Dalalah An-Nash

Alquranul karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Seluruh ayat Alquran dari segi lafaz dan maknanya adalah qath’iyul wurud, artinya semua lafazh dan makna Alquran datang dari Allah SWT tanpa diragukan lagi keasliannya. Dengan demikian semua lafazh dan makna Alquran adalah mutawatir. Sedangkan dari segi dalalah hukumnya, sebagian qat’iyul dalalah dan sebagian lainnya zhanniy al-dalalah.

Dalam pengistibatan hukum melalui Alquran, salah satu hal terpenting yang perlu diketahui adalah mengenai dalalah (tunjukan) lafaz Alquran. Dalalah lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (lafziyah, mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain, dengan taqdir maupun tanpa taqdir. Dan adakalanya berdasarkan dengan pemahaman atau qhairu lafziyah (mafhum, arti tersiratnya), baik hukumnya sesuai dengan hukum lafziyah / mantuq ataupun bertentangan. Pembahasan tentang dalalah nash-nash Alquran sangat penting guna memahami dengan benar maksud dan tujuan dari nash-nash tersebut.

Ulama membagi dalalah kepada dua bagian yaitu dalalah lafziah dan ghairu lafziyah. Dalalah lafziyah dalam pengertian ini ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dalalah ghairu lafziyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Kalangan Ushuliyyin dari pengikut Hanafiyah meyebut dalalah ghoiru lafziyah ini sebagai “dalalah sukut” atau disebut juga dengan “bayan al-dharurah”.

Dalalah lafaziyah dalam pemaknaan ayat-ayat Alquran dibagi kedalam empat bagian. Yaitu dalalah al-ibarah, dalalah al-Isyarah, dalalah an-nash dan dalalah al-iqtidha’. Pembahasan makalah ini berusaha untuk mengungkap beberapa hal yang berkaitan dengan dalalah al-‘isyarah, baik dari pengertian, berbagai macam contoh-contoh nash yang menunjukkann dalalah al-‘isyarah dan lain sebagainya.


A. Pengertian Dalalah an-Nash.
Secara etimologi dalalah berasal dari kata “dalla-yadullu-dallan-dalalan-dalalatan yang berarti : menunjukkan, menuntun arti dalalah secara umum adalah “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk dan kata sesuatu yang kedua disebut dalil (yang menjadi petunjuk) . Contohnya dalam kalimat “asap menunjukkan adanya api”, asap merupakan petunjuk keberadaan api. Asap merupakan dalil dan api adalah madlulnya.

Secara istilah dalalah an-nash menurut beberapa ulama adalah tunjukkan lafaz terhadap penetapan hukum yang dikatakan dengannya (mantuq bihi) bagi hukum yang didiamkan atau dipahami daro padanya (maskut anhu) karena adanya makna yang dapat diketahui oleh setiap orang yang mengetahui bahasa yang terdapat didalam mantuq bihi, tanpa memerlukan penelitian yang mendalam dan ijtihad yang sungguh-sungguh.

Syeikh Khalid Abdur Rahman dalam kitabnya Ushul at-Tafsir wa qawaiduhu memberikan defenisi bahwa dalalah an-nash adalah dalalah lafaz yang menunjukkan penetapan hukum dari lafaz yang dikatakan terhadap hukum yang didiamkan dari lafaz tersebut karena kesimpulan yang dapat diambil dari makna lafaz yang diungkapkan, dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang tanpa penelitian yang mendalam. Keduanya sama, baik hukum yang didiamkan itu lebih utama ataupun sama dengan hukum yang dikatakan dari lafaz tersebut.

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya, Ushul fiqh, menjelaskan bahwa dalalah an-nash disebut juga dengan mafhum al-muwafaqah atau dalalah al-aula. Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan kepada bunyi ucapan, dan mafhum muwafaqah berarti makna yang hukumnya sesuai dengan mantuq.

Mafhum muwafaqah ada dua macam, yaitu : Pertama, fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya daripada mantuq, misalnya keharaman mencaci maki dan memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat Alquran surah al-isra ayat 23.

Kedua, Lahnul Khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq misalnya pemahaman dari Alquran surah an-Nisa’ ayat 10 tentang keharaman mambakar harta anak yatim atau menyia-nyiakannya, karena hal ini sama nilainya dengan memakan harta anak yatim tersebut sampai habis. Contoh-contoh ini akan diterangkan lebih lanjut pada pembahasan mengenai contoh-contoh dalalah an-nash.

Kedua mafhhum ini disebut mafhum muwafaqah karena makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang diucapkan, meskipun hukum itu memiliki nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua. Dalalah dalam mafhum muwafaqah ini termasuk dalam kategori mengingatkan kepada yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah atau kepada yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi. Kedua macam keterangan ini terkumpul dalam firman Allah SWT dalam surah al-Imran ayat 75 :

ومن اهل الكتب من ان تامنه بقنطار يوده اليك ومنهم من ان تامنه بدينار لا يوده اليك الا ما دمت عليه قايما ذلك بانهم قالوا ليس علينا في الامين سبيل ويقولون علي الله الكذب وهم يعلمون
Artinya :
“Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi. mereka berkata Dusta terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui.

Kalimat pertama dari ayat ini, “dan diantara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang baanyak, dikembalikannya kepadamu”, termasuk peringatan bahwa ia akan mengembalikaan amanat kepadamu sekalipun hanya satu dinar atau kurang. Sdang kalimat kedua, “dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu”, termasuk peringatan bahwa kamu tidak dapat mempercayakan kepadanya harta yang banyak.


B. Contoh-Contoh Dalalah an-Nash.
  • 1.Firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Isra’ ayat 23 menngenai keharaman mencaci kedua orang tua :

وقضي ربك الا تعبدوا الا اياه وبالولدين احسنا اما يبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما
Artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”.

Mantuq ayat ini adalah keharaman mengatakan “ah” kepada orang tua, oleh karena itu diambil darinya hukum keharaman mencaci maki dan memukul orang tua karena perbuatan tersebut jauh lebih menyakiti dibandingkann dengan mengatakan “ah”. Dan pemaham terhadap pencacian dan pemukulan terhadap kedua orang tua inilah yang dinamakan dalalah an-nash yaitu pemahaman yang diambil dari yang mafhum (dipahami) dari yang mantuq (dikatakan / dalalah al-’ibarah).

Khalid Abd Rahman dalam kitabnya Ushul Tafsir dan Qawaiduhu memberikan penjelasan mengenai ayai ini bahwa pengharamannya tidak hanya terbatas berkata “ah” pada kedua orang tua. Karena jelas dalam pengetahuan bahasa Arab, kaidah dan susunannya, seseorang akan dapat menangkap dengan mudah pemahaman yang lebih luas dari dalalal mantuq (dalalah al-‘ibarah) ayat ini disaat mendengarkannya. Yaitu pengharaman dalam mencaci, menghina dan memukuli orang tua. Karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih jauh menyakitkan dari hanya sekedar berkata “ah”. Dalalah inilah yang disebut dengan “dalalah ad-dalalah” atau dalalah an-nash.

  • 2. Firman Allah SWT dalam Alquran surah an-Nisa’ ayat 10 :

ان الذين ياكلون امول اليتمي ظلما انما ياكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.

Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa memakan harta anak yatim tanpa alasan syar’I yang dapat dibenarkan adalah haram. Dari sini dapat diambil pemahaman lain dari dalalah dalalah nash tersebut. Yakni pengharaman untuk merusak ataupun menghancurkan harta anak yatim dengan cara pembakaran, penenggelaman dan lain sebagainya. Atau tidak adanya penjagaan sungguh-sungguh terhadap harta mereka oleh wali si yatim. Karena hal itu berarti sama juga dengan menzalimi dan memakan harta mereka. Pemahaman dalalah ini dapat dengan mudah diketahui melalui bahasa yang umum dan tanpa penelitian yang lebih mendalam.

Penetapan pengharaman ini diambil berdasarkan dalalah nashnya dan tidak langsung berasal dari lafaz nash, yaitu setiap perbuatan yang membahayakan, menyakiti dan merusakkan harta anak yatim sama hokum keharamannya dengan memakan harta anak yatim secara zalim atau tidak syar’i.

  • 3. Firman Allah SWT dalam Alquran surah Al-Isra’ ayat 32 :

ولا تقربوا الزني انه كان فحشه وساء سبيلا
Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Ayat ini makna dalalah ‘ibarahnya (mantuqnya) dapat kita pahami secara jelas bahwa mendekati zina adalah haram. Hal ini berarti segala sesuatu dan cara yang dapat mengarahkan kita kepada zina adalah haram. Seperti berduaan dengan wanita atau laki-laki yang bukan muhrim kita, pada sebuah tempat yang sunyi.


Dari sini dapat kita mengerti dalalah nashnya (mafhumnya) bahwa ayat ini memberikan pemahaman bahwa melakukan zina itu jelas diharamkan, karena dalalah ‘ibarahnya jelas menunjukkan bahwa mendekati unsur-unsur yang dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina saja diharamkan terlebih lagi melakukannya. Ayat ini memberikan pemaknaan pencegahan untuk melakukan perbuatan zina yang diharamkan. Jadi yang dipahami dari ayat ini lebih utama hukum pengharamannya dari pada yang dikatakan (mantuq/dalalah al-‘ibarahnya). Dan makna ini jelas, tidak perlu kepada ijtihad dan penelitian yang mendalam.


C. Hukum Dalalah an-Nash
Hukum dari dalalah an-Nash adalah qath’i. bahkan diperbolehkan untuk menetapkan hukum-hukum (al-hudud) dan kafarat dengan menggunakan metode dalalah an-nash tanpa menggunakan Qiyas. Seperti penetapan “potong tangan” bagi sebagaian keterlibatan dalam kejahatan “qath’u at-Thoriq” (terorisme). Dengan menggunakan dalalah an-nash firman Allah swt dalam Alquran : (( و يسعون فى الأرض فسادا, Artinya : “dan mereka berusaha untuk membuat kerusakan dimuka bumi…”.

Seperti juga penetapan kafarat terhadap seseorang yang berbuka pada siang bulan Ramadhan walaupun tanpa melakukan hubungan suami isteri, dengan dalalah dari firman Allah swt ( إلى الليل ), maka barang siapa yang membatalkan puasanya pada siang bulan ramadhan dengan makanan sebelum dating waktu berbuka seperti seseorang yang membatalkannya dengan melakukan hubungan jima’ (hubungan) suami-isteri.


=====================
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khin, Musthafa Sa’id. Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyah fi ikhtilaf al-fuqaha, (Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1981.

Al-Subki, Taqiyuddin. al-Ibhaj fi Syarh al-Munhaj. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.

Bek, Muhammad Khudari Ushul fiqh. Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1969.

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab –Indonesia. Surabaya : Pustaka Progressif, 1997.

Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Jakarta : PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1996.

Rahman, Syeikh Khalid Abdur. Ushul Tafsir wa Qawaiduhu. Beirut : Dar an-Nafais, 1994.

Zahrah, Muhammad Abu Ushul Fiqh. Kairo, Dar al-Fikr al-A’rabi, 1958.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger