Sintaksis ( Nahwu ) Struktural

A. Makna Kata Sintaksis
Sintaksis (Nahwu) mengkaji unsur-unsur yang dapat membentuk kalimat dan menentukan posisi-posisi fungsi-onal/jabatan yang didudukinya dan hubungan yang terdapat di antara setiap unsur dengan unsur lainnya dalam struktur. Kajian nahwu (sintaksis) berdasar pada 2 (dua) hubungan – seperti yang dikemukakan oleh De Saussure – yaitu
  1. hubungan sintagmatik dan
  2. hubungan paradigmatik.
1. Teori Sintaksis Modern
Teori Nahwu Modern disebut teori struktural; sementara teori nahwu klasik dinamakan teori tradisional. Jespersen berpendapat bahwa teori tradisional mengacu pada asumsi teoretik untuk menafsirkan fenomena-fenomena bahasa yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang dibuat untuk memerikan bahasa tertentu.

Kita dapat membuktikan kebenaran pendapat Jespersen, dengan argumentasi bahwa para ulama Basrah berpendapat bahwa ( إذا ) , yaitu zaraf madhi non-spesifik, lazim diidhafatkan kepada jumlah fi’liyah dan tidak diidhafatkan kepada jumlah ismiyah, seperti: ( آتيك اذا قام زيد ). Akan tetapi apabila terjadi zaraf itu diidhafatkan kepada jumlah ismiyah, maka para ahli nahwu Basrah mentakdirkan fi’il mahdzuf (mengira-ngirakan fi’il yang dibuang) yang ditafsirkan oleh fi’il yang sudah disebutkan. Demikianlah mereka mengi’rab isim yang terletak sesudah (إذا) sebagai fâ’il bagi fi’il mahdzuf yang ditafsirkan oleh fi’il yang mengiringi isim ini. Kita dapat menjumpai i’rab ini dalam firman Allah SWT:

وإذا النجوم انكدرت، وإذا الجبال سيرت، وإذا العشار عطلت - سورة التكوير: آية 1-4
إذا السماء انفطرت، وإذا الكواكب انتثرت، وإذا البحار فجرت، وإذا القبور بعثرت - سورة الانفطار: آية 1-4
إذا السماء انشقت، وإذا الأرض مدت - سورة الانشقاق: آية 1،3

Adapun teori modern dalam sintaksis dinamakan teori struktural. Teori ini menolak asumsi teoretik dalam menfsirkan fenomena-fenomena sintaksis. Baik pada tingkat teoretik maupun tingkat aplikatif, teori ini lebih memen-tingkan kajian bentuk, fungsi struktur dan kaitan antar berbagai unsur dalam kalimat. Telah kami jelaskan pada bagian terdahulu bahwa bahwa linguistik merupakan ilmu eksperimental, sedangkan ilmu-ilmu eksperimental berdasar pada observasi. Sintaksis struktural dalam kajiannya sangat bergantung pada observasi. Studi yang berdasar pada observasi menjelaskan unsur-unsur sistem yang dianut oleh bahasa tertentu untuk melaksanakan fungsinya, yaitu komunikasi antar anggota kelompok yang berbicara dengan bahasa ini. Sistem ini tidak perlu dibandingkan dengan sstem dari bahasa lainnya karena para penutur asli bagi bahasa tertentu mengetahui sistem ini melalui latihan pemakaian bahasa mereka sehari-hari. Juga mereka tidak perlu menguasai sejarah bahasa ini untuk mengetahui sistem bahasa mereka. Hal ini berarti bahwa observasi bagi kerangka sistem komunikasi bahasa tertentu membawa kepada penjelasan kerangka sistem ini.

Teori sintaksis struktural menolak acuan pada makna untuk menafsirkan kaitan-kaitan antar unsur dalam kalimat. Misalnya, apabila kita memiliki unsur-unsur berikut: لعب الولد في الحديقة , maka sintaksis struktural lebih mementingkan prinsip-prinsip distribusi unsur-unsur ini untuk membentuk sebuah kalimat yang berterima. Misalnya, unsur لعب bisa terletak sebelum unsur الولد atau sesudahnya.

Adapun unsur ( في ) berkaitan dengan unsur لعب dan selalu terletak sesudahnya. Dan kata الحديقة merupakan unsur yang langsung mengiringi ( في ) . Demikianlah, klasifikasi bagi setiap unsur dapat membantu kita dalam menyusun dan membentuk kalimat tersebut: لعب الولد في الحديقة atau الولد لعب في الحديقة . Dari sini kita lihat bahwa unsur bahasa yang mendahului ( ال ) terletak sebelum fi’il atau sesudahnya. Unsur itu dapat terletak sesudah harf jar ( حرف الجر ), misalnya ( في ). Dan unsur yang kontras dengan ( ال ) dalam bahasa Arab adalah tanwin ( التنوين ). Ini berarti bahwa unsur yang bertanwin memiliki karakteristik yang sama dengan dengan unsur yang mengandung ( ال ). Dari sini kita melihat teori sintaksis struktural tidak mengacu pada makna (bermakna) untuk menafsirkan kaitan antar unsur-unsur dalam kalimat, tetapi menggantinya dengan prinsip distribusi.

Teori sintaksis struktural di samping lebih memen-tingkan prinsip distribusi, juga mementingkan prinsip lain, yaitu prinsip yang menjelaskan kaitan-kaitan antar unsur pada berbagai tingkat, yaitu tingkat struktur, tingkat bentuk morfologi, dan bab-bab sintaksis.

Teori sintaksis struktural mengacu kepada makna manakala ia menafsirkan kaitan antara 2 (dua) unsur yang keduanya dapat dihubungkan dengan ciri-ciri sintaksis yang berbeda. Misalnya قم قائما ; kaitan antara kedua unsur ini sulit ditafsirkan kecuali dengan mengacu kepada makna. Maka قائما di sini bermakna قياما , yaitu قم قياما . Jadi, ( قائما ) berfungsi sebagai maf’ul mutlak ( مفعول مطلق ) bagi fi’il amr ( قم ).


B. Satuan Sintaksis
Kajian-kajian sintaksis tradisional terfokus pada menjelaskan perbedaan antara kata dan kalimat. Ia membedakan satu kalimat dengan kalimat lainnya dengan memakai tanda i’rab; ia membedakan satu kata dengan kata lainnya dengan mengacu pada bentuk tulisan. Akan tetapi kajian-kajian itu tidak mementingkan pembagian kata atas satuan-satuan atau unsur-unsur yang lebih penting daripada kata, padahal semua bahasa manusia memakai unsur-unsur yang paling kecil dalam menjelaskan berbagai kaitan sintaksis. Misalnya dalam bahasa Arab: المسلمون; kata ini terdiri atas 3 (tiga) unsur . yaitu: ال + مسلم + ون . unsur pertama ( ال ) menunjukkan ta’rif (definit); unsur kedua ( مسلم ) menunjukkan seseorang yang beragama Islam, unsur ketiga ( ون ) menunjukkan jama’ mudzakar sâlim dalam keadaan rafa’. Misalnya dalam bahasa Inggris, kata (unacceptable) tersusun dari unsur-unsur berikut: un + accept + able. Masing-masing unsur ini memiliki unsur karakteristik distribusi. Unsur-unsur ini merupakan satuan-satuan terkecil yang tidak dapat dianalisis ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil lagi. Satuan-satuan yang paling kecil yang dapat membentuk sebuah kata adalah yang disebut dengan istilah morfem. Oleh karena itu, kita mempunyai 3 (tiga) satuan dalam analisis sintaksis, yaitu:
  • kalimat
  • kata dan 
  • morfem.
Teori sintaksis struktural mengamati bahwa di antara kata dan kalimat terdapat 2 (dua) satuan lainnya, yaitu: a) tarkib ismi (frasa nomina) dan b) tarkib fi’li (frasa verba).
  • 1. Frasa Nomina
Yang dimaksud dengan tarkib ismi (frasa nomina) adalah seperangkat unsur yang satu sama lainnya berkaitan; ia cocok menduduki fungsi yang sama dalam kalimat. Secara sintaksis, ia sama fungsinya dengan kata tunggal ( كلمة مفردة ). Maka semua unsurnya diganti dengan nomina ( اسم ).

Bagian-bagian frase nomina ( التركيب الاسمي ) adalah:
  1. Isim yang dimakrifatkan dengan adat ta’rif (partikel definit), seperti: الرجل ; atau isim yang bertanwin, seperti: رجل
  2. Al-Jarr wal-majrur, seperti: بحسبك درهم . Maka kata بحسبك merupakan lafal murakkab (kata majemuk) yang tersusun dari huruf jarr dan majrur; lafal itu dapat diganti dengan isim, yaitu حسبك . Oleh karena itu semua yang murakkab ini beri’rab sebagai mubtada. Demikian pula الأخ في الدار , maka isim murakkab di sini adalah في الدار. Isim itu dapat diganti dengan satu kata. Oleh karena itu ia beri’rab sebagai khabar.
  3. Idafat mahdhah, yaitu idhafat yang memberi arti kepada mudhaf sebagai takhsis (pengkhususan) apabila mudhaf ilaihnya isim ma’rifat, seperti: هذا غلام أحمد.
  4. Masdar muawwal dari أن dan فعل مضارع atau ما dan فعل مضارع , karena secara sintaksis mashdar muawwal itu sama dengan satu isim, seperti firman Allah SWT ( أن تصوموا خير لكم ). Frasa أن تصوموا terdiri atas أن + تصوم + واو الجماعة . Ini merupakan frasa nomina (tarkib ismi), karena secara sintaksis frasa itu sama dengan satu isim, yaitu صومكم dan beri’rab sebagai mubtada.
  5. Tabi’ dan matbu’, mencakup na’at, taukid, badal, dan athaf.
2. Frasa Verba
Yang dimaksud dengan tarkib fi’li (frasa verba) adalah seperangkat unsur yang berkaitan dengan fi’il (verba) untuk memberi arti takhsis atau nisbat atau taba’iyah. Frasa ini mencakup seperangkat unsur yang dapat diduduki oleh fi’il, yaitu:
  • a. mashdar âmil, yaitu mashdar yang berfungsi sebagai pengganti fi'il amr, seperti: ضربا زيدا atau mashdar yang diidhafatkan kepada fâ'il, lalu menjarrkan fa'il, kemudian menashabkan maf'ul, seperti: عجبت من شرب زيد العسل. Mashdar bisa diidhafatkan kepada maf'ul, maka ia menjarrkan maf'ul, kemudian merafa'kan fâil, seperti: عجبت من شرب العسل زيد . Mashdar dapat juga diidhafatkan kepada zaraf, kemudian ia merafa'kan fâ'il dan menashabkan maf'ul, seperti: عجبت من ضرب اليوم زيد عمرا . Demikian pula, mashdar yang bertanwin dapat beramal sebagai fi'il, seperti firman Allah SWT:
( أو اطعام في يوم ذي مسغبة يتيما )
Atau masdar yang dilekati dengan, seperti ungkapan penyair:

ضعيف النكاية أعداءه – يخال الفرار يراخى الأجل
  • b. Washf 'âmil, mencakup isim fa'il, isim maf'ul dan sifat musyabbahah, seperti:
أضارب زيد عمرا - يا طالعا جبلا - ما ضارب زيد عمرا

Ada satuan lainnya yang ketiga, yaitu jumlah (kalimat). Satuan ini dipakai untuk menyatakan posisi sintaksis tertentu. Jumlah ini bisa berupa jumlah ismiyyah atau jumlah fi'liyah. Hal ini berarti bahwa satuan kalimat dalam pemakaian ini secara sintaksis dianggap satu kata. Jadi, jumlah berikut beri'rab sebagai khabar. ( أشكالها جميلة ) dalam jumlah: الأزهار أشكالها جميلة .
  • Kalimat
Bloomfield mengemukakan bahwa kalimat ialah bentuk bahasa yang dapat berdiri sendiri. Kalimat merupakan satuan bahasa yang paling besar dalam deskripsi sintaksis.
  • Ujaran
Harris mengemukakan: Ujaran ialah kadar pembicaraan seseorang yang terjadi antara 2 (dua) senyapan, yaitu: senyapan pertama sebelum dimulai dan senyapan yang kedua sesudah berakhirnya.

Boomfield berpendapat bahwa ujaran tidak lebih besar dari kalimat dalam deskripsi sintaksis karena ujaran itu bisa mengandung satu kalimat atau dua kalimat atau tiga kalimat, tetapi antara satu kalimat dengan yang lainnya tidak terdapat struktur sintaksis. Berikut ini merupakan suatu ujaran:

كيف حالك؟ هذا يوم عليل. هل ستلعب تنس بعد الظهر.

Dengan menyajikan kalimat-kalimat ini, kita tidak mendapatkan kaitan sintaktis antara kalimat yang satu dengan kalimat lainnya.


Ujaran yang sulit ditafsirkan secara sintaksis, ke-banyakan ujaran itu terdiri atas beberapa kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu taat pada deskripsi sintaksis. Ia meng-istinbat kaidah bentukannya dari induksi kalimat-kalimat-nya. Salah satu ujaran yang sulit diperikan struktur sintaksisnya adalah seperti an-nida dalam bahasa Arab. Misalnya, أنت يا حسن ويا عبد الله , struktur ini sulit ditafsirkan secara sintaksis. Bagaimana kita memberi alasan adanya harakat dammah dan fathah pada munada pertama dan kedua berturut-turut. Memang, ujaran itu menyerupai kalimat karena ia dapat berdiri sendiri dan tidak membutuhkan yang lainnya, berbeda dengan contoh ( أمس ) sebagai jawaban dari pertanyaan ( متى جئت؟ ). Ia merupakan kependekan dari kalimat جئت أمس . Maka kata ( أمس ) di sini adalah kalimat. Akan tetapi an-nida ( النداء ) bukanlah kalimat. Walaupun ia bisa berdiri sendiri, namun tidak mengikuti tafsiran sintaksis yang biasa. Ujaran semacam inilah yang dinamakan ready made utterence ( الكلام الجاهز ) oleh De Saussure. Sedangkan Dr. Tamam Hassan menamakannya maskukat (idiomatics). Ujaran ini merupakan ungkapan-ungkapan yang tidak dapat dianalisis secara sintaksis; ujaran ini dipakai oleh para penutur asli dalam situasi-situasi tertentu. Dari sudut pandang sintaksis yang akurat, ujaran semacam ini tidak dipandang sebagai kalimat, karena struktur internnya berbeda dengan struktur kalimat yang taat asas pada deskripsi sintaksis. Tanda dhammah dalam ( يا حسن ) sulit diberi alasan. Demikian pula, tanda fathah pada ungkapan ( يا عبد الله ); tanda dhammah dan fathah sesudah isim-isim fi'il, seperti هيهات زيد ودراك زيدا . Hal itu karena kedua isim fi'il tersebut bukan merupakan fi'il, sebab tidak dapat ditasrif seperti fi'il. Walaupun begitu, dalam deskripsi bahasa umum, jenis-jenis semacam ini harus kita lihat sebagai kalimat. Dalam pembahasan ini, kami namai kalimat idiomatik ( الجمل المسكوكة ).


C. Jenis-jenis Kalimat
Kalimat dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) prinsip, yaitu: 1) prinsip fungsional dan 2) prinsip struktural.
  • 1. Prinsip Fungsional (Makna)
Dalam prinsip ini jumlah (kalimat) terbagi ke dalam jumlah khabariyah dan insyaiyah. Jumlah khabariyah terbagi dalam jumlah musbatah (kalimat afirmatif), jumlah manfiyah (kalimat pengingkaran), dan jumlah muakkadah (kalimat penegasan). Jumlah insyaiyah terbagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu
  • jumlah thalabiyah (kalimat permohonan)
  • jumlah syartiyah (kalimat kondisional) dan
  • jumlah ifsahiyah (kalimat pujian, celaan dan aklamasi).
Jumlah thalabiyah mencakup jumlah istifham (kalimat tanya), jumlah amr (kalimat suruh), jumlah nahy (kalimat larangan), jumlah 'ard (kalimat persilahan), jumlah tahdid (kalimat ajakan), jumlah tamanni dan tarajji (kalimat harapan). Jumlah syartiyyah dan jumlah qasm (kalimat sumpah) keduanya tergolong dalam jumlah insyaiyah.
  • 2. Prinsip Struktural
Dalam prinsip ini kalimat terbagi dalam kalimat sederhana (tunggal) dan kalimat majemuk. Kalimat seder-hana terdiri atas satu kalimat. Adapun kalimat majemuk tersusun dari 2 (dua) kalimat atau lebih. Misalnya: جاء الذي عرفته في الحج. (جاء الذي) merupakan sebuah kalimat yang tersusun dari fi'il ( جاء ) dan fa'il ( الذي ); ( عرفته في الحج ) merupakan kalimat lainnya yang bertujuan untuk menjelaskan ketaksaan dalam isim mausul/kata ganti penghubung ( الذي ). Kita anggap kalimat itu sebagai kalimat kedua, karena secara sintaksis ia menduduki/sama dengan satu kata. Oleh karena itu, para ahli nahwa/sintaksis mengatakan bahwa jumlah as-shilah tidak menduduki i'rab ( لا محل لها من الإعراب ).

Jumlah-jumlah yang tersusun dari 2 (dua) jumlah, antara lain: jumlah syarat (kalimat kondisional) dan jumlah fi'liyah yang fi'ilnya beri'rab majzum dalam jawab thalab (tuntutan), seperti firman Allah SWT:

((ذرهم يأكلوا ويتمتعوا ويلههم الأمل)) (سورة الحجر: آية 3)
(( قل لعبادي الذين آمنوا يقيموا الصلاة وينفقوا مما رزقناهم)) (سورة إبراهيم: آية 31)

Kalimat pertama dapat dianalisis sebagai berikut:
جملة فعلية تتكون من جملتين
الجملة (1)
الجملة (2)
جملة الطلب
جملة جواب الطلب
ذرهم
ويلههم الأمل
تركيب فعلي تركيب اسمي
تركيب فعلي تركيب اسمي
فعل تركيب اسمي تركيب اسمي
فعل ضمير
ذر مستتر هم
يأكلوا وا
فعل أمر

Jumlah-jumlah yang terdiri atas 2 (dua) jumlah, antara lain jumlah yang mencakup fi'il manshub sesudah فاء السببية atau واو المعية dalam jawab نفي محض, seperti firman-Nya:

1- ((لا يقضى عليهم فيموتوا)) (سورة فاطر: آية 36).
2- (( لا يقضى عليهم فيموتو)) (سورة فاطر: آية 36).
3- ((ولما يعلم الله الذين جاهدوا منكم ويعلم الصابرين)) (سورة آل عمران: آية 142)

Atau thalab mahdh dengan berbagai jenisnya, yaitu amr, nahy, du'a, istifham, ardh, tahdid, dan tamanni, seperti firman-Nya:

1- ((لا تغتروا على الله كذبا فيسحتكم بعذاب)) (سورة طه: آية 61).
2- (( ربنا اطمس على أموالهم وشدد على قلوبهم فلا يؤمنوا حتى يروا العذاب الآليم)) (سورة يونس: آية 88).
3- ((فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا)) (سورة الأعراف: آية 53).
4- ((لولا أخرتني إلى أجل قريب فاصدق)) (سورة المنافقون آية: 10).
5- ((يا ليتني كنت معهم فأفوز فوزا عظيما)) (سورة النساء: آية:73).

Juga, yang termasuk jumlah-jumlah ini adalah jumlah qasam. Jumlah ini terdiri atas jumlah qasam dan jawabnya, seperti: أقسم بالله لافعلنّ .


D. Struktur Sintaksis
Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa ujaran dalam bahasa tertentu terbagi dalam satuan-satuan. Satuan yang paling besar dari segi sintaksis adalah jumlah (kalimat). Jumlah ada 2 (dua) jenis, yaitu 1) jenis pertama, dalam jenis ini jumlah (kalimat) dapat dianalisis dan diinduksi kaidah-kaidah strukturnya karena struktur kata-katanya mengikuti sistem tertentu dan 2) jenis kedua, dalam jenis ini jumlah tidak dapat dianalisis. Oleh karena itu, jumlah ini sulit ditafsirkan secara nahwi (sintaktis), seperti an-nida dalam bahasa Arab. Maka al-Munada bermabni pada rafa', seperti يا محمد dan bermabni pada nashab, seperti يا عبد الله ويا ولدا .

Menafsirkan mabni dhammah dan nashab dengan fathah merupakan hal yang sulit dari sudut pandang nahwu syakly (sintaksis struktural) yang tidak bersandar pada asumsi teoretik dan ta'wil sebagaimana kajian sintaksis tradisional. Jumlah semacam ini tidak dapat dideskripsikan dari segi nahwu yang akurat sebagai jumlah (kalimat). Akan tetapi jenis semacam ini kami namai jumlah tajawuz (kalimat idiomatik). Dan kajian dalam nahwu syakliy tidak menafsir-kan jenis ujaran semacam ini.


E.Unsur-unsur Langsung
Orang yang pertama kali memakai istilah ini adalah linguis bangsa Amerika, Bloomfield. Untuk memahami maksud istilah ini, kami sajikan contoh berikut:

الولد الطويل جرى سريعا

Para penutur bahasa Arab memahami bahwa ini merupakan sebuah jumlah ismiyah yang tersusun dari 2 (dua) unsur. Unsur pertama mencakup ( الولد الطويل ) dan unsur kedua mencakup ( جرى سريعا ). Blommfield mengatakan: Ini berarti bahwa jumlah ini terdiri atas 2 (dua) tingkatan yang lebih tinggi: 1) yang pertama adalah الولد الطويل dan 2) yang kedua adalah جرى سريعا . Masing-masing dari kedua tingkatan yang lebih tinggi ini tersusun dari 2 (dua) atau lebih tingkatan yang lebih rendah. Maka tingkatan pertama yang lebih tinggi terdiri atas 2 (dua) tingkatan yang lebih rendah, yaitu ( الولد + الطويل ) dan tingkatan kedua yang lebih tinggi tersusun dari beberapa tingkatan yang lebih rendah yaitu ( جرى + الضمير المستتر في الفعل+ سريعا ). Ini berarti tingkatan yang lebih rendah dapat membentuk bagian-bagian tingkatan yang lebih tinggi. Unsur-unsur tingkatan yang lebih rendah langsung membentuk tingkatan yang lebih tinggi, sedangkan tingkatan pertama yang lebih tinggi merupakan unsur langsung yang bersatu dengan tingkatan kedua yang lebih tinggi sehingga membentuk jumlah (kalimat). Jumlah terbagi dalam beberapa tingkatan yang secara langsung dapat dianalisis melalui salah satu teknik dari dua teknik, yaitu:
  1. teknik/metode kurung, yaitu: (الولد الطويل) (جرى سريعا)
  2. teknik/metode diagram pohon, yaitu:
جملة
تركيب اسمي تركيب فعلي
منعوت نعت فعل فاعل حال
الولد الطويل جرى XX سريعا

Dari bagan ini jelaslah bahwa unsur-unsur langsung bagi unsur pertama adalah: الولد الطويل dan unsur-unsur langsung bagi unsur kedua adalah: جرى سريعا . Unsur pertama dan unsur kedua membentuk dua unsur langsung bagi jumlah (kalimat).


F. Kaidah-kaidah Kontekstual
Hingga sekarang, kita telah berbicara tentang unsur-unsur langsung yang dapat membentuk kalimat dan makna-makna fungsional bagi unsur-unsur ini. Jumlah (kalimat) tidak hanya tersusun dari untaian unsur-unsur ini, tetapi tersusun juga dari sarana-sarana keterkaitan unsur-unsur ini. Sarana-sarana ini meliputi 1) alamat i'rab 2) mauqi'/rutbah (posisi kata) dan 3) tathabuq (persesuaian) yang mencakup jenis, 'adad dan ta'yin (ta'rif dan tankir).
  • 1. Tanda I'rab
Perlu diketahui bahwa rafa' merupakan alamat/tanda isnad, yaitu musnad ilaih dan musnad, jika ia berupa isim; nasab merupakan alamat ta'diyah (ketransitifan) dan takhsis; dan jar merupakan alamat nisbat.
  • 2. Posisi
  • Mubtada mendahului jumlah ismiyah dan diiringi khabar. Khabar bisa didahulukan dalam posisi-posisi tertentu yang dikemukakan oleh para ahli nahwu.
  • Fi'il mendahului jumlah fi'liyah
  • Shahibul hal mendahului hal.
  • Man'ut mendahului na'at. Demikianlah seterus-nya.
  • 3. Persesuaian
  • Khabar harus sesuai dengan mubtada dalam jenisnya dan 'adadnya tetapi berada dalam ta'rif dan tankirnya.
  • Sifat harus sesuai dengan mausufnya dalam na'at haqiqy, baik dari segi jenis, 'adad maupun ta'yinnya.
  • Hal (kata keadaan) harus sesuai dengan shahibul hal dalam jenis dan 'adadnya, tetapi berbeda dalam ta'yinnya. Demikian seterusnya.
Sekarang kita selesai mengkaji jumlah yang sunsur-unsur langsungnya dari kata-kata tunggal (mufrad).
Ada jenis-jenis kalimat lainnya yang kita dapati salah satu unsurnya terdiri atas tingkatan yang lebih tinggi. Tingkatan ini bias berupa salah satu dari hal-hal di bawah ini:
  1. syibhu jumlah, yaitu jarr dengan majrurnya atau zaraf
  2. mashdar yang beramal sebagai fi'il;
  3. musytaq yang beramal sebagai fi'il
  4. jumlah kamilah (kalimat lengkap).
1. Syibhu Jumlah
Syibhu jumlah dapat berupa khobar.Hal itu bisa diamati melalui analisis 2 (dua) contoh berikut:

محمد في الدار – الشجرة يمين المنزل

• Analisis jumlah pertama (محمد في الدار):

جملة اسميه
مسند إليه مسند
محمد في الدار
جار مجروره
في الدار
• Analisis jumlah kedua (الشجرة يمين المنزل):

جملة اسمية
مسند إليه مسند
تركيب اسمي شبه جملة
الشجرة ظرف مكان مضاف إليه
يمين المنزل

2. Mashdar yang beramal sebagai fi'il
Mashdar 'amil atau musytaq 'amil dapat membentuk tingkatan yang lebih tinggi menduduki unsur kalimat. Tingkatan ini tersusun dari tingkatan-tingkatan yang lebih rendah yang sebenarnya merupakan unsur-unsur langsung yang membentuk tingkatan yang lebih tinggi. Sebuah contoh untuk menganalisis mashdar 'amil adalah ungkapan penyair:

ضعيف النكاية أعداءه – يخال الفرار يراخي الأجل
جملة اسمية
مسند إليه مسند
تركيب فعلي
ضعيف النكاية أعداءه
مصدر الفاعل مفعول به
ضعيف النكاية أعداءه

3. Isim musytaq yang beramal sebagai fi’il

هذا ضارب زيدا الآن
جملة اسمية
تركيب اسمى تركيب فعلى
اسم فاعل الفاعل مفعوله ظرف
ضارب xx زيدا الآن

4. Jumlah yang memakai unsur jumlah lain
Maksudnya adalah apa yang telah dijelaskan oleh para ahli nahwu dengan judul jumlah-jumlah yang mem-punyai mahall (posisi) i’rab, antara lain :
  • jumlah yang terletak sebagai khabar, seperti : محمد قام أبوه
  • jumlah yang terletak sebagai maf’ul, seperti : (( ولا تمنن تستكثر)) (سورة المدثر : آية 6)
  • jumlah yang terletak sebagai maf’ul, seperti : (1) ((قال اني عبد الله)) (سورة مريم : آية 30)
5. Jumlah murakkabah (kalimat majemuk kompleks), yaitu jumlah yang tersusun dari 2 (dua) jumlah; salah satunya merupakan jumlah asasiyah (kalimat pokok/induk kalimat) dan jumlah kedua adalah jumlah yang tidak mempunyai mahall (posisi) i’rab, seperti jumlah jawab syarat dan jumlah silah maushul.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger