Metode dan Pendekatan dalam Studi Hadits

Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Selain sebagai sumber, Hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Alquran. Berdasarkan hal tersebut, maka kajian tentang Hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber dalam Islam.

Sejarah mencatat bahwa dari tahun ke tahun, sepeninggalnya Rasul saw. Perhatian terhadap Hadis terus berkembang. Dimulai periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan, meng-isnad dan sampai pada klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab Hadis. Seiring dengan perkembangan hal di atas, muncul pula Hadis-Hadis palsu, yang melatarbelakangi kegiatan pemeliharaan Hadis, sehingga sangat perlu dilakukan studi Hadis.

Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan tentang studi Hadis. Langkah awal yang akan di bahas mencakup pada pengertian Hadis, berbagai istilah dalam Hadis, awal mula berkembang. Pendekatan dan metodologi yang akan digunakan dalam studi Hadis, ilmu utama dan ilmu bantu dalam studi Hadis, serta referensi klasik dan modern dalam studi Hadis.

A. Pengertian dan Berbagai Istilah Dalam Studi Hadis
Dalam pembahasan mengenai studi Hadis, ada beberapa pengertian dan istilah yang terlebih dahulu kita ketahui maksudnya, diantaranya yaitu :

1. Hadis
Secara etimologi kata Hadis atau al-Hadis berarti al-jadid (sesuatu yang baru) lawan dari al-qadim (sesuatu yang lama). Jamaknya adalah ahadis. Sedangkan secara terminologi ahli Hadis dan ahli Ushul berbeda pendapat dalam memaparkan pengertian tentang Hadis.[1]

Ulama Hadis mendefenisikan Hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbutan, takrir atau sifatnya.[2] Sementara ulama Ushul memberikan defenisi Hadis sebagai berikut, “segala perbuatan Nabi saw yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.“[3]

Dari pengertian di atas, baik menurut pengertian ahli Hadis maupun menurut ahli Ushul, bahwa kedua pengertian tersebut memberikan penjelasan yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul saw tanpa menyinggung perilaku dan ucapan sahabat ataupun tabi’in. Dengan kata lain, defenisi di atas adalah rumusan yang terbatas atau sempit.


2. Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti jalan dan kebisaan yang baik atau yang jelek.[4] Sedangkan secara terminologi, sunnah adalah segala yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat dan budi pekerti, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul seperti di Gua Hira maupun sesudah kerasulannya.[5] Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu sama-sama segala berita yang bersumber dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir Nabi. Pendapat lain mengatakan bahwa pemakaian kata Hadis berbeda dengan sunnah. Kata Hadis dipakai untuk menunjukkan segala berita dari Nabi secara umum. Sedang kata sunnah dipakai untuk menyatakan berita yang bersumber dari Nabi yang berkenaan dengan hukum syara’.

3. Khabar
Khabar menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita).[6] Yaitu segala berita yang disampiakan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut terminologi khabar lebih bersifat umum dibanding Hadis, yakni sesuatu yang datang dari Nabi saw atau orang selain Nabi.[7] Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah suatu berita yang datang dari selain Nabi, sedangkan Hadis adalah berita yang bersumber dai Nabi.[8]

4. Asar
Secara pendekatan bahasa, atsar sama artinya denga khabar. Secara istilah Asar merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang terdiri dari perkataan dan perbuatan.[9] Ulama Khurasan berpendapat bahwa atsar dipakai untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’.[10]

5. Sanad
Sanad menurut bahasa berarti mu’tamad, yaitu tempat bersandar, tempat berpegang yang dipercaya.[11] Dikatakan demikian, karena Hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[12] Sedangkan menurut terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang meriwayatkan matan dari sumbernya yang pertama.[13] Yang dimaksud dengan silsilah adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi Hadis tersebut, mulai dari yang pertama sampai kepada Nabi saw.[14]

6. Matan
Matan menurut bahasa adalah sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi.[15] Sedangkan secara terminologi, matan berarti lafaz-lafaz Hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.[16] Dengan demikian matan adalah lafaz Hadis itu sendiri.

7. Rawi
Rawi adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang memberikan Hadis. Defenisi lain mengatakan, bahwa rawi adalah orang yang menerima hadis kemudian menghimpunnya dalam satu kitab tadwin. Seorang rawi dapat juga disebut sebagai mudawwin, yaitu orang yang membukukan Hadis.

B. Asal Mula dan Perkembangan Studi hadis
Berbicara tentang asal mula dan perkembangan Hadis tidak terlepas dari awal mula dan tumbuh serta berkembangnya periwayatan Hadis itu sendiri. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut belum terlembaga menjadi satu disiplin ilmu khusus. Ia menampakkan dirinya lebih jelas lagi setelah Rasul wafat.

Ketika itu kaum muslimin merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan Hadis-Hadis Rasul secara lebih serius dan berhati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka terpisahkanlah antara Hadis palsu dengan Hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi saw.

Namun demikian. Bukan berarti mereka melalaikan dan tidak menaruh perhatian pada Hadis. Para sahabat memegang Hadis sebagai sunnah Rasul. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan sehingga hadis terpelihara sebagaimana terpeliharanya Alquran. Oleh karena itu para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan Hadis.

Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, beliau melarang para sahabat menuliskan apa yang disampaikannya kecuali itu Alquran. Ini dikarenakan Nabi takut akan tercampur adukkan antara Hadis dengan Alquran. Namun begitupun, para sahabat tetap menuliskannya secara diam-diam. Selain itu, satu hal yang merupakan kelebihan orangArab adalah kekutan ingatan mereka. Kuatnya ingatan inilah yang kemudian dijadikan salah satu rujukan dalam mengkodifikasikan Hadis pada masa-masa selanjutnya.

Selain itu, Allah juga telah menjanjikan dalam sebuah firman-Nya, “wa inna lahu lahafizun”. Ini bukan hanya berlaku bagi Alquran tetapi juga terhadap Hadis Nabi saw. Hal ini juga terbukti bahwa sampai hari ini kita dapat menerima Hadis-Hadis yang disampaikan Nabi pada 15 abad yang lalu. Meski sudah banyak muncul Hadis-Hadis palsu, tetapi tetap ada usaha dari para ulama untuk memisahkannya dari Hadis yang shahih.

Pada masa Khulafaurrasyidin sikap kehati-hatian ditunjukkan dengan meminta diajukan saksi bagi orang yang akan meriwayatkan hadis, atau terkadang diuji dengan mengambil sumpahnya. Namun pada masa itu belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun Hadis dalam sebuah kitab sebagaimana halnya Alquran.

Para khalifah juga banyak meriwayatkan Hadis, namun karena perkembangan politik, banyak diantara karya mereka yang terabaikan. Selain itu karya-karya mereka banyak yang tidak dibukukan pada masa itu sehingga sampai sekarang karya mereka seolah-olah tidak ada. Misanya khalifah ali bin Abi Thalib. Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi yang banyak sekali menerima Hadis dari Nabi, satu hal yang mengherankan adalah bahwa sampai hari ini jarang dijumpai Hadis yang diperoleh melalui Ali. Salah satu penyebabnya adalah karena konflik politik antara Ali dengan Muawiyah yang menyebabkan karena konflik politik sehingga ada “pembunuhan karakter“.

Pada abad ke-2 H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kekhawatiran akan hilangnya Hadis dan bercampurnya dengan hadis-Hadis palsu memunculkan inisiatif khalifah untuk membukukan Hadis tersebut. Akan tetapi pada abad ke-2 ini masih bercampu antara Hadis Rasul, fatwa sahabat dan tabi’in.

Pada awal abad ke-3 H, para ahli Hadis mulai berusaha membedakan antara Hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in, dengan disusun kitab musnad yang bersih dengan fatwa-fatwa.[17]

Pada pertengahan abad ke-3, maka mulai dibuat kaedah-kaedah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadis, apakah ia termasuk Hadis dha’if atau shahih. Kitab Hadis pada masa ini antara lain shahih al-Bukhari oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Shahih Muslim oleh Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi.

Pada abad ke-4 ulama mutakhkhirin menyusun kitab Hadis dari kitab-kitab Hadis yang disusun ulama sebelumnya. Usaha yang dilakukan ulama Hadis pada abad ke-5 dan seterusnya lebih ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadis dan menghimpun Hadis-Hadis sejenis kandungan atau sifat isinya ke dalam satu kitab Hadis. Dismping itu juga mereka mensyarah dan mengikhtisar Hadis yang telah ada.

C. Pendekatan Utama dan metodologi dalam Studi Hadis
Perhatian ummat Islam cukup besar terhadap Hadis Nabi saw, sejak masa sahabat mereka berusaha mengumpulkannya semaksimal mungkin dan menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana mestinya. Oleh karena itu Hadis yang disampaikan tersebut harus benar-benar terjaga keshahihannya.

Dalam studi hadis ada beberapa pendektan dan metodologi yang ditempuh, yakni pendekatan dari segi sanad dan matan. Kedudukn sanad dalam riwayat Hadis sangat penting. Apabila sebuah berita dikatakan seseorang sebagai Hadis, jika tidak memiliki sanad, maka ulama Hadis tidak dapat menerimanya.

Penelitian matan pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan dari segi kandungan Hadis dengan menggunakan rasio, sejarah dan prinsif-prinsif ajaran Islam. Pendekatan sanad dilakukan karena keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis dalam melakukan penelitian.

D. Ilmu Utama dan Ilmu Bantu dalam Studi Hadis
Dalam mempelajari ilmu-ilmu Hadis kita mengenal berbagai macam ilmu. Diantaranya :

1. Ilmu Hadis Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Secara terminology yang dimaksud dengan Hadis riwayah adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disndarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar dan lain sebagainya.[18] Dengan kata lain, ilmu Hadis riwayah adalah ilmu tentang Hadis itu sendiri. Perintis pertama dari Hadis riwayah ini adalah Muhammad bin Shihab az-Zuhri[19], wafat pada tahun 124 H,

2. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis dirayah adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam Hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.[20] Dengan kata lain ilmu Hadis dirayah merupakan kumpulan kaedah untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan sanad dan matan dan yang berkaitan dengan kualitasnya. Ilmu ini mulai dirintis dalam garis-garis besar sejak pertengahan abad ke-3. Kemudian sekitar abad ke-4 ilmu ini dibukukan sejajar dengan ilmu-ilmu lain.[21]

Ilmu Hadis riwayah dan ilmu Hadis dirayah merupakan ilmu utama yang digunakan dalam studi Hadis.

3. Ilmu Rijal al-Hadis
Ilmu Rijal al-Hadis adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadis dalam kapasitas mereka sebagai perawi Hadis.[22]

4. Ilmu ‘Ilal al-Hadis
Ilmu ‘ilal al-Hadis adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencacatkan keshahihan hadis, seperti mengatakan bersambung pada Hadis munqathi’, mengatakan marfu’ pada Hadis mauquf, memasukkan Hadis ke dalam Hadis lain dan sebagainya.

5. Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu ilmu yag membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.[23]

6. Ilmu Gharib al-Hadis, yakni ilmu pengetahuan untuk megetahui lafaz-lafaz dalam matan Hadis yang sulit dipahami karena jarang sekali digunakan.

7. Ilmu Asbab al-Wurud, yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab lahirnya Hadis.

8. Ilmu Nasikh wa mansukh yaitu ilmu yang membahas Hadis-Hadis yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebahagiannya, karena ia sebagai nasikh terhadap hukum lain. Karena itu Hadis yang mendahuluinya disebut sebagai mansukh dan Hadis terkhir sebagai nasikh.[24]

9. Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu ilmu yang membahas Hadis-Hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan.[25]

E. Perkembangan Modern dan Kritik Studi Hadis
Sebenarnya kritik Hadis telah dilakukan sejak dahulu, yakni dengan menyelidiki otentisitas berita yang bersumber dari Nabi saw. Hanya saja kritik yang dilakukan hanya terbatas pada kritik matan saja.

Kriteria otentisitas Hadis dirumuskan kemudian dengan menetapkan bahwa Hadis dikatakan otentik apabila memenuhi empat syarat, yaitu diriwayatkan dengan sanad yang bersambung, sanad dari orang yang takwa dan kuat ingatannya, materi Hadis tidak berlawanan dengan Alquran dan hadis lain yang lebih unggul kulitasnya dan tidak mengandung unsur-unsur kecacatan. Persyaratan tersebut yang diterapkan ahli Hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak abad pertama sampai pada abad ke-13 H.

Satu hal yang mengherankan adalah bahwa banyak diantara para orientalisme yang belomba-lomba untuk mengkaji Islam, salah satunya adalah studi tentang Hadis. Hal yang patut dipuji dan dicontoh sebenarnya, karena para orientalis ini begitu tekun dan uletnya meneliti tentang Islam. Namun ada satu hal yang juga harus diperhatikan bahwa dalam meneliti tentang Islam, tujuan mereka bukan hanya semata-mata untuk mengetahui atau untuk memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus untuk menambah khazanah keilmuan, tetapi lebih dari itu seringkali para orientalis ini meneliti tentang Islam dengan tujuan untuk mengetahui kelemahan Islam sendiri. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh orientalis Goldziher dan Schacht.

Pada tahun 1980 Masehi, dunia penelitian Hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru dalam kritik hadis, yakni setelah terbitnya buku yang berjudul Muhammadanische Student yang ditulis oleh Ignaz Goldziher dan Joseph Schacth dengan teori projecthing back-nya, dimana mereka menolak otentisitas Hadis seperti yang telah disebutkan di atas.

Back Goldziher mupun Schacth berpendapat bahwa Hadis bukan berasal dari Muhammad saw, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua. Dengan kata lain, Hadis merupakan hasil karya para ulama abad pertma dan kedua Hijrah.


Ulama-ulama kontemporer mnyangkal teori Goldziher maupun schacth. Mereka adalah as-Sunnah Muhammatuhu fi at-Tasyri al-Islam, Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Dan Muhammad Musthafa Zami dalam bukunya Studies in Early Hadisth Literature. Referensi klasik dan modern dalam studi Hadis.

Pada masa tabi’in ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu Hadis adalah Muhammad bin Shihab az-Zuhri pada perkembangan berikutnya, kaedah-kaedah tersebut dikembangkan oleh ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Kemudian lahir ulama Mudawwin Hadis, Malik bin Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah, namun karya mereka masih dalam bentuk-bentuk risalah.

Dalam sejarah perkembangan Hadis, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadis dalam satu disiplin ilmu secara lengkap adalah ulama Sunni yang bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdur rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360).[26]

Selain ar-Ramahurmuzi terdapat al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dengan kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadis. Di samping kitab-kitab klasik di atas, kitab-kitab modern di atas dapat dijadikan referensi dalam studi Hadis diantarannya kitab Ulum al-Hadis wa Musthalah oleh Subhi as-Shalih, Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan kitabnya Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalahuhu, Tadrib ar-Rawi fi Syarah Taqrib an-Nawawi oleh as-Suyuti dan lain-lain.

==============
FootNote:
[1]Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalahuhu (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 26.
[2]Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis (Beirut : dar Alquranul Karim, 1979), h. 14.
[3]Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 27.
[4]At-Thahhan, Taisir, h. 14.
[5]Ibid., h. 15.
[6]Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 15.
[7]Ibid., h. 20.
[8]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), h. 11.
[9]Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 32.
[10]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 11.
[11]Ibid., h. 8.
[12]At-Thahhan, Taisir, h. 16.
[13]Ibid.
[14]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 92.
[15]Daud Rasyid, Pembaharun Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Jakarta : Media Eka Sarana, 2002), h. 147.
[16]Ibid., h. 154.
[17]Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadis (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), h. 37.
[18]Ibid., h. 38.
[19]Ibid.
[20]Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh an-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 40.
[21]Fathur Rahman, Ikhtisar, h. 56.
[22]Subhi ash-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu (Beirut : Dar al-Ilmu li al-Malayin, 1977), h. 110.
[23]Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 261.
[24]Ibid., h. 261.
[25]Fathur Rahman, Ikhtisar, h. 288.
[26]Ali Musthafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), h. 13.


==============
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut : Dar al-Fikr, 1989.

Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthalah al-Hadis. Bandung : Al-Ma’arif, 1987.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998.

Rasyid, Daud. Pembaharun Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Jakarta : Media Eka Sarana, 2002.

Ash-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu. Beirut : Dar al-Ilmu li al-Malayin, 1977.

As-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. Tadrib ar-Rawi fi Syarh an-Nawawi. Beirut : Dar al-Fikr, 1988.

At-Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadis. Beirut : dar Alquranul Karim, 1979.

Ya’kub, Ali Musthafa. Kritik Hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger