Syeikh Nuruddin Ar-Raniri

Nuruddin Al-Raniri (lengkap: Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi) adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syaikh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Ar Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanus al-Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (IAIN) di Banda Aceh.

Beliau di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafs bin Abdullah Basyeiban yang yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus Kerna adalah khalifah Tariqah Al-Idrus BaAlawi di India.

Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qodariyyah dari guru beliau.

Putera Abu Hafs iaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah bernikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.

Dari Ranir ke Aceh
Ranir saat itu merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh berbagai bangsa seperti Turki, Mesir, Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.

Tentang sejarah tokoh sufi ini, telah ditulis oleh beberapa sejarawan Belanda, seperti P. Voorhoeve dalam bukunya Van en Over Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry, terbitan Leiden University. Belanda.

Kemudian ada lagi G.W.J. Drewes, juga berkebangsan Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan ini kemudian diikuti oleh rekan sebangsanya C.A.O Van Nieuwenhuijze, yang menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder de Wugudiyah, yang mengupas tentang pertentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri yang menyebarkah faham Wujudiah.

Masa kecil Syeikh Nurruddin Ar-Raniry dihabiskan untuk mempelajari Islam di daerah¬nya. Dalam ilmu sufi dan tarekat, ia berguru pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah dewasa, ia melanjutkan studinya ke Tarim, Arab Selatan.

Tahun 1030 H (1621 M) hijrah ke Mekkah dan Madinah un¬tuk menu¬naikan ibadah haji. Di Arab, ia terus memperdalam ilmunya, karena saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka kesem¬patan itu juga digunakannya untuk mem¬pelajari bahasa Melayu. Setelah memantapkan ilmunya di Arab, ia kembali lagi ke Ranir.

Tapi saat itu, suasana Ranir sudah lain, karena terjadi persaingan dalam perdagangan dengan orang Islam, Portugis melakukan agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530. Ketika Ranir jatuh ke tangan Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan ke daerah Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat.

Akibat dari agresi Portugis itu banyak dari pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan mencari pusat perdagangan lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan Aceh yang sudah maju di bidang per¬dagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang banyak dipilih oleh mereka.

Selain pedagang, tokoh agama pun banyak yang hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut hati raja kerajaan Aceh saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain adalah Syeikh Nurruddin Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.

Tapi sebelumnya, pada masa pe¬merintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah datang ke Aceh. Namun, karena adanya pertentangan faham dengan Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di Aceh, tapi di daerah se¬menanjung Melayu.

Di sana ia mempelajari kitab-kitab sastra Melayu yang berisikan sejarah dan pegangan raja-raja serta pembesar kerajaan dalam memimpin menurut Islam. Seperti: Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta beberapa kitab lainnya yang sudah ditulis masa itu.

Kitab-kitab tersebut kemudian di¬perbaharuinya. Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua buah kitab, kitab Durrat al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah yang dibawanya ke Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan Iskandar Muda dan juga Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan pena¬sehatnya sudah mangkat. Sheikh Nurruddin Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Thani.

Perannya di Aceh
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.

Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan. Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.

Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham 'manunggaling kawula lan Gusti'. Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu-- maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada Allah.

Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan begini dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama-- hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta'ala.

Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.

Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.

Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah-- ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.

Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran kejawen.


Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah. Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.

Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau meninggal di India.

Karya-karya-nya
Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid

===========
Diambil dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Nuruddin_al-Raniri
http://iskandarnorman.multiply.com/reviews/item/62

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger