Aljazair
Suatu hari Si’ Djeha sedang mengendarai seekor bagal putih mulus warisan ayahnya. Dia perjalanan dia bertemu empat orang pria menuntun seekor keledai kecil dan kurus ke pasar. Mereka adalah para perampok.
“Si’ Djeha!” mereka memanggil. “Kamu gila mempertaruhkan nyawamu di atas punggung bagal itu! Bagaimana jika kamu jatuh? Kepalamu pasti pecah. Lihat, kami punya keledai kecil bertubuh elok di sini, binatang yang jauh lebih aman.”
“Kalian benar, demi Allah,” kata Si’ Djeha.
“Ha! Tapi apa ang akan kamu berikan kepada kami sebagai penukarnya?”
“Apakah aku berutang pada kalian?”
“Si’ Djeha, hendaklah kamu malu,” kata para perampok, “kami sudah menyelamatkan nyawamu, tapi kamu enggan memberikan bayaran yang layak.”
“Kalian benar,” kata Si’ Djeha. “Katakan padaku apa yang harus kuberikan pada kalian.”
“Apa artinya sejumlah uang bagi orang-orang yang murah hati? Namun, karena kami menyayangimu, kami akan puas menerima seratus keping perak.”
Si’ Djeha pun turun dari bagalnya, membayarkan uang itu, dan menaiki keledai kecil yang lemah itu pulang.
Melihat Si’ Djeha menambatkan keledai itu di halaman, ibunya berteriak kepadanya, “Mana bagal pemberian ayahmu, nak?”
“Aku ceomas suatu saat aku jatuh dari punggungnya, aku akan mati dan meninggalkan ibu tanpa seorang pun menjagamu. Maka aku menukar keledai ini. Cuma menambah seratus keping perak.”
“Semoga Allah mengampuni kebodohanmu,” desah ibunya. “Jika kamu tidak mau menunjukkan sedikit akal sehat saja, pasti akan habislah kita.”
Ketika hari pasar tiba, Si’ Djeha memutuskan membawa keledainya ke kota. Sebelum pergi, dia menempelkan beberapa keping uang emas di bawah ekor keledainya. Ketika memasuki suq, dia bertemu dengan keempat perampok itu lagi.
“Salam, wahai para pelindungku, semoga Allah menambah rezeki kalian!” dia menyalami mereka. “Aku berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya setiap saat karena Dia telah mempertemukan aku dengan kalian.”
“Mengapa, Si’ Djeha?” tanya para perampok itu.
“Keledai kalian, tentu saja! Kaktus yang berduri itu lembut di dalamnya, tapi siapa yang menyangka bahwa seekor keledai biasa, yang tidak berbeda dengan keledai lainnya kecuali terlalu kurus, tidak mengeluarkan kotoran apa pun kecuali kepingan uang emas!”
“Tidak bisa dipercaya!” kata para perampok. Mereka berjalan di samping Si’ Djeha menuju kandang keledainya diikat. Di sana mereka melihat sendiri kepingan-kepingan uang emas di panggul binatang itu. Mereka menggigit jari mereka karena sangat menyesal.
Mereka mulai menyalahkan satu sama lain, dan bertengkar diam-diam. Kemudian mereka berseru, “Semoga Allah memberimu imbalan kebaikan, Si’ Djeha. Maukah kamu mengembalikan keledai kami? Ambil kembali bagalmu, seratus keping perak itu.”
Akan tetapi, Si’ Djeha menolak. Orang-orang itu terus memohon dan menawarkan lebih banyak perak kepadanya. Akhirnya, ketika mereka berjanji mengembalikan bagal ditambah dua ratus keping perak, Si’ Djeha setuju. “Pastikan memberinya makan baik-baik, dan hamparkan permadani di bawahnya untuk menampung emas,” katanya ketika mereka menuntun keledai itu pergi.
Perampok pertama yang mendapat giliran memanfaatkan keledai itu berlari pulang, mengambil sabitnya, dan memotong seluruh rumput di ladang. Setelah membawa makanan hewan itu ke dalam kandang, dia menutup lantai dengan tikar dan mengunci kandang keledai itu. Sepanjang malam itu keledai makan, dan keesokan harinya permadaninya penuh tahi. Malu jika kelihatan tolol, dia tidak mengucapkan apa pun kepada perampok kedua kecuali, “Nikmati keberuntunganmu, Saudaraku!”
Perampok kedua dan ketikda mengalami nasib yang sama seperti perampok pertama. Mereka pun menutup mulut. Ketika perampok keempat marah-marah dan menuduh mereka, “Kalian telah mengambil semua emasnya dan tidak menyisakan apa pun untukku kecuali tahi!” sadarlah mereka bahwa mereka semua telah tertipu. Mereka bersumpah akan membalas dendam.
Rupanya Si’ Djeha sudah siap menerima pembalasan. Dia membeli dua ekor aam jantan dan seekor ayam betina, serta meminta ibunya menggoreng mereka dengan mentega, dan mengukus semangkuk kuskus untuk melengkapinya. Setelah matang, dia menaruhnya di dalam sebuah mangkuk bertutup dan menguburnya di bawah lantai tanah rumahnya. “Empat orang pria akan datang mengunjungiku,” katanya kepada ibunya, dan dia memberi petunjuk dengan teliti apa yang harus dilakukan apabila mereka datang.
Demikianlah, sebelum tengah hari empat perampok itu datang. “Selamat datang, wahai para pelindungku!” kata Si’ Djeha di depan pintu. “Mestinya kalian memberi kabar bahwa kalian berniat memberikan kehormatan padaku sehingga aku punya cukup waktu menjamu kalian., tapi tidak apa-apa. Aku punya Cangkul Keramahan, dan ia akan menyelamatkan aku dari aib.” Keempat orang itu penasaran untuk mengetahui apa yang dimaksudkan olehnya, lupa pada maksud kedatangan mereka sebenarnya, dan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Sesudah para tamunya duduk, Si’ Djeha memanggil ibunya, “Ibu, aku kedatangan tamu-tamu hari ini; tolong bawakan padaku Cangkul Keramahanku.”
Ibunya masuk dan menyerahkan padanya sebuah cangkul kebun yang sudah tua, seakan-akan tidak ada yang aneh dalam permintaannya itu. Sementara para perampok mengawasinya penuh perhatian, Si’ Djeha mulai menggali lantai tanahnya. Dalam sekejap mata dia menemukan mangkuk berisi ayam dan kuskus.
“Mari, temani kami!” dia mengundang tamu-tamunya, dan bau yang sedap dari masakan daging ayam yang masih hangat itu memenuhi ruangan.
“Setiap ada tamu mendadak,” jelas Si’ Djeha, seusai makan, “aku tidak perlu cemas merasa tidak siap selama aku masih menyimpan Cangkul Keramahan ini. Tak jadi soal lemari dapurku penuh atau kosong. Aku tahu alat ini akan membantuku menjamu tamu sebagai layaknya seorang tuan rumah yang baik. Kalian lihat sendiri makanan yang disiapkannya untukku adalah yang terbaik.”
Para perampok setuju bahwa, alhamdulillah, mereka benar-benar telah makan enak. Lalu salah seorang di antara mereka mengutarakan pemikiran yang ada di dalam benak mereka semua. “Si’ Djeha, berapa akan kamu jual cangkul yang sangat bermanfaat ini?”
“Tidak dijual,” kata Si’ Djeha ringkas. Namun, meskipun dia berusaha mengubah topik pembiacaraan, para perampok selalu menanyakan cangkul itu. Akhirnya, Si’ Djeha setuju melepasnya dengan harga seratus keping perak.
“Kakak istriku akan datang untuk makan bersamaku besok,” kata salah seorang perampok dalam perjalanan pulang mereka. “Biar aku mendapat giliran pertama.” Tapi keesokan harinya, meskipun dia menggali hingga seluruh lantai rumahnya terluka habis, dia tidak menemukan mangkuk bertutup dan masakan hangat. Bukan hanya itu, dia dipandang rendah kakak iparnya sebagai tuan rumah yang kikir.
Tiga perampok lainnya sama kecewanya. Yang mendapat giliran terakhir mengancam hendak membawa tiga kawannya ke pengadilan karena telah menghabiskan seluruh makanan dan tidak menyisakan apa pun untuknya. Namun, mereka menunjukkan padanya rumah-rumah mereka yang rusak untuk membuktikan bahwa mereka pun telah ditipu. “Kali ini Si’ Djeha tidak boleh dibiarkan lepas dari tangan kita,” mereka bersumpah.
Rupanya kali ini Si’ Djeha sudah siap. “Kukira aku akan pergi dan menyiangi wijen,” katanya, suatu pagi, kepada istrinya. “Jika keempat kawanku datang untuk mengunjungiku lagi, suruh mereka pergi ke ladang sebelah timur- di situlah aku akan bekerja. Dan begitu mereka pergi, larilah ke toko daging, beli daging kambing yang baik secukupnya, dan bantulah ibuku mempersiapkan jamuan untuk makan siang kita.” Lalu dia mengambil alat-alatnya dan meninggalkan rumah. Di halaman ada sebuah kandang berisi dua ekor kelinci hasil jeratan Si’ Djeha. Sebelum pergi, dia mengambil seekor dan memasukkannya ke dalam jubahnya, meletakkannya di atas ikat pinggangnya.
Tidak lama kemudian, keempat perampok mengetuk pintu, berbicara dengan istri Si’ Djeha, dan mengikutinya pergi ke ladang. “Ho! Si’ Djeha!” mereka memanggil, begitu mereka bisa melihatnya. “Ke sinilah, ada yang harus kami bicarakan denganmu.”
“Orang yang tidak bekerja tidak akan makan,” Si’ Djeha menyahut. “Aku tidak bisa berhenti, saudara-saudara.”
“Urusan kami sangat penting; beristirahatlah,” kata mereka ketika sudah dekat.
“Baiklah,” kata Si’ Djeha, “tapi biarkan aku mengirim pesan kepada istriku untuk menyiapkan makanan bagi kita – waktu makan sebentar lagi.”
Para perampok melihat sekeliling, heran. “Siapa yang kau suruh mengirim pesan?” tanya mereka.
“Aku punya kurir di sini,” kata Si’ Djeha, sambil menarik keluar kelinci itu dari balik jubahnya. Sementara mereka saling memandang tak percaya, dia meletakkannya di atas tanah, dan berkata, “Pergilah! Cari majikan perempuanmu, katakan padanya agar memasak daging domba yang empuk. Kita kedatangan tamu siang ini.” Sekejap mata, kelinci itu menghilang ke dalam semak-semak berduri di pinggir ladang.
“Apakah kamu berharap seekor kelinci dapat menyampaikan pesan?” para perampok itu bertanya, sambil tertawa.
“Ayahku melatihnya,” sahut Si’ Djeha, “dan aku sudah begitu terbiasa dengan kehadirannya sehingga aku akan kesulitan jika dia tidak ada, terutama jika aku berada di ladang begini.”
Dia mengajak para tamunya yang ragu-ragu itu pergi ke rumahnya. Di sana jamuan telah rapi dipersiapkan. Bahkan, kendi dan mangkuk air mawar untuk mencuci tangan pun sudah tersedia. “Kelinci itu benar-benar pelayan yang baik,” gumam para perampok.
“Itu dia,” kata Si’ Djeha, membawa kelinci kedua dari halaman dan menepuk-nepuk lehernya. “Dia pekerja yang baik dan murah makanannya.”
“Maukah kamu mempertimbangkan untuk menjualnya?” tanya para perampok.
“Bagaimana aku bisa melakukan tugas-tugasku tanpa dia?” kata Si’ Djeha. “Aku tidak punya anak lelaki atau perempuan untuk disuruh-suruh.”
“Sebutkan harganya,” desak para perampok. Akhirnya, Si’ Djeha membiarkan mereka membeli kelinci itu seharga seratus keping emas.
“Kali ini,” kata salah seorang perampok di perjalanan pulang, “sebaiknya kita tidak saling mencurigai satu sama lain. Biar aku menyuruh kelinci ini pergi ke rumahku mengirimkan pesan agar istriku memasak makan malam untuk kita berempat sehingga kita semua bisa menguji kurir kita yang baru ini pada saat yang sama.”
“Rencana bagus,” kata yang kawan-kawannya seraya menyaksikan kelinci itu melompat melintasi ladang di hadapan mereka.
Setibanya di rumah perampok pertama, menjelang malam, mereka melihat istrinya bahkan belum menyalakan api tungku sama sekali. “Mengapa selalai ini?” perampok pertama bertanya pada istrinya yang kebingungan. “Bukankah aku sudah mengirim pesan kepadamu lewat pesuruh baru kita agar makanan sudah siap saat kami datang?”
“Pesuruh apa?” kata istrinya.
Para perampok segera berbalik langkah, menyumpah-nyumpah, dan kembali ke rumah Si’ Djeha, berniat membunuhnya.
Di depan pintu rumah Si’ Djeha, mereka menyaksikan pemandangan yang membuat mereka terpaku di tempat mereka berdiri. Mulut mereka kering karena ketakutan. Si’ Djeha sedang berteriak-teriak memarahi istrinya, sebilah pisau teracung-acung di tangannya. Sementara mereka terus mengawasi, wanita itu jatuh bersimbah darah. Lupa pada kesulitan mereka sendiri, para perampok itu hanya bisa megap-megap dan bertanya mengapa dia melakukan kejahatan ini.
“Dengan cara bagaimana lagi seorang pria bisa mengatur perilaku jelek istrinya? Yang kuminta Cuma segelas air, dan dia tidak mau mengambilkannya!” Lalu di bawah tatapan mereka yang keheranan, Si’ Djeha menyentuh luka istrinya dengan pisau itu, dan wanita itu bangkit lagi. sambil berdiri patuh di hadapan suaminya, dan dia bertanya apa yang diinginkannya.
“Seduh kopi untuk tamu-tamu kita,” katanya, mendelik.
Begitu wanita itu meninggalkan ruangan, para perampok menanyai Si’ Djeha. “Mukjizat apakah yang telah kami saksikan ini?”
“Tidakkah kalian pernah mendengar tentang pisau yang dapat membunuh dan menghidupkan lagi?”
“Tidak pernah!” sahut keempat perampok itu bersama-sama.
“Aku tidak akan melepasnya meskipun diberi separuh kerajaan,” kata Si’ Djeha. “Setiap pria yang punya istri pembangkang harus punya pisau seperti itu!”
Para perampok telah melihat bukti dari khasiat benda tunggal tersebut. dengan mengenakan baju yang baru, dan menujukan pandangan matanya ke lantai seperti seorang mempelai yang baru sebulan menikah, istri Si’ Djeha membawa senampan kopi beraroma kayu manis. Kopi belum habis diminum, ketika para perampok itu berhasil membeli pisau dari Si’ Djeha seharga seratus keping perak.
Para perampok secara bergiliran mencoba pisau itu kepada istrinya masing-masing, di rumahnya masing-masing, dan membuktikan betapa ajaibnya benda itu. Sebab tidak lama kemudian keempat perampok itu ditangkap, diadili, dan kemudian dipenjarakan.
Si’ Djeha tidak pernah diganggu mereka lagi.
Suatu hari Si’ Djeha sedang mengendarai seekor bagal putih mulus warisan ayahnya. Dia perjalanan dia bertemu empat orang pria menuntun seekor keledai kecil dan kurus ke pasar. Mereka adalah para perampok.
“Si’ Djeha!” mereka memanggil. “Kamu gila mempertaruhkan nyawamu di atas punggung bagal itu! Bagaimana jika kamu jatuh? Kepalamu pasti pecah. Lihat, kami punya keledai kecil bertubuh elok di sini, binatang yang jauh lebih aman.”
“Kalian benar, demi Allah,” kata Si’ Djeha.
“Ha! Tapi apa ang akan kamu berikan kepada kami sebagai penukarnya?”
“Apakah aku berutang pada kalian?”
“Si’ Djeha, hendaklah kamu malu,” kata para perampok, “kami sudah menyelamatkan nyawamu, tapi kamu enggan memberikan bayaran yang layak.”
“Kalian benar,” kata Si’ Djeha. “Katakan padaku apa yang harus kuberikan pada kalian.”
“Apa artinya sejumlah uang bagi orang-orang yang murah hati? Namun, karena kami menyayangimu, kami akan puas menerima seratus keping perak.”
Si’ Djeha pun turun dari bagalnya, membayarkan uang itu, dan menaiki keledai kecil yang lemah itu pulang.
Melihat Si’ Djeha menambatkan keledai itu di halaman, ibunya berteriak kepadanya, “Mana bagal pemberian ayahmu, nak?”
“Aku ceomas suatu saat aku jatuh dari punggungnya, aku akan mati dan meninggalkan ibu tanpa seorang pun menjagamu. Maka aku menukar keledai ini. Cuma menambah seratus keping perak.”
“Semoga Allah mengampuni kebodohanmu,” desah ibunya. “Jika kamu tidak mau menunjukkan sedikit akal sehat saja, pasti akan habislah kita.”
Ketika hari pasar tiba, Si’ Djeha memutuskan membawa keledainya ke kota. Sebelum pergi, dia menempelkan beberapa keping uang emas di bawah ekor keledainya. Ketika memasuki suq, dia bertemu dengan keempat perampok itu lagi.
“Salam, wahai para pelindungku, semoga Allah menambah rezeki kalian!” dia menyalami mereka. “Aku berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya setiap saat karena Dia telah mempertemukan aku dengan kalian.”
“Mengapa, Si’ Djeha?” tanya para perampok itu.
“Keledai kalian, tentu saja! Kaktus yang berduri itu lembut di dalamnya, tapi siapa yang menyangka bahwa seekor keledai biasa, yang tidak berbeda dengan keledai lainnya kecuali terlalu kurus, tidak mengeluarkan kotoran apa pun kecuali kepingan uang emas!”
“Tidak bisa dipercaya!” kata para perampok. Mereka berjalan di samping Si’ Djeha menuju kandang keledainya diikat. Di sana mereka melihat sendiri kepingan-kepingan uang emas di panggul binatang itu. Mereka menggigit jari mereka karena sangat menyesal.
Mereka mulai menyalahkan satu sama lain, dan bertengkar diam-diam. Kemudian mereka berseru, “Semoga Allah memberimu imbalan kebaikan, Si’ Djeha. Maukah kamu mengembalikan keledai kami? Ambil kembali bagalmu, seratus keping perak itu.”
Akan tetapi, Si’ Djeha menolak. Orang-orang itu terus memohon dan menawarkan lebih banyak perak kepadanya. Akhirnya, ketika mereka berjanji mengembalikan bagal ditambah dua ratus keping perak, Si’ Djeha setuju. “Pastikan memberinya makan baik-baik, dan hamparkan permadani di bawahnya untuk menampung emas,” katanya ketika mereka menuntun keledai itu pergi.
Perampok pertama yang mendapat giliran memanfaatkan keledai itu berlari pulang, mengambil sabitnya, dan memotong seluruh rumput di ladang. Setelah membawa makanan hewan itu ke dalam kandang, dia menutup lantai dengan tikar dan mengunci kandang keledai itu. Sepanjang malam itu keledai makan, dan keesokan harinya permadaninya penuh tahi. Malu jika kelihatan tolol, dia tidak mengucapkan apa pun kepada perampok kedua kecuali, “Nikmati keberuntunganmu, Saudaraku!”
Perampok kedua dan ketikda mengalami nasib yang sama seperti perampok pertama. Mereka pun menutup mulut. Ketika perampok keempat marah-marah dan menuduh mereka, “Kalian telah mengambil semua emasnya dan tidak menyisakan apa pun untukku kecuali tahi!” sadarlah mereka bahwa mereka semua telah tertipu. Mereka bersumpah akan membalas dendam.
Rupanya Si’ Djeha sudah siap menerima pembalasan. Dia membeli dua ekor aam jantan dan seekor ayam betina, serta meminta ibunya menggoreng mereka dengan mentega, dan mengukus semangkuk kuskus untuk melengkapinya. Setelah matang, dia menaruhnya di dalam sebuah mangkuk bertutup dan menguburnya di bawah lantai tanah rumahnya. “Empat orang pria akan datang mengunjungiku,” katanya kepada ibunya, dan dia memberi petunjuk dengan teliti apa yang harus dilakukan apabila mereka datang.
Demikianlah, sebelum tengah hari empat perampok itu datang. “Selamat datang, wahai para pelindungku!” kata Si’ Djeha di depan pintu. “Mestinya kalian memberi kabar bahwa kalian berniat memberikan kehormatan padaku sehingga aku punya cukup waktu menjamu kalian., tapi tidak apa-apa. Aku punya Cangkul Keramahan, dan ia akan menyelamatkan aku dari aib.” Keempat orang itu penasaran untuk mengetahui apa yang dimaksudkan olehnya, lupa pada maksud kedatangan mereka sebenarnya, dan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Sesudah para tamunya duduk, Si’ Djeha memanggil ibunya, “Ibu, aku kedatangan tamu-tamu hari ini; tolong bawakan padaku Cangkul Keramahanku.”
Ibunya masuk dan menyerahkan padanya sebuah cangkul kebun yang sudah tua, seakan-akan tidak ada yang aneh dalam permintaannya itu. Sementara para perampok mengawasinya penuh perhatian, Si’ Djeha mulai menggali lantai tanahnya. Dalam sekejap mata dia menemukan mangkuk berisi ayam dan kuskus.
“Mari, temani kami!” dia mengundang tamu-tamunya, dan bau yang sedap dari masakan daging ayam yang masih hangat itu memenuhi ruangan.
“Setiap ada tamu mendadak,” jelas Si’ Djeha, seusai makan, “aku tidak perlu cemas merasa tidak siap selama aku masih menyimpan Cangkul Keramahan ini. Tak jadi soal lemari dapurku penuh atau kosong. Aku tahu alat ini akan membantuku menjamu tamu sebagai layaknya seorang tuan rumah yang baik. Kalian lihat sendiri makanan yang disiapkannya untukku adalah yang terbaik.”
Para perampok setuju bahwa, alhamdulillah, mereka benar-benar telah makan enak. Lalu salah seorang di antara mereka mengutarakan pemikiran yang ada di dalam benak mereka semua. “Si’ Djeha, berapa akan kamu jual cangkul yang sangat bermanfaat ini?”
“Tidak dijual,” kata Si’ Djeha ringkas. Namun, meskipun dia berusaha mengubah topik pembiacaraan, para perampok selalu menanyakan cangkul itu. Akhirnya, Si’ Djeha setuju melepasnya dengan harga seratus keping perak.
“Kakak istriku akan datang untuk makan bersamaku besok,” kata salah seorang perampok dalam perjalanan pulang mereka. “Biar aku mendapat giliran pertama.” Tapi keesokan harinya, meskipun dia menggali hingga seluruh lantai rumahnya terluka habis, dia tidak menemukan mangkuk bertutup dan masakan hangat. Bukan hanya itu, dia dipandang rendah kakak iparnya sebagai tuan rumah yang kikir.
Tiga perampok lainnya sama kecewanya. Yang mendapat giliran terakhir mengancam hendak membawa tiga kawannya ke pengadilan karena telah menghabiskan seluruh makanan dan tidak menyisakan apa pun untuknya. Namun, mereka menunjukkan padanya rumah-rumah mereka yang rusak untuk membuktikan bahwa mereka pun telah ditipu. “Kali ini Si’ Djeha tidak boleh dibiarkan lepas dari tangan kita,” mereka bersumpah.
Rupanya kali ini Si’ Djeha sudah siap. “Kukira aku akan pergi dan menyiangi wijen,” katanya, suatu pagi, kepada istrinya. “Jika keempat kawanku datang untuk mengunjungiku lagi, suruh mereka pergi ke ladang sebelah timur- di situlah aku akan bekerja. Dan begitu mereka pergi, larilah ke toko daging, beli daging kambing yang baik secukupnya, dan bantulah ibuku mempersiapkan jamuan untuk makan siang kita.” Lalu dia mengambil alat-alatnya dan meninggalkan rumah. Di halaman ada sebuah kandang berisi dua ekor kelinci hasil jeratan Si’ Djeha. Sebelum pergi, dia mengambil seekor dan memasukkannya ke dalam jubahnya, meletakkannya di atas ikat pinggangnya.
Tidak lama kemudian, keempat perampok mengetuk pintu, berbicara dengan istri Si’ Djeha, dan mengikutinya pergi ke ladang. “Ho! Si’ Djeha!” mereka memanggil, begitu mereka bisa melihatnya. “Ke sinilah, ada yang harus kami bicarakan denganmu.”
“Orang yang tidak bekerja tidak akan makan,” Si’ Djeha menyahut. “Aku tidak bisa berhenti, saudara-saudara.”
“Urusan kami sangat penting; beristirahatlah,” kata mereka ketika sudah dekat.
“Baiklah,” kata Si’ Djeha, “tapi biarkan aku mengirim pesan kepada istriku untuk menyiapkan makanan bagi kita – waktu makan sebentar lagi.”
Para perampok melihat sekeliling, heran. “Siapa yang kau suruh mengirim pesan?” tanya mereka.
“Aku punya kurir di sini,” kata Si’ Djeha, sambil menarik keluar kelinci itu dari balik jubahnya. Sementara mereka saling memandang tak percaya, dia meletakkannya di atas tanah, dan berkata, “Pergilah! Cari majikan perempuanmu, katakan padanya agar memasak daging domba yang empuk. Kita kedatangan tamu siang ini.” Sekejap mata, kelinci itu menghilang ke dalam semak-semak berduri di pinggir ladang.
“Apakah kamu berharap seekor kelinci dapat menyampaikan pesan?” para perampok itu bertanya, sambil tertawa.
“Ayahku melatihnya,” sahut Si’ Djeha, “dan aku sudah begitu terbiasa dengan kehadirannya sehingga aku akan kesulitan jika dia tidak ada, terutama jika aku berada di ladang begini.”
Dia mengajak para tamunya yang ragu-ragu itu pergi ke rumahnya. Di sana jamuan telah rapi dipersiapkan. Bahkan, kendi dan mangkuk air mawar untuk mencuci tangan pun sudah tersedia. “Kelinci itu benar-benar pelayan yang baik,” gumam para perampok.
“Itu dia,” kata Si’ Djeha, membawa kelinci kedua dari halaman dan menepuk-nepuk lehernya. “Dia pekerja yang baik dan murah makanannya.”
“Maukah kamu mempertimbangkan untuk menjualnya?” tanya para perampok.
“Bagaimana aku bisa melakukan tugas-tugasku tanpa dia?” kata Si’ Djeha. “Aku tidak punya anak lelaki atau perempuan untuk disuruh-suruh.”
“Sebutkan harganya,” desak para perampok. Akhirnya, Si’ Djeha membiarkan mereka membeli kelinci itu seharga seratus keping emas.
“Kali ini,” kata salah seorang perampok di perjalanan pulang, “sebaiknya kita tidak saling mencurigai satu sama lain. Biar aku menyuruh kelinci ini pergi ke rumahku mengirimkan pesan agar istriku memasak makan malam untuk kita berempat sehingga kita semua bisa menguji kurir kita yang baru ini pada saat yang sama.”
“Rencana bagus,” kata yang kawan-kawannya seraya menyaksikan kelinci itu melompat melintasi ladang di hadapan mereka.
Setibanya di rumah perampok pertama, menjelang malam, mereka melihat istrinya bahkan belum menyalakan api tungku sama sekali. “Mengapa selalai ini?” perampok pertama bertanya pada istrinya yang kebingungan. “Bukankah aku sudah mengirim pesan kepadamu lewat pesuruh baru kita agar makanan sudah siap saat kami datang?”
“Pesuruh apa?” kata istrinya.
Para perampok segera berbalik langkah, menyumpah-nyumpah, dan kembali ke rumah Si’ Djeha, berniat membunuhnya.
Di depan pintu rumah Si’ Djeha, mereka menyaksikan pemandangan yang membuat mereka terpaku di tempat mereka berdiri. Mulut mereka kering karena ketakutan. Si’ Djeha sedang berteriak-teriak memarahi istrinya, sebilah pisau teracung-acung di tangannya. Sementara mereka terus mengawasi, wanita itu jatuh bersimbah darah. Lupa pada kesulitan mereka sendiri, para perampok itu hanya bisa megap-megap dan bertanya mengapa dia melakukan kejahatan ini.
“Dengan cara bagaimana lagi seorang pria bisa mengatur perilaku jelek istrinya? Yang kuminta Cuma segelas air, dan dia tidak mau mengambilkannya!” Lalu di bawah tatapan mereka yang keheranan, Si’ Djeha menyentuh luka istrinya dengan pisau itu, dan wanita itu bangkit lagi. sambil berdiri patuh di hadapan suaminya, dan dia bertanya apa yang diinginkannya.
“Seduh kopi untuk tamu-tamu kita,” katanya, mendelik.
Begitu wanita itu meninggalkan ruangan, para perampok menanyai Si’ Djeha. “Mukjizat apakah yang telah kami saksikan ini?”
“Tidakkah kalian pernah mendengar tentang pisau yang dapat membunuh dan menghidupkan lagi?”
“Tidak pernah!” sahut keempat perampok itu bersama-sama.
“Aku tidak akan melepasnya meskipun diberi separuh kerajaan,” kata Si’ Djeha. “Setiap pria yang punya istri pembangkang harus punya pisau seperti itu!”
Para perampok telah melihat bukti dari khasiat benda tunggal tersebut. dengan mengenakan baju yang baru, dan menujukan pandangan matanya ke lantai seperti seorang mempelai yang baru sebulan menikah, istri Si’ Djeha membawa senampan kopi beraroma kayu manis. Kopi belum habis diminum, ketika para perampok itu berhasil membeli pisau dari Si’ Djeha seharga seratus keping perak.
Para perampok secara bergiliran mencoba pisau itu kepada istrinya masing-masing, di rumahnya masing-masing, dan membuktikan betapa ajaibnya benda itu. Sebab tidak lama kemudian keempat perampok itu ditangkap, diadili, dan kemudian dipenjarakan.
Si’ Djeha tidak pernah diganggu mereka lagi.
0 comments:
Post a Comment