Gangguan berbahasa secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama yaitu, gangguan akibat faktor medis, dan yang kedua, gangguan akibat faktor lingkungan sosial.
Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicaranya. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti terpisah atau tersisih dari lingkungan kehidupan masyarakat yang sewajarnya.
Jadi manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Produktif di sini yaitu orang yang menyampaikan suatu bahasa. Sedangkan reseptif yaitu orang yang mendengar atau menerima bahasa itu. Gangguan berbahasa ada 4 yaitu:
A. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan daya gerak yang mengandung atau menunjukkan kemungkinan kejiwaan. Oleh karena itu, gangguan berbicara ada beberapa macam yaitu:
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses pengucapan atau perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otak-otak yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Sehingga gangguan bicara seseorang itu rusak. Ada beberapa gangguan mekanisme berbicara yaitu:
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, yaitu:
Gangguan psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, lafal dan pilihan kata. Ujaran yang berirama atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara.
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Gudang tempat penyimpanan sandi ekspresi kata-kata diotak adalah di daerah Broca, sedangkan gudang menyimpan sandi komprehensif kata-kata adalah di daerah Wernicke. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia, dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia. Jenis-jenis afasia yaitu:
a. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke.
b. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada daerah Wernicke menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Curah verbalnya merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapapun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apapun.
C. Gangguan Berfikir
Ekspresi Verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tersirat dalam gaya bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Gangguan ekspresi verbal akibat dari gangguan pikiran yaitu:
a. Pikun (demensia)
Orang yang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan ini menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
Penyebab pikun antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, dan depresi. Pikun yang disebabkan oleh depresi dapat dipulihkan kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia (pikun) lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya.
b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Penyakit akibat sisofrenik ini biasanya lebih sering bicara sendiri dan berhalusinasi. Pasien lebih menarik diri dari pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi sangat atau jarang. Begitu halusinasi pendengaran melandanya yang terganggu sesungguhnya bukanlah gaya berbahasanya, melainkan makna katanya yang abnormal. Dan apa yang dibicarakan atau dikeluhkan memiliki hubungan dengan halusinasinya.
c. Defresif (tekanan/gangguan jiwa)
Orang yang tertekan jiwanya menyalurkan pendritaannya pada gaya bahasanya dan makna yang diucapkannya. Suara atau ucapannya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh waktu yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Orang yang akibat defresi biasanya menyalahi dan mengutuk dirinya sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mekahirinya.
D. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang. Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam masyarakat manusia. maka meskipun dia terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia.
Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicaranya. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti terpisah atau tersisih dari lingkungan kehidupan masyarakat yang sewajarnya.
Jadi manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Produktif di sini yaitu orang yang menyampaikan suatu bahasa. Sedangkan reseptif yaitu orang yang mendengar atau menerima bahasa itu. Gangguan berbahasa ada 4 yaitu:
- Gangguan Berbicara
- Gangguan Berbahasa
- Gangguan Berfikir
- Gangguan Lingkungan Sosial
A. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan daya gerak yang mengandung atau menunjukkan kemungkinan kejiwaan. Oleh karena itu, gangguan berbicara ada beberapa macam yaitu:
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses pengucapan atau perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otak-otak yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Sehingga gangguan bicara seseorang itu rusak. Ada beberapa gangguan mekanisme berbicara yaitu:
- Gangguan akibat faktor pulmonal (pada paru-paru) Pada penderita penyakit paru-paru ini cara bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya terputus-putus dan volume suara kecil.
- Gangguan akibat faktor laringal (pada pita suara) Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang.
- Gangguan akibat faktor lingual (pada lidah) Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mengurangi rasa pedih di lidah maka seseorang mengurangi gerak aktivitas lidahnya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah bunyinya menjadi tidak sempurna.
- Gangguan akibat faktor resonansi (pada rongga mulut dan kerongkongan) Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya pada orang sumbing, suaranya menjadi bersengau karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi defek dilangit-langit keras, sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu.
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, yaitu:
- Berbicara serampangan Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan susah untuk dipahami.
- Berbicara propulsif (gerak laju yang terus-menerus) Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). Pada penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Mereka sulit sekali memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus-menerus tanpa henti.
- Berbicara mutis (mutisme) Penderita gangguan mutisme tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yang memang tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik.
Gangguan psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, lafal dan pilihan kata. Ujaran yang berirama atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara.
- Berbicara manja Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Umpanya, anak-anak yang baru terjatuh, terluka atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada berbicaranya. Fonem atau bunyi ( S ) dilafalkan menjadi bunyi ( C ) sehingga kalimat “saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja ya” akan diucapkan menjadi “caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah caja ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini juga dapat didapati pada orang tua pikun atau jompo.
- Berbicara kemayu Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan.
- Berbicara gagap Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Seringkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kekecewaannya.
- Fator-faktor “stres” dalam kehidupan berkeluarga.
- Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak, serta ditak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
- Adanya kerusakan pada belahan otak yang dominan.Faktor neorik famial.
- - Berbicara latah Latah yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain.
Apa yang menyebabkan terjadinya gagap ini belum diketahui secara tuntas. Namun, hal-hal berikut ini dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan, yaitu:
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Gudang tempat penyimpanan sandi ekspresi kata-kata diotak adalah di daerah Broca, sedangkan gudang menyimpan sandi komprehensif kata-kata adalah di daerah Wernicke. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia, dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia. Jenis-jenis afasia yaitu:
a. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke.
b. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada daerah Wernicke menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Curah verbalnya merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapapun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apapun.
C. Gangguan Berfikir
Ekspresi Verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tersirat dalam gaya bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Gangguan ekspresi verbal akibat dari gangguan pikiran yaitu:
a. Pikun (demensia)
Orang yang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan ini menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
Penyebab pikun antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, dan depresi. Pikun yang disebabkan oleh depresi dapat dipulihkan kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia (pikun) lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya.
b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Penyakit akibat sisofrenik ini biasanya lebih sering bicara sendiri dan berhalusinasi. Pasien lebih menarik diri dari pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi sangat atau jarang. Begitu halusinasi pendengaran melandanya yang terganggu sesungguhnya bukanlah gaya berbahasanya, melainkan makna katanya yang abnormal. Dan apa yang dibicarakan atau dikeluhkan memiliki hubungan dengan halusinasinya.
c. Defresif (tekanan/gangguan jiwa)
Orang yang tertekan jiwanya menyalurkan pendritaannya pada gaya bahasanya dan makna yang diucapkannya. Suara atau ucapannya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh waktu yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Orang yang akibat defresi biasanya menyalahi dan mengutuk dirinya sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mekahirinya.
D. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang. Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam masyarakat manusia. maka meskipun dia terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia.
0 comments:
Post a Comment