Syaikh Lampu

Suriah

Hampir semua hal tidak pasti,
Kecuali yang ini:
Allah itu Esa dan tidak ada yang menyamai.

Entah ada entah tiada, hiduplah tiga perempuan bersaudara yang sangat miskin. Ayah dan ibu mereka telah berpulang, dengan hanya mewariskan rumah tempat mereka tinggal. Untuk mencari nafkah, mereka memintal wol menjadi benang, yang dibawa oleh gadis tertua untuk dijual ke suq pedagang wol.

Suatu malam, tiga bersaudara itu sedang bekerja di kamar mereka ketika seruan azan maghrib terdengar di seluruh kota. “Hari akan segera gelap,” kata gadis termuda, “Sudah waktunya menyalakan lampu kita.” Gadis tertua mencari korek ke sana kemari, tapi tidak menemukannya. “Aku akan pergi ke tetangga,” katanya. Dia mengambil lampu dari gantungannya dan menaiki undak-undakan menuju atap rumah mereka yang datar. Sudah menjadi kebiasaan kaum perempuan untuk berkunjung dengan berjalan dari satu atap ke atap lain sehingga mereka dpat menghindari pandangan orang-orang di jalan yang ramai.

Namun, rumah tetangga itu ternyata gelap juga. Tidak ada sahutan ketika gadis tertua mengetuk pintu. Dia mencoba di rumah sebelahnya, tanpa menemui nasib yang lebih baik. Lalu dia pergi lebih jauh melintasi daerah itu, melangkah dari satu bubungan atap ke bubungan atap berikutnya hingga dia tiba di sebuah teras yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Lantainya terbuat dari marmer, dan lampu yang ada di sana sebanyak yang dapat kita temui pada perayaan pesta pangeran, yang membuat malam berubah menjadi siang. Dia menghitung ada empat puluh lampu minyak dan di tengahnya satu lampu lagi, lebih tinggi dan lebih terang daripada yang lain-lainnya. Dia merapatkan lampunya sendiri ke lampu yang paling terang ini untuk mendapatkan apinya, pada saat itu juga dia mendengar suara sedalam gua:

Karena apiku telah menyalakan lampumu
Akan kau kandung anak yang menyandang namaku.

Dia memandang sekelilingnya, ketakutan, tapi tidak ada seorang pun di sana. “Dapatkah lampu berbicara layaknya seorang manusia?” katanya, dia membesarkan nyala lampunya dan membawanya pulang dengan hati-hati.

“Lama sekali, kemana saja kamu?” saudara-saudaranya bertanya. “Kamu tinggalkan kami dalam kegelapan di sini, dengan tangan menganggur di pangkuan, sementara kamu bertamu!”
“Sesuatu yang aneh terjadi,” kata gadis itu, dan diceritakannya kepada mereka perihal atap berlantai marmer, empat puluh lampu, dan sebuah suara. “Pernahkah kalian mendengar lampu yang dapat berbicara?” tanyanya.

Tiga bersaudara itu tertawa, sebab bukankah mereka semua gadis yang masih muda? Tapi setelah enam bulan berlalu dan mereka menyaksikan perut saudara tertua mereka membuncit di balik gaunnya, mereka saling berpelukan, menangisi aib dan nasib buruknya. Hari-hari berlalu dalam kesedihan dan keluhan hingga waktunya tiba.

Saat kakak mereka melahirkan, kedua saudaranya berdiri di dekatnya dan memohon kepada Dia yang Tidak Pernah Tidur dan Maha Melihat, ketika secara tiba-tiba dinding kamar itu berderak dari lantai hingga langit-langit. Melalui lubang menganga itu masuklah sesosok Ifrit. Salam yang diucapkannya lembut, namun suaranya bagaikan gelegar guntur dan wajahnya begitu mengerikan sehingga ketiga gadis itu jatuh pingsan.

“Aku suami kakakmu,” kata Ifrit, sambil memercikkan air ke atas kepala mereka untuk membangunkan mereka. Lalu dia membelah pinggang gadis tertua dan mengangkat seorang bayi perempuan yang begitu cantik sehingga kamar itu menjadi terang seakan-akan seberkas cahaya matahari membanjir ke situ. Dia berkata,

Hingga dia cukup usia untuk dikawinkan
Seluruh makanan dan minuman anak ini
Akulah yang yang menyediakan.

Sebelum ibu bayi itu dapat mengucapkan kata-kata, “Pergilah dengan damai dalam lindungan Allah!” Ifrit telah lenyap dan kedua belah tembok itu menyatu kembali.

Anak-anak tumbuh di malam hari, namun anak itu tumbuh pada malam dan siang hari. Tidak lama kemudian dia telah mencapai usia dewasa. Suatu hari ketika dia berumur lima belas tahun, dia berkata, “Ibu, air melimpah-ruah di wadi; mari kita pergi ke sana dan menikmatinya.” Mereka membawa bekal makan siang untuk dimakan di tepi sungai, dan mereka menjulurkan kaki ke dalam air. Tiba-tiba putri Ifrit itu berteriak. Aliran air telah melepaskan salah satu gelang kakinya, hasil karya jin dan hadiah dari ayahnya. Matanya berkaca-kaca menyaksikan benda itu tenggelam di luar jangkauan tangannya, dan sepanjang jalan pulang dia menangis, menyandarkan kepala di bahu ibunya.

Tidak lama kemudian, siapa yang lewat di tempat itu kalau bukan putra raja, yang berkuda di tepi wadi yang sama. Sesuatu yang berkilau di dalam air menarik perhatiannya, dan dia menyuruh pelayan mengambilnya. Ketika pangeran memegang gelang kaki itu, dia berkata,
Sebagian pria menantang bahaya dan bertualang dengan berani

Mencari harta melimpah dan kekayaan duniawi
Tapi bagiku, yang paling kudamba dan kuingini
Adalah gadis yang kakinya menjadi cetakan gelang ini.


Dia kembali ke istana bagai orang kesurupan. Wajahnya pucat seperti crocus dan suaranya menyerupai ratapan yang lemah. Dia berseru,


Ibu, ibu, enyahkan semua tanda keriangan
Selubungi rumah dengan jaring kesedihan
Putramu dilanda cinta mendekati kegilaan
Dan akan mati karena memendam kerinduan.

Dia memohon kepada ratu agar mencari pemilik gelang kaki itu ke seluruh pelosok kerajaan, sebab dia tidak dapat makan atau tidur sebelum dia dapat menjadikan gadis itu istrinya.

Ratu segera berangkat karena cemas akan kesehatan putranya. Dia menyisir seluruh jalan dan gang, mengetuk setiap pintu. Tapi dari malam ke malam dia kembali pulang tanpa hasil dan terpaksa menatap putranya terbaring sakit di ranjangnya. Akhirnya, dia tiba di rumah tempat tida bersaudara itu tinggal. Di sana dia melihat seorang gadis secantik matahari pagi, sedang membungkuk di atas pekerjaannya bagaikan sebatang pohon palem menundum tersapu angin. Ketika ratu menunjukkan padanya gelang kaki itu, si gadis mengangkat keliman gaunnya dan memperlihatkan kembarannya. Nah, kegembiraan ratu demikian besarnya sehingga seluruh dunia tampaknya tidak mampu menampungnya.

Kepada ibu gadis itu dia berkata, “Serahkan putrimu untuk menjadi istri pangeran putraku.”
“Bagaimana aku dapat menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ tanpa bertanya pada ayahnya terlebih dahulu?” saudara tertua menjawab. Ratu telah pergi untuk membawakan kabar kepada putranya bahwa gadis yang memiliki gelang kaki itu telah ditemukan, ketika dinding rumah itu membelah terbuka dengan suara gemuruh bagaikan gempa, dan Ifrit muncul.

“Seorang pangeran adalah suami yang cocok untuk anakku,” katanya, “tapi agar dia mendapatkan kebahagiaan, dia harus melakukan apa yang kuperintahkan.” Dan dia memanggil putrinya dan memberinya nasihat dengan kata-kata ini: “Jika kamu telah menikah, berbicaralah dengan suamimu hanya jika dia bertanya padamu:

Demi hidup Syaikh Lampu yang membiaskan cahaya api,
Dan demi tujuh bintang cemerlang yang bersinar di malam hari.”

Gadis itu berjanji untuk menjalankan perintah ayahnya, dan Ifrit lenyap secepat dia muncul.

Selama tujuh hari tujuh malam diselenggarakan pesta menandai berlangsungnya perkawinan di istana. Makanan dan minuman untuk seluruh kota dibeli dari pundi-pundi raja. Kegembiraan terasa di setiap halaman rumah, dan suara seruling serta tamborin bergema di setiap gang. Sedangkan sang pangeran, saat dia melihat istrinya dan menyadari bahwa dia sama cantiknya dengan yang dibayangkannya, merasakan darah mulai berpacu ke seluruh urat di tubuhnya dan kekuatannya pun kembali.

Putri Ifrit sangat cantik bagaikan cahaya matahari, dan memandangnya membuat pikiran pangeran berkelana ke mana-mana. Tapi ketika dia mengajaknya berbicara, jantungnya serasa mengerut di dadanya, sebab gadis itu tidak mengucapkan sepatah pun kata. Sekalipun begitu, kecantikannya tetap memikat dan pangeran cukup puas hidup di samping istrinya yang jelita meski terus membisu selama setahun penuh.

Ketika tahun itu berlalu dan pangeran mendapati dirinya seakan tak beristri dan belum punya anak yang dapat menghiasi hari-harinya dengan ungkapan kata-kata cinta, dia mulai mencari istri kedua. Bahkan, pada saat itu, putri Ifrit tidak mengatakan apa-apa. Ketika iring-iringan orang membawa mempelai baru ke istana, istri yang membisu itu sedang duduk di atap istana sambil memintal cahaya matahari menjadi benang-benang emas. Begitu melihat saingannya, dia meloncat dari atap ke jalan dan berlari dengan ringan untuk memberikan salam persaudaraan kepada gadis itu. Orang-orang yang melihatnya melakukan halk itu tidak dapat membicarakan hal yang lain lagi. Lalu mempelai baru, yang ingin membuktikan bahwa dirinya sama hebatnya dengan istri pertama, menatap suaminya dari pinggir atap istana ketika dia pergi berburu bersama para pengiringnya. Saat itu kembali, istri barunya meloncat turun untuk menyalaminya dan mati terbentur bebatuan di bawah.


Ketika hari-hari berkabung telah lewat, pangeran mengambil istri baru lagi. Putri Ifrit mengatakan bahwa dia ingin menyelenggarakan jamuan untuk menghormati kedatangan mempelai baru. Tamu-tamu yang berkumpul di tempat tinggalnya mendapai sebuah ruangan kosong dengan hanya sebuah panci berisi minyak mendidih di atas tungku api. Mereka berbisik satu sama lain, “Mungkinkan ada jamuan tanpa makanan?” Lalu putri Ifrit mencelupkan tangannya ke dalam minyak yang bergumpal-gumpal, dan dengan seketika panci itu terisi ikan goreng dan daging beraneka jenis. Pangeran senang sekali menyaksikan sulapan itu, yang membuat istri barunya cemburu. Ketika seminggu telah berlalu dia memutuskan mengundang kerabat suaminya untuk makan. Sebagaimana putri Ifrit, dia memanaskan belanga yang berisi lemak. Tapi ketika dia mencelupkan tangannya ke dalamnya, dia terbakar dan mati kesakitan.

Lagi-lagi istana berkabung; dan lagi-lagi pangeran mencari istri baru. Gadis ini pun diminta untuk mengunjungi putri Ifrit di bangsal tamunya. Dia duduk di atas sebuah bantal dan menyaksikan dengan terheran-heran ketika berbagai mangkuk dan kendi sibuk berjalan ke sana-kemari, bergerak sendiri untuk menyuguhkan untuknya manisan dan minuman lezat. Lalu salah satu mangkuk berjalan cepat, dan menabrak kendi hingga paruhnya patah. “Apa yang akan dikatakan tuan putri kita?” jerit kendi. “Dia tidak akan pernah memarahi kita selama kita memohon kepadanya demi ayahnya, syaikh Lampu yang membiaskan cahaya api dan demi tujuh bintang yang bersinar di malam hari,” kata mangkuk. Lalu mangkuk-mangkuk itu pun terdiam. Tapi istri baru pangeran mendengar mereka dan kata-kata yang aneh itu tetap tersimpan di dalam benaknya.

Malam itu sang mempelai yang masih muda mengadukan kepada pangeran semua yang dilihat dan didengarnya di tempat tinggal putri Ifrit. Dia menceritakan kepadanya kata-kata aneh yang diucapkan mangkuk kepada kendi. Saat mendengarnya, pangeran bangkit dan bergegas mencari putri Ifrit. Dia memohon kepadanya:

Demi hidup Syaikh Lampu yang membiaskan cahaya api,
Dan demi tujuh bintang cemerlang yang bersinar di malam hari,
Tidak sudikah engkau berbicara dan menghibur hati
Dia yang mencintaimu bagai cahaya matanya sendiri?

Putri Ifrit itu pun akhirnya berbicara. Ia berkata, “Wahai raja bagi jiwaku dan penguasa hatiku!”
Setelah itu mereka hidup bahagia,

Dikaruniai banyak putra dan putri untuk dicinta,
Semoga Allah memberi kita semua karunia yang sama!

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger