Aliran Al-Asy'ariyah

Nahdlatul ‘Ulama sebagai organisasi keagamaan ( Jam’iyah Islamiyah ) yang besar, malah mungkin “ terbesar” dalam jumlah anggotanya di Indonesia, sejak berdirinya pada tanggal 31 Januari 1926 M, telah menyatakan diri sebagai oganisasi Islam berhaluan “ Ahlussunnah Wal Jama’ah”, yang dalam akidah mengikuti alian Asy’ariyah-maturidiyah, dalam syari’ah/ fiqh mengikuti salah satu mazhab empat; Hanafi, Maliki , Syafi’i, dan Hambali, dan dalam tasawuf mengkuti Al–Junaid dan Al-Ghazali.

Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak makna”, sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. Seperti yang dinyatakan Dr. jalal M. Musa dalam Nasy’at al –Asy’ariyahnya, bahwa istilah dan nama itu mempunyai pengertian yang luas sekali dan juga mempunyai pengertian yang luas sekali dan juga mempunyai pemaknaan yang terbatas sekali. Yang sangat luas tersebut mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah ialah selain Syi’ah, sehingga dalam pengertian ini, Mu’tazilah, Khawarij, juga masih masuk kelompok Ahlussunnah. Dan pemaknaan yang terbatas mengatakan, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah identik dengan Asy’ariyah. Diantara macam-macam pendapat yang muncul, terdapat mayoritas Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa Ahlussunnah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) Nabi Muhammad SAW.

Di tengah-tengah pergumulan pemikiran yang demkian (intelektualitas dan regiliusitas), para ulama dan pemikir mengambil posisi baru, dari pendekatan salaf, yang mencukupkan diri dengan dalil-dalil Naqliyah, menjauhi ta’wil dan tafsir ayat-ayat mutasyabihat dengan sikap tafwidl ke pendekatan Khalaf (yang menggunakan dalil-dalil ‘aqliyah di samping dalil naqliyah). Di sinilah tokoh-tokoh Ahlussunnah seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturid serta para pengikutnya berperan.


A. Pengertian dan Sejarah Munculnya Al-Asy’ariyah
Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abul Hasan Asy’ari atau Imam Abu Manshur Al Maturidi, dua Imam Ahlussunnah yang paling populer di dunia Islam sampai sekarang, dengan demikia waga Nahdliyin dengan sadar atau ikut-ikutan telah menyatakan dirinya sebagai golongan “Asy’ariyah atau Maturidiyah”, (golongan yang mengikuti Imam Al-Asy’ariyah atau Imam Al-Maturidiyah). Hal demikian tidak aneh, mengingat warga Nahdliyin dalam masalah fiqh adalah pengikut Imam Syafi’i), atau dalam masalah tertentu mengikuti Asy’ari juga dalam masalah fiqh, juga mengikuti mazhab Hanafi ( seperti halnya imam maturidi dalam masalah Fiqh sebagai pengikut setia Imam Abu Hanifah).

Imam Abul Hasan ‘Ali Ibn Al-Asy’ari lahir di Bashrah ( Iraq), 260 H/873 M, dan wafat di Baghdad, 324 H/ 935 M. seorang ahli hikum Islam (fiqh) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri Asy’ariyah. Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi SAW., yaitu Abu Musa Al-Asy’ari r.a., yang banyak meriwayatkan hadits beliau. Imam Asy’ari semula menjadi pengikut dan murid cerdas Abu Ali Al-Jubai, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah, dan selama kurang lebih Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah, akhirnya ia meninggalkan faham tersebut, karena beberapa hal, antara lain :
  • Pertama : Ketidak puasan Al-Asy’ari terhadap pola pikir dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa dukungan kecerahan wahyu atau nash. Puncak ketidak puasannya terjadi saat melakukan dialog intensif dengan gurunya ( Al-Jubai) tentang “ Bagaimana kedudukan ketiga orang ; Mukmin, Kafir dan anak kecil di Akhirat.?
  • Kedua : Terjadi tragedi “ Mihnah” ( ujian keyakinan ) yang dilakukan para pejabat pemerintahan atas dukungan elite Mu’tazilah, terutama pada masa Khalifah Al-Ma’mun ( 198-218 H), Al-Mu’tashim (218-228 H) dan Al-Watsiq (228-233 H)., yang melakukan pemaksaan faham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama berpengaruh. Banyak tokoh dan ulama yang menjadi panutan umat menjadi gerakan Mihnah; muai dari penyiksaan fisik, pemenjaraan sampai pada hukuman mati.
  • Ketiga : Dalam pengasingan Al-Asy’ari selama limabelas hari, melakukan refleksi (perenungan) dan istikharah (mencari pilihan), konon ia mendapatkan isyarat, mimpi bertemu nabi Muhammad SAW., dan memerintahkannya untuuk meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela Ahlussunnah. Sesudah itu keluar dari khlalwahnya dan pergi ke masjid, naik mimbar dan mengatakan kepada umat yang berkumpu di mesjid itu, bahwa a telah mengasingkan dir untuk berfikir mendalam, tentang berbagai macam faham teologi (akidah ) dengan dalil dan metodologi masing-masing. Akhirnya ia mengatakan : “ Keyakinan-keyakinanku yang lama, saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini”, sambil melepaskan jubahnya dan melemparkannya.
Di sini Asy’ari timbul rasa syak dalam dirinya yang kemudian menodorong dirinya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah, berbagai tafsiran diberikan, berbagai penafsiran diajukan tentang hal ini. Menurut Ahmad Mahmud Subhi syak itu timbul karena As’ary menganut mazhab Syafi’i. Al-Syafi’I mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’taziah, umpamanya al-Syafi’i berpendapat bahwa al – Qu’an tidak diciptakan tetapi bersifat qadim dan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.

Menutrut Hammudah Ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh Al-Asy’ari dari al-Juba’i menimbulkan pesoalan-persoalan yang tak dapat penyelesaian yang memuaskan, umpamanya soal mukmin, kafir dan anak kecil yang dipertanyakannya. Dari kalangan orietalis, Mc Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir dalam tubuh Asy’ari yang mungkin membawanya kepada perubahan mazhab itu.


Tetapi bagaimanapun Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil membataskan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah mulai menuru, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar diwaktu itu. Sekarang keadaan menjadi terbalik, Ibn hanbal dan pengikut-pengkutnya yang dekat dengan pemerintah, sedangkan golongan Mu’tazilah menjadi golongan yang jauh dengan pemerintah ( Dinasti Bani Abbas).

Bukan saja pengikut biasa yang beralih akan tetapi pemuka-pemuka juga ikut meninggalkan barisan Mu’tazilah seperti Abu ‘Isa al-warraq dan Abu al-Hussain Ahmad Ibn al-Rawandi.

Dalam hal demikian Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Di sini timbul petanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah , karena melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran, dan pada masa itu tdak ada lagi aliran teologi teratur lainnya untuk ganti sebagai pegangan. Dengan kata lain tidakkah mungkin bahwa Asy’ari bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Ditambah lagi dengan perasaan syak tersebut di atas yang mendorong Asy’ari meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.


B. Tokoh-tokoh Aliran Al-Asy’ariyah
Tokoh-tokoh tepenting yang mempunyai andil dalam penyebaran Asy’ariyah ini antara lain:
  1. Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pelopor petama aliran ini yang mengikut mazhab Syafi’i , dan kebanyakan pengikut Asy’ari ini juga pengikut mazhab Syafi’iyah Al-Baqillani ( wafat 403 H/ 1013 M ) 
  2. Muhammad Bin Thayyib Bin Muhammad Abu Bakar Al-Baqillani, ia mendalami ajaran-ajaran Al- Asy’ari melalui dua gurunya, yakni Ibnu Mujahid dan Abu Hasan Al-Bahil.
  3. Abd. al -Malik al-Juwaini, yang dikenal dengan Imam Al-Haramain (wafat 478 H / 1085 M), mendapat gelar Imam Haramain karena pernah tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memberikan pelajaran dan Fatwa, mengikuti Mazhab Syafi’i dalam Fiqh dan ajaran Al- Asy’ari dalam Aqidah. Al-Juwaini adalah dikenal sebagai pendukung dan pembela Asy’ariyah, 
  4. Abu Hamid al-Ghazali ( 105-111) adalah pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada Umat Islam yang beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah.


C. Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah
Ajaran-ajaran Asy’ari dapat diketahui dari kitab-kitab yang ditulisnya menyusul keluarnya dari Mu’tazilah terutama dari kitab Al-Luma’ fi ar-raddi ‘ala Ahli az-Zaigh wa al-Bida’, (kecemerlangan tentang peolakan terhadap penganut penyimpangan bid’ah), dan kitab al-banah ‘an ushul ad-Diyanah (Uraian tentang Prinsip-prinsip Agama. Serta kitab Maqalat al-Islamiyin (makalah mengenai orang-orang Islam).tesis-tesinya yang dipaparkan, atara lain : Al-Asy’ari menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Dzatnya. Al-Asy’ari juga menentang faham “keadilan” yang wajib bagi Allah seperti kata Mu’tazilah (al-wa’du wa al-wa’id).

Tentang ke Tunanan, menurutnya Allah berkuasa muthlak dan tidak ada sesuatupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia ke dalam syurga bukanlah Ia tidak adil. Dan Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, tidaklah Ia bersifat zhalim. Menurut Asy’ari, orang Islam yang melakukan dosa besar tetaplah ia sebagai mukmin karena imannya masih ada. Tetapi karena dosa besarnya ( jika ia tidak segera tobat ) itu dia menjadi fasiq (pendurhaka).

Al-qur’an berlainan pula dengan pendapat al-Mu’tazilah, bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan maka sesuai dengan firman Allah :

انما قولنا لشيء اذا اردنه ان نقول له كن فيكون
“ Sesungguhnya pekataan Kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun ( jadilah)” maka jadilah.( Q.S. An-Nahl: 40) ”

Untuk penciptaan itu perlu kata Kun, dan untuk terciptanya kun ini paerlu pula kata kun yang lainnya, begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tidak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh karena itu al-Qur’an tak mungkin diciptakan.

Perbuatan manusia bagi Asy’ari bukanlah diwujudkan manusia itu sendiri, sebagai pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh tuhan. Perbuatan Kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit, oang mukmin ingin perbuatan iman itu tidak berat dan sulit, tetapi apa yang dikendakinya itu dapat dwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr itu bukanlah oang kafir yang tak sanggup membuat kufr bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.

Mengenai Antropomorphisme., Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana, yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan ( Laa yukayyaf wa laa yuhaad ) kalau Asy’ari merupakan pemuka yang membentuk aliran yang kemudian memakai namanya, maka pemuka-pemuka yang memperkembangkan aliran itu adalah pengikut-pengikutnya.

Selanjutnya ia (al Baqillani adalah murid langsung Al- Asy’ari) Namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara Al-Baqillani dan Al- Asy’ari, diantaranya masalah “perbuatan manusia”. Menurut Asy’ari perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah. Manusia diberi daya untuk mewujudkan perbuatan, namun daya itu tidak efektif karena tergantung kepada kehendak Allah juga. Inilah yang disebut “kasab” dalam ajaran Asy’ari. Dengan kata lain daya yang ada pada manusia itu tidaklah efektif untuk mewujudkan perbuatannya sendiri. Sedangkan menurut Al-Baqillani manusia diberi Allah daya dalam dirinya, dan manusia dengan daya tersebut mempunyai sumbangan atau peran yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Abd. al -Malik al-Juwaini juga sependapat dengan al-Baqillani tentang pandang-pandangan teologinya tidak sepenuhnya sama dengan Al-Asy’ari misalnya dalam soal antromorfisme ( hal yang bersifat jasmaniyah ). Abu Hamid al-Ghazali adalah pengikut Asy’ari yang besar pengaruhnya, murid dari al-Baqillani dan al-Juwaini, beliau berlainan dengan gurunya, faham teologi yang dimajukan boleh dikatakan tidak berbeda degan faham dari Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat qadim yang identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
Al-Qur’an juga, dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Selanjutnya Al-Ghozali mempunyai faham yang sama dengan Asy’ari tentang “beautifik vision” yaitu bahwa Tuhan dapat di lihat karena tiap-tiap yang wujud dapat dilihat.


D. Perkembangan Al-Asy’ariyah sebagai Aliran Ahlussunnah
Aliran Asy’ariyah mengalami perkembangan yang pesat, terlihat dari para pengkut yang bukan dari kalanga biasa saja akan tetapi dari seluruh kalangan.

Atas pengaruh imam Al-Ghazali, ajaran Asy’ariyah yang serupa inilah yang meluas dikalangan Islam Ahli Sunnah Dan Jama’ah. Aliran Asy’ariyah sungguhpun muncul diwaktu aliran Mu’tazilah sedang dalam keadaan jatuh, tidak cepat meluas di dunia Islam bahkan pemuka-pemukanya pernah mengalami tindasan dari pihak-pihak penguasa Islam.

Setelah banyaknya pergolakan da penentangan dai berbagai aliran muncul lagi kaun dari aliran Syi’ah yang faham mereka lebih dekat dengan Mu’tazilah yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat, dan golongan ini teologi berdasarkan rasio dan tidak sesuai dengan aliran tradisional yang ditimbulkan oleh Al-Asy’ari.

Sewaktu dinasti Buwaihi digulingkan oleh Tughril dari dinasti Saljuk di tahun 1055, kedudukan Mu’tazilah belum mengalami perubahan. Tughril mempunyai Perdana menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu nasr Muhammad Ibn mansur al-Khudri (416-456 H). atas pengaruhnya kaum Mu’tazilah tetap dalam keadaan baik dan ahli sunnah sebaliknya mulai mengalami masa kesukaran. Antara golongan Asy’ariyah dan golonga Mu’tazilah timbul permusuhan dan atas usaha al-Khudri, Sultan Tughril mengeluarkan perinta untuk menangkapi pemuka-pemuka aliran Asy’aiyah. Diantara yang ditangkap dan dipenjarakan terdapat Abu al-Qasim al-Qusyairi ( 1986-1074). Imam al-Haramain dan pemuka-pemuka lain melarikan diri ke Hijaz.

Pemburuan terhadap kaum Asy’ariyah ini berhenti dengan wafatnya Tughrl di tahun (1063). Penggantinya Alp Arselan ( 1063-1092) mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khudri.

Perdana menteri yang baru adalah penganut Asy’aiyah dan atas usahanya pula aliran ini cepat berkembang, sedangkan aliran Mu’tazilah mulai mundur kembali. Ia mendirikan sekolah-sekolah yang diberi ama al-Nizhamiah, diantaranya di Baghdad di mana al-Ghazali pernah mengaja. Di sekolah-sekolah ini dan di sekolah lain diajarkan teologi Asy’ariyah . denga demikian paham Asy’ariyahpun mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan Saljuk saja tetapi juga di dunia Islam lainnya.


=====================
DAFTAR PUSTAKA

A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta : PT. Pustaka Al -Husna Baru, 2003)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya ( Bandung : PT Syamil Cipta Media, tt)

Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, ( Jakarta UI Press, 1986)

H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, ( Jakata : CV. Rajawali Press, 1991), h. 105

Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama’ah, ( Jakarta : Lantabora Press. 2005)

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger