Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula. Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu’tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi’ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya.”
Dalam syairnya, Siti Rabi’ah Al-Adawiyah telah berkata:
“Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya.”
Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309H. karena ia berkata, “Saya adalah Tuhan.”
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya, menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha, dan lain-lainnya.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
“Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda’, Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya.”
Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:
Diterangkan pula dalam Al-Qur’an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi. Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: “Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani."
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi.
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya.
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh sufi, “Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H.), berkata, ‘Semua jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.’”
Al-Junaid pun berkata:
“Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur’an dan menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Abu Khafs berkata:
“Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum tasawuf.”
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
“Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya.”
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, “Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?”
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
“Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua, yaitu:
Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid’ah dan di luar Sunnah Nabi saw.
Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi).”
Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
Masih banyak lagi dari ahli bid’ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
di ambil dari: http://ariefhikmah.com/tasawuf/tasawuf-diantara-pemuji-dan-pengelak/
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula. Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu’tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi’ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya.”
Dalam syairnya, Siti Rabi’ah Al-Adawiyah telah berkata:
“Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya.”
Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309H. karena ia berkata, “Saya adalah Tuhan.”
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya, menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha, dan lain-lainnya.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
“Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda’, Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya.”
Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:
والذين ءامنوا اشد حبا لله
“ ... Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah …” (Q.s. Al-Baqarah: 165).فسوف ياتي الله بقوم يحبهم ويحبونه
“… Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya …” (Q.s. Al-Maidah: 54). ان الله يحب الذين يقتلون في سبيله صفا كانهم بنين مرصوص
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) …” (Q.s. Ash-Shaff: 4).Diterangkan pula dalam Al-Qur’an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi. Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: “Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani."
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi.
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
- Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah. Sehingga sebagian ada yang berkata, “Aku diberi tahu oleh hati dari Tuhanku (Allah).”
- Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
- Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
- Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:
ولا تنس نصيبك من الدنيا
“… dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia …” (Q.s. Al-Qashash: 77).Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya.
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh sufi, “Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H.), berkata, ‘Semua jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.’”
Al-Junaid pun berkata:
“Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur’an dan menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Abu Khafs berkata:
“Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum tasawuf.”
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
“Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya.”
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, “Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?”
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
“Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua, yaitu:
Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid’ah dan di luar Sunnah Nabi saw.
Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi).”
Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
Masih banyak lagi dari ahli bid’ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
di ambil dari: http://ariefhikmah.com/tasawuf/tasawuf-diantara-pemuji-dan-pengelak/
0 comments:
Post a Comment