Filsafat Pendidikan

OTONOMI PENDIDIKAN
( Dalam Telaah Antologi, Epistimologi, dan Aksiologi )

Walau disentralisasi diberlakukan, pada pelaksanaan nanti bisa saja terjadi pengaruh pusat tetap kuat. Hal ini tersebut disebabkan baru pertama kali disentralisasi di laksanakan sehinga dimungkinkan daerah-daerah tertentu masih butuh “ bimbingan dari pusat “, ini terlihat ketika disentralisasi diberlakukan nampak adanya semacam kegagapan dalam bertindak. Ibarat anak ayam kehilangan induk. Kebiasaan menunggu sudah tertanam bahkan sudah mengakar, sehingga untuk menumbuhkan kreativitas sebagai insan pendidikanpun harus menunggu waktu yang cukup lama. Kebiasaan sendiko dawuh kepada atasan -dalam artian tanpa mempertimbangkan baik-buruknya- sudah saatnya di hapuskan dari kamus pemerintah.

Potensi yang melimpah dari anak-anak bangsa sudah siap secara optimal. Inipun apabila adanya political will pemerintah yang menambahkan pada pasal 31 ayat 3, mengenai anggaran pendidikan 20 persen dari APBN maupun APBD. Bila pasal itu hanya “ penghias dinding ” saja, maka dunia pendidikan kita akan selamanya di rundung nestapa, sebab tidak pernah adanya pencerahan yang memuaskan. Indonesia bisa jadi hanya tinggal nama , rakyat harus “ ngontrak “di rumahnya sendiri. Semua harta kekayaan sudah milik Amerika, sebab anak bangsa bodoh semua, semoga semua pihak dan pemerintah khususnya, Mendiknas benar-benar mengerti arti pentingnya pendidikan.

Pengertian filsafat secara sederhana dapat di mengerti dari namanya sediri, yaitu filsafat di jadikan asas dan pandangan dasar bagi pelaksanaan pendidikan akan tetapi persoalan sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Sedangkan pendidikan menurut undang-undang sistem pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pengertian Pendidikan, baik sebagai bidang ilmu pengetahuan maupun sebagai pembinaan manusia, sedimikian luas ruang lingkup dan problematikanya, demikian pula pengertian filsafat, sebagai ilmu yang paling komprehensif.

Untuk sekedar menjelaskan pengertian sebagai suatu tingkah laku dan pendekatan memahami pendidikan lebih lanjut, mengerti sesuatu dari segi difinisi agaknya dapat diterima. Tetapi untuk mengerti sesuatu sebagaimana mestinya, melalui difinisi saja bukanlah tindakan bijaksana. Sebab, sebagaimanapun pengertian melalui difinisi, tentang sesuatu konsepsi abstrak, akan selalu tidak representatif.

Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional, agaknya telah menyadari dampak sistem pendidikan sentralistik. Kurikulum di seragamkan dari pusat sampai kepelosok daerah, tanpa melihat apa yang dibutuhkkan masing-masing daerah tersebut. Potensi yang semestinya dapat dioptimalkan justru tidak tergarap sebagaimana mestinya. Dengan di gulirkannya otonomi daerah yang berimplikasi terhadap otonomi pendidikan ( sekolah ), setidaknya memberikan harapan kepada daerah untuk mengembangkan potensi dari kebutuhan daerah masing-masing.

Toffler ( 1970 ) menganalogikan sekolah dengan sebuah pabrik, memang sebenarnya usaha pendidikan itu tidak dapat disamakan dengan pabrik. Tetapi jika dilihat dari proses mekanismenya ada persamaan antara keduanya. Yaitu membutuhkan bahan mentah-siswa- ( raw input ) untuk memproses siswa menjadi orang yang profesional sebagai keluaran ( out put ) di perlukan sarana dan prasaran. Yang ditangani dan di kelola oleh “ pekerja “ atau manager pendidikan yang profesional, yang melakukan pekerjaan secara tidak asal-asalan, dengan menggunakan prosedur, program administrasi yang baik. memang analog tersebut sangat bagus, apabila memang sumber daya manusianya diatas rata-rata sukses. Tapi setelah kita tengok pada wacana ke Indonesiaan, berjuta masalah sudah menanti sehingga pabrik yang akan menghasilkan produk bermutu jauh dari harapan.

  • Ontologi
Penanganan pendidikan nasional, masa transisi ini permasalahan sudah sedemikian kompleks. Apabila pada tahun 70 - an dan 80 -an sistem pendidikan kita menjadi kiblat pendidikan Asia Tenggara. Namun memasuki era 90 – an bangsa Indonesia seolah telah terbuai dengan orde pembangunan . yang berdampak merosotnya kualitas pendidikan. Apabila kita kembali kepada hakikat pendidikan menurut ki Hajar Dewantara ialah proses pengumpulan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat yang berlangsung seumur hidup. Maka penanggulangan masalah guna meningkatkan kualitas harus mampu mengetahui hakikat dari unsur pendidikan itu. Manusia sebagai salah satu unsur pokoknya, menempati potensi penting sebab tanpa pendidikan manusia tidak dapat menjadi manusia . Binatang tidak memerlukan pendidikan, dan tidak pula dapat dididik. Pada binatang hanya dapat dilakukan dressur. Dalam pandangan Martin Buber kelihatan bahwa hakikat manusia sangat memerlukan pendidikan.

Setelah jelas mengenai hakikat manusia. Kitapun perlu mengetahui hakikat dari pada peserta didik, guru, kurikulum dan sistem management pendidikan. Peserta di didik hakikatnya pribadi yang sedang berkembang, memerlukan individual dan perlakuan yang manusiawi. Lantas, bukan berarti peserta didik, tidak tahu apa-apa layaknya Tong Kosong yang harus diisi. Siswa harus lebih di posisikan secara wajar ( sebagai pathner dalam belajar ). Paradigma posisi guru bukan lagi sebagai “ superman “ ( menganggap guru yang paling pandai, sedangkan murid adalah bodoh ), tetapi menjadi teman belajar, dengan tatap menajaga wibawa dan kredibilitas di hadapan murid. Antara kurikulum dan managament pendidikan mempunyai keterkaitan. Sebab maju mundurnya kurikulum terletak pada kebijakan dan kinerja administrasi pendidikan.

  • Epistimologi
Dalam Islam terdapat konsep pendidikan seumur hidup. Disana di tegaskan bahwa mencari ilmu adalah wajib bagi siapa saja tanpa terkecuali. Senada dengan itu masa mencari ilmu tiada batasnya, mulai dari ayunan sampai meninggal. Kapan dan dimanapun kita dapat mencari ilmu. dalam pandangan empirisme pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman. Sedangkan John Locke menambahkan cara memperolehnya melalui indra. Sumber pengetahuan terletak pada akal, itu menurut aliran Rasionalisme. pada dasarnya kedua pandangan aliran filsafat itu sama-sama benar dan saling mendukung. Apabila salah satu komponen tidak ada, tentu hasil pengetahuannya diragukan kebenarannya. Budaya pengembangan keilmuan, khususnya dikalangan umat Islam terasa mandeg. Pengetahuan dianggap telah final. Kajian keilmuan hanya sebatas teks book, walaupun itu bisa dijadikan sumber ilmu, padahal pengalaman merupakan guru yang terbaik.

Kebijakan otonomi pendidikan, terasa tepat bila konsep diatas dapat diterapkan, sebab kemandirian dan kebebasan berkreatifitas menjadi point terpenting yang tak dapat di tawar. Kebebasan akal dalam memproses pengetahuaan yang di dapat melalui teks dan pengalaman, akan menjadikan kemajuan peradaban manusia.

  • Aksiologi
Guna tercapainya tujuan dari sebuah pendidikan, tidak akan terlepas adanya nilai. Pendidikan harus menanamkan ketaqwaan dan budi pekerti yang luhur pada guru dan anak didik ( pasal : 4 . UUSPN ). Menurut kaum idealis W. M. Urban dalam buku The Intelligable World, memandang nilai sebagai satuan yang merupakan kenyataan satuan-satuan yang sejak semula sudah terkandung dalam susunan kenyataan itu sendiri.

Hasil penyelenggaraan pendidikan selama ini, agaknya belum optimal. Kebrobrokan yang terjadi disegala lini masyarakat, paling tidak sudah dapat di jadikan gambaran wajah kita yang sebenarnya. Pejabat tinggi yang seharusnya menjadi anutan justru tidak dapat memberi contoh baik pada rakyat. Mereka sudah tidak punya malu. Suap menyuap jadi kebiasaan. Manipulasi hukum menjadi kegemaran. Etika moral dianggap sebagai penyakit yang wajib di hilangkan. Lalu dimanakah keberadaan pendidikan nilai dalam hal ini. Pendidikan agama dan moral, dalam otonomi pendidikan harus di utamakan apabila masih menginginkan bangsa ini tetap jaya.

PENUTUP
Disentralisasi atau pelimpahan memang dari pusat kedaerah, bukanlah sebagai ketidak mampuan pusat menangani permasalahan di daerah, tapi pembagian kerja ( job discription ) yang adil. Pembagian itu supaya kesejahteraan rakyat yang paling bawah tidak termarginal. Mempersempit terjadinya kesenjangan. Maka dengan digulirkannya otonomi sekolah diharapkan potensi yang belum tergarap bisa dioptimalkan . Penggunaan kurikulum tidak lagi seragam instuksi dari pusat. Namun di sesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Nilai moral pendidikan tidak hanya sebagai slogan pepesan kosong yang hanya di sampaikan tanpa ada aplikasi kongkrit.


=====================
DAFTAR PUSTAKA

Umar Trtaraharjo Prof. Dr. dan La Sula, Drs., Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.

M. Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan dasar-dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya 1986.

…………….., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Aneka Ilmu, Semarang, 1989.

Louis O. Kattsof, Alih Bahasa Soejono Soermargono, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996

Zahara Idris, H. Lisma Jamal, H. Pengantar Pendidikan, Gramedia Widia Sarana, Jakarta, 1995.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger