Palestina
Di sebuah desa hiduplah seorang pria bersama istrinya. Mereka punya seorang anak perempuan, yang kulit wajahnya putih dan bersih bagaikan kue keju (jubnah) masak sehingga mereka menamakannya Jubeinah. Orang-orang akan mengatakan, “secantik Jubeinah”, dan menyebut namanya seperti pepatah. Sebab dia menjadi ukuran kecantikan di wilayah pedalaman sekitarnya.
Mengapa tidak? pipinya bulat dan kemerahan layaknya buah apel Suriah. Rambutnya hitam legam, menyentuh kakinya saat diurai, demikian panjangnya! Lengannya lembut bagaikan gulungan kain sutra, dan secara keseluruhan tubuhnya begitu indah seakan-akan dia tercetak dari mesih bubut seorang tukang kayu.
Kemasyhurannya menyebar ke tempat-tempat yang jauh dan banyak sekali pelamar yang ingin meminangnya, namun keluarganya tidak mau menerima pingan mereka.
Di sebuah negeri yang jauh, putra seorang raja mendengar tentangnya dan ingin memperistrinya. Tapi jika kedua orang tuanya menolak, apa yang dapat dilakukannya? Dia pergi mendatangi salah seorang perempuan tua yang cerdik dan memintanya mencari muslihat agar Jubeinah dapat menjadi istrinya.
Perempuan tua itu pergi ke desa Jubeinah dan memanggil semua gadis di situ. Dia berkata bahwa dia membutuhkan sejumlah perempuan muda untuk mengantarkan mempelai istrinya dari desa sebelah dan menemaninya sepanjang perjalanan. Mana ada gadis lajang yang tidak menyukai perta perkawinan? Perempuan-perempuan muda itu lari memberi tahu Jubeinah. Dia berkata, “Mintalah izin pada ayahku.” Ayahnya bersikap hati-hati; katanya, “Mintalah izin pada ibunya.” Ibunya juga bersikap hati-hati; katanya, “Mintalah izin pamannya.” Akhirnya, keluarga Jubeinah setuju melepasnya pergi.
Sebelum dia berangkat, ibu Jubeinah memberinya manik-manik dari kaca berwarna biru, sambil memperingakannya agar menjaganya dengan cermat dan tidak boleh menghilangkannya. Untuk amannya, sang ibu menjalinnya dengan benang hingga menjadi sebuah kantung dan mengenakannya pada leher gadis itu.
Gadis-gadis desa pergi bersama. Ketika mereka sudah jauh dari rumah, seorang perempuan sahaya Nubia bergabung dengan mereka. Dia menuntun kuda Jubeinah ke jalan yang berbeda dari yang diambil rombongan itu. Begitu mereka tinggal berdua, perempuan sahaya itu berkata,
Melompatlah turun, Jubeinah si wajah jelita
Berjalanlah, dan biar aku berkuda sebagai gantinya!
Namun, sebelum Jubeinah dapat menjawab, manik-manik biru berkata,
Terus jalan,
Perempuan hitam.
Setiap kali perempuan sahaya itu berusaha memaksa Jubeinah turun dari kuda, manik-manik biru mencegahnya.
Begitulah, mereka berjalan hingga sampai ke sebuah sungai. Saat Jubeinah membungkuk untuk minum, manik-manik itu lepas dari lehernya dan jatuh ke air. Dan ketika perempuan sahaya itu berkata,
Melompatlah turun, Jubeinah si wajah jelita
Berjalanlah, dan biar aku berkuda sebagai gantinya!
Suara manik-manik terdengar samar-samar dari dasar sungai:
Terus jalan,
Perempuan hitam.
Tidak lama kemudian mereka sudah terlalu jauh untuk mendengar suaranya, dan selanjutnya perempuan itu menarik turun Jubeinah dari kudanya dan naik menggantikannya.
Mereka berada di dekat tambang batu kapur, dan di sebelahnya para pembakar batu bara membangun tungku mereka. Perempuan sahaya itu melumuri wajah dan kulitnya dengan bubuk kapur dan memaksa Jubeinah menghitamkan wajahnya yang cantik dengan debu batu bara. Maka ketika mereka sampai di istana raja, pangeran menikahi sahaya hitam yang berbalur kapur itu, karena mengira bahwa dialah Jubeinah, yang wajahnya seputih keju dari air susu biri-biri betina.
Karena perempuan itu telah mengancam akan membunuhnya jika dia mengatakan hal yang sebenarnya, Jubeinah yang malang tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Untuk mendapatkan nafkah dia dipekerjakan sebagai gembala domba. Setiap pagi dia membawa kawanan ternak itu ke tempat rerumputan tumbuh, dan di sana dia akan duduk di bawah bayang-bayang sebuah pohon, sambil menangis dan berkata,
Wahai burung-burung yang terbang tinggi di udara,
Wahai sungai yang mengalir jauh di bawah sana,
Sampaikan salamku kepada ayahku,
Sampaikan salamku kepada ibuku,
Katakan kepada mereka betapa putri mereka tercinta
Kini harus mencari air dan rumput untuk kawanan domba.
Seluruh domba itu, dan kambing-kambing juga, saat melihatnya berurai air mata dan mendengarnya menangis, ikut menangis bersamanya dan lupa merumput.
Putra raja terheran-heran saat mengetahui bahwa kawanan domba itu dibawa ke padang rumput setiap pagi, tapi kembali dalam keadaan seakan-akan mereka berada di dalam kandang sepanjang hari. Tidak, bukannya bertambah gemuk, mereka justru semakin kurus dan kurus. “Aku harus menemukan sendiri alasannya,” katanya, maka diam-diam dia mengikuti gadis gembala itu. Dia mendengar kata-kata yang diucapkannya saat dia menangis, dan dia melihat bagaimana domba-domba itu berduka bersamanya dan tidak mau makan. Kini dia mengerti penyebab lemahnya hewan-hewan itu, dan dia menduga bahwa ini pastilah Jubeinah, mempelainya yang sebenarnya.
Ketika pangeran kembali ke istana, dia menyalakan tungku dan meminta istrinya menunag air untuk mandi. Begitu air sudah panas, dia berkata, “Mandilah engkau, ya perempuan.” Tapi perempuan itu menolak dan tidak mau melakukannya. Maka pangeran memasukkannya ke bak mandi dan menggosok paksa kulitnya. Seluruh debu kapur meleleh lepas dari kulitnya, dan tampaklah dia, seorang perempuan sahaya berkulit hitam. Pangeran menarik tubuhnya dan melemparkannya ke dalam tungku.
Malam hari, ketika Jubeinah kembali bersama kawanan ternaknya, pangeran menyuruhnya mandi. Ketika dia berjalan keluar, seluruh debu batu bara itu lenyap, dan setiap orang dapat melihat bahwa dia benar-benar gadis yang didambakan pangeran.
Apa yang terjadi kemudian?
Putra raja memperistrinya,
Dan mereka hidup bahagia!
From: Kisah-Kisah Fantastis dari Negeri 1001 Malam, Buku Ke-2, Inea Bushnaq.
Di sebuah desa hiduplah seorang pria bersama istrinya. Mereka punya seorang anak perempuan, yang kulit wajahnya putih dan bersih bagaikan kue keju (jubnah) masak sehingga mereka menamakannya Jubeinah. Orang-orang akan mengatakan, “secantik Jubeinah”, dan menyebut namanya seperti pepatah. Sebab dia menjadi ukuran kecantikan di wilayah pedalaman sekitarnya.
Mengapa tidak? pipinya bulat dan kemerahan layaknya buah apel Suriah. Rambutnya hitam legam, menyentuh kakinya saat diurai, demikian panjangnya! Lengannya lembut bagaikan gulungan kain sutra, dan secara keseluruhan tubuhnya begitu indah seakan-akan dia tercetak dari mesih bubut seorang tukang kayu.
Kemasyhurannya menyebar ke tempat-tempat yang jauh dan banyak sekali pelamar yang ingin meminangnya, namun keluarganya tidak mau menerima pingan mereka.
Di sebuah negeri yang jauh, putra seorang raja mendengar tentangnya dan ingin memperistrinya. Tapi jika kedua orang tuanya menolak, apa yang dapat dilakukannya? Dia pergi mendatangi salah seorang perempuan tua yang cerdik dan memintanya mencari muslihat agar Jubeinah dapat menjadi istrinya.
Perempuan tua itu pergi ke desa Jubeinah dan memanggil semua gadis di situ. Dia berkata bahwa dia membutuhkan sejumlah perempuan muda untuk mengantarkan mempelai istrinya dari desa sebelah dan menemaninya sepanjang perjalanan. Mana ada gadis lajang yang tidak menyukai perta perkawinan? Perempuan-perempuan muda itu lari memberi tahu Jubeinah. Dia berkata, “Mintalah izin pada ayahku.” Ayahnya bersikap hati-hati; katanya, “Mintalah izin pada ibunya.” Ibunya juga bersikap hati-hati; katanya, “Mintalah izin pamannya.” Akhirnya, keluarga Jubeinah setuju melepasnya pergi.
Sebelum dia berangkat, ibu Jubeinah memberinya manik-manik dari kaca berwarna biru, sambil memperingakannya agar menjaganya dengan cermat dan tidak boleh menghilangkannya. Untuk amannya, sang ibu menjalinnya dengan benang hingga menjadi sebuah kantung dan mengenakannya pada leher gadis itu.
Gadis-gadis desa pergi bersama. Ketika mereka sudah jauh dari rumah, seorang perempuan sahaya Nubia bergabung dengan mereka. Dia menuntun kuda Jubeinah ke jalan yang berbeda dari yang diambil rombongan itu. Begitu mereka tinggal berdua, perempuan sahaya itu berkata,
Melompatlah turun, Jubeinah si wajah jelita
Berjalanlah, dan biar aku berkuda sebagai gantinya!
Namun, sebelum Jubeinah dapat menjawab, manik-manik biru berkata,
Terus jalan,
Perempuan hitam.
Setiap kali perempuan sahaya itu berusaha memaksa Jubeinah turun dari kuda, manik-manik biru mencegahnya.
Begitulah, mereka berjalan hingga sampai ke sebuah sungai. Saat Jubeinah membungkuk untuk minum, manik-manik itu lepas dari lehernya dan jatuh ke air. Dan ketika perempuan sahaya itu berkata,
Melompatlah turun, Jubeinah si wajah jelita
Berjalanlah, dan biar aku berkuda sebagai gantinya!
Suara manik-manik terdengar samar-samar dari dasar sungai:
Terus jalan,
Perempuan hitam.
Tidak lama kemudian mereka sudah terlalu jauh untuk mendengar suaranya, dan selanjutnya perempuan itu menarik turun Jubeinah dari kudanya dan naik menggantikannya.
Mereka berada di dekat tambang batu kapur, dan di sebelahnya para pembakar batu bara membangun tungku mereka. Perempuan sahaya itu melumuri wajah dan kulitnya dengan bubuk kapur dan memaksa Jubeinah menghitamkan wajahnya yang cantik dengan debu batu bara. Maka ketika mereka sampai di istana raja, pangeran menikahi sahaya hitam yang berbalur kapur itu, karena mengira bahwa dialah Jubeinah, yang wajahnya seputih keju dari air susu biri-biri betina.
Karena perempuan itu telah mengancam akan membunuhnya jika dia mengatakan hal yang sebenarnya, Jubeinah yang malang tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Untuk mendapatkan nafkah dia dipekerjakan sebagai gembala domba. Setiap pagi dia membawa kawanan ternak itu ke tempat rerumputan tumbuh, dan di sana dia akan duduk di bawah bayang-bayang sebuah pohon, sambil menangis dan berkata,
Wahai burung-burung yang terbang tinggi di udara,
Wahai sungai yang mengalir jauh di bawah sana,
Sampaikan salamku kepada ayahku,
Sampaikan salamku kepada ibuku,
Katakan kepada mereka betapa putri mereka tercinta
Kini harus mencari air dan rumput untuk kawanan domba.
Seluruh domba itu, dan kambing-kambing juga, saat melihatnya berurai air mata dan mendengarnya menangis, ikut menangis bersamanya dan lupa merumput.
Putra raja terheran-heran saat mengetahui bahwa kawanan domba itu dibawa ke padang rumput setiap pagi, tapi kembali dalam keadaan seakan-akan mereka berada di dalam kandang sepanjang hari. Tidak, bukannya bertambah gemuk, mereka justru semakin kurus dan kurus. “Aku harus menemukan sendiri alasannya,” katanya, maka diam-diam dia mengikuti gadis gembala itu. Dia mendengar kata-kata yang diucapkannya saat dia menangis, dan dia melihat bagaimana domba-domba itu berduka bersamanya dan tidak mau makan. Kini dia mengerti penyebab lemahnya hewan-hewan itu, dan dia menduga bahwa ini pastilah Jubeinah, mempelainya yang sebenarnya.
Ketika pangeran kembali ke istana, dia menyalakan tungku dan meminta istrinya menunag air untuk mandi. Begitu air sudah panas, dia berkata, “Mandilah engkau, ya perempuan.” Tapi perempuan itu menolak dan tidak mau melakukannya. Maka pangeran memasukkannya ke bak mandi dan menggosok paksa kulitnya. Seluruh debu kapur meleleh lepas dari kulitnya, dan tampaklah dia, seorang perempuan sahaya berkulit hitam. Pangeran menarik tubuhnya dan melemparkannya ke dalam tungku.
Malam hari, ketika Jubeinah kembali bersama kawanan ternaknya, pangeran menyuruhnya mandi. Ketika dia berjalan keluar, seluruh debu batu bara itu lenyap, dan setiap orang dapat melihat bahwa dia benar-benar gadis yang didambakan pangeran.
Apa yang terjadi kemudian?
Putra raja memperistrinya,
Dan mereka hidup bahagia!
From: Kisah-Kisah Fantastis dari Negeri 1001 Malam, Buku Ke-2, Inea Bushnaq.
0 comments:
Post a Comment