Fungsi Hadits Terhadap alqur'an

Pada zaman Rasulullah, para sahabat mengambil sumber hukum syara’ dari Al-Qur'an yang langsung diterimanya dari Rasulullah saw. Akan tetapi di antara hukum-hukum dalam Al-Qur'an banyak yang diturunkan secara umum, tanpa diperinci lebih lanjut. Misalnya perintah shalat, di dalam Al-Qur'an dikemukakan secara garis besar, tanpa penjelasan mengenai jumlah raka’at, tata-cara ataupun waktunya.

Ada pula hukum-hukum yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai segala yang membatalkannya. Para sahabat harus menghadap lagi kepada Rasulullah untuk mendapatkan hukum yang lebih terperinci dan lebih jelas.

Makalah ini bermaksud menjabarkan secara lebih terperinci tentang fungsi sunnah terhadap Al-Qur'an selain yang telah dapat kita pahami dalam kasus di atas, yaitu sunnah sebagai penjelas Al-Qur'an.

A. Pendapat Para Tokoh tentang Fungsi Hadits terhadap Al-Qur'an
Secara umum sunnah berfungsi menopang Al-Qur'an dalam menjelaskan hukum-hukum Islam. Fungsi hadits/sunnah terhadap Al Qur’an (dari segi hukum) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Muakkid (menguatkan) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Misalnya:
  2. فإذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم
    “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila kalian melihat (ru’yat) itu maka berbukalah”. (H.R. Muslim) Hadits ini memperkuat ayat Al-Qur'an yang berbunyi:
    فمن شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة:185
    “Maka barang siapa yang mempersaksikan pada pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa…”. (Q.S. Al-Baqarah:185)
  3. Menciptakan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini hukum-hukum atau aturan itu hanya berasaskan al-hadits semata-mata. Misalnya larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena ia dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:
    إن الله حرم من الرضاعة ما حرم من النسب –متفق عليه-
    “Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (riwayat Bukhari-Muslim)
    dan hadits tentang kehalalan janin ikan yang ada dalam perut induknya yang disembelih dengan halal, dan seperti juga halalnya bangkai ikan laut.
  4. Bayan (menjelaskan) ayat-ayat Al Qur’an
    • Tafshilul mujmal / merinci ayat yang mujmal. Seperti hadits yang menerangkan tata cara sholat, zakat, haji, dll. Contoh:
      فأقيموا الصلاة إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
      –النسأ:103-
      “…Maka dirikanlah shalat. Sungguh sholat itu bagi orang-orang mukmin adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktunya” (Q.S. An-Nisa 103)
      صلوا كما رأيتموني أصلي –رواه البخاري-
      “Sholatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku sholat” (HR. Bukhari)
    • Taqyidul mutlak / membatasi kemutlakannya. Contohnya dalam kasus potong tangan yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 38:
      و السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله و الله عزيز حكيم.
      “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari sisi Allah”
      dikhususkan oleh hadits:
      أتي رسول الله صلعم بسارق فقطع يده من مفصل الكف.
      “Rasulullah saw didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
      Menurut Masjfuk zuhdi hadits tersebut menjelaskan, bahwa kata “aidiyahuma” yang menjadi jamak dari kata “yad” di dalam firman Allah tersebut di atas ialah tangan kanan, dan tidak seluruhnya melainkan hanya sampai pergelangan tangan saja.
    • Takhshisu ‘am / mengkhususkan keumumannya . Contoh: dalam QS. Al-Qur'an An Nisa 11:
      يوصيكم الله في اولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
      “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan”
      yang ditakhsis dengan hadits:
      لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم –رواه البخاري-
      “Tidaklah orang muslim mewarisi dari orang kafir, begitu pula orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
      لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم.
      “Orang Islam tidak mewarisi orag kafir, juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam”
    • Taudlihul musykil/ memberi penjelasan terhadap hal-hal yang rumit. Contohnya dapat dilihat dalam hadits yang menerangkan kata "الخيط" yang terdapat dalam Firman Allah Q.S Al-Baqarah ayat 187;
      و كلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر.
      “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar:
      Dalam hadits diterangkan kata "الخيط الأبيض" adalah terangnya siang. Dan الخيط الأسود adalah gelapnya malam.
  5. Mengubah ketetapan hukum dalam Al-Qur'an. Contohnya adalah ayat 180 Surat Al Baqarah yang menjelaskan tentang kewajiban berwasiyat. Kemudian diubah dengan hadits yang berbunyi: لا وصية لوارث. Menurut sebagian ulama ayat ini sudah tidak berlaku lagi, artinya sudah dinasakh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh dengan hadits yang tersebut di atas. Akan tetapi ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat ini masih tetap “muhkamah”, artinya masih tetap berlaku. Antara lain pendapat seorang mufassir yang terkenal bernama Abu Muslim Al-Asfahany.

Menurut ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat syariat menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ini menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan naskh. Kelompok ini adalah golongan Muktazilah, Hanafiyah, dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri. Hanya saja muktazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk hadits–hadits yang mutawatir.

Sementara golongan hanafiyah tidak mensyaratkan hadits mutawatir bahkan hadits masyhur yang merupakan hadits ahad pun bias menasakh hukum sebagian ayat Al Qur’an. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah meskipun dengan hadits ahad.

Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Zahiriyah dan kelompok Khawarij. Menurut As-Syafi’I sunnah tidak dapat menaskh Al Qur’an. Hanya saja sunnah itu menjelaskan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab naskh itu membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan dalil mana yang datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal inin adalah dari Nabi sendiri.

Secara lebih terperinci fungsi hadits terhadap Al-Qur'an dapat dilihat di bawah ini.

Menurut pendapat ulama Ahlur ra’yi (Abu Hanifah) , penerangan Al Hadits terhadap Al-Qur'an terbagi tiga:
  1. Bayan taqrir, yaitu keterangan yang didatangkan oleh As Sunnah untuk menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur'an. Seperti:
    صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته –متفق عليه عن ابي هريرة-
    “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya” Hadits ini menguatkan Firman Allah:
    شهر رمضان الذي أنزل فيه القرأن هدى للناس و بينات من الهدى و الفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه.
    “ Bulan Ramadhan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur'an untuk petunjuk bagi manusia, keterangan yang mengandung petunjuk dan penjelasan-penjelasan yang memisahkan antara yang benar dan yang bathal, maka barang siapa mempersaksikan dari pada kamu akan bulan, hendaklah ia berpuasa.” (Q.S. Al-Baqarah: 185).
  2. Bayan tafsir. Yaitu menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya), seperti ayat-ayat mujmal dan musytarak fihi. Di antara contoh bayan tafsir bagi mujmal,ialah:seperti hadits yang menerangkan kemujmalan ayat-ayat shalat, zakat, haji. Dalam ibadat-ibadat ini ayat Al-Qur'an mujmal.
    Diperintahkan kita shalat tapi tidak diterangkan tata caranya; yidak diterangkan rukun-rukunnya, tidak diterangkan waktu-waktunya. Semua ini diterangkan dalam hadits.
  3. Bayan tabdil, bayan nasakh, yaitu mengganti sesuatu hukum, atau menasakhkannya. Menaskh Al Qur’an dengan hadits boleh kalau hadits itu mutawatir, mayshur atau mustafidh.
Menurut Ahlur ra’yi, sesuatu titah Al Qur’an yang khas madlulnya tidak memerlukan lagi penjelasan hadits. Hadits yang dating mengenai titah yang lhas itu ditolak, yang demikian dihukum menambah sehingga tidak diterima, kecuali kalau sama kekuatannya dengan ayat itu.

Para ahlur ra’yi bersandarkan pada pendirian tidak menerima suatu hadits sebelum mengkonsultasikan kepada keterangan-keterangan Al-Qur'an yang muhkam.Dalam hal ini mereka bersandar pada fatwa Abu Bakar yang menyuruh para sahabat untuk menolak segala hadits yang berlawanan dengan Al-Qur'an, dan juga pada fatwa Umar yang menolak hadits Fathimah binti Qais (masalah nafkah istri yang ditolak) karena berlawanan dengan dhahir ayat dalam surat At Thalaq.

Mengkhususkan keumuman makna Al-Qur’an dengan hadits, mereka tidak memperbolehkannya, kecuali kalau hadits itu mutawatir atau masyhur. ‘Am yang disepakati menerimanya lebih utama diamalkan dari pada khash yang diperselisihkan untuk diterima.

Malik berpendirian bahwa bayan Al-Hadits terbagi kepada:
  1. Bayan taqrir; menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum Al-Qur'an, bukan mentaudihkan, bukan mentaqyidkan mutlak, dan bukan mentakhsishkan ‘am.
  2. Bayan taudih; menerangkan maksud-maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat sendiri. Misalnya dalam Surat At-Taubah ayat 34 tentang mengeluarkan zakat. Waktu ayat ini turun para sahabat merasa keberatan melaksanakannya. Maka mereka bertanya kepada nabi. Dan Nabi menjawab: Allah tidak mewajibkan zakat kepadamu, melainkan agar menjadi baik harta-hartamu yang sudah kamu zakati.
  3. Bayanut tafshil; menjelaskan mujmal Al-Qur'an sebagai hadits yang mentafshilkan kemujmalan Firman Allah. Seperti hadits-hadits yang menerangkan secara terperinci ayat Al-Qur’an tentang perintah shalat.
  4. Bayanul basthy (tabsith bayan takwil); memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh Al-Qur'an. Misalnya dalam surat At-Taubah ayat 118 yang artinya: “Dan atas tiga orang yang tidak mau pergi, ditinggalkan di tempatnya. Qishas yang dimaksud oleh ayat tersebut diterangkan secara panjang lebar oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah.
  5. Bayan tasyri’; mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam Al-Qur'an.
Asy-Syafi’I di antara ulama ahlil atsar menetapkan bahwa penjelasan Al-Hadits terhadap Al-Qur'an terbagi 5 yaitu:
  1. Bayanut tafshil: menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya).
  2. Bayan takhshish; menentukan sesuatu dari umum ayat.
  3. Bayan Ta’yin; menentukan mana yang dimaksud daru dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
  4. Bayan tasyri’; menetapkan sesuatu hukum yang tiada didapati dalam Al-Qur'an.
Ahmad ibn Hambal dalam soal ini sepaham dengan gurunya Ay-Syafi’I, bahkan lebih keras lagi pendiriannya dalam menentukan garis-garis penerangan As-Sunnah. Ibnul Qayyim telah menerangkan pendapat Ahmad dalam soal ini dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’iin, sebagai berikut:
  1. Bayan ta’kid (bayan taqrir): di kala sunnah itu bersesuaian benar petunjuknya dengan petunjuk Al-Qur'an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an.
  2. Bayan tafsir; menjelaskan suatu hukum Al-Qur'an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an.
  3. Bayan tasyri’; mendatangkan sesuatu hukum yang didiamkan oleh Al-Qur'an (yang tidak diterangkan hukumnya).
  4. Bayan takhsis takyid; mengkhususkan Al-Qur'an dan mengqaidkannya. Apabila didapati hadits yang mengkhususkan Al-Qur'an, dikhususkanlah umum itu, baik hadits yang mengkhususkan itu mutawatir, masyhur, mustafid, ataupun ahad.
Tegasnya, sunnah itu menurut pandapat Ahmad, mentakhsishkan Al-Qur'an, mengqaidkannya dan mentafshilkannya. Ringkasnya, Ahmad berpendapat bahwa As-Sunnah mentafsirkan dhahir Al-Qur'an dan hadits ahad itu dapat mentakhsish Al-Qur'an.


Analisa
1. Allah SWT Berfirman:

يأيهاالرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك و إن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس إن الله لا يهدي القوم الكافرين.
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau. Jika tidak engkau kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan Amanat Nya. Allah memelihara kamu dari manusia, sesungguhnya Allah tidak menunjuki kaum yang kafir”. (Q.S. Al Maidah: 67)

وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم و لعلهم يتفكرون –النحل 44-
“ Dan telah Kami turunkan kepada engkau Adz-Dzikr untuk engkau terangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka suka berfikir”. (Q.S. An-Nahl: 44)

Berpedoman pada ayat-ayat di atas, dan penelaahan berbagai teori tokoh Islam, dapat ditarik benang merah bahwa segala bentuk fungsi yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya merupakan penjabaran dari satu fungsi pokok sunnah, yaitu sebagai penjelas Al-Qur’an.

Dengan itu dapat dipastikan bahwa walaupun terdapat salah satu fungsi hadits terhadap Qur’an sebagai pembawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an, akan tetapi kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya setiap sunnah memiliki rujukan ketentuan pokok dalam Al-Qur’an. Sesuai dengan pendapat Syafi’I dalam kitabnya Ar-Risalah yang kemudian diperteguh oleh Asy-Syathiby dalam kitabnya, Al-Muwafaqat. Syathiby berkata; “as-Sunnah dari segi maknanya (esensinya) kembali kepada Al-Qur’an. Ia berfungsi merinci ayat yang masih mujmal, memperjelas ayat yang musykil dan menguraikan ayat yang ringkas”.

Karena Al-Qur’an itu adalah syari’at yang umum dan sumber bagi sunnah, dan oleh karena Allah SWT menjadikan Al-Qur’an sebagai penjelas terhadap segala sesuatu, maka sebagai konsekuensinya, sunnah secara keseluruhan sudah pasti tercakup di dalamnya. Sebab perintah dan larangan merupakan inti dari apa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT:

ما فرطنا فى الكتاب من شيئ – الأنغام 38-
“Tidaklah Kami lupakan sesuatupun di dalam Al-Kitab” (Q.S. Al-An’am: 38)

2. Jika dilihat dari “hasil” yang sudah disepakati maka dapat di jelaskan kembali (dengan pertimbangan yang mana utama dan pokok dan yang tidak utama) pembagian fungsi sunnah tersebut sebagai berikut:
  1. Hanafi:
    • fungsi taqrir
    • fungsi tafsir
    • fungsi tabdil/naskh
  2. Maliki:
    • fungsi taqrir
    • fungsi taudih
    • fungsi tafshil
    • fungsi bashty
    • fungsi tasyri’
  3. Syafi’i:
    • fungsi tafshil
    • fungsi takhsish
    • fungsi ta’yin
    • fungsi tasyri’
  4. Hambali:
    • fungsi taqrir
    • fungsi tasyri’
    • fungsi tafsir
    • fungsi takhshish taqyid
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi yang disetujui oleh para ulama adalah fungsi taqrir, tafsir, dan tasyri’.

Dari paparan di atas maka dapat disimmpulkan, sebagai berikut:
  1. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an yang telah disepakati para ulama adalah taqrir/ta’kid, taudih/tafsir/bayan, dan tasyri’.
  2. Fungsi sunnah yang tidak disepakati/ masih diperselisihkan adalah fungsi naskh/ mengganti ketetapan hukum dalam Al-Qur’an. Ulama yang menyetujui fungsi ini adalah ulama mutaqaddimin (golongan Muktazilah, Hanafiyah, dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri)mereka berdalil bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat syariat menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Pihak yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, sebagian besar pengikut madzhab Zahiriyah dan kelompok Khawarij. Menurut As-Syafi’i sunnah tidak dapat menaskh Al Qur’an. Hanya saja sunnah itu menjelaskan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab naskh itu membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan dalil mana yang datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal ini adalah dari Nabi sendiri.
  3. Seluruh fungsi yang telah didiskusikan sebelumnya, pada dasarnya merupakan penjabaran dari satu fungsi pokok sunnah, yaitu sebagai penjelas Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an itu adalah syari’at yang umum dan sumber bagi sunnah, dan oleh karena Allah SWT menjadikan Al-Qur’an sebagai penjelas terhadap segala sesuatu, maka sebagai konsekuensinya, sunnah secara keseluruhan sudah pasti tercakup di dalamnya


=======================
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Miftahul. 1997. Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam. Surabaya: Citra Media.
Ash-Shiddiqy, Hasby. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
As-Siba’I, Mustafa. 1993. Al-Hadits sebagai Sumber Hukum. Bandung: CV. Diponegoro.
Depag RI. 2000. Al-‘Alyy Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung: CV Diponegoro.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikkhtisar Mushtholahul Hadits. Yogyakarta: PT Al-Ma’arif.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Zahroh, Muhammad Abu. 1999. Ushul Fiqih. Pejaten Barat Pasar Minggu: Pustaka Firdaus.
Zuhdi, Masyfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger