Dalam melakukan aktifitas ekonomi, masyarakat muslim sejak dahulu hingga sekarang sering menemui atau muncul masalah yaitu riba. Dipandang menjadi masalah karena riba secara normative merupakan hal yang dilarang agama dan secara aplikatif ternyata mensengsarakan satu pihak dan menyenangkan pihak yang lain. Oleh karena itu al Quran, bagi masyarakat muslim harus diposisikan sebagai landasan berpijak untuk menjawab dan menyelesaikan masalah riba tersebut.
Dalam makalah ini, penulis berusaha memecahkan masalah tersebut dengan memposisikan al Quran sebagai landasan berpijak dengan cara menggali pengertian dan tahap-tahap pengaharaman riba dalam al Quran melalui sebab-sebab turunnya ayat yang membahas riba, kemudian membandingkan antara riba dengan interst.
B. Pengertian Riba
Mengenai pengertian riba , kita menjumpai bermacam-macam pendapat, baik dari kalangan fuqaha maupun ulama yang pada prinsipnya dapat digolongkan dalam dua hal yaitu pengertian riba secara bahasa dan pengertian riba secara istilah.
Secara bahasa riba berasal dari akar kata r-b-w, artinya bertambah atau berlebih, bertumbuh atau berkembang. Maksud perkataan tersebut adalah suatu keuntungan tertentu yang diperoleh seorang debitur dari kreditur, dan juga dapat berarti tambahan, maksudnya adalah tambahan atas pokok harta, baik itu sedikit maupun banyak.
Sedangkan secara istilah, riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil, artinya bahwa dengan adanya transaksi bisnis yang dibenarkan syariah seperti jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek maka penambahan harta itu adalah halal atau jauh dari riba. Dengan demikian berkembangnya harta adalah adanya factor orang yang menjalankan dan mengusahakannya bukan dengan sendirinya karena factor waktu semata.
C. Proses Pengharaman Riba dan Asbabun Nuzulnya
Penetapan dan penerapan hukum Islam kepada umatnya dilakukan secara berangsur-angsur, hal ini dimaksudkan agar umat Islam tidak merasa keberatan untuk melaksanakannya, demikian pula halnya dengan pengharaman riba. Ia diturunkan dalam empat tahapan yaitu :
1. Tahap pertama, firman Allah dalam surat al Rum ayat 39 :
Ayat diatas diturunkan di Mekkah yang menurut dzahirnya tidak terdapat isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba, tapi hanya kemurkaan Allah terhadap riba itu dimana dinyatakan bahwa riba itu tidak ada pahalanya di sisi Allah sedikitpun.
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa pada ayat diatas, riba dinegasikan pengertiannya denngan zakat. Riba tidak menambah dalam pandangan Allah tapi hanya menambah harta pokok seseorang, sedangkan zakat walaupun mengurangi harta seseorang yang berlebih yaitu ketika masih ada orang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup maka zakat memberikan nilai tambah pada amalan seseorang dan bahkan solusi bukannya meminjamkan uang dengan harapan memungut tambahan di waktu pengembaliannya. Hal itu dijelaskan dalam surat al Rum ayat 38.
2. Tahap kedua, firman Allah dalam surat an Nisa’ ayat 160 - 161
Ayat diatas diturunkan di Madinah dan pelajaran yang dikisahkan oleh Alah kepada kita tentang prilaku orang Yahudi yang dilarang melakukan riba, namun mereka melanggarnya dan bahkan menghalalkan. Sebagai konsekuensinya mereka mendapat laknat dan murka dari Allah.
Larangan dalam ayat ini baru berbentuk isyarat, belum secara terang-terangan sebab baru merupakan kisah Yahudi dan bukan merupakan dalil qath’I bahwa riba itu diharamkan atas orang-orang Islam.
3. Tahap ketiga, firman Allah dalam surat al Imran ayat 130 :
Ayat di atas diturunkan di Madinah dan sudah merupakan larangan secara tegas, tetapi larangan ( haramnya ) riba disini baru bersifat juz’i (sebagian ) dan belum bersifat kully ( menyeluruh ). Karena haramnya di sini adalah suatu macam dari riba yaitu riba yang paling keji, artinya suatu bentuk riba dimana utang itu dapat berlipat ganda yang diperbuat oeh orang yang berpiutang pada hal orang berutang dalam keadaan butuh dan terpaksa.
Menurut riwayat yang ada, bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan keluarga Saqif yang memberi utang kepada Bani Mughirah, ketika tiba waktu pembayaran , Bani Mughirah berkata : “kami akan menambah hartamu dan berilah tangguh / tenggang waktu pembayaran utang kami”.
4. Tahap keempat, firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 275 :
Ada beberapa hal yang yang dijelaskan dalam ayat ini , Pertama, transaksi jual beli itu tidak sama denngan riba. Kedua, perdagangan itu dihalalkan sedangkan riba diharamkan, Ketiga, mereka yang telah mendengar ayat larangan riba maka segera berhenti atau meninggalkan tanpa mengembalikan riba yang telah terlanjur dilakukan.
Ayat selanjutnya menjelaskan sekaligus menegaskan hukum riba itu, seperti tercantum pada ayat 276, 277 dan 278 surat al Baqarah :
Dari ayat diatas, riba telah diharamkan secara menyeluruh (kully) dimana pada tahap ini al Quran sudah tidak lagi membedakan riba yang banyak atau yang sedikit. Dan ayat ini merupakan ayat terakhir turunnya, yang berarti merupakan ayat syari’at yang terakhir pula yaitu yang terdapat dalam surat al Baqarah ayat 278. Ayat ini merupakan tahap terakhir tentang haramnya riba.
Selanjutnya terdapat keterangan yang menyangkut hak orang yang memberikan utang dan bagaimana sikap yang harus diambil jika hak orang tersebut terancam, seperti yang dijelaskan pada surat al Baqarah ayat 279 – 280 :
Dari kedua ayat diatas, al Quran menyatakan adanya hak orang yang memberi utang , yaitu mendapatkan utang pokoknya, dan jika orang yang menerima utang sedang mengalami kesulitan membayar maka hendaklah yang memberi utang dapat memberikan keringanan yaitu memberi waktu tangguh pembayaran, tapi jika yang berutang memang benar-benar mengalami kesulitan maka jalan yang terbaik menganggap utang itu sebagai sedekah.
D. Riba dan Interest
Bahwa larangan riba oleh al Quran seperti yang kita paparkan diatas dapat dipahami hikmah dibalik pengharamannya, yaitu bahwa praktik riba dalam sistem sosial ekonomi adalah kejam dimana keuntungan yang diperoleh melalui pembebanan (tangguhan) bunga pinjaman yang mencerminkan tindakan eksploitatif terhadap pihak yang secara ekonomi lemah oleh kekuatan dan kelicikan serta tujuan akhir yang hendak dicapai dari riba adalah tindakan amoral.
Kejam dan amoralnya praktek ribawi itu maka sangat wajar jika dalam Kode Hukum Musa ( Perjanjian Lama ) melarang kegiatan itu, begitu pun juga di Yunani dimana riba disebut dengan rokos , yaitu sesuatu yang dilahirkan oleh suatu makhluk organic. Uang kata Aristoteles, adalah obyek yang bukan tergolong organic, oleh karena itu uang tidak bisa beranak. Lebih lanjut filosof itu mengatakan bahwa barang siapa meminta bayaran dari meminjamkan uang maka tindakannya dinilai bertentangan dengan hukum alam. Hal yang sama juga beraku bagi kaum kristiani dimana di dalam al Kitab Injil ( Lukas VI ; 35 ) tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari meminjamkan emas dan logam mulia lainnya, yakni dari semua obyek yang tidak bisa beranak.
Namun pada abad ke 11 dimana orang – orang Yahudi, sebagai bangsa yang tidak bertanah air di desak oleh orang Eropa untuk meninggalkan usaha perdagangan, yang dikarenakan kecemburuan orang Eropa atas kemajuan usaha dagang orang Yahudi. Oleh karena itu, orang Yahudi mulai mengubah profesi mereka sebagai pembunga uang dan berhasil sampai sekarang ini, dan kemudian disusul orang Italia dari keluarga Katolik yaitu Lambordia dan Cahorsia, meski awalnya dikutuk oleh masyarakat namun akhirnya mendapat penghormatan yang tinggi dari kalangan bangsawan bahkan dari gereja sendiri.
Dalam perkembangan mengenai bunga sampai saat ini, ia dibolehkan untuk diambil karena dengan alasan abstinence, yaitu bahwa kreditur menahan diri (abstinence) dalam arti menangguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain, sehingga debitur dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya. Namun kenyataan secara factual bahwa kreditur hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia perlukan, dengan demikian sebenarnya kreditur tidak menahan diri atas apa pun sehingga konsekuensinya tentu ia tidak boleh menuntut imbalan atas hal yang tidak dilakukannya tersebut.
Selain alasan diatas adalah alasan sewa, bahwa kreditur meminjamkan uangnya kepada debitur, sehingga wajar jika debitur membayar sewa atas uang itu. Perlu diketahui bahwa karekteristik uang berbeda dengan barang yang lain yang mempunyai daya susut, rusak dan memerlukan biaya perawatan, sehingga pengambilan sewa atas uang yang dipinjamkan adalah tidak wajar atau dilarang.
Dengan demikian praktek membungakan uang (interest) sama dengan prakrek ribawi yaitu diharamkan oleh syari’at.
Dalam makalah ini, penulis berusaha memecahkan masalah tersebut dengan memposisikan al Quran sebagai landasan berpijak dengan cara menggali pengertian dan tahap-tahap pengaharaman riba dalam al Quran melalui sebab-sebab turunnya ayat yang membahas riba, kemudian membandingkan antara riba dengan interst.
B. Pengertian Riba
Mengenai pengertian riba , kita menjumpai bermacam-macam pendapat, baik dari kalangan fuqaha maupun ulama yang pada prinsipnya dapat digolongkan dalam dua hal yaitu pengertian riba secara bahasa dan pengertian riba secara istilah.
Secara bahasa riba berasal dari akar kata r-b-w, artinya bertambah atau berlebih, bertumbuh atau berkembang. Maksud perkataan tersebut adalah suatu keuntungan tertentu yang diperoleh seorang debitur dari kreditur, dan juga dapat berarti tambahan, maksudnya adalah tambahan atas pokok harta, baik itu sedikit maupun banyak.
Sedangkan secara istilah, riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil, artinya bahwa dengan adanya transaksi bisnis yang dibenarkan syariah seperti jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek maka penambahan harta itu adalah halal atau jauh dari riba. Dengan demikian berkembangnya harta adalah adanya factor orang yang menjalankan dan mengusahakannya bukan dengan sendirinya karena factor waktu semata.
C. Proses Pengharaman Riba dan Asbabun Nuzulnya
Penetapan dan penerapan hukum Islam kepada umatnya dilakukan secara berangsur-angsur, hal ini dimaksudkan agar umat Islam tidak merasa keberatan untuk melaksanakannya, demikian pula halnya dengan pengharaman riba. Ia diturunkan dalam empat tahapan yaitu :
1. Tahap pertama, firman Allah dalam surat al Rum ayat 39 :
وما ءاتيتم من ربا ليربوا في امول الناس فلا يربوا عند الله وما ءاتيتم من زكوه تريدون وجه الله فاوليك هم المضعفون
Ayat diatas diturunkan di Mekkah yang menurut dzahirnya tidak terdapat isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba, tapi hanya kemurkaan Allah terhadap riba itu dimana dinyatakan bahwa riba itu tidak ada pahalanya di sisi Allah sedikitpun.
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa pada ayat diatas, riba dinegasikan pengertiannya denngan zakat. Riba tidak menambah dalam pandangan Allah tapi hanya menambah harta pokok seseorang, sedangkan zakat walaupun mengurangi harta seseorang yang berlebih yaitu ketika masih ada orang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup maka zakat memberikan nilai tambah pada amalan seseorang dan bahkan solusi bukannya meminjamkan uang dengan harapan memungut tambahan di waktu pengembaliannya. Hal itu dijelaskan dalam surat al Rum ayat 38.
2. Tahap kedua, firman Allah dalam surat an Nisa’ ayat 160 - 161
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبت احلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا - واخذهم الربوا وقد نهوا عنه واكلهم امول الناس بالبطل واعتدنا للكفرين منهم عذابا اليما
Ayat diatas diturunkan di Madinah dan pelajaran yang dikisahkan oleh Alah kepada kita tentang prilaku orang Yahudi yang dilarang melakukan riba, namun mereka melanggarnya dan bahkan menghalalkan. Sebagai konsekuensinya mereka mendapat laknat dan murka dari Allah.
Larangan dalam ayat ini baru berbentuk isyarat, belum secara terang-terangan sebab baru merupakan kisah Yahudi dan bukan merupakan dalil qath’I bahwa riba itu diharamkan atas orang-orang Islam.
3. Tahap ketiga, firman Allah dalam surat al Imran ayat 130 :
يايها الذين ءامنوا لا تاكلوا الربوا اضعفا مضعفه واتقوا الله لعلكم تفلحون
Ayat di atas diturunkan di Madinah dan sudah merupakan larangan secara tegas, tetapi larangan ( haramnya ) riba disini baru bersifat juz’i (sebagian ) dan belum bersifat kully ( menyeluruh ). Karena haramnya di sini adalah suatu macam dari riba yaitu riba yang paling keji, artinya suatu bentuk riba dimana utang itu dapat berlipat ganda yang diperbuat oeh orang yang berpiutang pada hal orang berutang dalam keadaan butuh dan terpaksa.
Menurut riwayat yang ada, bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan keluarga Saqif yang memberi utang kepada Bani Mughirah, ketika tiba waktu pembayaran , Bani Mughirah berkata : “kami akan menambah hartamu dan berilah tangguh / tenggang waktu pembayaran utang kami”.
4. Tahap keempat, firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 275 :
الذين ياكلون الربوا لا يقومون الا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطن من المس ذلك بانهم قالوا انما البيع مثل الربوا واحل الله البيع وحرم الربوا فمن جاءه موعظه من ربه فانتهي فله ما سلف وامره الي الله ومن عاد فاوليك اصحب النار هم فيها خلدون
Ada beberapa hal yang yang dijelaskan dalam ayat ini , Pertama, transaksi jual beli itu tidak sama denngan riba. Kedua, perdagangan itu dihalalkan sedangkan riba diharamkan, Ketiga, mereka yang telah mendengar ayat larangan riba maka segera berhenti atau meninggalkan tanpa mengembalikan riba yang telah terlanjur dilakukan.
Ayat selanjutnya menjelaskan sekaligus menegaskan hukum riba itu, seperti tercantum pada ayat 276, 277 dan 278 surat al Baqarah :
يمحق الله الربوا ويربي الصدقت والله لا يحب كل كفار اثيم - ان الذين ءامنوا وعملوا الصلحت واقاموا الصلوه وءاتوا الزكوه لهم اجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون - يايها الذين ءامنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربوا ان كنتم مومنين
Dari ayat diatas, riba telah diharamkan secara menyeluruh (kully) dimana pada tahap ini al Quran sudah tidak lagi membedakan riba yang banyak atau yang sedikit. Dan ayat ini merupakan ayat terakhir turunnya, yang berarti merupakan ayat syari’at yang terakhir pula yaitu yang terdapat dalam surat al Baqarah ayat 278. Ayat ini merupakan tahap terakhir tentang haramnya riba.
Selanjutnya terdapat keterangan yang menyangkut hak orang yang memberikan utang dan bagaimana sikap yang harus diambil jika hak orang tersebut terancam, seperti yang dijelaskan pada surat al Baqarah ayat 279 – 280 :
فان لم تفعلوا فاذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس امولكم لا تظلمون ولا تظلمون -
وان كان ذو عسره فنظره الي ميسره وان تصدقوا خير لكم ان كنتم تعلمون
Dari kedua ayat diatas, al Quran menyatakan adanya hak orang yang memberi utang , yaitu mendapatkan utang pokoknya, dan jika orang yang menerima utang sedang mengalami kesulitan membayar maka hendaklah yang memberi utang dapat memberikan keringanan yaitu memberi waktu tangguh pembayaran, tapi jika yang berutang memang benar-benar mengalami kesulitan maka jalan yang terbaik menganggap utang itu sebagai sedekah.
D. Riba dan Interest
Bahwa larangan riba oleh al Quran seperti yang kita paparkan diatas dapat dipahami hikmah dibalik pengharamannya, yaitu bahwa praktik riba dalam sistem sosial ekonomi adalah kejam dimana keuntungan yang diperoleh melalui pembebanan (tangguhan) bunga pinjaman yang mencerminkan tindakan eksploitatif terhadap pihak yang secara ekonomi lemah oleh kekuatan dan kelicikan serta tujuan akhir yang hendak dicapai dari riba adalah tindakan amoral.
Kejam dan amoralnya praktek ribawi itu maka sangat wajar jika dalam Kode Hukum Musa ( Perjanjian Lama ) melarang kegiatan itu, begitu pun juga di Yunani dimana riba disebut dengan rokos , yaitu sesuatu yang dilahirkan oleh suatu makhluk organic. Uang kata Aristoteles, adalah obyek yang bukan tergolong organic, oleh karena itu uang tidak bisa beranak. Lebih lanjut filosof itu mengatakan bahwa barang siapa meminta bayaran dari meminjamkan uang maka tindakannya dinilai bertentangan dengan hukum alam. Hal yang sama juga beraku bagi kaum kristiani dimana di dalam al Kitab Injil ( Lukas VI ; 35 ) tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari meminjamkan emas dan logam mulia lainnya, yakni dari semua obyek yang tidak bisa beranak.
Namun pada abad ke 11 dimana orang – orang Yahudi, sebagai bangsa yang tidak bertanah air di desak oleh orang Eropa untuk meninggalkan usaha perdagangan, yang dikarenakan kecemburuan orang Eropa atas kemajuan usaha dagang orang Yahudi. Oleh karena itu, orang Yahudi mulai mengubah profesi mereka sebagai pembunga uang dan berhasil sampai sekarang ini, dan kemudian disusul orang Italia dari keluarga Katolik yaitu Lambordia dan Cahorsia, meski awalnya dikutuk oleh masyarakat namun akhirnya mendapat penghormatan yang tinggi dari kalangan bangsawan bahkan dari gereja sendiri.
Dalam perkembangan mengenai bunga sampai saat ini, ia dibolehkan untuk diambil karena dengan alasan abstinence, yaitu bahwa kreditur menahan diri (abstinence) dalam arti menangguhkan keinginannya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain, sehingga debitur dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya. Namun kenyataan secara factual bahwa kreditur hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia perlukan, dengan demikian sebenarnya kreditur tidak menahan diri atas apa pun sehingga konsekuensinya tentu ia tidak boleh menuntut imbalan atas hal yang tidak dilakukannya tersebut.
Selain alasan diatas adalah alasan sewa, bahwa kreditur meminjamkan uangnya kepada debitur, sehingga wajar jika debitur membayar sewa atas uang itu. Perlu diketahui bahwa karekteristik uang berbeda dengan barang yang lain yang mempunyai daya susut, rusak dan memerlukan biaya perawatan, sehingga pengambilan sewa atas uang yang dipinjamkan adalah tidak wajar atau dilarang.
Dengan demikian praktek membungakan uang (interest) sama dengan prakrek ribawi yaitu diharamkan oleh syari’at.
0 comments:
Post a Comment