Tasawuf di Indonesia dan Beberapa Tokoh-tokohnya

A. Hamzah A-Fansuri (W. 1016 H/1607 M)

1. Riwayat Hidup Hamzah Fansuri
Nama Hamzah Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin Sumatrani termasuk tokoh Sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Paham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syekh Hamzah fansuri diakui sebgai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya, dan hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebgai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku sejarah mengenai Aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang.

Para pengkaji seperti Doorenbos [1933], Al-Attas [1970], drewes dan brakel [1986] dan lain-lain tak dapat menafikan bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa Melayu Tinggi atau baku, bahasa yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Kecemerlangan gaya penulisannya diakui sulit ditandingi oleh ulama sezaman dan sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, pembaru keilmuan dan filsafat, serta pembaru spiritual pada zamannya.

Meskipun keberadaan Fansuri diyakini para ahli, tahun dan tempat kelahirannya hingga sekarang belum diketahui. Ketidakjelasan riwayat Fansuri ini disebabkan tidak dimasukkannya nama Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yakni Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin karangan Nuruddin Ar-Raniri. kedua sumber tersebut tidak menyebut sepatah kata pun tentang Fansuri dan perannya di dalam kehidupan keagamaan pada akhir abad ke-16. Apalagi murid-muridnya yang cemerlang cukup banyak seperti Syekh Syamsuddin Pasai, Syekh Hasan Fansuri, Syekh Abdul Djamal, Syekh Daud, dan lain-lain. Belum lagi pengaruh tasawufnya yang tersebar di berbagai pelosok kepulauan Nusantara.

Berdasarkan kata “Fansur” yang menempel pada namanya, sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari Fansur, sebutan orang Arab terhadap Barus yang sekarang merupakan kota kecil di pantai barat Sumatra Utara yang terletak di antara Sibolga dan Singkel.

Dipercaya bahwa Syekh Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Braginsky menginformasikan bahwa Syekh hidup hingga akhir masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda [1607-1636] dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nuruddin Ar-Raniri yang kedua kalinya di Aceh pada tahun 1637.

Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat mengatakan bahwa ia pernah sampai ke seluruh semenanjung dan mengembangkan tasawuf di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan lain-lain.

Orang banyak menyanggah Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya. Oleh karena itu, terlalu mudah orang mengecapnya seorang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangkanya sebagai pengikut ajaran Syi’ah. Ada juga yang memercayai bahwa ia bermazhab Syafi’i di bidang fiqh. Dalam tasawuf, ia mengitu Tarekat Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

2. Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri
Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi dalam paham wahdat wujud-nya. Di antara ajaran-ajarannya adalah:

a. Allah. Allah adalah Dzat yang mutlak dan qadim sebab Dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa Allah tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “ “ ia katakan bahwa kemungkinan untuk memandang wajah Allah di mana-mana merupakan unio-mistica. Para sufi menafsirkan “wajah Allah” sebagai sifat-sifat Tuhan seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Dalam salah satu sya’irnya, Fansuri berkata:
“Mahbub itu tiada berha’il
Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil
Fa tsamma wajhullah sempurna wasil
Inilah jalan orang yang kamil.

b. Hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (mazh-har, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan dan sungai dan kembali lagi ke lautan.

c. Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.

d. Kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil (manusia sempurna), tetapi karena ia lalai, pandangannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.

B. Nuruddin Ar-Raniri (W. 1068/1658)

1. Riwayat Hidup Nuruddin Ar-Raniri
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy-Syafi’i Asy-Syafi’i Ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikannya. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir dan kemudian melanjutkannya ke wilayah Hadhramaut. Sewaktu masih di negeri asalnya, ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Di antara guru yang paling banyak mengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat Rifa’iyah keturunan Hadhramaut Gujarat, India.

Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaharuan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh.

2. Ajaran Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri

a. Tentang Tuhan
Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan Ar-Raniri hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsiran di atas membuatnya terlepas dari label panteisme Ibn ‘Arabi.

b. Tentang Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang konkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; Nama Rahman ber-tajalli pada arsy; Nama Rahim ber-tajalli pada kursy; Nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh;dan seterusnya.

c. Tentang Manusia
Manusia, menurut Ar-Raniri, merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga, karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, menurutnya, hampir sama dengan apa yang telak digariskan Ibn ‘Arabi.

d. Tentang Wujudiyyah
Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat al-wujud, yang disalahartikan kaum wujudiyah dengan arti kemanunggalan Allah dengan alam, menurutnya, pendapat Hamzah Fansuri tentang wahdat al-wujud dapat membawa kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia maka jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, buruk atau baik, Allah turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.

e. Tentang Hubungan syari’at dan Hakikat
Pemisahan antara syari’at dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at yang merupakan pokok dan cabang Islam.

C. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili (1424-1105 H.)

1. Riwayat Hidup As-Sinkili
Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M.). nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Fansuri. Sejarah mencatat bahwa ia merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Mekkah dan Madinah itu.ia sempat menerima ba’iat Tarekat Syathariyah, di samping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya.

Menurut Hasyimi, sebgaimana dikutp Azyumardi Azra, ayah As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke-13, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan tua di pantai barat Sumatra. Dia banyak belajar ilmu-ilmu agama dari ayahnya. Kemudian pendidikannya dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah tinggi pada Syekh Syamsuddin As-Sumatrani. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.

As-Sinkili mempunyai banyak murid, di antaranya adalah Syekh Burhanuddin Ulakkan yang aktif mengembangkan Tarekat Syathriyah. Tersebarnya Tarekat Syathriyah mulai Aceh melalui jaluran yang tepat hingga ke Sumatra Barat, menyusur hingga ke Sumatra Selatan, dan berkembang pula hingga Cirebon Jawa Barat manakala kita kaji dengan teliti, selalu akan ada persambungan silsilah As-Sinkili tersebut.

2. Ajaran Tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili

a. Kesesatan ajaran tasawuf wujudiyah. Pemutusan tindakan Ar-Raniri tentang Wahdat Al-Wujud di nilai As-Sinkili sebagai perbuatan yang terlalu emosional.
b. Rekonsilasi antara tasawuf dan syariat.
c. Dzikir. Dzikir, dalam pandangan As-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa.
d. Martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yaitu sudah tercipta haqiqah Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’yan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.

D. Abd Shamad Al-Palimbani (W. + 1203 H/1788 M)

1. Riwayat Hidup Al-Palimbani
Abd Shamad Al-Palmibani adalah seorang ulama sufi kelahiran Palembang pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun setelah tahun 1700 M. Ia adalah putra Abd Jalil bin Syekh Abd Wahab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani dari Yaman, seorang ulama sufi di San’a, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di negeri Kedah. Ketika berada di Palembang, Abd Al-Jalil menikah dengan seorang wanita negeri ini, Radin Ranti. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Abd Ash-Shamad Al-Palimbani.

Abd Ash-shamad lama belajar di Mekkah dan Madinah dari ulama-ulama sufi, di antaranya Syekh Muhammad As-samman.

2. Ajaran Tasawuf Al-Palembani
a. Tentang Nafsu
Al-Palimbani tidak puas dengan ajaran Al-Ghazali tentang tiga tingkatan jiwa (nafs) manusia (ammarah, lawwamah, dan muthma’innah yang berakhir dengan ketentraman dan kemantapan menerima segala keadaan yang dihadapi dalam hidup di dunia ini. Ia memilih ajaran tujuh tingkatan jiwa (ammarah, lawwamah, mulhammah, muthma’innah, radhiyah, mardhiyah dan kamilah) yang berakhir dengan kemampuan mengarungi dan menggumuli kehidupan dunia yang penuh dengan kesesatan untuk melaksanakan missi sucinya membawa manusia ke jalan Allah. Ia mengakui ajaran Al-Ghazali yang memandang bahwa tingkat ma’rifat tertinggi yang harus dicapai seorang sufi adalah memandang Allah secara langsung, dengan mata hati yang telah bebas dan bersih dari segala noda dan godaan keduniaan. Akan tetapi, kesempurnaan seorang sufi, menurutnya, belum tercapai dalam pengasingan diri dari segala kesibukan hidup kemasyarakatan, beruzlah dan berdzikir mengingat Allah saja, melainkan juga dalam keterlibatan aktif dalam arus kehidupan dunia nyata ini dan memancarkan Asma’ Allah yang Mulia melalui amal perbuatan nyata, sehingga keesaan allah yang mutlak dalam keanekaragaman yang memenuhi alam kehidupan ini dapat dipandang dalam keesaan mutlak.

b. Tentang Martabat Tujuh
Harus diakui, memang konsep martabat tujuh juga pernah dikutip oleh abdus shamad Al-Palimbani dalam karyanya Sair As-Salikin. Menurutnya, seperti yang dikutip Chotib Quzwain, Wujud allah ta’ala dapat dikenal dengan tujuh martabat sebagai berikut:

Martabat yang pertama adalah martabat ahadiyyatul ahadiyah, dan dinamakan pula martabat an la ta’ayyun dan dinamakan martabat ithlaq dan dinamakan pula martabat dzatul-baht; yaitu ibarat keadaan semata-mata Wujud Zat (Esensi) Allah SWT. Yang Esa, yakni memandang dengan hatinya akan semata-mata Wujud Zat (Esensi) Allah ta’ala dengan tiada iktibar sifat-Nya dan asma-Nya dan af’al-Nya.

Martabat yang kedua adalah martabat al-wahidah, dan dinamakan pula martabat at-ta’ayyun al awwal dan dinamakan pula haqiqat al-muhammadiyah; yaitu ibarat ilmu Allah ta’ala dengan Wujud Zat-Nya dan segala sifat-Nya dan segala yang maujud atas jalan perhimpunan, dengan tiada beda setengahnya dengan setengah-(nya).

Martabat ketiga adalah martabat al-wahidiyah dan dinamakan pula haqiqat al-insaniyah; yaitu ibarat ilmu Allah ta’ala mengenai Zat-Nya dan segala sifat-Nya dan segala makhlum atas jalan perceraiannya setengahnya dah setengahnya.

Martabat yang keempat adalah martabat ‘alam arwah, dan dinamakan pula nur muhammad; yaitu ibarat keadaan suatu yang halus yang semata-mata, yang belum menerima susun dan belum berbeda setengahnya (dari setengahnya).

Martabat kelima, ‘alam mitsal; yaitu ibarat keadaan suatu yang halus, yang tiada menerima susun, yang tiada dapat diceraikan setengahnya dari setengahnya, dan tidak menerima pesuk dan tiada menerima bertampal.

Martabat keenam, martabat ‘alam al-ajsam, yaitu ibarat keadaan suatu yang disusun dari empat perkara, yakni api, angin, tanah, dan air, sekalian yang kasar yang menerima bersusun dan bercerai-cerai setengahnya dari setengahnya.

Martabat ketujuh, martabat ‘alam al-jami’ah, yaitu martabat yang menghimpunkan sekalian martabat yang enam, yaitu martabat al-insan, dan dinamakan pula martabat ketujuh ini akan martabat at-ta’ayyun al-akhir, yakni kenyataan zhahir Allah Ta’ala yang kemudian sekali.

c. Tentang Syari’at
Seperti banyak tokoh sufi lainnya, Al-Palimbani percaya bahwa Tuhan hanya dapat didekati melalui keyakinan yang benar pada Keesaan Tuhan yang mutlak dan kepatuhan pada ajaran-ajaran syari’at. Meskipun dia menerima pendapat-pendapat tertentu dari Ibn ‘Arabi atau Al-Jilli, terutama menyangkut doktrin Insan Kamil, Al-Palimbani menafsirkan mereka dipandang dari sudut ajaran-ajaran Al-Ghazali. Dia memberikan tekanan dalam tasawufnya lebih banyak pada penyucian pikiran dan perilaku moral daripada pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis. Ini berarti bahwa tasawufnya lebih merupakan tasawuf akhlaqi atau tasawuf amali yang bernuansa Sunni ketimbang tasawuf falsafi.

E. Syekh Yusuf Al-Makasari (1037-1111/1627-1699)

1. Riwayat Hidup Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H. atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M., yang berarti tidak berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi (yaitu Datuk RI Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”, yaitu nama kotadi Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Naluri fithrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan diri cinta akan pengetahuan keislaman.

Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Orang yang hidup di zaman itu lebih mementingkan mental dan materiel. Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai agama dan kepercayaan yang memang menjurus ke arah itu pula.

Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup banyak, bahkan mungkin sukar mencari ulama yang mempelajari demikian banyak tarekat serta mengamalkannya seperti dirinya, baik pada masanya maupun masa kini. Semua tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad .

2. Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf al-Makasari

a. Syari’at dan Hakikat. Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek: Aspek lahir (Syari’at) dan aspek bathin (Hakikat). Syari’at dan Hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.

b. Transendensi Tuhan. Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah al-ihathah (peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Sebab, al-ihathah dan al-ma’iyyah Tuhan terhadap hamba-Nya adalah secara ilmu.

c. Insan kamil dan Proses Penyucian Jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Menurut nya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Berkenaan dengann cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar, yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, menunaikan ibadah haji, dan berjihad di jalan allah. Kedua, cara mujhadat asy-syaqa’, yaitu latihan bathin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan bathin dengan lebih memperbanyak amalan bathin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga, cara ahl adz-dzikr, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun bathin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.

F. Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M.)

1. Riwayat Hidup Nawawi Al-Bantani
Abu ‘Abd Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin An-Nawawi Al-Jawi dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M. di desa Tanara, sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa, kabupatek Serang provinsi Jawa Barat Indonesia. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari Tanara. Ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Pendidikannya kemudian diteruskan ke Mekkah selama tiga tahun. Beliau wafat di mekkah pada tahun 1314 H/1897 M. Di sana, ia terlibat dalam proses belajar dan mengajar serta menjadi pengarang dan mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya di Indonesia.

2. Pemikiran Nawawi tentang Tasawuf
Pemikiran Nawawi tentang tasawuf dapat dilacak dari karya-karyanya seperti Tanqih Al-Qaul, Mirqah Shu’ud At-Tashdiq, dan Syarh Maraqi Al-‘Ubudiyyah.

a. Tarekat
b. Ghibah
c. Sifat Manusia

Nawawi menjelaskan: Pada diri manusia berkumpul empat macam sifat, yaitu kebinatang-buasan (sabu’iyyah), kebinatang-jinakan (bahimiyyah), kesetanan (syaitha-niyyah), dan ketuhanan (rabbaniyyah). Semuanya berkumpul dalam hati.

G. HAMKA (1908-1981 M)

1. Riwayat Hidup
Hamka [Haji Abdul Malik Karim Amrullah] dilahirkan ditanah sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul Arif, gelar tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo, salah seorang Paderi. Tuanku Nan Tuo adalah salah satu ulama yang memainkan peranan peting dalam kebankitan kembali pembaharuan di Minangkabau dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din. Kondisi soasial keagamaan pada masa Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang membawa umat pada ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang lurus, yang tidak bercampur dengan adat-istiadat.

Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya. Setahun kemudian, setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya kesekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainuddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka lalu dimasukkan ayahnya ke sekolah ini.
Setelah ayahnya Abdul Karim Amrullah, kembali dari pelawatan pertamanya ke tanah jawa. Surau Jembatan Besi, tempat ayah Hamka memberi pengajaran agama dengan sistem lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School, dan hamka dimasukkan ke sekolah itu.

Hamka tidak sempat memperoleh pendidikan tinggi, akan tetapi, tampaknya ia berbabakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab, termasuk terjemahan- terjemahan dari tulisan-tulisan barat. Pada tahun 1930, Hamka bukan hanya pergi ke Jawa, melainkan juga ke Mekah, Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara. Hamka juga telah diilhami kesadaran tentang kesatuan indonesia jauh sebelum 1928.

Adapun karya-karya yang pernah ditulis Hamka di antaranya adalah: Tasawuf Modern (1939), Falsafah Hidup (1939), Lembaga Hidup (1940), Lembaga Budi (1940), Dibawah Lindungan Ka’bah, Renungan Tasawuf, Pelajaran Agama Islam, Pandangan Hidup Muslim, Tenggalamnya Kapal Van der Wijk, Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Tafsir Al-Azhar. Dari karya-karyanya terlihat Hamka membangun reputasinya sebagai pengarang yang menulis tentang berbabagai soal umum, sebagai editor majalah, sebagai penulis cerita pendek dan novelis yang romantis pada masa sebelum perang.

3. Pemikiran Hamka tentang Tasawuf
Hamka agaknya memilih cara diskursus (discourse) yang lebih bebas daripada pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an dan Hadits seperti yang dilakukan gurunya. Perbedaan lainnya dengan Sutan Mansur, Hamka tidak membatasi dirinya dalam ilmu kalam dan ilmu akhlak yang tradisional demi menjaga doktrin Islam.

Tentang pemikiran Hamka ada dua buku yang dapat dibaca untuk menelusuri pemikiran-pemikirannya. Pertama, Tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka sendiri. Kedua, Tasawuf Positif dalam pemikiran HAMKA yang ditulis oleh Mohammad Damami.

a. Hakikat Tasawuf
Menurut Hamka, walaupun pengambilan kata tasawuf itu, dari bahasa Arab atau Yunani, dari asal-asal pengambilan itu, nyata bahwa yang dimaksud dengan kaum tasawuf atau kaum sufi ialah kaum yang telah menyusun perkumpulan untuk menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, tidak menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan Khaliqnya, sebagaimana yang dimaksud perkataan Yunani itu.

Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam yang bertujuan zuhud dari dunia yang fana, tetapi lantaran banyak bercampur dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain ke delamnya.

Menurut Hamka, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan bathin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpleset ke dalam lumpur keburukan budi dan kekotoran bathin yang intinya, antara lain dengan berzuhud seperti teladan hidup yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW lewat As-sunnah yang shahih.

Hamka merinci beberapa hal sebagai berikut: Tasawuf menjadi negatif, bahkan sangat negatif kalau tasawuf:

a. Dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.

Tasawuf akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf:
a. Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” agar kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas.

b. Fungsi Tasawuf
Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, yang juga dilaksanakan lewat peribadahan agama yang didasari i’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral keagamaan (moral religius) yang efektif.

c. Tasawuf Modern
Tasawuf yang ditawarkan Hamka disebut “tasauf modern” atau “tasawuf positif” berdasar pada prinsip “tauhid”, bukan pencarian pengalaman “mukasyafah”.

Secara garis besar, konsep sufistik yang ditawarkan Hamka adalah sufisme yang berorientas “ke depan” yang ditandai dengan mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang unsur-unsurnya meliputi: prinsip “tauhid”, dalam arti menjaga transendensi Tuhan dan sekaligus merasa “dekat dengan Tuhan”. Memanfaatkan peribadahan sebagai media bertasawuf. Dan menghasilkan refleksi hikmah yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos sosial yang tinggi.

d. Qana’ah
Menurut Hamka, maksud qana’ah itu matlah luas. Menyuruh benar-benar percaya akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita sabar menerima ketentuan Ilahi jiga ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjami-Nya nikmat. Itulah maksud qana’ah.

e. Tawakal
Hamka menjelaskan tawakal sebagai berikut: Di dalam qana’ah, tersimpullah tawakal, yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar, dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya. Tidaklah keluar dari garisan tawakal, jiga kita berusaha menghindarkan diri dari kemelaratan, baik yang menyangkut diri, harta-benda, anak turunan, baik kemelaratan yang yakin akan datang, atau berat pikiran akan datang, atau boleh jadi akan datang.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger