Aspek Ontologi, Nilai Etika dan Logika dalam Hukum

A. PENGERTIAN HUKUM
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. Selanjutnya O. Notohamidjojo (1975) berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai da1am masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menggambarkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Pumadi Purbaearaka dan Soerjono Soekanto (1986) dengan menyebut sembilan arti hukum. Menurut mereka hukum dapat diartikan sebagai: (1) ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun seeara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yaitu suatu sistem ajaran kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi; (3) norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma- norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan dengan penegakan hukum (Lawenforcement officer); (6) keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindaktanduk atau perikelakuan "teratur", yaitu perikelakuan yang diulangulang dengan eara yang sama yang bertujuan untuk meneapai kedamaian; dan (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konscpsikonsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan hukum seeara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu pekerjaan yang tidak mudah!
Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak pengertian, tetapi seeara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu.
Di luar norma hukum terdapat norma-norma lain. Purbaearaka dan Soekanto (1989) menyebutkan ada empat norma, yaitu (1) kepereayaan; (2) kesusilaan; (3) sopan santun; dan (4) hukum. Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya belum dapat mernberikan perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma yang keempat, yaitu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya adalah: (1) masih banyak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut; (2) kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut belum eukup terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum eukup memuaskan. Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan secara langsung di dunia ini. Demikian pula jika norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman.
Perlindungan yang diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu.
Kekuasaan yang dimiliki itupun terbatas sifatnya sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang terbatas. Kendati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma- norma hukum yang berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini timbul hubungan yang erat antara hukum kodrat dengan hukum positif.
Dari sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul Seholten ada beberapa ciri-ciri hukum, sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990: 79-90) yaitu:
  1. Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber hukum
  2. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalam realisasinya. Menurut Prof. Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut.
  3. Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
  4. Institusionali hukum. Hukum positif merupakan hukum institusional dan melindungi masyarakat.
  5. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan. Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
B. HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NEGARA
Ada banyak pengertian tentang hukum, namun jika kita definisikan hukum dalam tata hidup masyarakat modern tentu akan lebih mudah mendefinisikannya. Tentu saja pengertian hukum zaman modern dengan zaman primitif akan berbeda, meskipun secara hakiki pengertiannya adalah sama. Jika filsafat berusaha mencari makna yang hakiki dari suatu fenomena, maka sudah seharusnya disini kita mampu mencari makna yang hakiki dari hukum itu sendiri, melewati ruang dan waktu, modern maupun prirnitif
Para antropolog menekankan hal ini . Leopold Pospisil misalnya, mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat yang tidak merniliki peraturan-peraturan yang abstrak dianggap sebagai masyarakat tanpa hukum. Menurut Prospisil pengawasan sosial merupakan unsur inti dari hukum. Ciri mendasar dari fenomena yang termasuk dalam 'kategori konseptual ini adalah bahwa gejala itu haruslah merupakan pengawasan sosial yang melembaga (Ihromi, 1984: 92-99).
Bila kita menghadapi bentuk-bentuk hukum yang aktual pada zaman modem ini , kita sampai pada keyakinan bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yaitu undang-undang (Huij bers , 1995: 40). Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturanperaturan yang berlaku dalam lembaga non-negara, membutuhkan peneguhan dari negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis . Sebagaimana halnya hukum adat hanya dipandang sebagai hukum yang sah, bila terdapat pengakuan oleh negara kepada warga negara yang akan menggunakan hukum adatnya tersebut.

C. KEBERLAKUAN HUKUM
Perbedaan antara peraturan yuridis dan tidak yuridis digambarkan secara tepat oleh H.L.A Hart (1979). Hart menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh disamakan dengan negara polisi dan kaidahkaidah hukum suatu negara tidak boleh disamakan dengan seperti perintah seorang perampok yang dapat memaksa orang lain untuk menyerahkan harta yang dimiliki agar diserahkan kepada perampok tersebut, jika tidak akan dikenakan sanksi (gunman situation). Menurut Hart sejauh dipandang dari luar pengertian Austin tentang hukum tepat, sebab memang benar bahwa perintah-perintah yang dise but hukum dikeluarkan oleh seseorang yang berkuasa dan biasanya ditaati, namun sesungguhnya ada aspek lain yang tidak diperhatikan oleh Austin, yaitu aspek intern. Aspek intern untuk mentaati suatu aturan. hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang hidup pada wilayah dimana peraturan tersebut berlaku. Sebaliknya aspek intern tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang hidup diluar wilayah dimana peraturan tersebut diberlakukan. Orang-orang yang hidup dalam suatu wilyah tertentu menerima hukum yang ditetapkan sebagai hukum mereka dan mereka merasa terikat padanya sebab ditentukan oleh pemerintah sendiri.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum yang sesungguhnya adalah hukum yang legal atau sah. Bila peraturan peraturan ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang, dalam hal ini pemerintah yang sah, dan ditentukan menurut kriteria yang berlaku maka peraturan-peraturan tersebut bersifat sah atau legal dan mempunyai kekuatan yuridis (validity). Oleh karena itu hal ini berbeda dengan kebiasaan yang tidak berlaku secara yuridis, karena tidak memenuhi aspek legalitas.
Menurut Sudikno Mertokusumo, agar suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku efektif dalam masyarakat harus memiliki kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku filosofis, sosiologis dan yuridis. Undang-undang memiliki kekuatan yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undangundang telah terpenuhi. Sedangkan undang-undang memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis apabila undang-undang tersebut berlaku efektif sebagai sebuah aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat serta dapat dilaksanakan. Kekuatan berlakunya hukum secara sosiologis di dalam masyarakat ada dua macam (Mertokusumo, 1996: 87):
  1. Menurut teori kekuatan (Ilachtstheorie) hukum berlaku secara sosiologis jika dipaksakan berlakunya oleh penguasa.
  2. Menurut teori pengakuan ianerkennungstheoriei hukum berlaku secara sosiologis jika diterima dan diakui masyarakat.
Hukum memilki kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) suatu bangsa. Agar berfungsi, maka kaedah hukum harus memenuhi ketiga unsur tersebut sekaligus.
Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa suatu peraturan bersifat legal? Menurut Hart ada dua cara untuk menjawabnya:

1. Membedakan Dua Jenis Kaidah Hukum
Kaidah hukum terbagi menjadi dua bagian, kaidah primer dan kaidah sekunder. Kaidah primer, yaitu kaidah yang menentukan kelakuan orang. Kaidah primer disebut petunjuk pengenal (rules of recognition), sebab kaidah ini menyatakan manakah hukum yang sah. Kaidah sekunder, yaitu kaidah yang menentukan syarat bagi berlakunya kaidah primer. Kaidah ini juga yang merupakan syarat bagi perubahan kaidah primer (rules of change), dan bagi dipecahkannya konflik (rules of adjudication).
Van Oer Vlies membahasakannya sebagai asas formal dan asas material. Asas formal, terkait dengan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan. Dimulai dari tahap persiapan pembuatan peraturan perundang-undangan dan motivasi dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan. Asas formal meliputi:
  • Asas tujuan yang jelas, terkait dengan sejauh mana peraturan perundang-undangan mendesak untuk dibentuk.
  • Asas organ/lembaga yang tepat, terkait dengan kewenangan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang dimuat didalamnya.
  • Asas perlunya pengaturan, terkait dengan perlunya suatu masalah tertentu diatur dalam suatu peraturan perundangundangan.
  • Asas dapat dilaksanakan, terkait dengan penegakkan suatu peraturan perundang-undangan. Jika tidak dapat ditegakan maka suatu peraturan perundang-undangan akan kehilangan fungsi dan tujuannya serta menggerogoti kewibawaan pembentuknya.
  • Asas konsensus, yaitu kesepakatan antara rakyat dengan pembentuk peraturan perundang-undangan, karena peraturan perundang-undangan tersebut akan diberlakukan kepada rakyat. Sehingga pada saat diundangkan masyarakat siap.
Yang kedua adalah asas materiil, yaitu terkait dengan substansi suatu peraturan perundang-undangan. Asas materiil meliputi:
  • Asas terminologi dan sistematika yang benar, terkait dengan bahasa hukum/perundang-undangan. Yaitu bisa dimengerti oleh orang awam, baik strukuktur maupun sistematikanya.
  • Asas dapat dikenali, yaitu dapat dikenali jenis dan bentuknya.
  • Asas perlakuan yang sama dalam hukum.
  • Asas kepastian hukum.
  • Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
2. Stufenbau Theorie
Teori ini dikembangkan oleh beberapa pemikir antara lain Merkl, Hans Kelsen dan H.L.A Hart . Pada intinya teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma-norma sehingga berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Suatu peraturan baru dapat diakui secara legal, bila tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi. Seluruh sistem hukum mempunyai struktur piramidal, mulai dari yang abstrak (ideologi negara dan UUD) sampai yang konkrit (UU dan peraturan pelaksanaan). Menurut Hans Nawiasky dalam "Theorie von Stufenbau des Rechtsordnung" ada empat kelompok penjenjangan perundang-undangan:
  1. Norma dasar (grundnorm). Norma dasar negara dan hukum yang merupakan landasan akhir bagi peraturan-peraturan lebih lanjut.
  2. Aturan-aturan dasar negara atau konstitusi, yang menentukan, norma-norma yang menjamin berlansungnya negara dan penjagaan hak-hak anggota masyarakat. Aturan ini bersifat umum dan tidak mengandung sanksi, maka tidak termasuk perundang-undangan.
  3. Undang-undang formal yang di dalamnya telah masuk sanksi-sanksi dan diberlakukan dalam rangka mengatur lebih lanjut hal-hal yang dimuat dalam undang-undang dasar.
  4. Peraturan-peraturan pelaksanaan dan peraturan-peraturan otonom.
Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Jika ternyata ada pertentangan yang terjadi dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Menurut UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan jenis dan hierarkhi Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  3. Peraturan Pemerintah (PP)
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah (Perda)
Bagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan Judicial Review (uji materi yang diajukan melalui gugatan dan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Seperti disebutkan dalam Pasal 24C UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstutusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan Mahkamah Agung sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) redaksi berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Ada beberapa asas yang mendasari pengaturan kedudukan masing-masing peraturan perundang-undangan, Menurut Sudikno Mertokusumo, setidaknya ada 3 asas (adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan: Asas lex superiori iderogat legi inferiori, Asas lex specialis derogate legi generali, dan Asas lex posteriori derogat legi priori (Mertokusumo, 1996: 85-87).
Asas lex superiori derogat legi inJeriori berarti peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut. Asas lex specialis derogate legi generali berarti pada peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang umum. Jadi dalam tingkatan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur mengenai materi yang sama, jika ada pertentangan diantara keduanya maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih khusus. Asas lex posteriori derogat legi priori berarti pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.
Di samping itu ada asas lain yang perlu diperhatikan dalam prinsip tata urutan peraturan perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Bagir Manan, yaitu :
  1. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ada ketentuan umum bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum.
  2. Isi atau materi peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang dibuat tanpa wewenang (onbevoegheid) atau melampaui wewenang (detournement de pouvoir), dan untuk menjaga dan menjamin prinsip tersebut agar tidak disimpangi atau dilanggar, maka terdapat mekanisme pengujian secara yudisial atas setiap peraturan perundang-undangan atau kebijakan maupun tindakan pemerintah lainnya, terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar.

D. HUKUM SEBAGAI NORMA
Yang dimaksud hukum bersifat normatif yaitu apabila pemerintah yang sah mengeluarkan peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yaitu peraturan tersebut terasa mewajibkan sedemikian rupa sehingga orang yang tidak mematuhi peraturan dapat dituntut hukuman melalui pengadilan.
Memahami hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang seharusnya (das Sol/en). Memahami hukum sebagai das Sol/en berarti juga menginsyafi bahwa hukum merupakan bagian dari kehidupan kita yang berfungsi sebagai pedoman yang harus diikuti dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedemikian rupa sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana mestinya. Bila hukum diakui sebagai norma, maka hukum harus ditaati. Hukurn ditaati bukan karena terdapat suatu kekuasaan di belakangnya, melainkan karena mewajibkan itu termasuk hakikat hukum itu sendiri. Ini juga bermakna bahwa jika suatu peraturan tidak ditaati atau banyak dilanggar, bukan berarti kekuatan peraturan tersebut sebagai norma hilang. Selain itu banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan yang ada, bukan berarti juga membawa kita pada kesimpulan untuk meniadakan suatu peraturan, karena sekali lagi hukurn memang mengatur apa yang seharusnya (das Sol/ell) chin bukan proposisi tentang sesuatu yang terjadi (das Sein). Oleh karena itu pernyataan ini harus dibalik dengan pemyataan adanya norma/hukum/eus Sol/en/atllran tentang apa yang seharusnya saja masih terjadi banyak pelanggaran, apalagi jika tidak ada.
Hans Kelsen (1881-1973) mendefinisikan yurisprudensi sebagai pengetahuan akan norma-norma. Dengan istilah nonna-norma ia memahami sebuah pertimbangan hipotesis yang menyatakan bahwa melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu akan diikuti oleh suatu tindakan memaksa dari negara. Barangsiapa secara tidak sah mengambil suatu benda bergerak milik orang lain, suatu norma berarti bahwa dalam situasi tertentu negara akan melakukan pemaksaan untuk berperilaku tertentu. Hukum merupakan suatu sistem yang dibagi ke dalam norma-norma pemaksaan semacam itu; esensinya merupakan sebuah tatanan memaksa yang datang dari luar (Bodenheimer, 1967: 100).
Fungsi pengundangan (legislasi) adalah untuk menentukan isi norma. Norma umum dan menyediakan organ-organ dan prosedur-prosedur (pengadilan dan pengadilan-pengadilan administratif) bagi pelaksanaan norma-norma ini. Alat dalam proses mengkonkretkan norma-norma adalah kekuatan yudisial, yang dilaksanakan oleh pengadilan- pengadilan dan peradilan-peradilan administratif. Otoritas keputusan pengadilan menentukan apakah dan dalam eara apa suatu norma umum harus diaplikasikan ke dalam kasus konkret.
Hukum menurut Kelsen merupakan sebuah teknik khusus organisasi sosial. Ciri khas hukum bukan sebagai suatu tujuan akhir tetapi sebagai alat khusus, sebagai sebuah alat pernaksaan yang dengan demikian tidak ada nilai politik atau etik menempel, sebuah alat yang nilainya timbul lebih dari sekedar tujuan yang melebihi hukum itu (Bodenheimer, 1967: 101). Jadi kemungkinan hukum alam seeara kategoris ditolak oleh Kelsen.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger