahan yang ada tetap saja tes-tes itu ada manfaatnya; jadi kita tak dapat meniadakan begitu saja. Adanya unsur tumpang-tindih juga tidak dapat dielakkan.

Tes Diskret
Discrete point test: tes yang hanya menekankan/ menyangkut satu aspek kebahasaan pada satu waktu. Tiap butir tes hanya untuk mengukur satu aspek kebahasaan: fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata. Tes diskret juga dapat menyangkut tes keterampilan berbahasa. Dasar pemikiran tes diskret (juga dalam hal pengajaran) adalah teori strukturalisme (linguistik) dan behaviorisme (psikologi).
Kedua teori itu beranggapan bahwa keseluruhan dapat dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian. Atau, keseluruhan adalah jumlah dari bagian-bagian. Tiap bagian tersebut (kebahasaan dan keterampilan) dapat diajarkan dan diteskan secara terpisah.
Pembelajaran dan pengujian kebahasaan dalam teori ini mengabaikan konteks. Pandangan bahwa teori tes diskret dapat memecah-mecah unsur kebahasaan dan menghadirkannya dalam keadaan terisolasi, dianggap sebagai kelemahan tes diskret yang paling mencolok Orang tidak mungkin belajar bahasa dalam situasi yang mutlak diskret dan terisolasi (tanpa konteks). Lagi pula dalam hal belajar bahasa, keseluruhan belum tentu sama jumlah dari bagian-bagian.
Ada kompetensi yang harus dimiliki seseorang yang di luar kebahasaan (: pendekatan komunikatif). Kompetensi komunikatif memprasyaratakan kompetensi-kompetensi lain selain unsur bahasa, misalnya kompetensi sosial (faktor sosio-kultural). Faktor sosio-kultural memegang peran penting dalam menunjang kompetensi omunikatif seseorang Tes diskret gagal untuk mengukur kompetensi komunikatif yang justru memprasyaratkan adanya keterlibatan banyak unsur kebahasaan dan faktor yang di luar bahasa.
Persoalan yang muncul: apakah tes diskret tidak perlu lagi dipergunakan di sekolah untuk mengukur kadar keberhasilan belajar bahasa siswa?
Teori baru dibangun atau sebagai reaksi teori sebelumnya; yang baru tak dapat sama sekali meninggalkan yang lama. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa tak dapat sama sekali meninggalkan pandangan strukturalisme. Dalam tahap awal pembelajaran bahasa bagi orang dewasa, pengajaran unsur struktural bahasa masih amat dibutuhkan. Orang tidak akan bisa begitu saja diajak berbicara bahasa asing sebelum memiliki pengetahuan tentang sistem bahasa itu. Artinya: pengajaran unsur bahasa masih diperlukan.
Jika pengajaran unsur struktur masih dilakukan, tes diskret mau tidak mau masih juga diperlukan. Atau, minimal untuk tujuan remidial.

Tes Integratif
Integrative test: tes yang mengukur lebih dari unsur kebahasaan atau satu keterampilan berbahasa dalam satu waktu
Dalam tes integratif, ada beberapa unsur kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan
Dalam satu kali tes minimal ada dua aspek/keterampilan yang diukur
Aspek-aspek kebahasaan tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan sehingga ada keterkaitan antarunsur/antarketerampilan
Bahasa yang alamiah bukanlah kumpulan dari unsur-unsur bahasa semata
Dalam tes keterampilan bahasa, bahkan akan lebih baik jika juga mempertimbangkan aspek konteks
Tes integratif memang sudah memadukan beberapa unsur kebahasaan, tetapi belum tentu kontekstual
Tes yang kontekstual lazimnya bersifat pragmatik/komunikatif
Tes pragmatik/komunikatif pasti integratif, tetapi tes integratif belum tentu pragmatik
Tes integratif yang tidak kontekstual masih terisolasi, mirip-mirip dengan tes diskret, belum mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah
Berbagai tes unsur kebahasaan yang diteskan minimal berada dalam konteks kalimat, atau konteks yang lebih besar
Dilihat dari sudut pembelajaran bahasa dewasa ini, tes integratif terlihat lebih menjanjikan daripada tes diskret
Walau demikian, pemilihan tes haruslah disesuaikan dengan pendekatan, metode, dan teknik, bahkan juga bahan pembelajaran, yang dipergunakan dalam pembelajaran bahasa di kelas

Tes Pragmatik
Tes pragmatik berangkat dari pandangan bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang dinyatakan memiliki kompetensi berbahasa adalah jika mampu mempergunakan bahasa itu dalam konteks yang sesungguhnya
Tes pragmatik: pendekatan dalam tes keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar mampu mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang sesungguhnya
Tes pragmatik: prosedur/tugas yang menuntut pembelajar menghasilkan urutan unsur bahasa sesuai dengan pemakaian bahasa secara nyata, dan sekaligus menuntut pembelajar menghubungkannya dengan konteks ekstralinguistik
Dalam tes pragmatik tak ada lagi tes struktur/kosakata secara tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan terlibat dan langsung dikaitkan dengan unsur ekstralinguistik sekaligus
Dalam kehidupan berbahasa ada dua hal yang terlibat: konteks linguistik dan ekstralinguisik
Konteks linguistik: bahasa sebagai lambang verbal dengan segala unsurnya
Konteks ekstralinguistik: dunia atau sesuatu yang di luar bahasa, sesuatu yang disampaikan lewat media bahasa
Dalam kehidupan berbahasa terdapat hubungan sistematis dan timbal-balik antara kedua konteks tersebut Ada berbagai hal di luar bahasa yang berpengaruh terhadap pemilihan wujud bahasa dalam berkomunikasi, dan itulah yang disebut sebagai faktor penentu atau pragmatik
Faktor pragmatik/faktor penentu ada banyak jenisnya, misalnya siapa yang berkomunikasi, apa tujuan komunikasi, masalah yang dikomunikasikan, tingkat formalitas ketika komunikasi terjadi, dll. Tes pragmatik mengukur kemampuan berbahasa pembelajar dalam konteks yang sesungguhnya
Namun, itu harus ada kesesuaian dengan metode pembelajaran bahasa
Pembelajaran bahasa haruslah menekankan pada kemampuan berbahasa, bukan sistem bahasa
Dengan begitu ada keselarasan antara model pembelajaran dan model penilaian
Namun, pada praktiknya tidak mudah mengreaikan pembelajaran bahasa yang benar-benar kontekstual dan komunikatif
Artinya, pembelajaran “penggunaan bahasa”, kemampuan berbahasa, masih saja artifisial, namun itu sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret dan terisolasi
Tes pragmatik yang masih berwujud penggunaan dalam konteks artifisial juga sudah lebih baik daripada yang benar-benar diskret yang hanya bertujuan mengukur pengetahuan tentang sistem bahasa

Contoh Tes Pragmatik
Ada banyak model dan contoh, dan salah satunya adalah tes tes cloze (cloze test)
Tes jenis ini baik dipakai untuk pemahaman bacaan; tes pemahaman wacana dengan tes objektif berkorelasi secara positif dengan hasil tes cloze
Tes cloze adalah tes yang berupa pengisian kembali kata-kata ke-n yang sengaja dihilangkan dalam sebuah wacana
Kata-kata yang dihilangkan biasanya kata yang ke-5, ke-6, ke-7
Untuk dapat mengisi tempat-tempat kosong, pembelajar harus memahami makna wacana
Teknik penyekoran: teknik kata eksak (jawaban siswa harus sama dengan kata asli yang dihilangkan) dan teknik kelayakan konteks (jawaban siswa tidak harus persis dengan kata asli sepanjang dimungkin secara konteks)
Teknik kelayakan konteks lebih menguntungkan; semua kata yang mempunyai peluang sebagai jawaban benar diperingkat (diskala; 1-4)
Tes cloze juga baik untuk menilai tingkat kesulitan wacana bagi pembelajar level tertentu: jika jawaban benar siswa ≥75%, wacana itu tergolong mudah; jika ≤20% tergolong sulit
Jika yang diteskan itu sampel dari wacana yang panjang, hasil tes itu mencerminkan tingkat kesulitan wacana secara keseluruhan

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger