Pandangan Tentang Hukum Pada Zaman Klasik

Pengertian tentang hukum tidak selalu sama. Hal ini berkaitan dengan perubahan pandangan hidup dari zaman ke zaman. Sejak awal zaman modem (abad ke-15) banyak oran g secara spontan menyamakan hukum dengan hukum negara, hukum adalah undang-undang. Akan tetapi pengertian hukum secara tradisional tidaklah demikian. Dalam pandangan tradisional hukum lebih dipandang sebagai sesuatu yang bersifat idiil atau etis (Huijbers, 1995: 21) . Pada zaman klasik (abad 6 SM-abad 5 M) hukum dianggap sebagai cermin aturan alam semesta. Pada abad pcrtengahan (abad 5 M - 15 M) hukum yang dituju adalah peraturan-peraturan yang memancarkan ketentuan-ketentuan Allah.

A. HUKUM ZAMAN YUNANI KUNO
Pada mulanya tanggapan orang-orang yunani terhadap pengertian hukum masih primitif. Pada zaman itu hukum dipandang sebagai keharusan alamiah (nomos) baik semesta alam maupun manusia, contoh: laki-laki berkuasa, budak adalah budak, dan sebagainya. Namun pada perjalanannya, tepatnya sejak abad 4 SM ada beberapa filosof yang mengartikan hukum secara berbeda. Plato (42 7-347 SM) yang menulis buku Politeia dan Nomoi memberikan tawaran pengertian hukum, hakikat hukum dan divergens inya . Buku Politeia melukiskan model negara yang adil. Dalam buku tersebut Plato mengungkapkan gagasannya tentang kenyataan bahwa dalam negara terdapat kelompok-kelompok dan yang dimaksud dengan keadilan adalah jika tiap-tiap kelompok berbuat dengan apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya. Sedangkan dalam buku Nomoi, Plato menjelaskan tentang petunjuk dibentuknya tata hukum. Menurut Plato, peraturan-peraturan yang berlaku ditulis dalam kitab perundangan, karena jika tidak penyelewengan dari hukum yang adil sulit dihindarkan.

Filosof lain seperti Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles, manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam (kodrat), yaitu yang mencerminkan aturan alam, selalu berlaku dan tidak pemah berubah. Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan dalam bukunya tersebut bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing rasa keadilan, yaitu rasa yang baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama. Slogan yang menjelaskan tentang hakikat keadilan menurut Aristoteles adalah "kepada yang sama penting diberikan yang sama, kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama".

B. HUKUM ZAMAN ROMAWI
Pada permulaan Kerajaan Romawi (abad 8 SM), peraturan Romawi hanya untuk kota Roma (753 SM), kemudian meluas dan menjadi universal. Peraturan yang telah meluas dan universal tersebut disebut juga dengan "ius gentium", yaitu suatu hukum yang diterima semua bangsa sebagai dasar suatu kehidupan bersama yang beradab.

Selain peraturan yang ada yurisdiksi awalnya hanya untuk kota Roma, peraturan tersebut juga bersifat kasuistis. Peraturan tersebut hanya berlaku untuk untuk kasus-kasus tertentu saja, dimana peraturan tersebut hanya dijadikan pedoman bagi para hakim dalam memutus suatu perkara. Setelah menjadi ius gentium, peraturan tersebut berfungsi sebagai pedoman para gubernur wilayah (yang berperan juga sebagai hakim). Perkembangan tersebut sesuai juga dengan pendapat sarjana hukum Romawi saat itu seperti Cicero, Galius, Ulpanus, dan lain-lain.

Pada zaman ini, paham yang berkembang adalah bahwa filsafat hukum (bersifat idiil) yang menerangkan dan mendasari sistem hukum bukanlah hukum yang ditentukan (hukum positiflleges, melainkan hukum yang dicita-citakan dan yang dicerminkan dalam leges tersebut (hukum sebagai ius). Ius belum tentu ditemukan dalam peraturan, tetapi terwujud dalam hukum alamiah yang mengatur alam dan manusia. Oleh kaum Stoa, hukum alam yang melebihi hukum positif adalah pemyataan kehendak ilahi (Huijbers, 1995: 25). Menurut F. Schultz bagi bangsa Romawi perundang-undangan tidak begitu penting, dicerminkan dari pemyataan "Das Volk des Rechts ist nichts das Volk des Gesetzes" (bangsa hukum itu bukanlah bangsa undangundang) (Apeldoom, 1986: 15).

Hukum Romawi dikembangkan oleh Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium), lalu diwarisi kepada generasi-generasi selanjutnya dalam bentuk Kodeks Hukum. Tahun 528-534 seluruh perundangan kekaisaran Romawi dikumpulkan dalam satu Kodeks atas perintah Kaisar Yustinianus, yang ia sebut sebagai Codex Juris Rumaui/Codex Iustinianus/Corpus Juris Civilis. Kemudian dikembangkan pada abad pertengahan, dan dipraktekkan kembali padakekaisaran Jerman. Terakhir, hukum romawi tersebut menjadi tulang punggung hukum perdata modem dalam Code Civil Napoleon (1804).

C. HUKUM PADA ABAD PERTENGAHAN
Sering kali kita membaca dua sejarah besar antar Islam dan Barat seakan-akan tak pemah saling bertemu antara keduanya atau seperti dua sejarah yang harus dibedakan antara keduanya. Padahal tidaklah begitu, ketika kita mau membaca atau menyimak sejarah, sains dan ilmu pengetahuan yang kini telah berkembang pesat di era millenium sekarang ini. Secara filosofis bisa dilihat ketika dunia Islam dalam keemasan. Banyak orang-orang Eropa (Barat) pada umumnya, sekitar kurang lebih abad pertengahan, negara-negara Barat mengalami kegelapan dan kemunduran, setelah berapa saat mengalami kemajuan di bidang filsafat-khususnya di negara Yunani-diawal abad Masehi. Alam pikir mereka cenderung mengarah pada profanistik. Sehingga Barat hams mengakui kemundurannya.

Kronologi Sejarah kemajuan di Barat bisa ditelusuri sejak Kekhalifahan Umayah masuk ke Spanyol (Andalusia) tahun 711 dibawah pimpinan Abdurrahrnan ad-Dakhil (755 M). Pada masa pemerintahannya Abdurrahman ad-Dakhil membangun masjid, sekolah dan perpustakaan di Cordova. Semenjak itu lahirlah sarjana-sarjana Islam yang membidangi masalah-masalah tertentu seperti Abbas ibn Famas yang ahli dalam Ilmu Kimia, Ibn Abbas dalam bidang Farmakologi, Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash dalam bidang astronomi dimana ia dapat menghitung gerhana dan penemu teropong bintang untuk pertama kali, Ibnu Jubair (Valencia, 1145-1228) ahli dalam Sejarah dan Geografi, Ibn Batuthah (Tangier, 1304-1377), Ibn alKhatib (1317-1374), dan Ibn Khaldun.

Dalam bidang filsafat juga lahir beberapa tokoh seperti Ibnu Bajjah (lahir di Saragosa, wafat tahun 1138 M) yang hidup di Spanyol menyaingi al-Farabi dan Ibn Sina yang hidup di Baghdad ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. la menulis buku Tadbir al-Mutawahhid yang mernbahas masalah etos dan eskatologis. Filosof lain Abu Bakr ibn Tufail (lahir di Granada, wafat th 1185 M) menulis buku Hay ibn Yaqzhan, Ibn Rusyd (1126-1198) yang merupakan pewaris pemikiran Aristoteles) menulis buku Bidayalt al- Mujtahid. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Rusyd melahirkan aliran filsafat baru tersendiri di Eropa, Avoreisme.

Abad Pertengahan ini didominasi oleh agama, agama Kristiani di Barat dan agama Islam di Timur. Jaman ini memberikan pemikiranpemikiran baru meskipun tidak menghilangkan sama sekali kebudayaan Yunani dan Romawi. Karya-karya Aristoteles dipelajari oleh para ahli pikir Islam yang kemudian diteruskan oleh ahli pikir di Barat.

Filsuf Arab Islam yang dikenal pertama adalah al-Kindi, (796-873M). la dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memumikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Selain al-Kindi, filsuf lain yang banyak berbicara mengenai pemumian tauhid adalah al-Farabi (870-950 M). Percikan pemikiran filsuf-filsuf pada fase awal perkembangan filsafat diantaranya adalah:
  1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman,
  2. Pembangkitan jasmani tak ada,
  3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Ini adalah tiga dari dua puluh kritikan yang diajukan alGhazali (l 058-1111 M) terhadap pcmikiran para filsuf Islam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak pemah tidak ada di zaman lampau, dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan, maka syahadat dalam teologi Islam adalah: la qadima, ilallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan, ini membawa kepada paham syirik atau politheisme. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan, dan ini membawa pula kepada atheisme. Mengenai pembangkitan jasmani, al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78-79 dari QS. Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali. "Kemudian tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan al-Qur'an ayat 59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenamya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf.

Dalam bidang hukum muncul aliran ancilla theologiae, yaitu paham yang menetapkan bahwa hukum yang ditetapkan harus dicocokkan dengan aturan yang telah ada, yaitu ketentuan-ketentuan agama. Teori-teori mengenai hukum pada Abad Pertengahan ini dikemukakan oleh Agustinus (354-430), Thomas Aquinas (1225-1275), dan para sarjana Islam, antara lain AI-Safii (820). Menurut Agustinus, hukum abadi ada pada Budi Tuhan. Tuhan mempunyai ide-ide Abadi yang merupakan contoh bagi segala sesuatu yang ada dalam dunia nyata. Oleh karena itu, hukum ini juga disebut sebagai hukum alam, yang mempunyai prinsip, "Jangan berbuat kepada orang lain, apa yang engkau tidak ingin berbuat kepadamu." Dalam prinsip ini nampak adanya rasa keadilan.

Arti hukum menurut Thomas Aquinas adalah adanya hukum yang datang dari wahyu, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang didapat dari wahyu dinamakan hukum Ilahi positif. Hukum wahyu ada pad a norma-norma moral agama, sedangkan hukum yang datang dari akal budi manusia ada tiga macam, yaitu hukum alam, hukum bangsa-bangsa, dan hukum positif manusiawi. Hukum alam bersifat umum, dan karena itu tidak jelas. Maka perlu disusun hukum yang lebih jelas yang merupakan undang-undang negara yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum ini disebut hukum positif. Apabila hukum positif ini bertentangan dengan hukum alam, maka hukum alamlah yang berlaku.

Keadilan juga merupakan suatu hat yang utama dalam teori hukum Thomas Aquinas. Meskipun Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar, dan keadilan legal, tetapi keadilan legal menduduki peranan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena keadilan legal menuntut agar orang tunduk pada undang-undang, sebab mentaati hukum merupakan sikap yang baik. Jelaslah bahwa kedua tokoh Kristiani ini mendasarkan teori hukumnya pada Hukum Tuhan.

Pemikir Islam mendasarkan teori hukurnnya pada agama Islam, yaitu pada wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi. Dari ahli pikir Islam AI-Syafii-Iah aturan-aturan hukum diolah secara sistematis. Sumber hukum Islam adalah Al-Quran, kemudian Hadis yang merupakan ajaran-ajaran dalam hidup Nabi Muhammad saw. Peraturan-peraturan yang disetujui oleh umat juga menjadi hukum, hukum mufakat, yang disebut juga ijmak. Sumber hukum yang lainnya adalah qiyas, yaitu analogi atau persamaan. Hukum Islam ini meliputi segala bidang kehidupan manusia. Hukum Islam hidup dalam jiwa orang-orang Islam, dan berdasarkan pada agama. Hukum Islam merupakan hidup ideal bagi penganutnya. Oleh karena Hukum Islam berdasarkan pada Al Quran maka Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai hubungan dengan Allah, langsung sebagai wahyu. Aturan hukum harus dibuat berdasarkan wahyu (Muhammad Khalid Masud, 1996:12-13).

Dengan kata lain pada abad pertengahan ini ada dua pandangan yang berbeda. Menurut Syafi'i mengapa hukum harus dicocokkan dengan ketentuan agama karena hukum berhubungan dengan wahyu secara langsung, sehingga hukum dipandang sebagai bagian dari wahyu. Berbeda dengan Syafi 'i, menurut Agustinus dan Thomas Aquinas hukum berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung, yaitu hukum yang dibuat manusia, disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu (Huijbers, 1995: 27).

Pengertian hukum yang berbeda ini membawa konsekuensi dalam pandangannya terhadap hukum alam. Para tokoh Kristiani cenderung untuk mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum, akan tetapi bukan disebabkan oleh alam yang dapat mencipta hukum melainkan karena alam merupakan ciptaan Tuhan. Menurut Thomas Aquinas aturan alam tidak lain dari partisipasi aturan abadi (lex aeterna) yang ada pada Tuhan sendiri.

Dalam Islam, agama merupakan pengakuan manusia untuk bersikap pasrah kepada sesuatu yang lebih tinggi, lebih agung dan lebih kuat dari mereka, yang bersifat transedental. Telah menjadi fitrah manusia untuk memuja dan sikap pasrah kepada sesuatu yang dia agung-agungkan untuk dijadikan sebagai Tuhannya. Oleh karena Tuhan telah menetapkan hukum-hukumnya bagi manusia, maka tiada lain sebagai konsekuensi dari kepasrahan terse but manusia harus taat pada hukum-hukurn terse but. Islam memandang tidak ada perbedaan antara hukum alam dengan hukum Tuhan (syariat), karena syariat yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran sesuai dengan hukum alam itu sendiri, yang dalam Islam disebut fitrah. Namun pemaknaan fitrah dalam Islam jauh lebih tinggi daripada pemaknaan hukum alam sebagaimana dipahami dalam konteks ilmu hukum. Jika hukum alam (lex naturae) dipahami sebagai eara segala yang ada berjalan sesuai dengan aturan semesta alam seperti manusia dalam bertindak mengikuti kecenderungan-kecenderungan dalam jasmaninya (Huijbers, 1995), maka fitrah berarti pembebasan manusia dari keterjajahan terhadap kemauan jasmaninya yang serba tidak terb atas pada kemauan ruhani yang mendekat pada Tuhan.
Pada abad ini para ahli kemudian membedakan ada Iima jenis hukum, yaitu:
  • Hukum abadi (lex aetema): rencana Allah tentang aturan semesta alam. Hukum abadi itu merupakan suatu pengertian teologis tentang asal mula segala hukum, yang kurang berpengaruh atas pengertian hukum lainnya.
  • Hukum ilahi positif (lex divino positiva): hukum Allah yang terkandung dalam wahyu agama, terutama mengenai prinsip-prinsip keadilan.
  • Hukum alam (lex natura/is) : hukum Allah sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam melalui akal budi manusia.
  • Hukum bangsa-bangsa (ius gentium): hukum yang diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa. Hukum itu yang berasal dari hukum romawi , lambat Iaun hilang sebab diresepsi dalam hukum positif.
  • Hukum positif (lex humana positiva): hukum sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa; tata hukum negara. Hukum ini pada zaman modem ditanggapi sebagai hukum yang sejati.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger