Pendidikan dan Pemerintahan pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Setelah wafat nya khalifah Abu Bakar, kemudian kedudukan khalifah di gantikan oleh Umar bin Khatab di susul oleh Utsman bin Affan, dan setelah khalifah Utsman terbunuh, maka masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Di saat pemerintahannya Khalifah ar-Rasyid yang keempat, Ali bin Abi Thalib ra. Menghadapi masalah-masalah berat dan kondisi dalam negeri yang labil. Situasi pada masa kekhalifahan beliau sangat tidak kon-dusif. Pecah perang di antara kaum muslimin, munculnya kaum Khawarij, sehingga Khalifah sibuk mengurus masalah-masalah dalam negeri dan memadamkan api fitnah yang marak pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan secara zhalim.

Salah satu kerugian akibat fitnah-fitnah ini dan dampak negatifnya adalah terhambatnya gerakan jihad dan perluasan wilayah Islam yang merupakan perkara yang sangat menonjol pada masa kekhalifahan sebelumnya. Buku-buku sejarah tidak mencatat penaklukan-penaklukan wilayah baru pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra. Akan tetapi meskipun menghadapi berbagai masalah dalam negeri yang pedih namun beliau mampu mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah ditaklukan.

Meskipun Ali bin Abi Thalib ra. tidak memiliki kesempatan yang banyak untuk memperluas wilayah Islam dari yang telah ditaklukan seperti yang dilakukan para sahabat sebelum beliau, hanya saja dengan perlakuan beliau yang adil beliau berjasa dalam menjelaskan sanksi-sanksi hukum berkaitan terhadap komplotan pembangkang. Berikut hukum-hukum yang berkaitan dengan peperangan dalam masa-masa fitnah yang terjadi di antara kaum muslimin. Hal itu termasuk jihad untuk menjaga stabilitas dalam negeri dan menyatukannya serta menghadapi segala upaya memecah belah daulah Islam. Beliau menjelaskan semua aspek hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Perpisahan persatuan kesatuan umat islam sejak terbentuknya khulafah usman bin affan makin lama makin nampak jelas, sejak itu perbedaan faham yang menyinggung dasar pokok agama mulai tumbuh, dasar pendidikan islam yang tadinya bermotifkan aqidah tauhid sejak saat itu tumbuh di atas dasar motifasi ambisi, kekuasaan dan kekuatan. Akan tetapi sebagian besar masih ada yang tetap berpegang teguh pada prinsip prinsip pokok dan kemurnian yang telah di ajarkan oleh Rasullalah saw. Pada saat itu kegiatan pendidikan mendapatkan gangguan dan hambatan terhambat oleh perang saudara, meskipun tidak berhenti sama sekali ali sendiri pada saat tidak sempat memikirkan masalah karena seluruh perhatiannya di tumpukan pada masalah yang lebih penting dan mendesak yang akan memberikan jaminan keamanan, ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan yang mempersatukan kembali paduan umat.

Namun demikian dunia pendidikan masih belum terbengkalai, contohnya karena kesulitan yang banyak di hadapi bangsa dan orang ‘Ajam (bangsa yang bukan berlidah Arab) yang mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an setelah meluasnya Islam dikalangan orang yang berbahasa bukan arab seperti bahasa Khibthi (Mesir) dan bahasa Suryani (Syiria Dan Irak) maka atas saran dan petunjuk Ali Bin Abi Thalib, seorang ahli bahasa bernama Abul Aswad Al Dauly menyusun ilmu Nahwu (Gramatika Arab) dan kemudian di terapkan pengajarannya kepada umat untuk membantu dan mempermudah orang asing mempelajari bahasa Al-Qur’an.

Ali bin Abi Thalib juga membenahi sistem administrasi Baitul Mal, baik di tingkat pusat maupun daerah hingga semuanya berjalan dengan baik. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali ibn Abi Thalib menerapkan sistem pemerataan. Selama masa pemerintahannya, khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak terhadap pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kufah, memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian. Pada hari itu, semua perhitungan diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Selain itu langkah penting yang dilakukan khalifah Ali ibn Abi Thalib pada masa pemerintahannya adalah percetakan mata uang koin atas nama Negara Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan tersebut, kaum muslimin telah menguasai teknologi peleburan besi dan percetakan koin. Namun demikian, uang yang dicetak oleh kaum muslimin itu tidak dapat beredar dengan luas karena pemerintahan Ali ibn Abi Thalib berjalan sangat singkat seiring dengan terbunuhnya sang Khalifah pada tahun keenam pemerintahannya.

Khalifah Ali ibn Abi Thalib banyak menerapkan ilmu-ilmu nya melalui kata-kata bijak, beliau adalah Khalifah yang sangat cerdas. Mengenai kecerdasannya, Nabi Muhammad pernah memuji Ali dengan kata-kata: “Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.” Kefasihan bicara Ali dipuji oleh banyak kalangan. Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalimat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau, "Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit". Bahkan beliau rela menjadi budak sehari, demi mendapatkan ilmu baru, walaupun itu hanya sepatah huruf saja. Beliau juga pernah berkata, “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.

Demikianlah sejarah singkat tentang pendidikan pada zaman kepemimpinan Khalifah Ali. tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.

Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan ‘amr maruf dan nahi munkar.

Kependidikan saat itu sangat kurang, tetapi bukan berarti tidak ada, hanya saja banyak pendidikan yang di terapkan atau di ajarkan oleh beliau melalui metode tingkah laku, kata-kata bijak, dan akhlaq, bukan melalui lembaga-lembaga, dikarenakan masa atau zaman yang bersituasi tidak memungkinkan untuk membentuk itu. Bahkan didalam kehidupannya sehari-hari, di dalam suatu riwayat menceritakan bahwa beliau mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Nah.. ini juga bisa di katakan pendidikan pada masa itu, akan tetapi setelah peperangan terjadi, gejolak politik mulai memuncak, kependidikan ini pun di hentikan.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger