Kewajiban Jilbab dalam Pelaksaan Syari'at Islam di NAD

(Kajian Terhadap Keputusan Rapat Kerja Komisi “B” (Fatwa/Hukum) MUI
Daerah Istimewa Aceh Nomor: 01/I/1990 Tentang Kewajiban Berbusana Islami)

A. Pendahuluan
Dengan alasan ingin menjunjung tinggi sekulerisme di Perancis, Presiden Jacques Chirac mendukung pelarangan atribut keagamaan seperti jilbab, tanda salim besar Kristen dan kifa (kopiah kecil) Yahudi bagi pemeluk setiap agama. Hal ini tentu sangat mengecewakan bagi umat Islam Perancis yang berjumlah lebuh kurang lima juta jiwa. Sekilas keputusan pelarangan atribut keagamaan itu memang adil karena semua pemeluk agama dilarang memakainya, tetapi diyakini banyak muatan politisnya. Akibat dari keputusan pemerintah itu, para pelajar dan mahasiswa muslimah harus menanggalkan jilbab yang tentunya sangat berat secara psikologis.

Permasalahannya sekarang, sudah benarkah pemahaman umat Islam sendiri terhadap konsepsi tentang jilbab? Benarkah jilbab yang selama ini dipakai telah memenuhi tuntutan syari’at? Apakah tidak ada alternatif lain terhadap cara berjilbab, bentuk jilbab dan lain-lain yang juga sesuai dengan kehendak Syari’? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita cari solusinya sehingga persoalan jilbab dapat dilihat secara lebih jelas.

Kewajiban menutup aurat tidak diragukan lagi memang sangat ditekankan oleh Islam, sebab banyak manfaat dan mudharat yang ditimbulkan akibat mengabaikan persoalan ini. Namun yang menjadi permasalahan adalah sebatas manakah aurat (terutama bagi kaum wanita) yang diwajibkan untuk ditutup? Kemudian, persoalan jilbab mencuat lagi setelah pelaksaanan syari’at Islam secara kaffah di Aceh pada tahun 2003 ini. Sepertinya, dalam hal jilbab, pemerintah berpegang pada hasil keputusan Komisi “B” (Fatwa/Hukum) MUI Aceh pada tahun 1990. Untuk melihat lebih jauh tentang keputusan tersebut, makalah ini akan berusaha membandingkannya dengan pandangan beberapa pakar hukum dan tafsir Indonesia dalam masalah yang sama.

B. Pembahasan

Berbicara tentang persolan busana Islami, ayat sentral yang paling sering dibahas oleh para fuqaha dan mufassir adalah surat al-Ahzab ayat 59:

يأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يد نين عليهنّ من جلاببهنّ ذلك أدني أن يعرفن فلا يأذين.

dan surat al-Nur ayat 31:

وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهنّ ويحفظن فروجهنّ ولا يبد ين زينتهنّ إلا ما ظهر منها واليضربن بخمرهنّ على جيوبهنّ ولا يبدين زينتهنّ إلا لبعولتهنّ أو أبائهن أو أباء بعولتهن أو أبنائهنّ أو أبناء بعولتهنّ أو إخوانهنّ أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهنّ أو التابعين غير أولى الإربة أو الطفل الذي لم يظهروا على عورات النساء ولا يضربن بأرجلهنّ ليعلم ما يخفين من زينتهن, وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون.

Berbagai tafsiran telah diberikan terhadap ayat ini, sekurang-kurangnya fuqaha Syafi’iyah dan Hanafiyah yang sangat ketat berpegang bahwa jilbab dengan demikian wajib hukumnya bagi kaum wanita. Namun demikian, dewasa ini, penafsiran tersebut –karena berbagai faktor- dirasa kurang relevan. Para fuqaha dan mufassir kontemporer berusaha mencari penafsiran yang lain dari ayat-ayat itu sehingga sesuai dengan perkembangan zaman, sebab jika tidak demikian, syari’at Islam akan sulit untuk diterima umat.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya penulis mengemukakan pemahaman pada linguist bahasa Arab dalam mengartikan jilbab. Raghib al-Isfahani (w. 502/1108), seorang pakar leksikografi, dalam kitab al-Mu’jam Mufradat li alfazh al-Qur’an, menjelaskan bahwa jilbab adalah baju dan kerudung. Penyusun Lisan al-‘Arab, Ibn Mansur Jamaluddin Muhammad b. Mukarram al-Ansari, mengartikan jilbab dengan sejenis pakaian yang lebih besar daripada kerudung dan lebih kecil daripada ridaa’ (selendang besar) yang biasa dipakai kaum wanita untuk menutup kepala dan dada mereka. Demikianlah rumusan para pakar bahasa dalam mengartikan jilbab. Pengertian di atas akan dijadikan frame dalam pembahasan tentang jilbab di bawah ini.

Majelis Ulama Indonesia Prov. Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1990 telah mengeluarkan keputusan atau fatwa berkenaan dengan busana Islami, tepatnya keputusan tersebut dikeluarkan pada tanggal 12 Januari 1990. Keputusan Komisi “B” tersebut terdiri dari lima poin sebagai berikut:

Pertama: Hukum menutup aurat bagi kaum muslimin dan muslimat adalah wajib.
Kedua : Aurat adalah batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutup karena perintah syari’at Islam, yaitu:

a. Bagi wanita
  1. Berhadapan dengan Allah SWT di dalam shalat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan ujung tangan hingga ke pergelangan.
  2. Berhadapan dengan pria yang bukan mahram ialah seluruh tubuh kecuali muka, ujung tangan hingga ke pergelangan dan ujung kaki hingga ke mata kaki.
  3. Berhadapan dengan sesama wanita dan atau pria yang haram kawin untuk selama-lamanya ialah seluruh bagian badan mulai dari pusat hingga lutut, ditambah dengan bagian lain yang dianggap tidak patut untuk dilihat/diperlihatkan.
b. Bagi Pria
Berhadapan dengan Allah, dengan wanita mahram atau dengan lainnya kecuali istri, ialah seluruh bagian badan dari pusat sampai lutut.

Ketiga : Aurat dapat ditutup dengan pakaian (jilbab adalah bagian darinya) yang dapat memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Dapat menutup seluruh bagian aurat tersebut di atas.
  2. Terdiri dari material halal dan tidak terlalu tipis/halus.
  3. Longgar tidak ketat.
  4. Berbeda dengan pakaian khas ahli agama lain;
  5. Tidak sama dengan pakaian lawan jenisnya;
  6. Bukan pakaian hanya untuk dibangga-banggakan; dan
  7. Tidak merupakan pakaian untuk mempesona/menggoda;

Keempat: Menganjurkan kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melaksanakan kewajiban agama, seperti berbusana secara Islam dengan sempurna.

Kelima : Menyarankan kepada yang berwenang untuk dapat menciptakan iklim yang mendorong muslimin dan muslimat berpakaian sesuai dengan ketentuan ajaran agamanya.

Demikianlah keputusan MUI Aceh tersebut yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Ismuha, SH, Wakil Ketua Dr.Tgk. Muslim Ibrahim, MA, dengan sekretaris Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH dan anggota Drs. Muhammad Sulaiman dan Drs. M. Ali Muhammad. Namun yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa tampaknya keputusan ini masih valid dan tetap menjadi acuan hingga sekarang saat dilaksanakan syari’at Islam di Aceh. Hal ini terbukti karena keputusan tersebut termuat dalam buku Himpunan Undang-Undang, Peraturan-peraturan, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur dan lain-lain Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam yang diterbitkan oleh Dinas Syari’at Islam NAD tahun 2002 yang lalu. Berangkat dari itulah penulis merasa perlu mengkaji persoalan actual ini. Untuk mempertajam pisau analisis, disini akan dicoba menampilkan pemikiran pakar-pakar lintas disiplin keislaman seperti M. Quraish Shihab, Jalaluddin Rahmat dan Ali Yafie.

Sebelum penulis membandingkan dengan beberapa pendapat lain, terlebih dahulu akan diberikan tanggapan terhadap keputusan Komisi Fatwa di atas. Melihat sejenak isi putusan tersebut, terkesan Komisi sangat berhati-hati dalam memberikan keputusannya. Titik fokus perhatian penulis adalah poin keempat, karena dalam poin inilah sebenarnya pernyataan sikap MUI Aceh yang perlu dicermati. Pernyataan “menganjurkan” adalah pernyataan yang masih kurang tegas, berbeda dengan kata “mewajibkan” yang secara psikologis akan lebih kuat daya pressure-nya terhadap masyarakat. Namun demikian, pilihan kata menganjurkan ini tentu berdasarkan kajian yang sangat mendalam dari pihak Komisi Fatwa MUI Aceh, tetapi mengapa Komisi tidak memilih kata mewajibkan?.

Para mufassir, fuqaha, dan ilmuwan kontemporer berusaha memberikan pandangannya terhadap masalah jilbab ini karena peroalan ini merupakan persoalan yang sangat krusial. Implikasi dan sasaran setiap keputusan yang diambil adalah kaum wanita muslimah, apakah mereka harus hanya boleh menampakkan wajah dan telapak tangannya saja dan selainnya ditutup dengan alasan itu adalah tuntutan ayat.

Mufassir Indonesia, M. Quraish Shihab, sebelum memberikan penafsirannya, terlebih dahulu mengemukakan pandangan ulama tafsir klasik. Menurutnya sepanjang ayat di atas, yang paling menjadi fokus perhatian adalah makna illa ma zhahara minha (kecuali apa yang tampak darinya). Ada berbagai pandangan dikemukakan, tetapi yang menarik diangkat adalah kutipan pendapat al-Qurthubi yang mengatakan bahwa ulama besar Said bin Zubair, ‘Atha’ dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya, sedangkan Ibn ‘Abbas, Qatadah, Miswar b. Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasai dengan pacar, anting, cincin dan semacamnya.

Dia juga mengemukakan pendapat Muhammad ‘Ali Sais yang mengatakan bahwa Abu Hanifah bahwa kedua kaki juga bukan aurat, sebab kaki lebih menyulitkan daripada tangan, apalagi bagi wanita pedesaan yang ketika itu sering berjalan tanpa alas kaki, bahkan Abu Yusuf mengatakan bahwa kedua tangan bukanlah aurat karena menutupinya berarti memberikan kesulitan bagi seorang wanita untuk bekerja.

Dalam al-Qur’an, kata Quraish Shihab, kesulitan merupakan faktor yang harus dihilangkan, sebab Allah tidak menghendaki kesulitan pada manusia. Namun demikian, ulama tafsir seperti al-Qurthubi dan ‘Ibn Athiyah tetap mengartikan bahwa yang dikecualikan dalam ayat tersebut untuk ditampakkan adalah wajah dan telapak tangan. Kemudian, melengkapi tafsiran mufassir klasik ini, perlu juga dikemukakan bahwa mereka juga berusaha mengartikan kalimat “wal-yadhribna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna”. Kata juyub mereka tafsirkan sebagai lubang yang terletak di bagian atas pakaian yang biasanya menampakkan bagian atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada. Konsekuensi logis dari perintah menutup juyub ini adalah memakai kerudung, artinya menutupi rambut juga telah termasuk ke dalamnya, karena itu bagi mufassir ini, menutup rambut atau menutup kepala juga wajib.

Lantas bagaimana pendapat ulama kontemporer? Dalam hal ini penulis mengemukakan pendapat Quraish Shihab yang berbeda dari pandangan ulama mutaqaddimin di atas. Dalam mengemukakakn pendapatnya, Quraish Shihab banyak mengutip pendapat Muhammad Thahir bin Asyur, seorang pakar hukum Islam dari Tunisia. Menurutnya, adat-istiadat di setiap tempat tidak bisa diabaikan. Illat dari perintah mengulurkan jilbab dalam ayat itu adalah agar mereka lebih mudah dikenal dan mereka tidak diganggu. Berjilbab sendiri adalah kebutuhan bagi wanita Arab, karena kondisi alam dan psikologis masyarakatnya. Adapun bagi bangsa-bangsa yang tidak terbiasa menggunakan jilbab, dia dapat menggunakan cara yang berbeda agar tujuan atau ‘illat perintah ayat tercapai. Dia juga menjawab kemungkinan pendapat ini disangkal oleh orang yang ketat berpegang teguh kepada teks ayat dan hadits, dan dalam hal ini dia berpendapat bahwa ayat tersebut sama kualitas perintahnya dengan ayat yang menganjurkan hutang-piutang dan bukan perintah wajib, demikian juga hadits-hadits yang terkait, hanya menganjurkan yang lebih baik. Quraish Shihab juga berlogika bahwa memang teks ayat memerintahkan wanita untuk hanya boleh menampakkkan wajah dan telapak tangannya, tapi katanya, pada saat yang sama kita tidak wajar mengatakan bahwa orang yang tidak memakai kerudung telah melanggar syari’at, sebab al-Qur’an sendiri tidak memberikan kejelasan tentang batas-batas aurat dan para ulama juga berbeda pandangan. Kesimpulan yang diberikan oleh Quraish Shihab adalah: Al-Qur’an dan Sunnah sangat anti terhadap aktivitas dalam bentuk apapun yang bertujuan membangkitkan syahwat orang yang bukan mahramnya. Tuntunan dalam berpakaian telah diberikan dalam kedua surat di atas, maka sebaiknya setiap wanita muslimah mengikuti tuntuna itu meski hanya berupa anjuran.

Penulis berpendapat bahwa pandangan Quraish Shihab mencerminkan pandangan yang moderat, tampak dia begitu kesulitan mendamaikan antara teks dengan perubahan konteks. Konteks masa lalu tidak serta-merta harus disamakan dengan konteks sekarang, kalau dipaksakan juga, maka akan terbentur dengan kesulitan-kesulitan. Konteks modern menghendaki penafsiran yang lebih akomodatif terhadap kebutuhan aktivitas kaum wanita. Para wanita dewasa ini beraktivitas di semua bidang yang dulu mungkin hanya dikerjakan laki-laki. Sandarannya kepada pendapat Muhammad bin Asyur menandakan bahwa Quraish Shihab merujuk kepada ulama yang juga dibesarkan dalam tradisi yang sama sekali berbeda dengan tradisi Arab. Tunisia adalah negara yang berhadapan langsung dengan Eropa yang hanya berseberangan laut, sehingga budaya masyarakatnya sedikit banyak telah berbaur dengan pengaruh Eropa, dan karena itu persoalan jilbab merupakan persoalan yang harus segera dicarikan pemecahan yang akomodatif.

Dapat disimpulkan bahwa Qurasih Shihab berpandangan sama dengan keputusan MUI Aceh yang mengatakan bahwa mengenakan jilbab dianjurkan, bukan dengan pilihan kata mewajibkan, mungkin Komisi Fatwa menerapkan metode yang tidak jauh berbeda dengan metode tafsir Quraish Shihab. Budaya masyarakat Aceh, kondisi alam, sistem kemasyarakatan, kondisi psikologis berbeda dari bangsa Arab, dan tidak saja masyarakat Aceh, bahkan umat Islam di Indonesia.

Kemudian, keputusan komisi fatwa di atas akan diteropong dengan pemikiran K.H. Ali Yafie. Secara khusus, Ali Yafie tidak memberikan pernyataan tegas tentang masalah ini. Dia hanya mendeskripsikan konsep jilbab yang terdapat dalam kedua ayat di atas dan memberikan pandangan-pandangan yang normatif saja. Secara implisit dia menyatakan bahwa fungsi pakaian yang paling utama adalah menjaga aurat. Islam juga telah mengenal konsep pakaian yang memenuhi standar etika dan estetika, dua hal yang mesti digandengkan. Secara umum dari pernyataan ini dapat ditangkap bahwa Ali Yafie juga sangat moderat mempertimbangkan masalah ini. Di akhir deskripsinya dia menyatakan bahwa:

Busana perempuan yang beriman tidak terikat pada bentuk atau mode, bahan dan warna dari jilbab di zaman awal, tetapi dapat berkembang dalam batas-batas fungsi, etika, dan estetika yang dibenarkan oleh hukum Islam, yang memungkinkan ia berubah dari zaman ke zaman. Dan terlepas dari itu semua, yang menjadi standar berpakaian tetaplah libasuttaqwa.

Demikianlah terlihat Ali Yafie tidak terikat dengan pemahaman klasik yang cenderung menetapkan batas-batas aurat secara tafsiri yang terkesan banyak mengabaikan aspek perkembangan zaman. Pendapat Ali Yafie lebih banyak mempertimbangkan maqashid dari berpakaian itu sendiri, sebagaimana pemahaman Quraish Shihab di atas, dan untuk mencapai dan menjaga maqashid itu, maka etika dan estetika harus menjadi pertimbangan utama.

Pandangan terhadap jilbab sebagai busana muslimah juga dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat. Dia melihat jilbab dari aspek psikologi sosial jilbab. Pakaian bukan hanya merupakan kebutuhan dasar manusia, tapi juga merupakan bagian dari fenomena sosial itu sendiri. Cara berpakaian akan melahirkan persepsi orang terhadap pemakainya.. Persepsi sosial dalam hal ini dibagi Jalaluddin Rakhmat menjadi dua, persepsi diri dan persepsi interpersonal. Persepsi diri artinya bahwa cara berpakaian seseorang mencerminkan kualitas kepribadian pemakainya. Dia mengutip pendapat Kefgen dan Touchie-Specht yang mengatakan ada tiga fungsi pakaian: 1) diferensiasi, 2) prilaku, dan 3) emosi. Diferensiasi artinya pakaian dapat membedakan orang dari suatu kelompok, golongan, kelas, dan sebagainya dari yang lainnya.

Pakaian juga mendorong pemakainya untuk berprilaku sesuai dengan apa yang dipakainya. Seorang wanita yang suka berpakaian jorok dan menor, biasanya juga berkelakuan kurang baik. Bahkan lebih jauh pakaian juga dapat berpengaruh pada emosi seseorang dan juga emosi orang lain.

Pakaian muslimah akan membedakan pemakainya dengan golongan lain, sekurang-kurangnnya dengan pakaian yang tidak mencerminkan prilaku tidak Islami. Pakaian muslimah yang baik juga berpengaruh kuat pada prilaku pemakainya, mereka cenderung untuk berbuat dan bertindak hati-hati dan sopan mengingat pakaian yang mereka pakai. Dan juga pakaian mempengaruhi emosi, sekurang-kurangnya dengan berpakaian Islamii mereka terdorong bersikap keagamaan yang konstruktif. Menurutnya ayat yang berbicara tentang jilbab yang memerintahkan kaum wanita muslim untuk mengulurkan pakaian hingga menutupi auratnya mengandung makna yang sangat dalam. Secara social, pakaian mencerminkan karakter pemakainya. Pakaian yang baik juga menjadi identitas bagi pemakainya. Seorang muslimah yang berpakaian Islami mendorong dia untuk berprilaku Islami. Di sisi lain, persepsi interpersonal merupakan faktor yang tidak kalah penting. Bagaimana kondisi kepribadian seseorang hanya orang lainlah yang dapat memberi penilaian. Menurut Rakhmat, kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik, dan petunjuk artifaktual. Yang kita pergunakan umumnya adalah petunjuk artifaktual, yang paling penting daripadanya adalah busana.

Mendukung pandangannya, ia kembali mengutip Kefgen dan Specht yang menyatakan bahwa kekuatan busana dalam mempengaruhi persepsi seseorang sungguh luar biasa. Busana telah terlihat sebelum suara terdengar. Pesan yang tersalur lewat busana dapat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap pemakainya, prilakunya, meski hanya sebatas petunjuk artifaktual. Rakhmat juga mengutip pernyataan Stone:

Penampilan…adalah fase transaksi sosial yang menegaskan identitas para partisipan (pemeran-serta transaksi sosial tersebut). Penampilan itu, sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana, yang kita, konseptualisasikan sebagai teks transaksi –yakni apa yang diperbincangkan oleh kelompok-kelompok itu. Penampilan dan wacana adalah dua dimensi berbeda dari transaksi sosial. Yang disebut lebih dahulu tampaknya bersifat lebih mendasar. Ia memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas, dan menyediakan ruang bagi (perwujudan) kemungkinan-kemungkinan wacana dengan jalan memastikan kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna.

Rakhmat menyimpulkan bahwa kaitannya dengan busana muslimah maka wanita yang memakainya akan dipersepsi dengan muslimah, apapun konotasinya yang diberikan karena perbedaan background pemersepsinya. Pemakai busana muslimah boleh jadi dianggap sebagai wanita saleh, istri/gadis yang baik, fundamentalis, (atau mungkin teroris (penulis)), tetapi dia tetap dalam objek persepsi sebagai muslimah. Dengan penampilannya, dia akan berprilaku, menunjukkan emosi yang baik, sehingga orang lain akan segan mengusiknya apalagi berbuat tidak senonoh, apalagi jika si muslimah dapat menunjukkan kualitas kepribadian lain yang lebih utama seperti kecerdasannya dan sebagainya. Karena itu, dengan sendirinya ia telah mengikuti petunjuk kedua ayat di atas dan merealisasikannya.

Demikianlah secara representatif ketiga pendapat pakar itu dapat dijadikan bandingan pemikiaran terhadap keputusan Komisi Fatwa MUI Aceh tahun 1990 lalu yang masih dipakai dalam pelaksanaan syari’at Islam saat ini.

Dari pembahsan di atas, dapat ditengarai bahwa persoalan jilbab merupakan persoalan fiqh ijtihadiy yang banyak menyita energi para mujtahid dari berbagai disiplin ilmu agama. MUI Aceh juga telah berusaha menetapkan keputusan yang hendaknya menjadi pegangan. Meskipun jilbab mungkin bukan sesuatu yang wajib mutlak, yang mungkin dijadikan alasan bagi setiap sebagaian wanita muslim untuk tidak memakainya, tetapi ditinjau dari segi kemaslahatan bagi mereka, maka anjuran agama yang sarat dengan muatan moral itu mestinya dilaksanakan.

Perlu diingat, MUI adalah bagian dari pemerintah yang dalam Islam menduduki urutan ketiga yang harus ditaati, karena itu demi mendatangkan kemaslahatan, pemerintah, selama masih mungkin membuat peraturan-peraturan yang mendukung kemaslahatan itu. Kemaslahatan tidak akan pernah bertentangan dengan nash. Terbukti bahwa dalam masyarakat Aceh sekarang, kekuatan psikologis pelaksanaan syari’at mjerupakan daya tangkal bagi kejahatan-kejahatan terhadap kaum wanita. Bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di luar Aceh yang tingkat kejahatan dan pelecehan terhadap kaum wanita sangat tinggi, seperti di Medan misalnya.

C. Kesimpulan
Dalam masalah jilbab, faktor sosio-kultural, sosio-politis dan sebagainya, perlu menjadi pertimbangan serius dalam mengambil sebuah keputusan yang akan diberlakukan sebagai peraturan resi dalama masyarakat, sehingga doktrin agama tidak menjadi bumerang bagi masyarakat. Dalam hal ini, keputusan MUI Aceh telah tepat, MUI telah menunjukkan yang sebenarnya, tetapi untuk kepentingan umum, pemerintah dapat saja mengambil kebijakan-kebijakan untuk penguatan peraturan itu, yang meski berupa anjuran, tetapi ia mendekati wajib.

========================

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Dahlan, dkk (Editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996).

Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-Undang, Peraturan-peraturan, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur dan lain-lain Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam, Banda Aceh, 2002.

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. VIII, (Bandung: Mizan, 1998).

Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, hingga Ukhuwah, Cet. II, (Bandung: Mizan, 1994).

Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceeramah di Kampus, Cet. IX, (Bandung: Mizan, 1998).

Muhammad Hasan Muhammad, 442 Persoalan Ummat Bersama Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, Terjemahan Ibn Ibrahim, Cet. II, (Jakarta: Cendekia, 2000).

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger