Sastra Sebagai Disiplin Ilmu

1. PENGERTIAN SASTRA
Istilah sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sansekerta; akar kata sas biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su berarti baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw. 1988:23).

Apakah kesusastraan itu? Dalam Kamus Sinonim Bahasa Indonesia yang disusun oleh Kridalaksana (1977:154), sastra bersinonim dengan bahasa indah, pustaka, buku, persuratan. Kesusastraan bersinonim dengan literatur, kepustakaan, seni kata. Sastrawan bersinonim pujangga, pengarang, penyair.

Dalam KUBI (1996:882) dijelaskan sastra adalah:
  1. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
  2. Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
  3. Kitab suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan.
  4. Pustaka; kitab primbon (berisi ramalan, hitungan, dan sebagainya)
  5. Tulisan, huruf.

Sedangkan kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan yang lain, memiliki berbagai ketentuan seperti keaslian, keartisikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Kesastraan, perihal sastra (maknanya lebih luas daripada kesusastraan). Sastrawan, (1) ahli sastra, (2) pujangga, pengarang prosa dan puisi, (3) (orang) pandai- pandai, cerdik cendekia.

Dalam Kamus Sastra yang ditulis oleh Sudjiman (1986), dijelaskan sastra, karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapan.

Eagleton (1988:1-2) mengatakan kesusastraan adalah karya tulisan yang bersifat "imajinatif”. Kesusastraan adalah sejenis karya tulisan yang mewakili suatu keganasan[1] yang teratur terhadap pertuturan biasa. Kesusastraan mengubah dan memadatkan bahasa harian.

Luxemburg, dkk. (1984:5,9) mengatakan kesusastraan merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.

Menurut Ahmad (1952:6) kesusastraan ialah himpunan segala sastera atau karangan yang indah, karangan yang baik. Kesusastraan atau seni sastra ialah segala pensahiran pikiran atau perasaan manusia dengan memakai alat bahasa, baik dengan lisan maupun tulisan yang memenuhi syarat-syarat kesenian.

Sedangkan menurut Nasution, dkk (1973: 11) kesusastraan ialah segala karangan yang baik bentuk dan isinya, yang dimaksud bentuk dan isi ialah pemakaian bahasa dan teknik pengolahan sesuatu karangan, sedangkan isi, berarti pikiran atau ide yang dikemukakan.

Kemudian berdasarkan Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia pada tanggal 25-28 Oktober 1966 (1967:184), diungkapkan kesusastraan adalah sebuah peristiwa seni yang memakai bahasa sebagai mediumnya.

Di samping itu, sastra sebagai ilmu menurut Teeuw (1988:120) menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain yaitu obyek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak karuan. Sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban atas pertanyaan ilmu sastra; Apakah sastra?.

Melihat keluasan seperti yang dikemukakan oleh Teeuw tersebut, maka kemudian menurut Hutagalung "meskipun telah lama diterima sebagai ilmu dan diajarkan di perguruan tinggi, ilmu susastra (sastra, pen) masih diragukan kemurniannya sebagai ilmu, bahkan oleh ahlinya sendiri seperti Hudson dan Warren yang sudah menyusun buku pengantar untuk pemahaman susastra. Salah satu penyebab utama timbulnya masalah kemurnian ilmu susastra adalah karena obyeknya yakni karya sastra yang "licin dan cair"[2].

Dengan bertolak dari pandangan di atas, permasalahan sebenarnya dapat disederhanakan menjadi dua bagian: Pertama sastra dalam pengertian: sastra sebagai karya imajinatif. Kedua sastra dalam pengertian seni bahasa (sebagai karya kreatif).

Sastra sebagai karya imajinatif adalah rekaan, hasil konstruksi seorang pengarang sementara sastra sebagai seni bahasa adalah kreativitas. Jadi, sastra adalah kegiatan kreatif dan imajinatif. Sebagai kegiatan kreatif karya sastra adalah sebuah seni bahasa.

Bersifat imajinatif, berarti kalaupun realitas yang disajikan sebuah karya sastra adalah sebuah realitas yang sungguh-sungguh ada, seolah-olah dapat dijadikan studi sejarah misalnya, tetapi realitas seperti ini adalah realitas yang sudah dimodifikasi, direkonstruksi sipengarang berdasarkan kehendak hatinya (anutan rohaninya)[3].

Dalam hal ini maka pendekatan karya sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan pendekatan instrinsik dan ekstrinsik[4]. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam istilah saja. Pada kenyataannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling mengisi, saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah karya sastra, bukan saling berbeda, sebab kalau pembicaraan terhadap sebuah karya sastra lebih ditekankan ke segi ekstrinsiknya, pembicaraan karya sastra menjadi lain, boleh jadi bukan lagi pembicaraan tentang kesusastraan. Menekankan ke bidang sosiologi misalnya, akan menjadi semacam uraian tentang sosiologi. Menekankan kepada bidang sejarah misalnya, akan menjadi semacam pembicaraan tentang sejarah.

Jadi, walaupun pengertian sastra dan ilmu sastra samar-samar, setidak-tidaknya karya sastra mengandung tujuh unsur, yakni unsur (1) kebahasaan, (2) struktur wacana, (3) signifikan sastra, (4) keindahan, (5) sosial budaya, (6) nilai, baik nilai filsafat, agama, maupun psikologi, serta (7) latar kesejarahannya (Aminuddin, 1987: 51).

2. SASTRA SEBAGAI ILMU

2.1 Syarat Ilmu
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sesuatu itu dapat digolongkan menjadi ilmu harus memiliki ontologi, epistemologi, aksiologi (deontologi). Pertanyaan kemudian, bagaimana ontologi sastra sebagai ilmu? Bagaimana epistemologi sastra sebagai ilmu dan bagaimana aksiologi atau deontologi sastra sebagai ilmu?

2.1.1 Ontologi Sastra
Apa yang menjadi ontologi atau hakikat atau inti sastra atau kesusastraan? Apakah Sastra atau kesusastraan itu seni atau bukan. Apakah Sastra atau kesusastraan itu media komunikasi atau bukan? Dengan terjawab hakikat sastra ini, maka semakin jelas terjawab masalah epistemologi sastra atau kesusastraan. Nyatanya hingga kini, apa ontologi sastra belum terjawab.

Menurut pandangan penulis setidaknya ada lima ontologi atau hakikat atau esensi sastra sebagai ilmu pertama sastra sebagai bahasa, sastra sebagai seni, sastra sebagai komunikasi, sastra sebagai simbol artinya dibalik teks ada makna lain, dan sastra sebagai hiburan.

Ontologi Sastra
Sastra Sebagai Bahasa
Sastra Sebagai Seni/Estetika
Sastra Sebagai Komunikasi
Sastra Sebagai Simbol
Sastra Sebagai Hiburan

Di sinilah keunikan sastra sebagai ilmu, sastra sebagai ilmu mempunyai lebih dari satu ontologi, hakikat, atau esensinya. Ontologi, hakekat, esensi yang berbeda, menghasilkan, atau memerlukan metode pengkajian yang berbeda pula. Hal inilah yang menyebabkan dalam tataran epistemologi, banyak metode pendekatan, pengkajian terhadap sastra.

2.1.2 Epistemologi Sastra
Berdasarkan lima ontologi sastra tersebut, maka epistemologi sastra itu, bergantung dari ontologi yang dipahami. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebahasaaan. Bila kita menganggap sastra sebagai seni, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya adalah ilmu komunikasi. Bila kita menganggap sastra sebagai simbol, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu tentang simbol. Bila kita menganggap sastra sebagai hiburan, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu kebudayaan populer.

Ontologi
Sastra Sebagai Bahasa
Sastra Sebagai Seni
Sastra Sebagai Komunikasi
Sastra Sebagai Simbol
Sastra Sebagai Hiburan

Arahan Epistemologi
Ilmu-Ilmu Tentang Kebahasaan
Ilmu-Ilmu Tentang Seni dan Estetika
Ilmu-ilmu Tentang Komunikasi
Ilmu-Ilmu Tentang Simbol
Kajian Budaya Populer

Epistemologi
Ilmu-Ilmu Tentang Bahasa
Ilmu-Ilmu Tentang Seni
Ilmu-ilmu Tentang Komunikasi
Ilmu-Ilmu Tentang Simbol
Kajian Budaya Populer

Disiplin Ilmu yang Terkait
Semantik, Sintaktis dan sebagainya.
Seni dan Estetika dan sebagainya.
Ilmu Komunikasi dan sebagainya.
Hermenutika, Analisis Wacana, Simbolisme, Dekonstruksi dan sebagainya.
Psikologi, Hedonisme dan sebagainya.

Penggunaan atau penerapannya tidak kaku, namun fungsional. kombinasi kelima ontologi tersebut, melahirkan epistemologi sastra seperti yang sudah digunakan selama ini seperti srukturalisme, mimesis, pragmatik, ekspresi, obyektif, emotif. analitis, historis, sosiopsikologis, didaktis, semantik, tradisional, intensional, general, komparatif, doktrin, sekuensi, tematik, evaluatif, judisial, induktif, impresionistik, sosiokultural, mitopeik, relativistik, absolustik, interprestasi, tekstual, lingusitik, biografis, perspektif, elusidatori, praktis, politik/ideologi, hedonisme, utilitarisme, vitalisme, humanisme, relegiusme, sosial budaya, artistik, eksistensialisme, dan sebagainya seperti semiotik, hermeneutika, sosiosastra (sosiologi sastra), intertektualitas, psikologi sastra, dekonstruksi, simbolisme.

2.1.3 Aksiologi (Deontologi) Sastra
Bagaimana asksiologi atau deontologi sastra? Bila mengikuti ontologi atau hakikat atau esensi sastra di atas, maka aksiologi atau deontologi sastra adalah:
  1. Karya Sastra harus mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
  2. Karya Sastra harus membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
  3. Karya Sastra harus menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.
  4. Karya Sastra harus memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
  5. Karya Sastra harus menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
  6. Karya Sastra harus mampu memberikan hiburan bagi rakyat (penikmatnya).
Maka yang menjadi aksiologi sastra adalah keenam unsur di atas. Soal apakah keenam unsur ini terdapat di dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi masalah lain.

2.2 Empat Sifat Sastra sebagai Ilmu
Pendekatan[5] terhadap karya sastra dapat dibagi atas dua bagian besar yang dikenal dengan pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Kedua pendekatan ini hanya terpisah dalam istilah saja. Pada kenyatannya antara pendekatan yang satu dengan yang lainnya saling mengisi, saling mendukung dalam memberi arti terhadap pemahaman sebuah karya sastra. Namun studi sastra sebagai bagian dari cabang ilmu pengetahuan, mempunyai empat sifat:
  1. Kumulatif. - Sastra sebagai ilmu bersifat kumulatif. Artinya sastra sebagai ilmu tidak sekaligus jadi, tetapi dibentuk berdasarkan kajian-kajian atau penelitian-penelitian sebelumnya. Teori-teorinya selalu disempurnakan, ditambah, diperbaiki sehingga mampu menampung dinamika yang tumbuh di dalam sastra itu sendiri. Sebagai contoh semakin bervariasinya pendekatan-pendekatan terhadap karya sastra menunjukkan kepada kita pendekatan-pendekatan tersebut mencoba menampung dinamika yang berkembang yang terdapat pada sebuah karya sastra, artinya kelemahan pendekatan yang satu dicoba tampung pada pendekatan yang lainnya.
  2. Empiris. - Berdasarkan sifat kumulatifnya, maka sastra sebagai ilmu didasarkan kepada penelitian dan pengkajian sebelumnya. Kenyataan atau realitas karya sastra tidak saja bersifat fakta tetapi juga faktual[6].
  3. Teori. - Sastra sebagai ilmu mempunyai teori. Teori ini disusun berdasarkan penelitian dan kajian terhadap karya-karya sebelumnya.
  4. Tidak Terlibat ke dalam Masalah Moral. - Artinya dalam upaya memahami dan menjelaskan sebuah karya sastra, sastra sebagai ilmu tidak menilai dari segi moral seperti buruk dan baik, atau hitam-putih.

Jadi, sastra sebagai disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain. Sedangkan kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika yang terdapat di dalam karya sastra tersebut, sebab (karya) sastra itu dapat dilihat, didekati, dibicarakan dari berbagai sudut dan kepentingan. Namun sastra sebagai kajian, atau kritik, mungkin sulit melepaskan dirinya dari penilaian baik dan buruk.

Adapun beberapa pendekatan yang lazim dipergunakan dalam pemahami karya sastra antara lain, ilmu sosiologi, melahirkan sosiologi sastra, psikologi melahirkan psikologi sastra, sejarah dan politik, filsafat, strukturalisme, semiotik, dan lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa sastra itu bukan bagian dari bahasa walaupun sastra mempergunakan bahasa sebagai medianya. Demikian juga halnya dengan disiplin ilmu sastra, disiplin ilmu sastra bukan bagian dari ilmu bahasa (linguistik). Hubungan antara ilmu sastra dengan ilmu bahasa saling melengkapi, bukan saling menaklukkan. Sastra memberi arti kepada bahasa dan bahasa juga memberi arti kepada sastra.

Anggapan yang keliru yang menganggap sastra dan bahasa satu, bukan saja merugikan bagi kemajuan disiplin ilmu sastra itu sendiri, tetapi juga merugikan kepada banyak bidang terkait, termasuk merugikan bagi pengembangan disiplin ilmu secara umum. Sebab pengembangan ilmu sastra sebagai sebuah disiplin ilmu tidak akan mampu mengarah kepada dinamika yang diperlukan oleh dinamika yang berkembang di dalam karya sastra itu sendiri.


Sastra adalah bagian dari kebudayaan bukan bagian dari bahasa. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan harus dilihat dalam pengertian luas yang berdimensi multi, sebab kalau tidak demikian, kita tidak akan pernah memahami alasan-alasan yang diberlakukan misalnya oleh Kejaksaan Agung ketika melarang buku-buku fiksi tertentu, atau memahami polisi dalam tidak memberikan izin terhadap pementasan-pementasan seperti baca puisi.

Sumbangan karya sastra sebagai karya fiksi dalam menghumanisasikan kehidupan memang bagus, namun sumbangan sastra sebagai ilmu bagi pengembangan interdisiplin juga menjadi penting di masa depan.

============
Footnote
[1] Istilah keganasan ini adalah istilah Malaysia. Pengutipan di atas dikutip dari terjemahan dalam bahasa Malaysia.
[2] Kompas Senin, 14 Juli 1986, juga Suara Karya, 14 Juli 1984.
[3] Di sinilah ketidakakuratan karya sastra dalam mengungkapkan realitas sosial. Dalam karya-karya sastra lama misalnya, lokasi kejadian kerap tidak jelas disebutkan saja di sebuah daerah antah berantah. Menelaah realitas sosial seperti ini sejarah misalnya jelas sangat sulit, sebab data seperti ini tidak dapat menjawab satu atau dua W dari 4 W yaitu W (Where) di mana yaitu mengenai lokasi kejadian atau (When) kapan yaitu tahun berapa kejadian itu ada. Tetapi dalam karya-karya sastra moderen, walaupun realitas di dalam sebuah karya sastra moderen dapat menjawab 4 W di atas, tetapi karya sastra moderen juga tidak dapat dijadikan bahan studi sejarah, hal ini dikarenakan sifat karya sastra itu yaitu imajinatif. Realitas yang sesungguhnya kerapkali sudah dimanipulasi, direkonstruksi si pengarang untuk tujuan-tujuannya. Salah satu contoh ini adalah karya Williem Shakespeare yang berjudul King Lear. Dalam sejarah tokoh King Lear menang dalam peperangan, tetapi dalam karya Williem Shakespeare, tokoh King Lear menderita kekalahan (Wiratmo Soekito. Kesusastraan dan Kekuasaan, majalah Prima, Maret 1979, hal 47-50). Ini berarti telah terjadi pemutarbalikan fakta. Mengapa Williem Shakespeare merekonstruksi fakta ini (baca diputarbalikkan), tentu ada maksud-maksud tersendiri.
[4] Pendekatan instrinsik adalah pendekatan yang berdasarkan unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra itu dari dalam, misalnya sebuah puisi, maka yang dibicarakan antara lain, masalah rasa (feeling), nada (tone), amanat/tujuan (intention), diksi (diction), imaji (imagery) dan sebagainya. Dalam prosa antara lain plot, penokohan, latar dan sebagainya. Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang berdasarkan hal-hal yang mempengaruhi penciptaan karya sastra itu dari unsur luar seperti sejarah, perubahan sosial, ideologi (anutan rohani si penulis/pengarang) dan sebagainya.
[5] Dalam hubungan ini dipergunakan istilah pendekatan, alasannya, ada anggapan, sehebat apapun ilmu bantu yang dipergunakan seseorang untuk memahami sebuah karya sastra, seseorang itu tetap tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan si penulisnya. Apa yang dilakukan oleh seorang kritikus misalnya tidak lebih hanya sebatas tafsiran berdasarkan tanda-tanda yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Yang dapat menangkap maksud sesungguhnya dari sebuah karya sastra hanyalah pengarangnya sendiri.
[6] Dalam pengertian ini, walaupun realitas sebuah karya sastra dapat dimasukkan ke dalam gambaran sesungguhnya dari sebuah kenyataan yang terjadi di tengah-tengah perjalanan peradapan manusia (sejarah misalnya) (tersurat), tetapi kecenderungan karya sastra adalah mencoba menggambarkan bukan realitas yang sesungguhnya, ada makna lain (tersirat). Karya sastra yang mengandung unsur sejarah misalnya, kerapkali tidak dapat menjawab 4 W (What=apa, When=apabila, Who= siapa, dan Where=di mana), dari yang dituntut untuk menentukan fakta.


=======================
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Penerbit C.V. Sinar Baru.

Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusastraan Suatu Pengenalan, terjemahan Muhammad Hj. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Fisafat, Buku I, II dan III. Jakarta: Bulan Bintang.

Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Hardiyanto, Soegeng. Metodologi Keilmuan: Pengenalan Awal Sebuah Pemahaman Kamus Umum Bahasa Indonesia. 1995.

Komaruddin. 1985. Kamus Istilah Skripsi dan Tesis. Penerbit: Angkasa Bandung.

Luxemburg, Jan van, dkk.1984. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: PT. Gramedia.

Muhadjir, Neong. 2001. Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rakasarosin.

Munawir, Wahyudin. Netralitas Ilmu dalam Sorotan.

http://www.istecs.org/Publication/ISLAM96/islam_1722.html (7/2/2003)

Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: Rajawali Pers. Pranarka, A.M.W. 1987. Epistemologi Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS.

Rene Wellek dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Gramedia, Jakarta.

Sumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya - Girimukti Pasaka.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger