Pada mukadimah buku "Kado Pernikahan untuk Istriku", terdapat kalimat “Jika ada surga di dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi jika ada neraka di dunia, itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran”.[1]
Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan di agama Islam. Pernikahan juga merupakan ibadah yang dengannya seseorang telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
Ada sebagian wanita mengajukan syarat-syarat ketika seorang laki-laki hendak menikahinya. Adakalanya syarat itu muncul karena kehendaknya sendiri, tetapi adakalanya syarat itu merupakan kehendak orangtua atau keluarga yang dibebankan kepada anak gadisnya jika ingin melangsungkan pernikahan.
Mengajukan syarat seperti ini dibolehkan dalam Islam. “Selama syarat tersebut bukan bersifat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka persyaratan itu wajib dipenuhi. Jika tidak, wanita bisa mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan, jika memang mau.”[3]
Pernikahan merupakan amalan ibadah yang disyari’atkan didalam Islam. Pernikahan ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. sebagaimana yang disabdakannya “.. Ingat, demi Allah; sesungguhnya aku adalah orang yang sangat takut dan bertaqwa kepada Allah daripada kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, mengerjakan shalat dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka pada sunnatku, maka mereka bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari).[4]
Ikatan pernikahan bukanlah ikatan main-main. Ada kesenangan-kesenangan tersendiri di dalamnya yang bisa dirasakan bersama. Ada sebuah amanah besar di baliknya, dan ada perjanjian berat yang mengikatnya. Perjanjian berat itu terikat melalui beberapa kalimat sederhana. “Pertama adalah kalimat ijab, yaitu keinginan pihak wanita untuk menjalin ikatan rumah tangga dengan seorang laki-laki. Kedua adalah kalimat qabul, yaitu pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk maksud tertentu”.[5] Inilah yang disebut dengan ijab-qabul dalam pernikahan.
====================
[1] Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku, Cet. XXVI, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2010), hal. 23
[2] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Cet. XXI, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 378
[3] Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan ..., hal. 239
[4] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita ..., hal. 377
[5] Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan ..., hal. 288
Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan di agama Islam. Pernikahan juga merupakan ibadah yang dengannya seseorang telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ, فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى الشَّطْرِ الْبَاقِى. (رواه الطبرانى والحاكم
Artinya : “Barangsiapa diberi oleh Allah seorang istri yang shalihah, maka Dia telah membantunya untuk menyempurnakan setengah dari agamanya. Untuk itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengah lainnya.” (HR. Thabrani dan Al-Hakim).[2] Ada sebagian wanita mengajukan syarat-syarat ketika seorang laki-laki hendak menikahinya. Adakalanya syarat itu muncul karena kehendaknya sendiri, tetapi adakalanya syarat itu merupakan kehendak orangtua atau keluarga yang dibebankan kepada anak gadisnya jika ingin melangsungkan pernikahan.
Mengajukan syarat seperti ini dibolehkan dalam Islam. “Selama syarat tersebut bukan bersifat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka persyaratan itu wajib dipenuhi. Jika tidak, wanita bisa mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan, jika memang mau.”[3]
Pernikahan merupakan amalan ibadah yang disyari’atkan didalam Islam. Pernikahan ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. sebagaimana yang disabdakannya “.. Ingat, demi Allah; sesungguhnya aku adalah orang yang sangat takut dan bertaqwa kepada Allah daripada kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, mengerjakan shalat dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka pada sunnatku, maka mereka bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari).[4]
====================
[1] Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku, Cet. XXVI, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2010), hal. 23
[2] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Cet. XXI, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 378
[3] Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan ..., hal. 239
[4] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita ..., hal. 377
[5] Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan ..., hal. 288
0 comments:
Post a Comment