Inteligensi Beragama

1. Pengertian Inteligensi
Inteligensi (kecerdasan) dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam arti, kemampuan (al-qudrah) dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna.
Crow and Crow, mengemukakan bahwa inteligensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan kebutuhan-kebutuhan baru, keadaan rohaniah secara umum yang dapat disesuaikan dengan problem-problem dan kondisi-kondisi yang baru di dalam kehidupan. Pengertian ini tidak hanya menyangkut dunia akademik, tetapi lebih luas, menyangkut kehidupan non-akademik, seperti masalah-masalah artistik dan tingkah laku sosial.
Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam mengangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al-ma’rifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat struktur kalby yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-infi’ali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual dan agama. Pada saat ini orang tidak saja mengenal kecerdasan intelektual, akan tetapi ada kecerdasan lain yang perlu diperhitungkan, diantaranya kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan kecerdasan qalbiah.

2. Macam-macam Inteligensi (Kecerdasan)
a. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau, kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika.
Melalui test IQ (inteligence quotient) tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan dengan orang lain. Dengan kehadiran konsep baru tentang kecerdasan maka IQ tidak lagi bermakna inteligence quotient melainkan intelektual quotient.
Kecerdasan intelektual ini dari segi kuantitas tidak bisa dikembangkan karena ini merupakan pembawaan sejak lahir, namun kualitasnya dapat dikembangkan. Menurut Kohnstam kualitas kecerdasan intelektual dapat dikembangkan dengan beberapa syarat:
  • Bahwa pengembangan tersebut hanya sampai batas kemampuan, dan tidak dapat melebihinya. Setiap orang mempunyai batas kemampuan yang berbeda.
  • Bahwa pengembangan tersebut tergantung kepada cara berpikir yang metodis.
Tinggi rendahnya kecerdasan intelektual seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
  • Pembawaan, yaitu kesanggupan yang dibawa semenjak lahir dan setiap orang tidak ada yang sama.
  • Kematangan, yaitu saat munculnya daya intelek yang siap untuk dikembangkan mencapai puncaknya (masa peka).
  • Lingkungan, yaitu faktor luar yang mempengaruhi inteligensi pada masa perkembangannya.
  • Minat, yaitu motor penggerak dalam perkembangan inteligensi.
Melalui tes IQ (Inteligence Quotient) tingkat kecerdasan seseorang dapat ditentukan. IQ dapat diperoleh melalui pembagian usia mental (mental age) dan usia kronologis (cronological age) lalu diperlakukan dengan angka 100.
Hasil perhitungan berdasarkan rumus di atas. Oleh Woodwort dan Marquis diklasifikasikan sebagai berikut :
140 keatas = Genius
120 sampai 139 = Very Superior
110 sampai 119 = Superior
90 sampai 109 = Average
80 sampai 89 = Dull Average
70 sampai 79 = Borderline
50 sampai 69 = Debil/Morou
30 sampai 49 = Ambicile
Dibawah 30 = Idiot

b. Kecerdasan Emosional
1) Pengertian kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional merupakan sebuah istilah baru yang pertama kali ditemukan oleh Salovey, psikologi dari Universitas Yale, dan Mayer dari Universitas New Hampershire pada tahun 1990. Namun istilah tersebut menjadi populer ditengah-tengah masyarakat setelah Goleman menulis buku yang berjudul Emotional Inteligence. Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah kemampuan mengenali emosi diri sendiri, mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Ciri utama pikiran emosional adalah respon yang cepat tetapi ceroboh, mendahulukan perasaan daripada pemikiran, realitas simbolik yang seperti kanak-kanak, masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas yang ditentukan oleh keadaan. Kecerdasan emosional merupakan hasil kerja dari otak kanan. Sedangkan kecerdasan intelektual merupakan hasil kerja dari otak kiri. Menurut De Porter dan Hernacke, otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional, dan linear. Kedua belahan otak ini harus diperankan sesuai dengan fungsinya, jika tidak maka masing-masing otak akan mengganggu pada faktor lain.
Fungsi dan peranan kedua otak tersebut adalah sebagai berikut :

OTAK KIRI (LEFT HEMISPHERE)
Matematika, sejarah, bahasa
Konvergen (runtut), sistematis
Analistis
Perbandingan
Hubungan
Linear
Logis
Scientific
Fragment

OTAK KANAN (RIGHT HEMISPHERE)
Persepsi, intuisi, imajinasi
Divergen
Perasaan
Terpadu, holistic
Perasaan
Non linier
Mistic, spiritual
Kreatif
Rasa, seni

Kecerdasan emosional diakui sebagai suatu kemampuan yang pengaruhnya terhadap individu serta dengan Inteligence Quontient (IQ), dalam pengertian bahwa setiap orang tidak hanya dituntut untuk mengendalikan kecerdasan inteligensi saja atau kecerdasan intelektual saja, namun juga sebenarnya dia harus mempergunakan kecerdasan emosional dalam menghadapi problem kehidupan yang dijalani. Faktanya tidak sedikit individu yang memiliki inteligence quotient tinggi mengalami kegagalan dalam upaya mengentaskan problema kehidupan, hanya karena tidak memiliki emosional (EQ) yang mantap. Ari Ginanjar Agustian mengemukakan bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali orang yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil, karena EQ tinggi.
Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal disamping kecerdasan intelektual diperlukan kecerdasan emosi yang lebih menentukan. Ari Ginanjar juga mengemukakan bahwa tingkat Inteligence Quotient (IQ) seseorang umumnya tetap, sedangkan Emotional Quotient (EQ) dapat terus ditingkatkan. Dalam peningkatan inilah kecerdasan emotional sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual, yang umumnya hampir tidak berubah selama kita hidup, sementara kecerdasan emosional dengan motivasi dan usaha yang benar dapat dipelajari dan dikuasai.
Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic inteligence), yaitu kemampuan kognitif murni yang dilakukan dengan IQ. Dalam kenyataannya banyak orang yang cerdas dalam artian terpelajar namun tidak mempunyai kecerdasan emosi, bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan EQ.
Mahmud al-Zaky mengemukakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat dengan kecerdasan uluhiyah (ketuhanan). Jika seseorang tingkat pemahaman dan pengamalan nilai-nilai ketuhanan yang tinggi dalam hidupnya, maka berarti dia telah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdul Rahman al-Aisu, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan ketuhanan.

2) Aspek- aspek kecerdasan emosional
Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional dan spiritual, seperti :
  • Konsistensi (istiqamah)
  • Kerendahan hati (tawadhu’)
  • Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
  • Ketulusan (ikhlas), dan totalitas (kaffah)
  • Keseimbangan (tawazun) dan
  • Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Sedangkan Jalaluddin Rahmat mengemukakan bahwa untuk memperoleh kecerdasan emosional yang tinggi (matang), harus dilakukan hal-hal sebagai berikut :
  • Musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk;
  • Muraqabah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari;
  • Muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan; dan d) Mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri (sebagai hakim sekaligus sebagai terdakwa).
Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya memiliki 5 (lima) aspek kemampuan, yaitu :
  • Kemampuan mengenal emosi diri;
  • Kemampuan menguasai emosi diri;
  • Kemampuan memotivasi diri;
  • Kemampuan mengenal emosi orang lain;
  • Kemampuan mengembangkan hubungan dengan orang lain.
c. Kecerdasan Moral
Kecerdasan moral ialah kemampuan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia.
Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseorang memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang benar ke dalam kehidupan nyata dan menghindarkan diri dari moral yang buruk. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kecerdasan moral sedangkan orang yang jahat merupakan orang yang ideot moral. Kecerdasan moral tidak bisa dicapai dengan menghafal atau mengingat aturan yang dipelajari, melainkan membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar dimana seseorang berada.
Menurut Abdul Mujib kecerdasan moral tidak bisa dicapai dengan menghafal atau mengingat kaedah atau aturan yang dipelajari di dalam kelas melainkan membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar. Ketika seorang anak berinteraksi dengan lingkungan maka dapat diperhatikan bagaimana sikap yang diperankan, penuh belas kasih, adanya atensi, tidak sombong atau angkuh, egois atau mementingkan diri sendiri dan sejumlah sikap lainnya.

d. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak manusia untuk cerdas memilih salah satu agama, ia merupakan sebuah konsep yang berhubungan bagaimana seseorang mempunyai kecerdasan dalam mengelola makna-makna, nilai-nilai dan kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual ini meliputi: (1) hasrat untuk hidup bermakna, (2) motivasi mencari makna hidup, dan (3) mendambakan hidup bermakna. Kecerdasan spiritual ini tidak selalu berhubungan dengan agama.
Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau valua, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.
Selanjutnya Danah Zohar dan Ian Marshall menyatakan, jika ditinjau dari ilmu saraf, semua sifat kecerdasan itu bekerja melalui dan dikendalikan oleh otak. Beserta jaringan sarafnya di seluruh tubuh. Jadi seluruh pengorganisasian, aktivitas, dan kreativitas hidup manusia berpusat di otak. Pengorganisasian saraf yang memungkinkan untuk berpikir rasional, logis dan taat azaz disebut dengan IQ, yang memungkinkan untuk berpikir assosiatif yang terbentuk oleh kebenaran dan kemampuan untuk mengenali pola-pola emosi disebut dengan EQ, sedangkan yang memungkinkan untuk berpikir kreatif, berwawasan jauh, membuat dan mengubah aturan, menata kembali dan mentrasformasikan dua jenis berpikir sebelumnya disebut dengan SQ. SQ merupakan suatu kecerdasan yang memberi kita makna, yang melakukan kontekstualisasi, dan bersifat transformatif, SQ ini tidak dapat diukur sebagaimana IQ. Manusia memiliki suatu kemampuan untuk merasakan secara utuh, berpemahaman holistik dan berpikir secara unitif, yang merupakan proses awal neurologis SQ.

e. Kecerdasan Qalbiah
Adalah sejumlah kemampuan diri secara cepat dan sempurna, untuk mengenal kalbu dan aktivitas-aktivitasnya, mengelola dan mengekspresikan jenis-jenis kalbu secara benar, memotivasi kalbu untuk membina hubungan moralitas dengan orang lain dan hubungan ubudiyah dengan Tuhan.
Menurut Toto Tasmara, Qalbu adalah hati nurani yang menerima limpahan cahaya kebenaran Ilahiyah yaitu ruh. Dengan kalbu inilah Allah memanusiakan manusia dan memuliakannya dari makhluk yang lain. Kalbu merupakan tempat di dalam wahana jiwa dan merupakan titik sentral atau awal yang menggerakkan segala perbuatan manusia yang memiliki kecenderungan baik kepada kebenaran maupun pada keburukan. Kalbu merupakan saqhafa atau hamparan yang menerima suara hati (conscience) yang asalnya dari ruh dan juga sering diistilahkan dengan nurani (bersifat cahaya) yang berfungsi menerangi dan memberikan arah pada manusia untuk bersikap dan bertindak.
Allah menjadikan kalbu manusia sebagai titik sentral kesadaran manusia. Allah akan hukum orang yang mengingkari-Nya dengan kesadaran hati menerima bisikan setan dan memaafkan kalau kesalahan itu tidak sengaja disuarakan suara hati.
Hal ini dinyatakan dalam firman Allah SWT. :
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka. Maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 5)
Selanjutnya menurut Toto Tasmara di dalam kalbu berhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang salah atau benar, baik atau buruk serta berbagai keputusan yang harus dipertanggungjawabkan secara sadar. Untuk itu kalbu harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang memiliki potensi hakiki yang ditiupkan Allah padanya tuhaniyah kebenaran yang selalu mengajak kepada kebenaran. Kondisi ini ditentukan oleh upaya pembersihan, latihan, dan pencerahan kalbu (tazkiyah, tarbiyah al-Qalb).
Kalbu juga mempunyai potensi qalbiyah yang mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala, sebab di dalamnya terdapat ‘ayn al-bashirah (mata batin). Mata batin ini mampu menembus dunia moral, spiritual dan agama yang memuat rahasia dan keajaiban alam semesta. Setelah seseorang mengerahkan seluruh potensi rohaninya, dan ditopang oleh pemberian al-rahman al-rahim dari Allah SWT, maka mata batin ini mampu menyingkap hakikat sesuatu.
Sayyid Mujtaba Musawi Hari menamakan kalbu seperti ini dengan “hati nurani”. Qalbu (hati nurani) selain memiliki fungsi indrawi juga memiliki nilai moral dan etika yang hanif. Nilai-nilai merupakan hal yang inherer dengan yang tercerahkan.
Dengan demikian ketika seseorang tidak berbuat kebajikan melanggar moral, kemudian takut akan sangsi sosial, hal ini berarti kalbunya tidak tercerahkan sehingga gelap dan tidak mampu memproduksi nilai yang suci karena nilai itu sendiri bersifat inheren dengan kalbu seseorang kalau kalbu itu diupayakan pada kondisi menerima curahan cahaya Allah.
Firman Allah SWT.:
Kemudian ia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) sedikit sekali yang bersyukur. (QS. As-Sajadah : 9)
Kecerdasan kalbu menurut Abdul Mujib tumbuh melalui aktualisasi potensi-potensinya, sehingga menimbulkan perilaku qalbiah (al-ahwal al-qalbiyah) yang pada puncaknya memiliki beberapa kecerdasan pula. Kecerdasan kalbu yang dikembangkan tidak terbatas pada kecerdasan intelektual, emosi, moral dan kecerdasan spiritual namun terdapat kecerdasan yang lebih esensial yaitu kecerdasan beragama atau bertuhan. Kecerdasan beragama ini yang memberi makna ibadah pada setiap prilaku dan kegiatan, melalui tingkah-tingkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.
Selanjutnya Abdul Mujid menyatakan bahwa pengertian kecerdasan qalbiah dapat dijabarkan dalam beberapa jenis kecerdasan qalbiah sebagai berikut :
  1. Kecerdasan intelektual (intuitif), yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiah seperti wahyu (untuk para rasul dan nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia biasa yang salih). Adanya sifat intuitif ilahiah ini sebagai pembeda dengan kecerdasan intelektual yang ditimbulkan oleh akal pikiran yang bersifat rasional-insaniah.
  2. Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu inpulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar, dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.
  3. Kecerdasan moral, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta. Kehidupan ini mengarahkan orang untuk berbuat dengan baik, sehingga orang lain merasa senang dan gembira, dan tidak membencinya.
  4. Kecerdasan Spiritual, adalah kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan orang berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia.
  5. Kecerdasan beragama, adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan. Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berperilaku secara benar, yang puncaknya menghasilkan ketaqwaan secara mendalam, dengan dilandasi oleh enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman dan multi kompetensi keihsanan.
Kecerdasan beragama lebih tinggi hirarkinya daripada kecerdasan kalbu yang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan beragama seharusnya telah melampaui kecerdasan spiritual, kecerdasan moral, kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual (intuitif), karena keempat kecerdasan yang terakhir merupakan bagian dari kecerdasan beragama. Keberartian kecerdasan spiritual dan kecerdasan moral menopang pada kecerdasan beragama, sebab keduanya merupakan dimensi esoteris dari agama.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger