Filsafat Mengenai Hukum dan Keadilan

1. Konsep Keadilan
Berbicara mengenai keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli. Salah satunya adalah Plato. Muslehuddin di dalam bukunya Philosophy of Islamic Law and Orientalists, menyebutkan pandangan Plato sebagai berikut:

In his view, justice consists in a harmonious relation, between the various parts of the social organism. Every citizen must do his duty in his appointed place and do the thing for which his nature is best suited (Muslehuddin, 1986 : 42).

Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh eita-eita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.
Pendapat Plato tersebut merupakan pernyataan kelas, maka keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing dan tidak boleh mencampuri urusan anggota kelas lain. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat di mana dan situasi bagaimana yang cocok untuk seseorang. Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, tetapi manusia adalah jiwa yang terikat dengan peraturan dan tatanan universal yang harus menundukkan keinginan pribadinya kepada organik kolektif.
Dari sini terkesan pemahaman bahwa, keadilan dalam konsep Plato sangat terkait dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat. 1dealisme keadilan akan tereapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-rnasing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diemban, selanjutnya tidak dapat meneampuri urusan dan tugas kelompok lain. Kesan lainnya adalah Plato membentuk manusia dalam kotak-kotak kelompok (rasis), peran suatu kelompok tidak dapat menyeberang ke kelompok lain. Keadilan hanya akan terwujud manakala manusia menyadari status sosial dan tugasnya sebagai delegasi kelompoknya sendiri.
Lain halnya dengan Aristoteles, menurutnya keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles keadilan dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang (Muslehuddin, 1991: 36).
Aristoteles dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang (materi).
Pandangan Aristoteles tersebut di satu sisi ditolak oleh seorang filsuf Kontemporer William K. Frankena, pandangan Aristoteles tentang keadilan sebagai pembagian sama rata adalah sisi yang ditolak, sedangkan pandangan yang diterima Frankena adalah keadilan merupakan distribusi barang, akan tetapi distribusi yang adil bukan hanya distribusi sama rata, akan tetapi berbeda dalam keadaan tertentu juga merupakan keadilan, Pendapat Frankena selengkapnya sebagaimana dikutip Feinberg:

Like most other writers, Frankena begins accepting Aristotle's formal principle of justice, that relevantly similar cases should be treated similarly, but Frankena devotes more attention than Aristotles did to the selection of a material principle of distribution. He agrees with Aristotle that the essence of distributive of injustice is arbitrary discrimination between relevantly similar cases, but disagree over which characteristics are relevantly similar and which discriminations are arbitrary, aligning himself with Aristotle old adversaries, the equalitarian democrats (Feinberg (ed)., 1975: 214).

Sedangkan Herbert Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan. Setiap orang bebas melakukan apa yang ia inginkan asal tidak mengganggu orang lain (Muslehuddin, 199 1: 36). Pandangan ini sangat kontras bila dihadapkan dengan pandangan Plato. Kebebasan individualis adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh Plato, sementara Herbert Spencer sebaliknya, keadilan justru berangkat dari kebebasan individu. Sedangkan kesamaannya terletak pada pengertian tidak dapat mengganggu kepentingan orang lain. Artinya, kebebasan individu yang ditawarkan oleh Spencer tetap pada asumsi bahwa manusia hidup berdampingan dengan manusia lain, sehingga setiap tindakan harus mengacu pada dua pertimbangan, yaitu pertimbangan kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain sebagai bentuk perhatian kolektif.
Kelsen adalah tokoh yang berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan menjadi dua pola dasar, Rasional dan Metafisik. Tipe rasional sebagai tipe yang berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefinisikannya dalam suatu pola ilmiah atau quasiilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan tipe rasional berlandaskan pada akal. Pola ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan tipe Metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain di balik pengalaman manusia. Pola ini diwakili oleh Plato. Dalam pandangan Dewey keadilan tidak dapat didefinisikan, ia merupakan idealisme yang tidak rasional (Muslehuddin, 1991: 37).
Menurut John Rawls kebebasan dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Rawls menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaam seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu. Rawls percaya bahwa suatu perlakuan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan formal atau juga disebut keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan dan kesamaan bagi semua orang (Rawls, 1971: 59).
Teori keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip pertama keadilan itu, bertolak dari suatu konsep keadilan yang lebih umum yang dirumuskannya sebagai berikut:

All social values - liberty and opportunity, income and wealth, and the bases ofself-respect-rare to be distributed equally unless and unequal distribution of any, or all, of these values is to everyone's advantage (Rawls, 1971: 62).

Ada dua hal yang penting dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum tersebut. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu; ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang. Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung.
Berlandaskan dari prinsip umum tersebut di atas, Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut:

First, each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty for others; Second, social and economic inequlities are to be range so that they are both (a) reasonable expected to be to everyone's advantage, and (b) attached to positions and offices open to all (Rawls, 1971: 60)

Menurut Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Ini merupakan dua tuntutan dasar yang dipenuhi dan dengan demikian juga membedakan secara tegas konsep keadilan sebagai Fairness dari teori-teori yang dirumuskan dalam napas intuisionisme dalam cakrawala teologis.
Untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order. Dengan pengaturan seperti itu, Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak dapat ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini berarti prinsip keadilan yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan yang pertama telah dipenuhi. Artinya penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan memiliki priroritas utama atas keuntungan sosial dan ekonomis.
Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil. Pertama , Naminem Laedere, yakni "jangan merugikan orang lain", secara luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua, Suum Cuique Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya" (Soekanto, 1988: 28). Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equality yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.
Di balik pengertian keadilan tersebut, para filsuf hukum kemasyarakatan telah merumuskan teori keadilan tidak dalam istilah-istilah yang mutlak, tetapi berkaitan dengan peradaban. Nietzsche memahami keadilan sebagai kebenaran dari orang yang kuat. Sementara Hobbes mengemukakan konsep yang lain tentang keadilan. Keadilan adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya (Muslehuddin, 1991: 170). Lain lagi pendapat Dewey (Muslehuddin, 1991 :78), baginya keadilan tidak dapat digambarkan dalam pengertian yang terbatas. Keadilan adalah kebaikan yang tidak berubah-ubah, bahkan persaingan adalah wajar dan adil dalam kapitalisme kompetitif-individualistik. Akhirnya Freidmann (Muslehuddin, 1991 :79) mengomentari, bahwa kegagalan standar keadilan selama ini adalah akibat kesalahan standar dasar pembentuk keadilan itu. Standar keadilan yang mutlak adalah keadilan dengan dasar agama.
Prinsip keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua persoalan keadilan sosial dan individual yang muncul. Universal dalam penerapannya mempunyai arti tuntutan-tuntutannya harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam arti harus menjadi prinsip yang universalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh warga masyarakat. Agar dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga masyarakat, maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti setiap orang. Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata "setuju", tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut. Dengan demikian seseorang kemudian mempertimbangkan "biaya psikologis" yang harus ditanggung dalam memenuhi kompensasi kesepakatan pengikat gerak sosial dan individual tersebut.
Konsep keadilan, bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu berevolusi, oleh karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi sirkular dengan perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideologi, dan teknologi. Perkembangan keadilan di Barat misalnya, konsep keadilan yang pada mulanya sifatnya mytological, pada masa ini keadilan hanya terdapat pada para dewa. Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan konsep keadilan tersebut menjadi intelektual-rasional. Keadilan kemudian dikaitkan dengan institusi dan kolektifitas kehidupan manusia.
Perubahan konsep keadilan dari waktu ke waktu lebih banyak terjadi pada dataran operasional, sedangkan sifatnya selalu statis dan politis. Dari konsep perubahan dan dengan berpegang pada konsep "hak" kemudian dikembangkan diferensiasi jenis keadilan. Tantangan utama dalam pembentukan prinsip keadilan di zaman sekarang ini adalah bagaimana mencari celah di antara benturan liberalisme dan sosialisme, terutama yang menyangkut perkembangan ekonomi, sehingga keadilan menjadi erat kaitannya dengan ekonomi. Artinya konsep prinsip keadilan menjadi sangat majemuk karena bisa berbentuk konsep teologis, konsep etis, konsep hukum, konsep politik, konsep sosiologis, dan konsep ekonomi.

2. Hukum dan Keadilan
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum (Huijbers, 1995: 70).
Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengatumya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas suci pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum. Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutifhukum:
  • Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya
  • Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.
  • Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah secara hukum.
Konsekuensi pandangan kontinental sistem tentang nilai keadilan: hukum adalah undang-undang yang adil, adil merupakan unsur konstitutif dari segala pengertian hukum, hanya peraturan yang adil yang disebut hukum:
  • hukum melebihi negara. Negara (pemerintah) tidak boleh membentuk hukum yang tidak adil. Lebih percaya pada prinsip-prinsip moral yang dimuat dalam undang-undang dari pada kebijaksanaan manusia dalam bentuk putusan-putusan hakim.
  • sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini, yaitu hukum sebagai moral hidup (norma ideal).
  • prinsip-prinsip pembentukan hukum (prinsip-prinsip keadilan) bersifat etis, maka hukum sebagai keseluruhan mewajibkan secara batiniah.
Ungkapan tersebut sejalan dengan komentar Khan (1978:7), Professor and Head Department of Political Science Univesity of Sind:

Every state has undertaken to eradicate the scourges of ignorance disease, squalor, hunger and evel}' type of injustice FOI1l among its citizens so that everybody may pursue a happy life in aFee way.

Dari ungkapan tersebut tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir hukum berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan independen dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi hukum. Terutamasetelah perang dunia kedua, seringkali akibat pengalaman pahit yang ditinggalkan kaum Nazi yarig menyalahgunakan kekuasaannya untuk membentuk undang-undang yang melanggar norma-norma keadilan, makin banyak orang yang sampai pada keyakinan bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan ,untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, maka hukum hanya pantas disebut sebagai tindakan kekerasan belaka (Huijbers, 1995: 71).
Dalam bidang hukum, keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan hukum. Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil penyerasian atau keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Secara ideal kepastian hukum merupakan pencerminan azas tidak merugikan orang lain, sedangkan kesebandingan hukum merupakan pencerminan azas bertindak sebanding. Oleh karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum merupakan inti penegakan hukum, maka penegakan hukum sesungguhnya dipengaruhi oleh:
  • Hukum itu sendiri
  • Kepribadian penegak hukum
  • Fasilitas kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
  • Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
  • Kebudayaan yang dianut masyarakat (Soekanto, 1988: 29).
Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhimya adalah keadilan . Pemyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di atara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya.
Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut meng- isyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orangorang dap at hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Para sarj ana Inggris dan Amerika dalam memegang prinsip keadilan lebih banyak diwarnai dengan filsafat empirisme dan pragmatisme. Pada intinya pandangan ini beranggapan bahwa kebenaran berasal dari penga laman dan praktek hidup. Karenanya yang diutamakan dalam menangani hukum adalah hubungan dengan realitas hidup, bukan dengan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Oleh karena itu adil dan tidak adil tidak terpengaruh oleh pengertian tentang hukum, tetapi lebih banyak diwarnai oleh realitas pragmatis. Konsekuensi pandangan ini adalah:
  1. Pada prinsipnya hukum tidak melebihi negara (yang dianggap sama dengan rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adil, tidak ada instansi yang lebih tinggi dari hukum. Karena kemungkinan dari ketidakadilan tetap ada, diharapkan bahwa dalam praktik hukum keyakinan-keyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim menghindari penyimpangan yang terlalu besar.
  2. Hukum adalah apa yang berlaku defacto dan itulah akhirnya tidak lain daripada keputusan hakim dan juri rakyat. Sementara rakyat juga menyadari bahwa hukum tak lain dari apa yang telah ditentukan.
  3. Menurut aliran empirisme, hukum sebagai sistem tidak rnewajibkan secara batiniah, sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati sebab ada sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman, sedangkan ketaatan secara batiniah lebih banyak disebabkan oleh keyakinan agama (Huijbers, 1995: 70).
Seorang filsuf hukum Amerika Latin Louis Recasens Siches mengatakan bahwa di satu sisi kepastian dan keamanan merupakan tuj uan primer dan mendesak bagi hukum, di lain sisi keadilan harus diusahakan oleh para pembuat hukum sebagai tujuan akhir yang lebih jauh. Hukum tidak dilahirkan untuk manusia karena alasan ingin memberikan upeti atau penghormatan kepada teori keadilan, tetapi untuk memenuhi urgensi yang tidak bisa dihindarkan bagi keamanan dan kepastian kehidupan sosial. Pertanyaan tentang sebab musabab. manusia membuat hukum tidak dijawab dalam struktur teori keadilan, akan tetapi dalam sebuah nilai yang lebih rendah, keamanan adalah sesuatu yang lebih cocok bagi manusia (Muslehuddin, 1991: 38).
Bodenheimer (Muslehuddin, 1991:38) mengatakan, "ada keraguan serius", apakah sistem sosial yang memenuhi syarat-syarat kepastian aturan atau hukum bisa efektif tanpa kehadiran unsur yang substansial yaitu keadilan. Jika rasa keadilan sebagian besar masyarakat dihina dan diperkosa oleh sebuah sistem yang mengaku hukum untuk menegakkan kondisi-kondisi hidup yang sesuai dengan aturan, maka otoritas publik akan mengalami kesulitan dalam menjaga sistem hukum melawan usaha-usaha subversif.
Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah tatanan yang mereka rasa sama sekali tidak sesuai dan tidak masuk akal. Pemerintah yang mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat dalam kesulitan-kesulitan serius dalam pelaksanaannya. Artinya, sebuah tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbahaya. Sebagaimana diungkapkan John Dickinson "Kita tidak hanya membutuhkan sebuah sistem peraturan umum yang bercampur baur, tetapi aturan yang berdasarkan pada prinsip keadilan" (Muslehuddin, 1991: 38).

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger