Sekarang ini, mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, berbisnis dan pemerintahan. Kita semua mengakui, saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Out put Sekolah Umum dan Madrasah bahkan perguruan tinggi kadangkala tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa/mahasiswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, konsekwensinya menjadi beban masyarakat.
Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang berfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada sistem peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang terasing dari masyarakatnya.
Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan “kekuatan perubahan” yang menjadi motivasi sistem pendidikan bangsa kita. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita sendiri kita sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri. Kesulitan yang utama dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini adalah ketidakmampuannya menghadapi “sistem yang gagal” sehingga menjadi tabir bagi para profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang akan memperbaiki mutu pendidikan.
Pendidikan harus merubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus dipertanyakan. Sekolah mesti belajar untuk terbiasa berjalan dengan sumber daya yang terbatas. Para profesional pendidikan harus mampu membantu para siswa mengembangkan keterampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah memandang bahwa mutu akan meningkat bila masyarakat beredia memberikan dana yang memadai. Padahal dana bukanlah indikator yang utama dalam meningkatkan mutu pendidikan . Mutu pendidikan akan meningkat bila indikator-indikator yang menjadi motor penggerak proses pendidikan, seperti administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang berfokus pada kepemimipinan, kerja tim, kooperasi, akuntabilitas dan pengakuan.
Namun dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merarupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Pendekatan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan paradigma dan gagasan tersebut diatas adalah konsep School Based Management atau manajemen berbasis sekolah.
Tulisan ini akan menguraikan tentang gagasan manajemen pendidikan yang berbasis mutu, dengan mengemukakan peran penting indikator-indikator penggerak proses pendidikan secara konsep yang tentunya berorientasi kepada impelimentasinya, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan ke depan. Pembahasan ini melingkupi lembaga pendidikan secara umum dan juga pendidikan yang diterapkan pada Madrasah.
B. Pengertian Kualitas Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mutu adalah berkaitan dengan baik buruk suatu benda; kadar; atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya. Secara umum kualitas atau mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat. Mutu pendidikan dapat dilihat dalam dua hal, yakni mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam proses pendidikan adalah berbagai input, seperti bahan ajar, metodologi, saran sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana kondusif. Sedangkan, mutu pendidikan dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.
Pengertian kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif. Dalam konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang memebihi. Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, kualitas berarti memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their purpose). Edward dan Sallis dalam Nurkolis , mengemukakan kualitas dalam konsep relatif berhubungan dengan produsen, maka kualitas berarti sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan.
Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif, terutama berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu pelanggan internal dan eksternal. . Pendidikan berkualitas apabila :
C. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti 1) meningkatkan ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangkut kompetensi dan pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scolastik Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil portofolio (portofolio profile), 2) membentuk kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar secara kooperatif (coorperative learning), 3) menciptakan kesempatan baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap membuka sekolah pada jam-jam libur, 4) meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian prestasi akademik, 5) membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan keterampilan memperoleh pekerjaan (John Bishop, dalam Nurkholis) .
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh dalam menerapkan Total Quality Management (TQM). TQM pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh Edward Deming, Paine, dkk tahun 1982. TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan terus-menerus dimana lembaga pendidikan menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan saat ini dan dimasa yang akan datang.
TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan. Namun pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu: 1) fokus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, 2) memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas, 3) menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, 4) memiliki komitmen jangka panjang, 5) membutuhkan kerjasama tim, 6) memperbaiki proses secara berkesinambungan, 7) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, 8) memberikan kebebasan yang terkendali, 9) memiliki kesatuan tujuan, dan 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
Menurut Jerome S. Arcaro dalam pengantar bukunya menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam menimplimentasikan program peningkatan mutu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama; harus ada komitmen untuk berubah, serta anggota dewan sekolah dan para administrator mesti memperlihatkan kometmennya terhadap perubahan, kendatipun ada tantangan yang harus dihadapi. Kedua; harus memahami dengan baik di mana sekolah atau wilayahnya sekarang ini. Ketiga; harus memiliki visi masa depan yang jelas, dan semua orang disekolah atau wilayah mesti “berpegang” pada visi tersebut. Keempat; harus memiliki rencana untuk mengimplimentasikan mutu disekolah atau wilayah tersebut.
D. Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan kualitas pendidikan sangat menekankan pentingnya peranan sekolah sebagai pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan . Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu yang berbasis sekolah. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality management/school based quality improvement).
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi. Wohlstetter dalam Nurkhalis memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen kunci reformasi MBS yang terdiri dari atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan hasil yang diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 3) adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 4) tingkat kepemimpinan yang kuat dan dukungan politik serta dukungan kepemimpinan dari atas, 5) pembagunan kelembagaan (capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah, para guru, dan anggota dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam pendanaan atau pembiayaan pendidikan.
E. Model MBS Di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
E. Model MBS yang Ideal
Penerapan manajemen disektor swasta menyangkut empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi.
Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktek keorganisasian, kebijakan dan strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek
pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai suatu sistem. Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari ouput, proses dan input. Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, input sumber daya.
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan pengelolaan program, dan belajar mengajar.
F. Peran Masing-Masing Pihak dalam MBS
Pihak-pihak yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor pendidikan pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru dan orang tua siswa, dan masyarakat luas.
1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan system penilaian hasil belajar, penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman pembiayaan pendidikan, penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antara daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembentunkan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.
Peran pemerintah daerah adalah memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi-kan tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk menghasilkan mutu pembelajaran. Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1) Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri atau swasta; 2) memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh asset atau sumber daya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya; 3) melaksanakan tugas pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan . Selain itu dinas kab/kota bertugas sebagai evaluator dan innovator, motivator, standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.
2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah
Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri, menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh komponen sekolah. Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara kebijakan pemda kepada masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, dan menciptakan jalur komunikasi antara sekolah dan staf pemda.
3. Peran Kepala Sekolah
Keberhasilan suatu lembaga pendidikan sangat tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah. Karena ia merupakan pemimpin dilembaganya, maka ia harus mampu membawa lembaganya ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ia harus mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat masa depan dalam kehidupan global yang lebih baik. Kepala sekolah/madrasah harus bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan semua urusan pengaturan pengelolaan sekolah secara formal kepada atasannya atau secara informal kepada masyarakat yang telah menitipkan anaknya. Kepala sekolah sebagai seorang pendidik, administrator, leader, dan supervisor, diharapkan dengan sendirinya dapat mengelola lembaga pendidikan ke arah perkembangan yang lebih baik dan dapat menjanjikan masa depan.
Di negara maju kepala sekolah mendapat sebutan bermacam-macam. Ada yang menyebut guru kepala (head teacher atau head master), kepala sekolah (principal), kepala sekolah yang mengajar (teaching principal), kepala sekolah pernsupervisi (supervising principal), derektur (director), administrator (aministrator), pemimpin pendidikan (aducational leaderrship).
Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral. Untuk itu peran kepala sekolah adalah : sebagai evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.
Disamping enam fungsi diatas Wohlstetter dan Mohrman menyatakan bahwa kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion. Dari fungsi-fungsi di atas Mulyasa menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada guru dan staf serta para siswa.
Sebutan berbeda ini, disebabkan adanya kreteria yang mempersyaratkan kompetensi profesional kekepala-sekolahan. Sebagai administrator, kepala sekolah harus mampu mendayagunakan sumber yang tersedia secara optimal. Sebagai menajer, kepala sekolah harus mampu bekerja sama dengan orang lain dalam organisasi sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah harus mampu mengkoordinasi dan menggerakkan potensi manusia untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Sebagai supervisor, kepala sekolah harus mampu membantu guru menigkatkan kapasitasnya untuk membelajarkan murid secara optimal.
Di samping itu menurut Kyte dalam Marno dan Triyo Supriyatno , mengatakan bahwa kepala sekolah mempunyai lima fungsi utama. Pertama, bertanggungjawab atas keselamatan, kesejahteraan, dan perkembangan murid-murid yang ada dilingkungan sekolah. Kedua, bertanggungjawab atas keberhasilan dan kesejahteraan profesi guru. Ketiga, berkewajiban memberikan layanan sepenuhnya yang berharga bagi murid-murid dan guru-guru yang mungkin dilakukan melalui pengawasan resmi yang lain. Keempat, bertanggungjawab mendapatkan bantuan maksimal dari semua institusi pembantu. Kelima, bertanggungjawab untuk mempromosikan murid-murid terbaik melalui beerbagai cara.
Dari penjelasan tersebut kepala sekolah secara teoritis bertanggungjawab bagi terlaksananya pendidikan di sekolah. Namun dalam aplikasinya ada beberapa tugas pemimpin sekolah yang secara garis besarnya dapat dikelompokan dalam taksonomi, yang disebut taksonomi terintegrasi. Menurut Yuki dalam Marno dan Triyo Supriyatno menggambarkan bahwa hal tersebut meliputi:
4. Peran Para Guru
Sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas tentang guru pasal 39 ayat 2, yang memuat bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi. Pernyataan dalam ketentuan ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari keahlian dan kretria-kreteria harus dimiliki oleh seorang guru, karena guru bukan hanya trampil dalam proses melainkan juga harus memiliki figur yang bisa dijadikan contoh bagi peserta didik.
Dari segi keahlian dan keterampilan secara umum guru harus memiliki kemampuan dasar untuk menuju ke arah profesionalisme. B. Suryosubroto menyatakan bahwatugas dan peran guru sebagai tenaga profesional sesungguhnya sangat kompleks, tidak hanya terbatas pada saat berlangsungnya interaksi edukatif di dalam kelas, yang lazim disebut dengan proses belajar mengajar. Guru juga bertugas sebagai administrator, evaluator, konselor, dan lain-lain sesuai dengan sepuluh kompetensi (kemampuan) yang dimilikinya. Sepuluh kompetensi yang dimaksud adalah: (1) Menguasai bahan pelajaran, (2) Mengelola program belajar mengajar, (3) Mengelola kelas, (4) Menggunakan media atau sumber, (5) Menguasai landasa-landasan pendidikan, (6) Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar, (7) Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran, (8) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah, (9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. (10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil pendidikan guna keperluan pengajaran.
Pedagogi reflektif menunjuk tanggungjawab pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para guru hubungan personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa berlangsung (Paul Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi kinerja (terampil dalam pengelolaan pembelajaran).
5. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi para orangtua dan masyarakat. Sekolah memiliki fungsi subsider, fungsi primer pendidikan ada pada orangtua.
Menurut Cheng, ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orangtua dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school based dengan cara mengajar orangtua siswa datang kesekolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guruorangtua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home based, yaitu orangtua membantu anaknya belajar dirumah dan guru berkunjung ke rumah.
Sedangkan, peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul.
=====================
Pustaka
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Ter. Yosal Iriantara (Yogya Karta: Pustaka Pelajar, 2007) hal. 1.
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 31.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 768.
Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar (Jakarta: Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, 2002), hlm. 7.
B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 210-211.
I b i d.
Ibid., hlm. 70-71; lihat juga J.F. Senduk, Isu dan Kebijakan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado, 2006), hlm. 110.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 71.
Kartini Kartono, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 11.
Lihat Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 78-79
Daniel C. Kambey, Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), (Manado Yayasan Tri Ganesha Nusantara, 2004), hlm. 34-45).
Lihat Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, hal. X.
Soebagio Admodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Ardadizyajaya, 2000), hlm. 5-6.
Suryosubroto B, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 204-205.
Lihat Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 81.
Nurkholis, I bi d, hlm. 81-82.
Lihat Nurkholis ibid., hlm. 107; lihat juga Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar, op. cit., hlm. 3.
Ibid., hlm. 110.
Lihat Kambey, Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), hlm. 23; Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 23.
Lihat Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 111.
Lihat uraian selengkapnya dalam Nurkholis, Ibid, hal. 115-128.
Ibid., hlm. 119-122.
Imron Arifin, kepemimpinan Kepala Sekolah, (Malang: IKIP, 1998) hal, 44-45.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hal. 119-122.
Lihat E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK, hal. 19.
Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 40.
I bi d., hal. 41-43.
B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), hal. 3.
Piet Go, Pastoral Sekolah, Malang: t.p., 2000), hlm. 46.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 126.
Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang berfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada sistem peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang terasing dari masyarakatnya.
Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan “kekuatan perubahan” yang menjadi motivasi sistem pendidikan bangsa kita. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita sendiri kita sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri. Kesulitan yang utama dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini adalah ketidakmampuannya menghadapi “sistem yang gagal” sehingga menjadi tabir bagi para profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang akan memperbaiki mutu pendidikan.
Pendidikan harus merubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus dipertanyakan. Sekolah mesti belajar untuk terbiasa berjalan dengan sumber daya yang terbatas. Para profesional pendidikan harus mampu membantu para siswa mengembangkan keterampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah memandang bahwa mutu akan meningkat bila masyarakat beredia memberikan dana yang memadai. Padahal dana bukanlah indikator yang utama dalam meningkatkan mutu pendidikan . Mutu pendidikan akan meningkat bila indikator-indikator yang menjadi motor penggerak proses pendidikan, seperti administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang berfokus pada kepemimipinan, kerja tim, kooperasi, akuntabilitas dan pengakuan.
Namun dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merarupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Pendekatan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan paradigma dan gagasan tersebut diatas adalah konsep School Based Management atau manajemen berbasis sekolah.
Tulisan ini akan menguraikan tentang gagasan manajemen pendidikan yang berbasis mutu, dengan mengemukakan peran penting indikator-indikator penggerak proses pendidikan secara konsep yang tentunya berorientasi kepada impelimentasinya, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan ke depan. Pembahasan ini melingkupi lembaga pendidikan secara umum dan juga pendidikan yang diterapkan pada Madrasah.
B. Pengertian Kualitas Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mutu adalah berkaitan dengan baik buruk suatu benda; kadar; atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya. Secara umum kualitas atau mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat. Mutu pendidikan dapat dilihat dalam dua hal, yakni mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam proses pendidikan adalah berbagai input, seperti bahan ajar, metodologi, saran sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana kondusif. Sedangkan, mutu pendidikan dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.
Pengertian kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif. Dalam konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang memebihi. Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, kualitas berarti memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their purpose). Edward dan Sallis dalam Nurkolis , mengemukakan kualitas dalam konsep relatif berhubungan dengan produsen, maka kualitas berarti sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan.
Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif, terutama berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu pelanggan internal dan eksternal. . Pendidikan berkualitas apabila :
- Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah) berkembang baik fisik maupun psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan kreatifitasnya.
- Pelanggan eksternal :
- Eksternal primer (para siswa): menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang baik dalam bahasa nasional maupun internasional, punya keterampilan teknologi untuk lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, integritas pribadi, pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, menjadi warga negara yang bertanggungjawab . Para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab akan hidupnya.
- Eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan); para lulusan dapat memenuhi harapan orang tua, pemerintah dan pemimpin perusahan dalam hal menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan.
- Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas); para lulusan memiliki kompetensi dalam dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
C. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti 1) meningkatkan ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangkut kompetensi dan pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scolastik Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil portofolio (portofolio profile), 2) membentuk kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar secara kooperatif (coorperative learning), 3) menciptakan kesempatan baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap membuka sekolah pada jam-jam libur, 4) meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian prestasi akademik, 5) membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan keterampilan memperoleh pekerjaan (John Bishop, dalam Nurkholis) .
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh dalam menerapkan Total Quality Management (TQM). TQM pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh Edward Deming, Paine, dkk tahun 1982. TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan terus-menerus dimana lembaga pendidikan menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan saat ini dan dimasa yang akan datang.
TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan. Namun pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu: 1) fokus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, 2) memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas, 3) menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, 4) memiliki komitmen jangka panjang, 5) membutuhkan kerjasama tim, 6) memperbaiki proses secara berkesinambungan, 7) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, 8) memberikan kebebasan yang terkendali, 9) memiliki kesatuan tujuan, dan 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
Menurut Jerome S. Arcaro dalam pengantar bukunya menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam menimplimentasikan program peningkatan mutu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama; harus ada komitmen untuk berubah, serta anggota dewan sekolah dan para administrator mesti memperlihatkan kometmennya terhadap perubahan, kendatipun ada tantangan yang harus dihadapi. Kedua; harus memahami dengan baik di mana sekolah atau wilayahnya sekarang ini. Ketiga; harus memiliki visi masa depan yang jelas, dan semua orang disekolah atau wilayah mesti “berpegang” pada visi tersebut. Keempat; harus memiliki rencana untuk mengimplimentasikan mutu disekolah atau wilayah tersebut.
D. Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan kualitas pendidikan sangat menekankan pentingnya peranan sekolah sebagai pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan . Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu yang berbasis sekolah. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality management/school based quality improvement).
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi. Wohlstetter dalam Nurkhalis memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen kunci reformasi MBS yang terdiri dari atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan hasil yang diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 3) adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 4) tingkat kepemimpinan yang kuat dan dukungan politik serta dukungan kepemimpinan dari atas, 5) pembagunan kelembagaan (capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah, para guru, dan anggota dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam pendanaan atau pembiayaan pendidikan.
E. Model MBS Di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
E. Model MBS yang Ideal
Penerapan manajemen disektor swasta menyangkut empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi.
Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktek keorganisasian, kebijakan dan strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek
pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai suatu sistem. Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari ouput, proses dan input. Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, input sumber daya.
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan pengelolaan program, dan belajar mengajar.
F. Peran Masing-Masing Pihak dalam MBS
Pihak-pihak yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor pendidikan pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru dan orang tua siswa, dan masyarakat luas.
1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan system penilaian hasil belajar, penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman pembiayaan pendidikan, penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antara daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembentunkan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.
Peran pemerintah daerah adalah memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi-kan tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk menghasilkan mutu pembelajaran. Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1) Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri atau swasta; 2) memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh asset atau sumber daya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya; 3) melaksanakan tugas pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan . Selain itu dinas kab/kota bertugas sebagai evaluator dan innovator, motivator, standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.
2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah
Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri, menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh komponen sekolah. Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara kebijakan pemda kepada masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, dan menciptakan jalur komunikasi antara sekolah dan staf pemda.
3. Peran Kepala Sekolah
Keberhasilan suatu lembaga pendidikan sangat tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah. Karena ia merupakan pemimpin dilembaganya, maka ia harus mampu membawa lembaganya ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ia harus mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat masa depan dalam kehidupan global yang lebih baik. Kepala sekolah/madrasah harus bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan semua urusan pengaturan pengelolaan sekolah secara formal kepada atasannya atau secara informal kepada masyarakat yang telah menitipkan anaknya. Kepala sekolah sebagai seorang pendidik, administrator, leader, dan supervisor, diharapkan dengan sendirinya dapat mengelola lembaga pendidikan ke arah perkembangan yang lebih baik dan dapat menjanjikan masa depan.
Di negara maju kepala sekolah mendapat sebutan bermacam-macam. Ada yang menyebut guru kepala (head teacher atau head master), kepala sekolah (principal), kepala sekolah yang mengajar (teaching principal), kepala sekolah pernsupervisi (supervising principal), derektur (director), administrator (aministrator), pemimpin pendidikan (aducational leaderrship).
Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral. Untuk itu peran kepala sekolah adalah : sebagai evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.
Disamping enam fungsi diatas Wohlstetter dan Mohrman menyatakan bahwa kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion. Dari fungsi-fungsi di atas Mulyasa menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada guru dan staf serta para siswa.
Sebutan berbeda ini, disebabkan adanya kreteria yang mempersyaratkan kompetensi profesional kekepala-sekolahan. Sebagai administrator, kepala sekolah harus mampu mendayagunakan sumber yang tersedia secara optimal. Sebagai menajer, kepala sekolah harus mampu bekerja sama dengan orang lain dalam organisasi sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah harus mampu mengkoordinasi dan menggerakkan potensi manusia untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Sebagai supervisor, kepala sekolah harus mampu membantu guru menigkatkan kapasitasnya untuk membelajarkan murid secara optimal.
Di samping itu menurut Kyte dalam Marno dan Triyo Supriyatno , mengatakan bahwa kepala sekolah mempunyai lima fungsi utama. Pertama, bertanggungjawab atas keselamatan, kesejahteraan, dan perkembangan murid-murid yang ada dilingkungan sekolah. Kedua, bertanggungjawab atas keberhasilan dan kesejahteraan profesi guru. Ketiga, berkewajiban memberikan layanan sepenuhnya yang berharga bagi murid-murid dan guru-guru yang mungkin dilakukan melalui pengawasan resmi yang lain. Keempat, bertanggungjawab mendapatkan bantuan maksimal dari semua institusi pembantu. Kelima, bertanggungjawab untuk mempromosikan murid-murid terbaik melalui beerbagai cara.
Dari penjelasan tersebut kepala sekolah secara teoritis bertanggungjawab bagi terlaksananya pendidikan di sekolah. Namun dalam aplikasinya ada beberapa tugas pemimpin sekolah yang secara garis besarnya dapat dikelompokan dalam taksonomi, yang disebut taksonomi terintegrasi. Menurut Yuki dalam Marno dan Triyo Supriyatno menggambarkan bahwa hal tersebut meliputi:
- Merencanakan dan mengorganisasikan (planning and organizing), menentukan sarana-sarana dan strategi-strategi jungka panjang, mengalokasikan sumber-sumber daya sesuai dengan prioritas-prioritas, menentukan cara menggunakan personil dan sumber-sumber daya untuk menghasilkan efesiensi tugas, dan menentukan cara memperbaikan koordinasi produktivitas serta efektivitas unit organisasi.
- Memecahkan masalah (problem solving), mengidentifikasikan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, menganalisis masalah pada waktu yang tepat namun dengan cara yang sistematis untuk mengindentifikasi sebab-sebab dan mencari pemecahan, dan bertindak secara tegas untuk mengimplimentasikan solusi-solusi untuk memecahkan masalah-masalah atau krisis-krisis penting.
- Menjelaskan peran dan sasaran (clarifying roles and objectives), membagi-bagi tugas, memberikan arahan tentang melakukan pekerjaan tersebut, dan mengkomunikasikan tentang pengertian yang jelas mengenai tanggungjawab akan pekerjaan dan sasaran tugas, batas waktu, serta memberi harapan mengenai kinerja.
- Memberi informasi (informing), membagi-bagi informasi yang relevan tentang keputusan, rencana, dan kegiatan-kegiatan kepada orang yang membutuhkannya agar dapat melakukan pekerjaannya, memberi materi dan dokumen tertulis, dan menjawab permintaan dan informasi teknis.
- Memantau (monitoring), mengumpulkan informasi tentang kegiatan kerja dan kondisi eksternal yang mempengaruhi pekerjaan tersebut, memeriksa kemajuan dan kualitas pekerjaan, megevaluasi kinerja para individu dan unit-unit organisasi, meganalisis kecenderungan –kecenderungan(trend), dan meramalkan peristiwa-peristiwa eksternal.
- Memotivasi dan memberi inspirasi (motivating and inspiring), dengan menggunakan teknik-teknik mempengaruhi yang menarik emosi dan logika untuk menimbulkan semangat terhadap pekerjaan, komitmen terhadap sasaran tugas, dan patuh terhadap permintaan-permintaan akan kerjasama, bantuan, dukungan atau sumber-sumber daya, menetapkan suatu contoh mengenai prilaku yang sesuai.
- Mendelegasikan (delegeting), mengijinkan para bawahan untuk mempunyai tanggung jawab yang subtansial dan kebijakan-kebijakan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kerja, menangani masalah dan membuat keputusan yang penting.
- Memberi dukungan (supporting), bertindak ramah dan penuh perhatian, sabar dan membantu, memperlihatkan simpati dalam dukungan jika seseorang bingung dan cemas, mendengarkan keluhan dan masalah, mencari minat seseorang.
- Mengembangkan dan membimbing (developping and mentoring), memberi pelatihan dan karier yang membantu , dan melakukan hal-hal yang membantu perolehan keterampilan seseorang, pengembangan profesional, dan kemajuan karier.
- Mengelola konflik dan membangun tim (managing conflict and team building), memudahkan pemecahan konflik yang konstruktif, dan mendorong kooperasi, kerjasama tim, dan identifikasi dengan unit kerja.
- Membangun jaringan kerja (networking), bersosialisasi secara informal, mengembangkan kontak-kontak dengan orang yang merupakan sumber informasi dan dukungan, dan mempertahankan kontak-kontak melalui interaksi secara periodik, termasuk kunjungan, menelepon, korespondensi, dan kehadiran pada pertemuan-pertemuan serta peristiwa-peristiwa sosial.
- Pengakuan (recognizing), memberi pujian dan pengakuan bagi kinerja yang efektif, keberhasilan yang signifikan, konstribusi khusus, mengungkapkan penghargaan terhadap kontribusi dan upaya-upaya khusus seseorang.
- Memberi imbalan (rewarding), memberi atau merekomendasikan imbalan-imbalan yang nyata seperti penambahan gaji atau promosi bagi yang kinerja yang efektif keberhasilan yang signifikan dan kompetensi yang terlihat.
4. Peran Para Guru
Sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas tentang guru pasal 39 ayat 2, yang memuat bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi. Pernyataan dalam ketentuan ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari keahlian dan kretria-kreteria harus dimiliki oleh seorang guru, karena guru bukan hanya trampil dalam proses melainkan juga harus memiliki figur yang bisa dijadikan contoh bagi peserta didik.
Dari segi keahlian dan keterampilan secara umum guru harus memiliki kemampuan dasar untuk menuju ke arah profesionalisme. B. Suryosubroto menyatakan bahwatugas dan peran guru sebagai tenaga profesional sesungguhnya sangat kompleks, tidak hanya terbatas pada saat berlangsungnya interaksi edukatif di dalam kelas, yang lazim disebut dengan proses belajar mengajar. Guru juga bertugas sebagai administrator, evaluator, konselor, dan lain-lain sesuai dengan sepuluh kompetensi (kemampuan) yang dimilikinya. Sepuluh kompetensi yang dimaksud adalah: (1) Menguasai bahan pelajaran, (2) Mengelola program belajar mengajar, (3) Mengelola kelas, (4) Menggunakan media atau sumber, (5) Menguasai landasa-landasan pendidikan, (6) Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar, (7) Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran, (8) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah, (9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. (10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil pendidikan guna keperluan pengajaran.
Pedagogi reflektif menunjuk tanggungjawab pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para guru hubungan personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa berlangsung (Paul Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi kinerja (terampil dalam pengelolaan pembelajaran).
5. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi para orangtua dan masyarakat. Sekolah memiliki fungsi subsider, fungsi primer pendidikan ada pada orangtua.
Menurut Cheng, ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orangtua dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school based dengan cara mengajar orangtua siswa datang kesekolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guruorangtua dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home based, yaitu orangtua membantu anaknya belajar dirumah dan guru berkunjung ke rumah.
Sedangkan, peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul.
=====================
Pustaka
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Ter. Yosal Iriantara (Yogya Karta: Pustaka Pelajar, 2007) hal. 1.
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 31.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 768.
Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar (Jakarta: Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, 2002), hlm. 7.
B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 210-211.
I b i d.
Ibid., hlm. 70-71; lihat juga J.F. Senduk, Isu dan Kebijakan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado, 2006), hlm. 110.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 71.
Kartini Kartono, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 11.
Lihat Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 78-79
Daniel C. Kambey, Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), (Manado Yayasan Tri Ganesha Nusantara, 2004), hlm. 34-45).
Lihat Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, hal. X.
Soebagio Admodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Ardadizyajaya, 2000), hlm. 5-6.
Suryosubroto B, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 204-205.
Lihat Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 81.
Nurkholis, I bi d, hlm. 81-82.
Lihat Nurkholis ibid., hlm. 107; lihat juga Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar, op. cit., hlm. 3.
Ibid., hlm. 110.
Lihat Kambey, Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), hlm. 23; Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 23.
Lihat Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 111.
Lihat uraian selengkapnya dalam Nurkholis, Ibid, hal. 115-128.
Ibid., hlm. 119-122.
Imron Arifin, kepemimpinan Kepala Sekolah, (Malang: IKIP, 1998) hal, 44-45.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hal. 119-122.
Lihat E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK, hal. 19.
Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 40.
I bi d., hal. 41-43.
B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), hal. 3.
Piet Go, Pastoral Sekolah, Malang: t.p., 2000), hlm. 46.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, hlm. 126.
0 comments:
Post a Comment