Hadis merupakan sumber kedua setelah al-Qur'an. Dengan demikian, kedudukannya menjadi sangat penting dalam ajaran Islam, sehingga dalam setiap penetapan atau menguatkan sebuah argumen, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun mu'amalah, hadis selalu diikutsertakan. Selain itu, hadis juga digunakan sebagai bayan ayat-ayat al-Qur'an yang global. Tanpa penjelasan hadis, sangat sulit bagi umat Islam untuk bisa melaksanakan ajaran al-Qur'an dengan sempurna yang pada akhirnya syari'ah Islam pun tidak bisa dijalankan dengan baik. Hal ini mendorong berbagai kalangan untuk untuk mengkaji hadis secara lebih mendalam sehingga lahirlah berbagai macam ilmu pengetahuan baru yang membahas tentang hadis.
Walaupun demikian, perjalanan hadis tidaklah semulus yang diinginkan, apalagi hadis baru dibukukan kurang lebih seabad setelah Rasululullah SAW wafat, sehingga ada sebagian kalangan yang meragukan otentisitasnya, bukan hanya dari golongan orientalis, yang note bene memang sengaja mencari-cari kelemahan Islam, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri ada yang ikut-ikutan latah menolak keberadaan hadis secara secara keseluruhan.
Memang harus diakui bahwa tidak semua hadis yang ada pada saat ini bisa diterima secara keseluruhan. Namun demikian, bukan berarti keberadaan hadis tersebut lalu ditolak secara keseluruhan. Hal ini juga diakui oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, dan juga tidak ada klaim dari mereka yang mengatakan dan meyakini bahwa seluruh hadis yang ada itu asli atau sahih semuanya. Sebaliknya, tidak pula mereka berkeyakinan bahwa semua hadis yang ada itu palsu.
Kesenjangan waktu antara masa hidup Rasulullah SAW dengan masa mulai dibukukannya hadis, tidak dipungkiri, telah memberi celah kepada sebagian orang atau kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan terhadap hadis demi kepentingan pibadi atau kelompok serta memenuhi keinginan hawa nafsu mereka. Apalagi semasa hidupnya, Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk mencatat apa yang beliau ucapkan sebelum mengizinkannya karena kekhawatiran beliau, menurut sebagian ulama, tercampurnya antara ayat-ayat al-Qur'an dengan hadis-hadis beliau. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk memutarbalikkan fakta dengan membuat hadis-hadis baru kemudian menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, dan bahkan ada yang secara sengaja memalsukan hadis dengan tujuan yang dianggapnya positif dan mengklaimnya berasal dari Rasulullah SAW padahal beliau tidak pernah mengatakan atau melakukan seperti yang diklaim oleh para pemalsu tersebut. Mereka telah membuat kepalsuan atas nama Rasulullah SAW tanpa mengindahkan peringatan beliau bagi para pembohong yang mengatasnamakan dirinya, sabda beliau:
A. Pengertian Hadis Maudhu'
Hadis maudhu' kadang disebut juga al-mukhtalaqu, al-muhtala'u, al-mashnu' dan al-makdzub. Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaiannya secara bersama-sama merupakan suatu pengukuhan bahwa hadis semacam itu semata-mata dusta. Kata maudhu' berasal dari term wa-dha-'a yang merupakan ism maf'ul. Menurut bahasa berarti al-isqath (meletakkan; menyimpan), al-iftira, wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal). Secara terminologis, Subhi al-Shalih mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
Sedangkan Mahmud Abu Rayyah mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
Dan Muhammad 'Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
Berdasarkan ketiga definisi di atas, dipahami bahwa setiap yang disandarkan kepada Rasaulullah SAW, baik bersifat positif maupun negatif, jika Rasulullah SAW tidak pernah melakukan atau mengatakannya maka hal itu adalah maudhu'. Bahkan jika penyandaran palsu tersebut dilakukan kepada para sahabat maupun tabi'in, menurut Ramli, termasuk dalam kategori ini.
B. Sejarah Awal Pemalsuan Hadis
Ada beberapa pendapat mengenai awal terjadinya pemalsuan hadis. Kelompok pertama menyatakan bahwa hadis maudhu' sudah muncul pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma'ruf al-Husaini. Mereka mendasarkankan pendapatnya pada sinyalemen Nabi yang mengungkapkan ancaman keras terhadap orang yang berusaha melakukan pendustaan atas nama beliau, sebagaimana sabdanya:
Menurut Ahmad Amin, hadis di atas membawa indikasi bahwa pada masa Rasulullah SAW hidup pernah terjadi pendustaan terhadap beliau dengan mengatasnamakan dirinya. Demikian pula pendapat Hasyim, bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad SAW mengeluarkan statemen yang demikian jika tidak didahului oleh adanya gerakan-gerakan pemalsuan hadis.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas mendapat kritikan dari Musthafa al-Sibai'i. Menurutnya, alasan yang dikemukakan tersebut hanyalah sebuah dugaan yang tidak mempunyai alasan historis dan tidak ditemukan dalam kitab asbab al-wurud. Jika memang pernah terjadi pemalsuan pada masa itu tentu para sahabat akan menuturkannya secara mutawattir karena itu merupakan suatu perbuatan jahat yang sangat buruk.
Adapun mengenai riwayat oleh al-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar, berasal dari Abdullah ibn Buraydah, yang diperoleh dari ayahnya yang mengatakan: “Seseorang datang ke suatu kaum dekat kota Madinah, lalu ia berkata, ‘Rasulullah SAW menyuruh aku membuat keputusan hukum untuk kamu berkenaan dengan perkara ini dan itu dengan mengikuti pendapatku sendiri.’ Orang itu telah melamar seorang wanita dari kalangan kaum tersebut pada masyarakat jahiliah namun mereka menolak untuk mengawinkannya, lalu ia pergi sampai ia bertemu wanita bersangkutan. Maka kaum itu mengirim utusan kepada Rasulullah SAW untuk menannyakan hal itu, maka beliau bersabda, ‘Musuh Allah itu telah berbohong’. Kemudian beliau mengutus seseorang dan bersabda, ‘Jika kau dapatkan orang itu masih hidup, maka hantamlah tengkuknya. Tapi aku tidak melihat engkau mendapatkannya masih hidup. Dan jika engkau dapatkan ia telah mati, maka bakarlah.’ Ternyata didapatkannya orang itu telah dipatuk ular dan mati, lalu dibakarnya mayat itu. Pada saat itulah Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa sengaja berbohong…dan seterusnya’.” Dan at-Thabrani dalam kitabnya al-Awsath juga meriwayatkan hal yang senada. Untuk bisa tidaknya diterima kedua Riwayat ini menurut al-Siba’i dapat ditinjau dari beberapa sisi:
Selain itu, para sahabat juga memilki idealisme yang membuat mereka teguh dalam menegakkan kebenaran. Mereka tidak bisa bersikap diam terhadap orangtua dan orang-orang terhormat di antara mereka yang menyimpang dari jalan yang benar. Mereka juga tidak bisa dihambat, bahkan oleh pihak penguasa sekalipun, dalam menjelaskan kebenaran dan mereka tidak takut akan siapapun kecuali Allah. Mereka adalah orang-orang yang sangat keras menjaga Syari'ah dan hukum-hukumnya, serta mendalami dan menyiarkannya kepada orang banyak sebagaimana mereka memperolehnya dari Rasulullah dengan kesediaan berkorban untuk itu.
Kelompok kedua ulama hadis seperti Ajjaj al-Khatib, Mushtafa as-Siba’I, Nur al-Dien ‘Itr, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah Abu Ghuddah. berpendapat bahwa perekayasaan hadits muncul dan semakin sering terjadi sejak pertengahan abad pertama hijriyyah, khususnya setelah terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan “al-fitnah al-kubra” yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan dan berakhir dengan terbunuhnya diri beliau. Pasca tragedi tersebut, berbagai macam aliran politik dan teologi bermunculan. Dalam mewujudkan identitas dan membela kekuatan serta sistem perpolitikan, setiap kelompok mencari justifikasi normatif yang diambil dari dalil-dalil al-Qur'an maupun al-Hadits. Semula mereka mencari dari al-Qur'an yang dapat ditafsirkan sesuai dengan aliran politik mereka. Namun upaya mereka tersebut gagal karena pada masa itu para sahabat dan penghafal al-Qur'an masih banyak yang hidup, sehingga mereka kesulitan mencari celah untuk bisa direkayasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hawa nafsunya. Akhirnya mereka beralih ke hadis-hadis nabawi yang bisa diinterpretasikan dengan tujuan yang sama tetapi juga gagal. Karena itulah mereka mengambil jalan pintas yaitu dengan cara memalsukan hadis atau membuat riwayat-riwayat dusta untuk menjustifikasi sikap politik yang mereka jalani.
Menengahi kedua pendapat tersebut di atas, Shalahuddin al-Adlaby menyatakan bahwa kemunculan hadis maudhu' yang berkenaan dengan urusan dunia sudah terjadi pada masa Rasulullah SAW, tetapi masalah agama belum terjadi. Al-Adlaby mendasarkan alasannya pada kedua riwayat yang disampaikan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani di atas. Dari ketiga pendapat di atas, para sejarawan Islam dan juga muhadditsin lebih bersepakat pada pendapat kelompok kedua yang beranggapan bahwa pemalsuan terjadi setelah Rasulullah SAW wafat.
C. Faktor Pendorong Terjadinya Pemalsuan Hadis dan Lingkungan Pertumbuhannya
Munculnya perselisihan politik yang terjadi pada masa-masa akhir pemerintahan khalifah Usman dan masa-masa awal pemerintahan Ali merupakan batas pemisah antara kemurnian hadis dan kebebasannya dari kebohongan dengan pemalsuan yang digunakan sebagai alat untuk melayani kepentingan politik. Apalagi setelah terjadinya al-fitnah al-kubra, berbagai aliran politik dan teologi bermunculan dengan berusaha mencari justifikasi dari al-Qur'an dan al-Hadits, dan jika mereka tidak menemukan dalil yang mendukung maka dengan tidak segan-segan mereka merekayasa hadis sedemikian rupa demi tercapainya tujuan yang mereka cita-citakan. Sehingga, tidaklah mengherankan pada masa itu banyak para pendusta dan pemalsu hadis bermunculan, bahkan di Irak merupakan basis pemalsuan hadis terbesar pada masa itu, sampai-sampai Imam Malik berkata, “Perlakukanlah hadis-hadis yang bersumber dari penduduk Irak seperti berita-berita yang bersumber dari Ahlu al-Kitab. Jangan engkau membenarkan dan jangan pula mendustakan mereka.” Pada masa itu, setiap hari, di Irak, tidak kurang dari 400 hadis yang diriwayatkan, jumlah ini 40 kali lipat lebih banyak dari hadis yang diriwayatkan di Madinah, sehingga Irak dijuluki sebagai “dar al-dharb” (rumah percetakan).
Pemalsuan hadis yang terjadi secara besar-besaran pada masa itu mengakibatkan sulit membedakan mana yang benar-benar shahih dan mana yang palsu. Setiap kelompok bahkan perorangan nampaknya berlomba-lomba untuk menciptakan hadisnya sendiri-sendiri dengan rangkaian kata-kata yang indah dan terlihat seolah-olah benar kemudian menyandarkannya kepada Rasulullah SAW. Adapun beberapa sebab yang mendorong terjadinya pemalsuan hadis menurut al-Siba’i dapat diringkas sebagai berikut:
D. Upaya Para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'it Tabi'in Membendung Gerakan Pemalsuan Hadis
Para pemalsu hadis telah melakukan perbuatan yang sangat keji dengan mencorengkan noda hitam di wajah Islam, mencemarkan namanya, dan mengotorinya dengan ajaran yang sama sekali bukan ajaran Islam. Namun, Allah SWT senantiasa menjaga Islam beserta ajarannya. Masih terlahirnya orang-orang yang dapat dipercaya yang dengan tulus ikhlas menelusuri secara seksama jejak para pemalsu hadis dengan menggunakan metodologi ilmiah yang sebaik-baiknya untuk kritik dan riset sehingga mereka bisa membedakan antara hadis yang batil dan yang shahih. Adapun upaya-upaya yang telah mereka lakukan dalam rangka memelihara As-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:
a. Tanda tanda kepalsuan sanad
b. Tanda-tanda kepalsuan matan
Tanda-tanda kepalsuan matan juga cukup banyak, hal ini akan bisa dikenali, terlebih lagi oleh para pengkaji hadis yang seolah-olah hidup bersama Rasulullah SAW karena setiap hari ia bergaul dengan hadis-hadis Rasulullah, sehingga ia mengenal betul bentuk redaksinya, baik mengenai perintah maupun larangannya, berita dan seruannya, prilaku beliau sehari-hari, apa yang disukai dan tidak disukai, serta segala hal yang yang disyariatkan kepada umatnya. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan hadis palsu dari segi matannya adalah sebagai berikut:
=================
Daftar Pustaka:
Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Hadits Nabi: Otentisitas dan Upaya Destruksinya, No. 2 Vol. 1 2005
G.H.A. Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960) (Mizan: Bandung, 1999)
Mahmud Abu Rayyah, Adhwa 'Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Dar el-Ma'arif: Mesir, t.th)
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis (Pustaka Progressif: Surabaya, 1976)
Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Dar el-Fikr: Beirut, 1993)
-------, Ushul al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar el-Fikr, 1989)
Muhammad M. Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature, diterjemahkan oleh Mith Kieraha, Memahami Ilmu Hadis (Lentera: t.tp, 1993)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2003)
Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyrie' al-Islami, diterjemahkan oleh Dr. Nurcholish Madjid, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Syari'ah Islam (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1991)
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Citrapustaka Media: Bandung, 2005)
Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Al-Malayin, 1973)
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2001)
Walaupun demikian, perjalanan hadis tidaklah semulus yang diinginkan, apalagi hadis baru dibukukan kurang lebih seabad setelah Rasululullah SAW wafat, sehingga ada sebagian kalangan yang meragukan otentisitasnya, bukan hanya dari golongan orientalis, yang note bene memang sengaja mencari-cari kelemahan Islam, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri ada yang ikut-ikutan latah menolak keberadaan hadis secara secara keseluruhan.
Memang harus diakui bahwa tidak semua hadis yang ada pada saat ini bisa diterima secara keseluruhan. Namun demikian, bukan berarti keberadaan hadis tersebut lalu ditolak secara keseluruhan. Hal ini juga diakui oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, dan juga tidak ada klaim dari mereka yang mengatakan dan meyakini bahwa seluruh hadis yang ada itu asli atau sahih semuanya. Sebaliknya, tidak pula mereka berkeyakinan bahwa semua hadis yang ada itu palsu.
Kesenjangan waktu antara masa hidup Rasulullah SAW dengan masa mulai dibukukannya hadis, tidak dipungkiri, telah memberi celah kepada sebagian orang atau kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan terhadap hadis demi kepentingan pibadi atau kelompok serta memenuhi keinginan hawa nafsu mereka. Apalagi semasa hidupnya, Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk mencatat apa yang beliau ucapkan sebelum mengizinkannya karena kekhawatiran beliau, menurut sebagian ulama, tercampurnya antara ayat-ayat al-Qur'an dengan hadis-hadis beliau. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk memutarbalikkan fakta dengan membuat hadis-hadis baru kemudian menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, dan bahkan ada yang secara sengaja memalsukan hadis dengan tujuan yang dianggapnya positif dan mengklaimnya berasal dari Rasulullah SAW padahal beliau tidak pernah mengatakan atau melakukan seperti yang diklaim oleh para pemalsu tersebut. Mereka telah membuat kepalsuan atas nama Rasulullah SAW tanpa mengindahkan peringatan beliau bagi para pembohong yang mengatasnamakan dirinya, sabda beliau:
ان كذبا علي ليس ككذب على احد, من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
"Sesungguhnya berdusta atas diriku tiodaklah seperti berdusta atas seseorang (selain diriku). Barangsiapa berdusta atas diriku maka bersiap-siaplah ia mengambil tempatnya di neraka". (HR. Bukhari dan Muslim)A. Pengertian Hadis Maudhu'
Hadis maudhu' kadang disebut juga al-mukhtalaqu, al-muhtala'u, al-mashnu' dan al-makdzub. Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaiannya secara bersama-sama merupakan suatu pengukuhan bahwa hadis semacam itu semata-mata dusta. Kata maudhu' berasal dari term wa-dha-'a yang merupakan ism maf'ul. Menurut bahasa berarti al-isqath (meletakkan; menyimpan), al-iftira, wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal). Secara terminologis, Subhi al-Shalih mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
هو الخبر الذى يختلفه الكذابون وينسبونه الى رسول الله صلى الله عليه و سلم افتراء عليه
"Berita yang diciptakan oleh para pendusta dan mereka menisbahkan atas nama Rasululullah SAW secara sengaja dengan dasar mengada-ngada".Sedangkan Mahmud Abu Rayyah mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
هو المختلف المصنوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه و سلم زوزا و بهتانا سواء ا كان عمدا أو خطاء.
"Hadis yang dibuat-buat oleh seseorang dan hadis tersebut dinisbahkannya kepada Rasulullah SAW secara palsu dan bohong, tidak ada bedanya hal tersebut baik disengaja maupun tidak."Dan Muhammad 'Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و سلم اختلافا و كذبا مما لم يقله أو يفعله أو يقره.
"Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan atau menetapkannya."Berdasarkan ketiga definisi di atas, dipahami bahwa setiap yang disandarkan kepada Rasaulullah SAW, baik bersifat positif maupun negatif, jika Rasulullah SAW tidak pernah melakukan atau mengatakannya maka hal itu adalah maudhu'. Bahkan jika penyandaran palsu tersebut dilakukan kepada para sahabat maupun tabi'in, menurut Ramli, termasuk dalam kategori ini.
B. Sejarah Awal Pemalsuan Hadis
Ada beberapa pendapat mengenai awal terjadinya pemalsuan hadis. Kelompok pertama menyatakan bahwa hadis maudhu' sudah muncul pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma'ruf al-Husaini. Mereka mendasarkankan pendapatnya pada sinyalemen Nabi yang mengungkapkan ancaman keras terhadap orang yang berusaha melakukan pendustaan atas nama beliau, sebagaimana sabdanya:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Barangsiapa yang berbohong secara sengaja dengan mengatasnamakan diriku, hendaklah ia bersiap-siap untuk mendapatkan tempatnya di neraka. (HR.Muslim)Menurut Ahmad Amin, hadis di atas membawa indikasi bahwa pada masa Rasulullah SAW hidup pernah terjadi pendustaan terhadap beliau dengan mengatasnamakan dirinya. Demikian pula pendapat Hasyim, bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad SAW mengeluarkan statemen yang demikian jika tidak didahului oleh adanya gerakan-gerakan pemalsuan hadis.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas mendapat kritikan dari Musthafa al-Sibai'i. Menurutnya, alasan yang dikemukakan tersebut hanyalah sebuah dugaan yang tidak mempunyai alasan historis dan tidak ditemukan dalam kitab asbab al-wurud. Jika memang pernah terjadi pemalsuan pada masa itu tentu para sahabat akan menuturkannya secara mutawattir karena itu merupakan suatu perbuatan jahat yang sangat buruk.
Adapun mengenai riwayat oleh al-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar, berasal dari Abdullah ibn Buraydah, yang diperoleh dari ayahnya yang mengatakan: “Seseorang datang ke suatu kaum dekat kota Madinah, lalu ia berkata, ‘Rasulullah SAW menyuruh aku membuat keputusan hukum untuk kamu berkenaan dengan perkara ini dan itu dengan mengikuti pendapatku sendiri.’ Orang itu telah melamar seorang wanita dari kalangan kaum tersebut pada masyarakat jahiliah namun mereka menolak untuk mengawinkannya, lalu ia pergi sampai ia bertemu wanita bersangkutan. Maka kaum itu mengirim utusan kepada Rasulullah SAW untuk menannyakan hal itu, maka beliau bersabda, ‘Musuh Allah itu telah berbohong’. Kemudian beliau mengutus seseorang dan bersabda, ‘Jika kau dapatkan orang itu masih hidup, maka hantamlah tengkuknya. Tapi aku tidak melihat engkau mendapatkannya masih hidup. Dan jika engkau dapatkan ia telah mati, maka bakarlah.’ Ternyata didapatkannya orang itu telah dipatuk ular dan mati, lalu dibakarnya mayat itu. Pada saat itulah Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa sengaja berbohong…dan seterusnya’.” Dan at-Thabrani dalam kitabnya al-Awsath juga meriwayatkan hal yang senada. Untuk bisa tidaknya diterima kedua Riwayat ini menurut al-Siba’i dapat ditinjau dari beberapa sisi:
- Pertama, isi hadis itu tidak dapat diterima, dan mengandung indikasi pemalsuan yang jelas. Sebab selama Rasulullah SAW hidup, tidak pernah tercatat dalam sejarahnya beliau memerintahkan membakar mayat, walau hanya sekali.
- Kedua, sanad kedua riwayat tersebut lemah karena ada di antara perawinya yang hadisnya tidak bisa diterima. Bahkan sebagian ulama menganggapnya hadis palsu.
- Ketiga, kalaupun kedua riwayat itu benar, namun keduanya merupakan pemalsuan dalam perkara duniawi bukan hadis keagamaan umum, dan bersifat khusus bagi pemalsu itu sendiri, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menunjukkan bahwa pemalsuan telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW masih hidup.
- Keempat, kedua riwayat tersebut tidak menunjukkan secara jelas siapa pelakunya, dan tidak termasuk di antara para sahabat. Karena itu tidak bisa dijadikan sandaran oleh mereka yang meragukan kehandalan para sahabat.
Selain itu, para sahabat juga memilki idealisme yang membuat mereka teguh dalam menegakkan kebenaran. Mereka tidak bisa bersikap diam terhadap orangtua dan orang-orang terhormat di antara mereka yang menyimpang dari jalan yang benar. Mereka juga tidak bisa dihambat, bahkan oleh pihak penguasa sekalipun, dalam menjelaskan kebenaran dan mereka tidak takut akan siapapun kecuali Allah. Mereka adalah orang-orang yang sangat keras menjaga Syari'ah dan hukum-hukumnya, serta mendalami dan menyiarkannya kepada orang banyak sebagaimana mereka memperolehnya dari Rasulullah dengan kesediaan berkorban untuk itu.
Kelompok kedua ulama hadis seperti Ajjaj al-Khatib, Mushtafa as-Siba’I, Nur al-Dien ‘Itr, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah Abu Ghuddah. berpendapat bahwa perekayasaan hadits muncul dan semakin sering terjadi sejak pertengahan abad pertama hijriyyah, khususnya setelah terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan “al-fitnah al-kubra” yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan dan berakhir dengan terbunuhnya diri beliau. Pasca tragedi tersebut, berbagai macam aliran politik dan teologi bermunculan. Dalam mewujudkan identitas dan membela kekuatan serta sistem perpolitikan, setiap kelompok mencari justifikasi normatif yang diambil dari dalil-dalil al-Qur'an maupun al-Hadits. Semula mereka mencari dari al-Qur'an yang dapat ditafsirkan sesuai dengan aliran politik mereka. Namun upaya mereka tersebut gagal karena pada masa itu para sahabat dan penghafal al-Qur'an masih banyak yang hidup, sehingga mereka kesulitan mencari celah untuk bisa direkayasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hawa nafsunya. Akhirnya mereka beralih ke hadis-hadis nabawi yang bisa diinterpretasikan dengan tujuan yang sama tetapi juga gagal. Karena itulah mereka mengambil jalan pintas yaitu dengan cara memalsukan hadis atau membuat riwayat-riwayat dusta untuk menjustifikasi sikap politik yang mereka jalani.
Menengahi kedua pendapat tersebut di atas, Shalahuddin al-Adlaby menyatakan bahwa kemunculan hadis maudhu' yang berkenaan dengan urusan dunia sudah terjadi pada masa Rasulullah SAW, tetapi masalah agama belum terjadi. Al-Adlaby mendasarkan alasannya pada kedua riwayat yang disampaikan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani di atas. Dari ketiga pendapat di atas, para sejarawan Islam dan juga muhadditsin lebih bersepakat pada pendapat kelompok kedua yang beranggapan bahwa pemalsuan terjadi setelah Rasulullah SAW wafat.
C. Faktor Pendorong Terjadinya Pemalsuan Hadis dan Lingkungan Pertumbuhannya
Munculnya perselisihan politik yang terjadi pada masa-masa akhir pemerintahan khalifah Usman dan masa-masa awal pemerintahan Ali merupakan batas pemisah antara kemurnian hadis dan kebebasannya dari kebohongan dengan pemalsuan yang digunakan sebagai alat untuk melayani kepentingan politik. Apalagi setelah terjadinya al-fitnah al-kubra, berbagai aliran politik dan teologi bermunculan dengan berusaha mencari justifikasi dari al-Qur'an dan al-Hadits, dan jika mereka tidak menemukan dalil yang mendukung maka dengan tidak segan-segan mereka merekayasa hadis sedemikian rupa demi tercapainya tujuan yang mereka cita-citakan. Sehingga, tidaklah mengherankan pada masa itu banyak para pendusta dan pemalsu hadis bermunculan, bahkan di Irak merupakan basis pemalsuan hadis terbesar pada masa itu, sampai-sampai Imam Malik berkata, “Perlakukanlah hadis-hadis yang bersumber dari penduduk Irak seperti berita-berita yang bersumber dari Ahlu al-Kitab. Jangan engkau membenarkan dan jangan pula mendustakan mereka.” Pada masa itu, setiap hari, di Irak, tidak kurang dari 400 hadis yang diriwayatkan, jumlah ini 40 kali lipat lebih banyak dari hadis yang diriwayatkan di Madinah, sehingga Irak dijuluki sebagai “dar al-dharb” (rumah percetakan).
Pemalsuan hadis yang terjadi secara besar-besaran pada masa itu mengakibatkan sulit membedakan mana yang benar-benar shahih dan mana yang palsu. Setiap kelompok bahkan perorangan nampaknya berlomba-lomba untuk menciptakan hadisnya sendiri-sendiri dengan rangkaian kata-kata yang indah dan terlihat seolah-olah benar kemudian menyandarkannya kepada Rasulullah SAW. Adapun beberapa sebab yang mendorong terjadinya pemalsuan hadis menurut al-Siba’i dapat diringkas sebagai berikut:
- Pertama, pertikaian politik. Akibat dari pertikaian politik ini, setiap kelompok berusaha mencari pembenaran yang mendukung kelompok masing-masing, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits, dan jika gagal, perekayasaan hadis pun mereka lakukan demi tercapainya tujuan. Sebagian besar tema-tema hadis politik ini berkenaan dengan keutamaan atau kelebihan sosok-sosok tertentu, atau mendukung sebuah pendapat atau pemikiran teologis dan aliran-aliran politik tertentu. Seperti hadis-hadis tentang keutamaan Mu’awiyyah yang dimunculkan kelompoknya berkenaan dengan kedudukannya sebagai orang yang dipercaya Allah SWT, hadis tentang hak Imamah Ali RA yang diriwayatkan kelompok Syiah, serta hadis tentang keutamaan Abu Bakar, Umar dan Usman yang dimunculkan oleh kelompok Sunni.
- Kedua, kezindikan. Yaitu sikap benci kepada Islam, baik sebagai agama maupun sebagai kekuasaan. Hadis ini dimunculkan oleh kelompok orang-orang yang kalah dan tersisih dengan kemunculan dan kejayaan Islam. Mereka yang dulunya berkuasa dan bisa bertindak semena-mena kehilangan harapan untk bisa berkuasa kembali. Untuk itu, mereka mencari jalan lain untuk melakukan balas dendam dan celah yang paling mudah adalah dengan membuat hadis-hadis palsu. Hal ini ditujukan untuk merusak akidah umat Islam dan mengaburkan segi-segi kebaikannya serta memecah belah barisan para pengikut dan kekuasaan militernya. Berbagai cara mereka lakukan, baik dengan cara menyusup dikelompok-kelompok tertentu, menyamar sebagai seorang zahid dan sufi, maupun berkedok ahli filsafat dan ilmu hikmah.
- Ketiga, Fanatisme rasial, suku, bahasa, daerah, dan imam. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kelompok ini diakibatkan oleh adanya rasa bangga yang berlebihan dari suatu kelompok tertentu dan rasa rendah diri dari kelompok yang lain. Untuk menunjukkan kehebatannya diriwayatkanlah hadis-hadis yang menyanjung etnis atau bahasa tertentu dan yang lainnya pun tidak mau kalah memuji kelompok mereka sendiri. Sehingga tidaklah mengherankan jika bermunculan beberapa hadis seperti yang berbunyi, “Jika Tuhan murka, maka Dia turunkan wahyu dalam Bahasa Arab, dan jika Dia senang, maka Dia turunkan dalam Bahasa Persi.” Hadis ini kemudian dibalas oleh sebagian orang Arab dengan kebalikannya. Dan kadang mereka yang fanatik dengan imam-imam tertentu pun juga meriwayatkan hadis yang menyanjung secar berlebihan para imamnya.
- Keempat, kisah-kisah dan peringatan-peringatan. Hal ini dilakukan oleh para pendongeng yang hanya mementingkan keberhasilan mereka dalam menyampaikan cerita dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan. Mereka berusaha membuat pendengarnya terhanyut dan takjub dengan cerita yang disampaikan sehingga derma yang didapatkan pun bisa lebih banyak. Untuk mendukung ceritanya, tidak segan-segan mereka menisbahkannya kepada Rasulullah SAW. Diungkapkanlah cerita tentang surga secara berlebih-lebihan, begitu juga tentang amalan-amalan atau kalimat-kalimat tertentu yang jika diucapkan akan diberikan ganjaran yang banyak dan diselingi dengan hal-hal yang menakjubkan. Walaupun para ulama mengetahui kebohongan mereka, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena masyarakatnya pada saat itu sangat menggemari cerita-cerita yang demikian. Bahkan ketika al-Thabari (ahli tafsir) mencoba menentang mereka, para penduduk yang awam di Baghdad malah melempari rumahnya.
- Kelima, perbedaan dalam mazhab-mazhab fiqih dan ilmu kalam. Sebagaimana para pendukung partai politik yang menopang pendapat-pendapat mereka dengan cara memalsukan hadis, para pendukung mazhab-mazhab pun, baik mazhab-mazhab fiqih maupun teologi, melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Kebanyakan para pelakunya adalah kalangan orang-orang fasik dan miskin pengetahuan, tetapi ada pula yang memalsukan hadis dari kalangan ulama penganut faham tertentu untuk menarik simpati masyarakat mengikuti dan mendukung paham mereka. Sebagaimana pengakuan Muhriz Abu Raja, seorang yang sebelumnya menganut paham seperti paham Qadariyah tetapi kemudian menarik diri, yang diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu'awiyah ia berkata, "Jangan engkau meriwayatkan sesuatu dari salah seorang pengikut Qadriyah. Demi Allah, kami telah membuat-buat hadis yang dengan hadis-hadis itu, kami bermaksud menarik manusia ke dalam paham Qadariyah, dan hal ini kami lakukan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah. Kami berhasil menarik 4000 orang." Zuhair berkata, "Kemudian aku bertanya,'Apa yang kamu lakukan terhadap orang yang berhasil kamu tarik?' ia menjawab,'Aku berusaha mengeluarkan mereka satu demi satu.'" Dan ada pula yangmeriwayatkan hadis palsu untuk menyalahkan mazhab tertentu atau mendukung mazhab yang diikutinya. Misalnya sebuah hadis yang berbunyi "Barangsiapa mengangkat kedua tangannya dalam shalat maka shalatnya tidak sah", atau hadis lain yang berbunyi "Malaikat Jibril menjadi imam shalat untukku di sebelah ka'bah dan ia mengeraskan bacaan Bismillahirrahmannirrahim", dan masih banyak lagi hadis palsu lainnya. Mazhab ilmu kalam juga meriwayatkan beberapa hadis palsu seperti sebuah hadis yang berbunyi "Barangsiapa yang berpendapat bahwa al-Qur'an itu makhluq maka ia telah kafir."
- Keenam, tiadanya pengetahuan agama namun berkeinginan berbuat baik. Hadis ini kebanyakan dibuat oleh sebagian orang saleh, zahid, dan ahli ibadah yang prihatin dengan perpecahan dan kerusakan di kalangan umat Islam. Hal ini mereka lakukan untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai dan mengangkat kedudukan para pemimpin mereka. Mereka juga prihatin melihat kondisi umat yang mulai disibukkan urusan keduniaan dan mengabaikan akhirat. Karena itulah, mereka meriwayatkan beberapa hadis palsu, kebanyakan hadis yang diriwayatkan berupa targhib dan tarhib dengan semata-mata berharap ridha Allah SWT, serta hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keutamaan surah demi surah al-Qur'an. Akan tetapi, hal yang patut disesalkan, "kesalehan" yang mereka tampakkan dan kepercayaan masyarakat telah disalahgunakan untuk "mengelabui" mereka dengan meriwayatkan hadis-hadis palsu yang walaupun menurut pandangan mereka baik tetapi membahayakan agama. Dan jika mereka diingatkan dengan peringatan Rasulullah bagi si pendusta yang mengatasnamakan diri beliau, maka mereka menjawab, "Kami tidak berbuat dusta yang merugikan Rasulullah SAW. Kami hanya berdusta untuk kebaikan (menguntungkan) beliau."
- Ketujuh, usaha untuk pendekatan kepada para raja dan para penguasa dengan hal-hal yang menyenangkan mereka. Hal ini kebanyakan dilakukan oleh para penjilat penguasa untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan membuat hadis-hadis yang dapat memuaskan mereka. Hal seperti ini benar-benar terjadi pada masa khlaifah Abbasiah. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Hakim dari Harun Ubaidillah, dari ayahnya, ia berkata, "Khalifah al-Mahdi bertanya, 'Tidakkah engkau mengetahui apa yang dikatakan oleh Muqatil kepadaku?' Ia berkata, 'jika engkau menghendaki, saya akan membuat hadis-hadis untuk mengangkat Dinasti Abbasiah. 'Al-Mahdi berkata, 'Saya tidak memerlukan hadis-hadis itu." Salah contoh hadis palsu seperti yang dibuat oleh Ghiyats bin Ibrahim, yaitu ketika ia masuk menemui khalifah al-Mahdi yang kala itu sedang bermain lomba merpati, ia menyampaikan sebuah hadis yang masyhur, "Tidak boleh ada perlombaan kecuali dalam permainan panahan atau pedang." Lalu hadis ini diberinya tambahan "atau dalam permainan menerbangkan burung" untuk menyenangkan hati al-Mahdi. Maka al-Mahdi pun menghadiahinya sepuluh ribu dirham. Kemudian al-Mahdi berkata tentang Ghiyats, "Saya bersaksi atas jejakmu. Sesungguhnya itu adalah jejak pendusta atas Rasulullah SAW."
D. Upaya Para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'it Tabi'in Membendung Gerakan Pemalsuan Hadis
Para pemalsu hadis telah melakukan perbuatan yang sangat keji dengan mencorengkan noda hitam di wajah Islam, mencemarkan namanya, dan mengotorinya dengan ajaran yang sama sekali bukan ajaran Islam. Namun, Allah SWT senantiasa menjaga Islam beserta ajarannya. Masih terlahirnya orang-orang yang dapat dipercaya yang dengan tulus ikhlas menelusuri secara seksama jejak para pemalsu hadis dengan menggunakan metodologi ilmiah yang sebaik-baiknya untuk kritik dan riset sehingga mereka bisa membedakan antara hadis yang batil dan yang shahih. Adapun upaya-upaya yang telah mereka lakukan dalam rangka memelihara As-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:
- 1. Keharusan mengisnadkan hadis
- 2. Otentifikasi hadis
- 3. Mengkritisi para perawi
- Mereka yang melakukan kebohongan tentang Rasulullah SAW
- Mereka yang dalam pembicaraan pada umumnya suka berbohong, meskipun tidak pernah berbohong atas Rasulullah SAW
- Mereka para penganut bid'ah dan hawa nafsu
- Kaum zindiq, fasik, pelupa yang tidak mengerti apa yang mereka tuturkan, serta setiap orang yang padanya tidak banyak ditemukan sifat-sifat keteguhan, kejujuran, dan kepahaman.
- 4. Diletakkannya prinsip-prinsip umum untuk klasifikasi hadis dan evaluasinya.
- 5. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis palsu (maudhu')
a. Tanda tanda kepalsuan sanad
- Jika hadis itu dirawikan oleh seorang pembohong yang diketahui banyak orang kebohongannya itu, sedangkan hadis itu tidak diriwayatkan oleh perawi lain yang tsiqah. Dalam hal ini, para ulama telah memberikan perhatian yang khusus dengan meneliti biografi para perawi secara seksama sehingga sangat kecil kemungkinan mereka lengah dari hadis yang dipalsukannya.
- Atas dasar pengakuan pembuat hadis palsu itu sendiri, seperti pengakuan yang dilakukan oleh Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam tentang hadis-hadis keutamaan surah demi surah dalam al-Qur'an. Dan pengakuan yang dibuat oleh Abd al-Karim bin Abi al-'Awja' yang telah memalsukan sekitar 4000-an hadis yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.
- Adanya indikasi yang menunjukkan kebohongannya, seperti seorang perawi yang meriwayatkan sebuah hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah bertemu dengannya, atau dilahirkan setelah guru tersebut meninggal, dan atau meriwayatkan sebuah hadis dari seorang guru di suatu negeri padahal ia belum pernah berkunjung ke negeri tersebut. Untuk itu, pengenalan terhadap sejarah sangat diperlukan oleh seorang peneliti hadis, kapan dan di mana perawi itu dilahirkan, di mana mereka menetap, ke mana saja mereka melakukan perjalanan, siapa saja guru-gurunya, dan kapan mereka wafat, dengan demikian ia bisa dengan mudah mengenali kebenaran sebuah hadis pada satu sisi.
- Indikasi lainnya adalah dengan mengenali prilaku atau keadaan perawi serta dorongan-dorongan psikologisnya. Apakah ada unsur-unsur kepentingan dari si perawi dengan apa yang diriwayatkannya atau tidak. Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang pedagang harisah, Muhammad bin al-Hajjaj al-Nakh'i, yang berbunyi "Harisah (daging masak yang ditumbuk bersama gandum) menguatkan punggung".
b. Tanda-tanda kepalsuan matan
Tanda-tanda kepalsuan matan juga cukup banyak, hal ini akan bisa dikenali, terlebih lagi oleh para pengkaji hadis yang seolah-olah hidup bersama Rasulullah SAW karena setiap hari ia bergaul dengan hadis-hadis Rasulullah, sehingga ia mengenal betul bentuk redaksinya, baik mengenai perintah maupun larangannya, berita dan seruannya, prilaku beliau sehari-hari, apa yang disukai dan tidak disukai, serta segala hal yang yang disyariatkan kepada umatnya. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan hadis palsu dari segi matannya adalah sebagai berikut:
- Buruknya redaksi hadis. Dalam hal ini, orang yang memahami bahasa secara mendalam akan mengetahui bahwa kalimat tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW, karena beliau dikenal sebagai orang yang sangat fasih di antara orang yang fasih dalam berbahasa.
- Kelemahan dari segi makna. Yaitu jika sebuah hadis menyalahi kepastian-kepastian rasional tanpa kemungkinan untuk menakwilkannya, menyalahi kaedah-kaedah umum di bidang hukum dan akhlak, mendorong nafsu syahwat dan perbuatan merusak, menyalahi indera dan wujud lahiriah, menyalahi kaedah ilmu kedokteran yang sudah disepakati, menyalahi prinsip transendensi dan ke-Mahamulia-an Tuhan menurut akal sehat, menyalahi hal-hal yang secara historis telah diketahui atau sunatullah dalam alam dan manusia. Hadis palsu juga bisa dikenali dari matannya yang hanya memuat hal-hal sepele dan tidak mungkin diterima oleh mereka yang berpikiran waras, seperti "Ayam jantan putih adalah kekasihku, dan kekasih dari kekasihku adalah malaikat Jibril." Karena itu, semua hal yang bertentangan dengan akal secara pasti adalah palsu dan tidak dapat diterima. Dalam hal ini al-Jauzi berkata, "Setiap hadis yang kudapatkan bertentangan dengan akal dan menyalahi berbagai prinsip yang ada serta bukti-bukti tertulis menunjukkan kebalikannya, maka ketahuilah itu palsu." Juga dikatakan dalam kitab al-Mahshul, setiap hadis yang menimbulkan dugaan akan adanya kebatilan dan tidak mungkin ditakwilkan maka ia itu dusta atau nilainya, berkenaan dengan yang meniadakan dugaan itu, menjadi turun.
- Hadis yang bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah mutawattir, atau ijma' yang qath'i. Seperti hadis, "Anak hasil zina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan," bertentangan dengan firman Allah, "Seorang tidak akan menanggung dosa orang lain". Contoh lainnya adalah hadis yang menyatakan bahwa dunia ini berumur 7000 tahun, padahal hanya Allah yang mengetahui umur dunia (QS. Al-'Araf: 187), atau hadis yang mengatakan "Barangsiapa mendapatkan seorang anak dan memberinya nama Muhammad maka anak itu dan orangtuanya akan masuk surga." Sebab hadis ini bertentangan dengan ajaran al-Qur'an yang tidak menyangkutpautkan keselamatan seseorang dengan nama atau gelar yang disandangnya.
- Hadis yang menyalahi fakta-fakta sejarah yang diketahui pada masa Rasulullah SAW. Misalnya hadis bahwa Nabi mewajibkan penduduk Khaibar untuk membayar jizyah dan membebaskan mereka dari usaha dan kerja paksa dengan persaksian Sa'd bin Mu'adz dan catatan Mua'wiyah bin Abi Sufyan. Padahal menurut fakta sejarah, jizyah tersebut belum dikenal dan belum ditetapkan pada tahun peristiwa Khaibar, dan ayat tentang jizyah baru turun setelah perang Tabuk, apalagi menurut catatan sejarah Sa'd bin Muadz meninggal pada perang Khandaq, sedangkan Mu'awiyah masuk Islam pada tahun pembebasan Makkah.
- Hadis yang berkaitan dengan aliran atau mazhab si perawi, dan ia dikenal sangat fanatik dengan alirannya tersebut. Seperti hadis yang mengunggulkan ahl al-bayt yang dituturkan oleh penganut Syi'ah Rafidhah, atau seorang Murji'ah yang meriwayatkan hadis tentang paham alirannya seperti yang diriwayatkan Habbah bin Juwayn yang mengatakan, "Pernah kudengar Ali Ra berkata, 'Aku menyembah Allah bersama Rasul-Nya lima sampai tujuh tahun sebelum seorangpun dari ummat ini menyembah-Nya." Habbah, menurut Ibnu Hibban, adalah seorang yang sangat fanatik terhadap Syi'ah dan ia bersikap meremehkan hadis.
- Hadis yang mengandung sesuatu yang seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang karena terjadi dengan persaksian orang banyak, namun hadis tersebut tidak dikenal dan tidak ada orang yang meriwayatkannya kecuali seorang. Misalnya hadis "Ghadir Khum", yaitu hadis tentang penobatan Ali RA sebagai pengganti sepeninggal Rasulullah SAW. Hadis ini dinilai palsu karena sangat jauh kemungkinan para sahabat bersepakat menyembunyikan hadis ini saat pengangkatan Abu Bakr RA sebagai khalifah, apalagi hadis tersebut diucapkan Rasulullah SAW dihadapan orang banyak.
- Hadis yang mengandung sifat berlebihan dalam soal pahala yang besar atas perbuatan yang mudah. Misalnya, "Barangsiapa megucapkan Lailahaillallah, maka Allah akan menciptakan untuknya seekor burung yang mempunyai 70 ribu lidah, setiap lidah menguasai 70 ribu bahasa, dan semuanya memohonkan ampun bagi orang itu."
- 1. Dibukukannya hadis dalam kitab-kitab yang lengkap.
- 2. Lahirnya ilmu Mushtalah al-Hadits
- 3. Lahirnya ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil
- 4. Lahirnya berbagai cabang ilmu hadis
- 5. Dibukukannya hadis-hadis palsu serta para pemalsunya, dan juga lahirnya kitab-kitab hadis yang menjelaskan tentang hadis yang shahih, yang dha'if, dan yang palsu didalamnya.
=================
Daftar Pustaka:
Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Hadits Nabi: Otentisitas dan Upaya Destruksinya, No. 2 Vol. 1 2005
G.H.A. Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960) (Mizan: Bandung, 1999)
Mahmud Abu Rayyah, Adhwa 'Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Dar el-Ma'arif: Mesir, t.th)
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis (Pustaka Progressif: Surabaya, 1976)
Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Dar el-Fikr: Beirut, 1993)
-------, Ushul al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar el-Fikr, 1989)
Muhammad M. Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature, diterjemahkan oleh Mith Kieraha, Memahami Ilmu Hadis (Lentera: t.tp, 1993)
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2003)
Musthafa al-Siba'i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyrie' al-Islami, diterjemahkan oleh Dr. Nurcholish Madjid, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Syari'ah Islam (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1991)
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Citrapustaka Media: Bandung, 2005)
Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Al-Malayin, 1973)
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2001)
0 comments:
Post a Comment