Batas Aurat Wanita

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa tidak satu ayat pun yang secara tegas menetapkan batas-batas aurat wanita. Argumentasi masing-masing kelompok ulama yakni yang menyatakan semua badan wanita aurat tanpa kecuali, demikian juga yang menyatakan kecuali wajah dan telapak tangannya tidak cukup kuat untuk membatalkan pandangan lawannya. Namun demikian, ada hal yang disepakati oleh seluruh ulama, sejak dahulu hingga kini dan yang perlu mendapat perhatian wanita-wanita muslimah, yaitu larangan ber-tabarruj walau wanita itu telah mencapai usia senja.[1]

Karena tidak adanya ketegasan yang pasti dari al-Qur’án tentang batas-batas aurat wanita, maka para ulama benyak sekali menoleh kepada hadis-hadis Nabi saw, serta pengamalan wanita-wanita muslimah pada masa Rasul saw., dan sahabat-sahabat beliau. Memang al-Qur’án tidak dapat dipisahkan dari Sunnah Nabi saw. Nabi Muhammad saw., telah diberi wewenang oleh Allah swt., untuk menjelaskan maksud firman-firman-Nya.

وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur’án, agar engaku menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl [16]: 44. )

Demikian firman Allah dalam Al-Qur'an. Namun demikian, para ulama seringkali berbeda pendapat tentang penilaian menyangkut keshahihan hadië atau makna pesan-pesannya.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa pertimbangan nalar dan analogi, harus didahulukan walau atas nash. Pendapat ini populer dinisbahkan kepada Imam Abu Hanífah (w. 767 M). Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh banyak ulama dan cendekiawan. Boleh jadi pendapat itu diutarakan oleh pendukung mazhab Abú Hanífah yang sangat fanatik, saat disodorkan kepada mereka hadits-hadts shahih, dimana yang kandungannya bertentangan dengan pendapat Abú Hanífah, lalu merekalah yang menyatakan bahwa imam mereka mendahulukan nalar atas hadits.[2]

Para ulama yang diakui otoritas ilmiahnya sepakat menjadikan hadits-hadits Nabi Muhammad saw., sebagai sumber hukum kedua, selama hadië yang dimaksud adalah shahih, walau hanya diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Mereka semua menjadikan hadits selama nilainya sebagai dasar penetapan hukum. Mereka semua berkata: “Kalau hadits telah shahih, maka itulah pendapatku”[3], tetapi pandangan kritis yang menjiwai bahasan pakar-pakar hadits menjadikan mereka menetapkan bahwa segala macam bentuk kelemahan hadits walau sedikit telah menghalangi hadits tersebut untuk menjadi sumber hukum bahkan walau dalam bidang moral.[4] Karena itu, sama sekali bukan pada tempatnya menyatakan bahwa hadits dha’íf lebih wajar diterima ketimbang pertimbangan nalar atau analogi. Kalau seorang ulama telah menilai kelemahan suatu hadits, maka ia tidak lagi terikat dengan kandungan hadits itu.

Berikut penulis mengangkat beberapa hadits pokok yang dijadikan dasar oleh ulama yang menyatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat, dan kelompok yang mengecualikan wajah dan telapak tangannya:

  • Hadits pertama:

عن ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي (ص) قال: المرأة عورة فإذا خرجت إستشرفهاالشيطان.
Dari ibn Mas’úd bahwa Nabi saw., bersabda, “Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya” (HR. at-Tirmidzi dan dia menilainya Hasan Gharíb).


Menurut at-Tirmidzi, hadits di atas bernilai hasan dalam arti perawinya memiliki sedikit kelemahan dalam ingatannya dan gharíb yakni tidak diriwayatkan kecuali melalui seorang demi seorang. Menurut Quraish Shihab, hadits di atas kalaupun dinilai shahih, tidaklah menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Karena kata wanita adalah aurat, menurut beliau dapat berarti bagian-bagian tertentu dari badan atau geraknya yang rawan menimbulkan rangsangan. Hadits ini juga tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang wanita keluar rumah; paling tinggi, dia hanyalah merupakan peringatan agar wanita menutup auratnya dengan baik dan bersikap sopan sesuai dengan tuntunan agama, lebih-lebih apabila dia keluar rumah, agar tidak merangsang kehadiran dan gangguan setan, baik setan manusia maupun setan jin. Pulihan hadits yang menunjukkan bahwa banyak wanita-wanita pada zaman Nabi yang justru diperbolehkan keluar rumah untuk melakukan aneka kegiatan positif.

  • Hadits kedua:

عن عائشة رضي الله عنها : أن أسماء بنت أبي بكردخلت على رسول الله (ص) وعليها ثياب رقاق, فأعرض عنها رسول الله (ص) وقال: ياأسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا (وأشارإلى وجهه وكفيه

Âisyah ra., berkata bahwa Asmá putri Abú Bakar ra, datang menemui Rasulullah saw., dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah saw., berpaling enggan melihatnya dan bersabda: “Hai Asmá, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau) (HR. Abú Dáúd dan al-Baihaqi).

Menurut ulama yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat, tanpa kecuali, hadits di atas tidak dapat dijadikan argumen, karena Abú Dáúd sendiri yang meriwayatkannya menilai hadits ini bersifat mursal[5] karena Khálid ibn Duraik yang dalam sanadnya menyebut nama istri Nabi ‘Âisyah ra., sebagai sumbernya, Khálid tersebut tidak mengenal ‘Âisyah ra., secara pribadi, tidak juga semasa dengan beliau. Ini berarti, hadits tersebut adalah mursal. Hadits mursal, dinilai oleh banyak ulama tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam konteks ini pakar hadits Imam Muslim menyatakan: “Hadits yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat pakar-pakar riwayat tidak dapat dijadikan hujjah (argumentasi keagamaan)”[6].

Di sisi lain, kandungan informasi hadits pun diragukan. Demikian menurut ulama yang menolaknya. Bagaimana mungkin Asmá’ putri Abú Bakar ra., sekaligus saudari ‘Âisyah ra., yang merupakan istri Rasulullah saw., dengan berpakaian tipis (transparan), apalagi Asmá’ adalah seorang wanita yang baik keberagamaan dan ketakwaannya? Tutur Muhammad Ismá’il al-Muqaddam yang juga menilai hadië tersebut lemah.

Tetapi tulisnya lebih lanjut “Kalaupun kita berasumsi bahwa hadits itu shahíh, ulama-ulama tetap menolaknya dengan bermacam-macam alasan. Ada yang menyatakan bahwa pakaian yang dikenakan Asmá’ itu dipakainya sebelum ditetapkannya kewajiban menutup seluruh badan wanita.” Dalam konteks ini Ibn Taimiyah berkata bahwa ketetapan agama menyangkut aurat wanita melalui dua tahap. Pada tahap pertama agama masih mengizinkan wanita membuka wajah dan telapak tangannya, lalu pada tahap kedua, izin tersebut dibatalkan dengan ketetapan kewajiban menutup seluruh badan.[7] Pendapat serupa dikemukakan juga oleh salah seorang ulama kontemporer Muhammad ‘Ali as-Shábúni dalam tafsirnya Rawá’i al-Bayán.[8]

Ada juga ulama yang menyatakan izin membuka wajah dan telapak tangan itu, antara lain sebagaimana bunyi hadits di atas, adalah dalam hal-hal yang sangat dibutuhkan, seperti bagi wanita yang hendak dipinang.[9] Tentu saja alasan tersebut tidak diterima oleh pendukung pendapat yang menilai wajah dan tangan wanita bukan aurat.

===============
Footnote:
[1] Satu hal yang tidak sejalan dengan tuntunan al-Qur’an adalah kecenderungan sementara wanita untuk memakai pakaian tertutup di usia tuanya dan memakai pakaian terbuka di masa mudanya. Ini serupa juga dengan dalih sementara wanita yang menyatakan baru akan memakai pakaian tertutup setelah mencapai usia tertentu. Lihat Quraish Shihab, op.cit., h. 91. Lihat pula QS. An-Nuur [24]: 60: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.”

[2] Shubhi ash-Shálih, ‘Ulúm al-Hádits wa Mushtalahuhu, Beirut: Dár al-’Ilm lil Maláyín, 1977, h. 307-308.

[3] M. Quraish Shihab, op.cit., h. 93.

[4] Ibid.

[5] Lihat Sunan Abí Dáúd, Tahqiq Muhammad ‘Abdul ‘Azíz al-Khálidi, Beirut: Dár Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, Jilid III, Hadis no. 4104.

[6]Lihat Shahíh Muslim bi Syarh an-Nawáwy, Maktabah Dár al-Báz Mekah, tp.,th.,Jilid I, h. 132. Memang ada juga ulama hadis yang menilainya hujjah, kalau itu disampaikan oleh sahabat yang tidak mendengarnya langsung dari Nabi saw., misalnya ketika itu dia belum memeluk agama Islam atau masih belum dewasa. Lihat Shubhi as-Shálih, op.cit.,h. 166

[7]Lihat selengkapnya pada Muhammad Ahmad Ismá’il, ‘Audat al-Hijáb, Riyad, Dár aô-Ôíbah, Jilid III, h. 339-345.

[8]Muhammad ‘Ali as-Shábúni, Rawá’i al-Bayán, Cairo: Dár as-Salám, 1997, h. 359.

[9]Jika pendapat ini diterima, itu berarti seorang wanita harus diberitahu bahwa ada pria yang akan meminangnya, dan karena itu hendaklah dia membuka wajahnya. Alangkah malang wanita ini seandainya setelah ia memperlihatkan wajah dan telapak tangan, ia tidak berkenan di hati calon pelamarnya. Sungguh jawaban ini sangat sulit diterima menurut logika banyak orang.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger