Dari Lebaran ke Idul Fitri

Umat Islam seluruh dunia bergembira karena telah berhasil melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Puncak kegembiraan ini ditandai dengan pelaksanaan ibadah shalat sunnah Idul Fitri. Setelah itu, umat Islam, khususnya di Indonesia, melakuka silaturrahim dengan saling mengunjungi dan saling memaafkan. Dalam tradisi Indonesia, Hari Raya Idul Fitri sering diidentikkan dengan Lebaran. Namun, bila dicermati, ternyata Lebaran tidak selalu dapat diidentikkan dengan Idul Fitri.

Lebaran merupakan tradisi asli umat Muslim Indonesia. Di beberapa negara muslim, kegiatan saling mengunjungi dan bersilaturrahim setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan ternyata tidak terlalu favorit. Di negara-negara Timur Tengah, misalnya, yang lebih meriah justru Hari Raya Idul Adha. Demikian juga dengan negara-negara Maroko, Tunisia, Aljazair, dan negara-negara di wilayah Afrika Utara lainnya. Di Indonesia, Lebaran merupakan kearifan lokal yang layak dilestarikan. Banyak sekali pesan-pesan ajaran Islam yang dapat dikembangkan dalam tradisi Lebaran ini. Di antaranya adalah semangat saling memaafkan, menghubungkan silaturrahim, berbagai rasa, dan menyantuni orang-orang yang kurang beruntung. Tentu saja nilai-nilai ini penting dilestarikan.

Di sisi lain, ternyata Lebaran tidak hanya disemarakkan oleh orang muslim saja (yang berpuasa atau tidak berpuasa). Lebaran juga “melibatkan” orang-orang non-muslim. Lihatlah di pusat-pusat perbelanjaan, sebagian pedagang non-muslim kecipratan rezeki dari umat Islam yang akan berlebaran. Perputaran uang di pusat-pusat perbelanjaan menjelang Lebaran bisa mencapai miliara rupiah, dan itu lebih banyak dinikmati oleh orang lain. Bahkan bukan itu saja, di tempat tertentu ternyata ada juga warga non-muslim yang ikut “merayakan” Lebaran. Dalam laporan majalah mingguan GATRA Edisi Khusus Lebaran 2008 terungkap bahwa di Papua terdapat situasi toleran di antara umat Islam dan non-muslim dalam menyambut Lebaran ini. Pada saat menjelang Lebaran, di sebuah supermarket banyak warga Papu non-muslim berbelanja Lebaran. H. Umar Bauw al-Bintui, salah seorang tokoh muslim Papua, menyaksikan di supermarket seorang remaja non-muslim yang merengek minta dibelikan sepatu kepada orang tuanya, karena ia belum punya sepatu baru untuk Lebaran besok harinya.

Berbeda dengan Lebaran, Idul Fitri hanya milik umat Islam dan orang yang berpuasa. Sesuai dengan maknanya, salah satu pengertian Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah kesucian jiwa. Fitrah adalah potensi dalam diri manusia untuk bertuhan Allah Swt. (tauhid). Fitrah merupakan asal penciptaan manusia yang cenderung kepada kebaikan, keluhuran, kesucian, dan kejujuran. Setiap manusia, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., dilahirkan dalam kondisi memiliki potensi untuk beriman kepada Allah Swt., mencintai kebaikan, keluhuran, kesucian, dan kejujuran. Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf (7:172) Allah Swt., menyatakan bahwa kesadaran untuk bertuhankan Allah Swt., merupakan perjanjian manusia dengan Allah Swt., sebelum mereka dilahirkan ke dunia.


وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"

Hanya saja, ketika manusia berhadapan dengan kehidupa riil duniawi, potensi fitrahnya terkadang tertutup dan tertimbun oleh bisikan Iblis, pengaruh-pengaruh hawa nafsu dan godaa lingkungannya. Akhirnya manusia sulit berdialog dengan fitrahnya dan cahaya Ilahiah yang ada dalam dirinya meredup. Ini yang membuat manusia terjebak ke dalam lumpur dosa dan kemunkaran dan semakin jauhlah dia dari fitrahnya. Ia lebih mengutamakan dimensi jasmaniahnya dan melupakan dimensi Ilahiahnya, sehingga sulit berdialog dengan Allah Swt.

Karena itu, dengan sifat Rahman dan Rahim Allah, Ia memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengasah kembali fitrahnya dengan memerintahkan manusia untuk berpuasa selama Ramadhan. Dengan berpuasa manusia akan mendapat tambahan energi sehingga mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran dari Allah Swt.

Dengan demikian, bekal pendidikan dan pelatihan Ramadhan akan mengantarka manusia untuk terbimbing dalam kehidupan yang baik dan luhur. Oleh karena itu, keberhasilan Ramadhan seseorang tidak diperoleh begitu saja setelah Ramadhan berakhir. Manusia yang sukses dalam menjalankan ibadah Ramadhan dalam dilihat dari peningkatan kualitas kehidupannya ke arah yang lebih baik. Kehidupannya akan semakin religius. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikasi keberhasilan pelaksanaan training Ramadhan seorang muslim.

Pertama, orientasi hidupnya semata-mata hanya kepada Allah Swt. Dalam surat Al-An’am (6:162-163) Allah Swt., mengajarkan kepada manusia untuk menyerahka seluruh hidup dan matinya hanya kepadaNya.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ - لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".

Ia tidak peduli pada puji-pujian orang lain. Ia tidak kecewa bila berbuat suatu kebaikan dalam masyarakat, tapi tidak mendapat pujian dari orang lain. Orientasi perbuatannya bukan karena manusia, melainkan karena Allah Swt. Ia sadar, begitu tergelincir beramal karena selain Allah Swt., maka akan sia-sialah apa yang ia kerjakan. Ia, bila melakukan demikian, terjebak ke dalam perilaku syirik kecil. Ia teringat pada firman Allah Swt., dalam surat Al-Kahfi (18:110), bahwa orang yang ingin bertemu dengan Tuhan harus berbuat kemaslahatan dan tidak menyekutukan Allah Swt., dalam beribadah.

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدً
Artinya : “.... barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Kedua, kepedulian sosialnya akan semakin mengental. Pedidikan Ramadhan mengajarkannya untuk berempati kepada orang-orang yang kurang beruntung. Puasa mengajarkanya untuk ikut merasakan penderitaan orang-orang miskin. Sebelum mengakhiri puasa Ramadhan ia mengeluarkan zakat fitrah da zakat hartanya. Pengalaman ini mengasahnya untuk memiliki kepedulian kepada orang-orang yang kurang mampu. Ia berusaha memberikan yang terbaik bagi lingkungannya. Ia tidak hanya larut dalam kesyahduan ibadah personal, tetapi juga membaur dalam kehidupan sosial dan menjadi sumber pemecahan masalah bagi masyarakatnya.

Ketiga, sejalan dengan dua indikator di atas, orang yang kembali kepada fitrahnya tidak begitu tergantung dengan kehidupan dunia. Artinya, ia memiliki orientasi kehidupan akhirat yang jelas. Ia sadar bahwa sekecil apa pun yang ia lakukan, pasti kelak akan ia pertanggungjawabkan di pengadilan Allah Swt., di akhirat. Ia akan menjaga perilaku kesehariannya agar selalu berada dalam kebaikan. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa ia mengabaikan kehidupan dunia dan tidak membutuhkan harta. Ia tetap giat berusaha mencari kehidupan duniawi. Ia juga mencari harta untuk menghidupi anak istrinya. Namun, ia sadar bahwa hartanya hanyalah “titipan” Allah saja dan harta yang hakiki miliknya adalah yang ia belanjakan di jalan Allah Swt. Ia mempunyai falsafah hidup seperti keran, yang menyalurkan air kepada yang membutuhkan. Air adalah sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Ia akan bahagia menjadi “distributor” Allah Swt., menyalurkan harta yang diamanahkanNya kepada semua manusia. Ia akan menjadi “wakil” Allah dalam keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di dunia.

Inilah beberapa indikasi yang bisa dicermati bagi keberhasila ibadah Ramadhan seseorang. Ia tidak hanya sekadar berlebaran setelah mengakhiri puasa, tetapi juga ber-Idul Fitri, karena telah kembali kesucian fitrahnya. Memang tidak mudah menjadi manusia Idul Fitri dan lebih banyak manusia yang hanya sekadar berlebaran. Tetapi, menjadi manusia fitrah adalah perjuangan panjang sepanjang usia manusia itu sendiri. Semoga kita mendapatkannya.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger