BATIK Gayo atau dikenal dengan sebutan Kerawang Gayo adalah sebuah seni menyulam di atas selembar kain dengan berbagai gambar atau lambang yang memiliki makna tertentu (falsafah). Batik Gayo yang dikerjakan di atas selembar kain bukan menggunakan cat atau pewarna, tetapi memakai benang berwarna yang disulam.
Pekerjaan menyulam selembar kain untuk dijadikan Batik Gayo itu, umumnya dikerjakan oleh perempuan dengan menggunakan mesin jahit. Produk yang mereka hasilkan, selain bakal pakaian, juga menghasilkan aneka tas, dompet, taplak meja, sarung bantal sampai kepada upuh ulen-ulen (semacam ulos di Sumut)
Sampai hari ini, kerajinan membatik itu masih menggunakan mesin jahit biasa. Jangan heran, jika hasil sulaman mereka tidak serapi produk dari mesin sulam standar. Namun, mereka tetap konsisten menjaga nilai-nilai kearifan lokal dalam gambar lambang yang tertuang di atas selembar kain itu.
Apa saja nilai-nilai kearifan lokal atau falsafah yang selalu dituangkan para pengrajin dalam produk Batik Gayo? Mari kita simak penuturan Nirwana (34), Selasa (28/2), seorang ibu rumah tangga sekaligus pembatik yang membuka usaha kerajinan di Desa Simpang Empat Bebesen Aceh Tengah. Apa saja motif yang dituangkannya dalam selembar kain? Ada motif emun berangkat, puter tali, pucuk rebung (tuwis) dan tapak seleman.
Pertama, motif emun berangkat (beriring) yaitu motif geometrik yang merupakan lingkaran memusat dengan berbagai ragam hias. Motif emun berangkat (awan yang berarak) adalah lambang ketinggian cita-cita dengan harapan bahwa manusia akan mampu mengarungi cobaan hidup di dunia ini.
Kedua, motif puter tali (tali berpilin) berangkat dari makna tali yang berasal dari sejumlah lembaran serabut yang kecil dan rapuh, tetapi begitu disatukan maka serabut itu menjadi seutas tali yang sangat kuat. Motif puter tali menggambarkan kekokohan dapat diwujudkan dengan adanya persatuan dan kesatuan.
Ketiga, pucuk rebung (tuwis) adalah bambu muda yang berbentuk piramid. Bagian bawah dari rebung ini lebar dan bagian atasnya runcing. Maknanya, semakin hebat seorang manusia maka dia akan menyadari bahwa manusia itu sesungguhnya kecil dibandingkan alam semesta. Jadi, falsafah pucuk rebung ini menegaskan manusia harus berpendirian teguh, iman yang kuat, taqwa, rendah hati dan berakhlak mulia.
Keempat, tapak seleman mempertegas bahwa dalam kehidupan masyarakat Gayo terdapat empat unsur yang menaungi sistem adat dan pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Sarak Opat. Keempat unsur itu adalah “Reje Musuket Sipet” (Raja harus bersikap adil), “Petue musidik sasat” (Petue adalah petugas pengadil yang melihat/menyelidiki berbagai persoalan sebelum memutuskan), “Imem muperlu sunet” (Imam harus mengetahui, mana yang hukumnya wajib dan mana yang sunat), “Rakyat genap mupakat” (rakyat harus seiya sekata dan searah sehaluan sesuai dengan kesimpulan yang sudah disepakati).
Begitulah tingginya nilai-nilai kearifan lokal dalam motif Batik Gayo yang tanpa disadari oleh Nirwana, ternyata dia terus menerus menyulam falsafah. Karya-karya yang dihasilkan Nirwana, sesungguhnya menjadi sebuah proses sosialisasi akan kedalaman makna falsafah itu sendiri.
Memang, Nirwana barangkali belum pernah menjelaskan makna lambang itu kepada penyuka atau pembeli Batik Gayo karena sang konsumen jarang menanyakan apa makna ukiran itu. Menurut Nirwana, para konsumen hanya menyukai warna benang yang disulam ditambah kerapian sulaman.
Kalaulah konsumen itu mengetahui bahwa dia sedang membeli sebuah kearifan lokal yang memiliki nilai falsafah tinggi, mungkin si pembeli berani membayar mahal harga selembar Batik Gayo. Para konsumen juga akan sangat bangga bahwa tubuhnya diselimuti oleh sejumlah lambang-lambang bermakna, bukan hanya sekedar bunga dan ukiran. Itulah Batik Gayo atau Kerawang Gayo, seni menyulam falsafah di atas selembar kain. Media sosialisasi tentang dalamnya makna adat dan tradisi yang tertuang dalam sejumlah lambang. Mari kita lestarikan kearifan lokal dalam seni menyulam Kerawang Gayo. (Muhammad Syukri)
Pekerjaan menyulam selembar kain untuk dijadikan Batik Gayo itu, umumnya dikerjakan oleh perempuan dengan menggunakan mesin jahit. Produk yang mereka hasilkan, selain bakal pakaian, juga menghasilkan aneka tas, dompet, taplak meja, sarung bantal sampai kepada upuh ulen-ulen (semacam ulos di Sumut)
Sampai hari ini, kerajinan membatik itu masih menggunakan mesin jahit biasa. Jangan heran, jika hasil sulaman mereka tidak serapi produk dari mesin sulam standar. Namun, mereka tetap konsisten menjaga nilai-nilai kearifan lokal dalam gambar lambang yang tertuang di atas selembar kain itu.
Apa saja nilai-nilai kearifan lokal atau falsafah yang selalu dituangkan para pengrajin dalam produk Batik Gayo? Mari kita simak penuturan Nirwana (34), Selasa (28/2), seorang ibu rumah tangga sekaligus pembatik yang membuka usaha kerajinan di Desa Simpang Empat Bebesen Aceh Tengah. Apa saja motif yang dituangkannya dalam selembar kain? Ada motif emun berangkat, puter tali, pucuk rebung (tuwis) dan tapak seleman.
Pertama, motif emun berangkat (beriring) yaitu motif geometrik yang merupakan lingkaran memusat dengan berbagai ragam hias. Motif emun berangkat (awan yang berarak) adalah lambang ketinggian cita-cita dengan harapan bahwa manusia akan mampu mengarungi cobaan hidup di dunia ini.
Kedua, motif puter tali (tali berpilin) berangkat dari makna tali yang berasal dari sejumlah lembaran serabut yang kecil dan rapuh, tetapi begitu disatukan maka serabut itu menjadi seutas tali yang sangat kuat. Motif puter tali menggambarkan kekokohan dapat diwujudkan dengan adanya persatuan dan kesatuan.
Keempat, tapak seleman mempertegas bahwa dalam kehidupan masyarakat Gayo terdapat empat unsur yang menaungi sistem adat dan pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Sarak Opat. Keempat unsur itu adalah “Reje Musuket Sipet” (Raja harus bersikap adil), “Petue musidik sasat” (Petue adalah petugas pengadil yang melihat/menyelidiki berbagai persoalan sebelum memutuskan), “Imem muperlu sunet” (Imam harus mengetahui, mana yang hukumnya wajib dan mana yang sunat), “Rakyat genap mupakat” (rakyat harus seiya sekata dan searah sehaluan sesuai dengan kesimpulan yang sudah disepakati).
Begitulah tingginya nilai-nilai kearifan lokal dalam motif Batik Gayo yang tanpa disadari oleh Nirwana, ternyata dia terus menerus menyulam falsafah. Karya-karya yang dihasilkan Nirwana, sesungguhnya menjadi sebuah proses sosialisasi akan kedalaman makna falsafah itu sendiri.
Memang, Nirwana barangkali belum pernah menjelaskan makna lambang itu kepada penyuka atau pembeli Batik Gayo karena sang konsumen jarang menanyakan apa makna ukiran itu. Menurut Nirwana, para konsumen hanya menyukai warna benang yang disulam ditambah kerapian sulaman.
Kalaulah konsumen itu mengetahui bahwa dia sedang membeli sebuah kearifan lokal yang memiliki nilai falsafah tinggi, mungkin si pembeli berani membayar mahal harga selembar Batik Gayo. Para konsumen juga akan sangat bangga bahwa tubuhnya diselimuti oleh sejumlah lambang-lambang bermakna, bukan hanya sekedar bunga dan ukiran. Itulah Batik Gayo atau Kerawang Gayo, seni menyulam falsafah di atas selembar kain. Media sosialisasi tentang dalamnya makna adat dan tradisi yang tertuang dalam sejumlah lambang. Mari kita lestarikan kearifan lokal dalam seni menyulam Kerawang Gayo. (Muhammad Syukri)
0 comments:
Post a Comment