Oleh: H. Irsyad Syafar Buan Lc, Dpl.Ed.
Dipublikasikan di Jurnal OASE edisi 16 Th.2000
Pengantar
Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktifitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita akan dapatkan bahwa pendidikan telah mulai berproses semenjak Allah swt. menciptakan manusia pertama Adam di sorga dimana Allah telah mengajarkan kepada beliau semua nama-nama yang oleh para malaikat belum dikenal sama sekali (QS Al Baqarah: 31-33).
Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia telah berhasil merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lini kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia (1).
Dan secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju (taqaddumiyyah). Sehingga apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi dan beradabtasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi terwujudnya kemajuan yang lebih baik (2).
Sebagai contoh nyata dari argumen di atas dapat kita lihat dari dua kenyataan berikut:
Pertama, ketika Uni Sovyet meluncurkan pesawat luar angkasanya yamg pertama spotnic pada 4 oktober 1957, Amerika Serikat tergoncang dengan dahsyatnya. Demam spotnic melanda seantero Amerika. Betapa tidak, karena Amerika adalah negara besar pemenang perang dunia II telah kedahuluan oleh Uni Sovyet. Sampai-sampai presiden AS ketika itu membentuk tim khusus untuk merespon kejadian besar ini. Tim tersebut bukan bertugas menyelidiki kenapa Uni Sovyet berhasil mendahului mereka dalam meluncurkan pesawat luar angkasa, melainkan mereka mendapat intruksi lansung dari presiden untuk melakukan suatu tugas yang tidak disangka-sangka oleh para pengamat politik waktu itu. Tugas mereka adalah meninjau kembali kurikulum pendidikan AS mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dengan bekerja keras dan dalam waktu yang singkat tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan AS dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan harus direvisi. Sebuah keputusan yang teramat berani waktu itu. Tapi itulah sebuah konsekuensi kalau hendak berkompetisi dalam kemajuan peradaban.
Amerika pun mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala segi dan dimensinya. Mulai dari kurikulum, mata pelajaran, tenaga pengajar, sarana pendidikan sampai kepada sistem evaluasi pendidikan. Usaha mereka dengan sangat cepat membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Pada tanggal 14 juli 1969 mereka berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Hanya dalam kurun waktu 12 tahun mereka berhasil mengungguli teknologi Uni Sovyet. Waktu yang relatif singkat, kurang dari masa pendidikan seorang anak dari tingkat dasar sampai jenjang perkuliahan (3)
Hasil lain dari itu tentunya dapat disaksikan oleh dunia semuanya dimana AS sekarang telah menjadi kekuatan tunggal setelah runtuhnya US.
Kedua, kejadian yang hampir serupa sebenarnya pernah terjadi di Jepang seusai kekalahan mereka dalam perang dunia II dengan dibom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang praktis lumpuh dalam segala segi kehidupan. Bahkan kaisar Jepang waktu itu menyatakan bahwa mereka sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali tanah dan air. Belum lagi hukuman sebagai orang yang kalah perang yang melarang Jepang untuk membangun angkatan bersenjata. Semua itu merupakan hambatan yang sangat besar untuk dapat bangkit dan membangun sebuah peradaban baru. Tapi perkiraan akal manusia tidak selamanya benar. Jepang bangkit perlahan-lahan dengan memperbarui sistem pendidikan mereka dalam semua jenjang pendidikan. Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mundur ke balakang. Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah berobahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengetian "tidak bisa menggunakan komputer". Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan dunia ketiga, yang berarti tidak bisa tulis dan baca.
Dua fenomena di atas merupakan gambaran nyata dari urgensi pendidikan yang telah dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh AS dan Jepang. Langkah yang mereka ambil telah membuktikan kepada dunia bahwa kemajuan pendidikan berarti kemajuan sebuah bangsa. Dan bangsa manapun di dunia ini yang mengabaikan pendidikan maka tunggulah kehancurannya.
Pembaruan Pendidikan Indonesia Sebuah Keharusan
Kalau kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan indikasi yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi. Fenomena dan indikasi tersebut antara lain:
1. Rendahnya mutu dan tingkat pendidikan para tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan.
Fenomena ini dapat ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit wawasan mengenai kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah ini sangat perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh para pendidik, dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat pendidikan dasar di Indonesia sangat jarang diantara mereka yang memiliki ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah tamatan sekolah menengah atau sarjana muda. Untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas, maka akan kita temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga pengajar ditingkat ini kebanyakan sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana penuh. Dan bisa dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk tingkat perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali dosen yang hanya tamatan S1. Dalam waktu yang sama sangat jarang dosen yang bergelar Doktor mengajar di tingkat ini. Bahkan diantara dosen-dosen yang hanya memiliki ijazah S1 tersebut kadang kala tidak mengisi mata kuliahnya, tetapi digantikan oleh asistennya yang biasanya adalah mahasiswa/ mahasiswi tahun terakhir yang berprestasi atau sarjana baru.
Sementara itu kalau ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya bukan lulusan dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah ke bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti aktifitas mendidik. Karena mendidik bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid atau siswa, tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang mempunyai metode dan seni tersendiri.
Kalau kita adakan studi komparatif secara kasar dengan sebagian negara-negara arab yang nota bene negara ketiga seperti negara kita, maka kita akan sedikit tertinggal dari mereka. Padahal sering ejekan dari mulut kita bahwa orang-orang arab tidak lebih maju dari kita. Di Mesir saja tidak ada sarjana S1 yang mengajar di tingkat S1. Minimal tenaga pengajarnya adalah S2, tapi kebanyakan adalah Doktor (S3). Untuk tingkat sekolah menengah tidak ada tenaga pengajar yang lulusan sekolah menengah juga, kebanyakan lulusan S1, bahkan tidak jarang yang sudah magister ataupun lulusan Diploma Khusus (tingkatan setelah S1). Dan tidak jarang pula guru-guru pada tingkat pendidikan dasar pemilik ijazah diploma khusus tadi. Sementara itu di negara teluk terutama Kuwait dan Emirat Arab, mewajibkan tenaga pengajar untuk pendidikan tingkat menengah pertama ke bawah adalah lulusan dari fakultas-fakultas pendidikan. Ini baru perbandingan kasar dengan sebagian negara Arab, apalagi kalau kita bandingkan dengan negara maju seperti Amerika dan Inggris, maka kita akan sangat jauh tertinggal.
2. Rendahnya kemampuan sarjana-sarjana Indonesia
Gejala yang kedua ini merupakan akibat logis dari fenomena yang kita sebutkan di atas. Karena kapasitas dan kapabilitas para pendidik (dosen) akan berakibat lansung terhadap mutu yang mahasiswanya, baik secara positif maupun secara negatif. Dengan arti kata apabila seorang dosen memiliki tingkat akademis yang tinggi kemudian ia juga memiliki wawasan yang cukup dalam ilmu pendidikan maka besar peluang ia akan menghasilkan mahasisiwa dan mahasisiwi yang yang unggul dan lebih baik dibandingkan dengan dosen lain yang tidak memilki kriteria tersebut. Ini dapat kita ambil contoh pada beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memilki kemampuan finansial yang kuat yang memungkinnya untuk mendatangkan tenaga dosen yang qualified. Dibandingkan dengan perguruan tinggi yang lain yang kebanyakan para dosennya hanya lulusan S1, maka prestasi mahasisiwanya akan sangat jauh berbeda. Apalagi ketika bersaing dalam mendapatkan peluang kerja. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih rendah, baik pendidikan tingkat menengah maupun pendidikan dasar.
Indikasi lain dari gejala di atas adalah minimnya karya ilmiyah yang dihasilkan oleh para sarjana Indonesia. Contoh sederhana adalah masih jarangnya karya tulis dari penulis-penulis Indonesia. Yang ramai memenuhi pasar adalah buku-buku terjemahan, baik dari bahasa Arab, Inggris maupun bahasa lainnya. Kalaupun ada karya tulis dari penulis-penulis terkenal Indonesia, namun belum mampu menjadi rujukan di kawasan Asia tenggara apalagi untuk level Internasional. Coba kita bandingkan dengan karya Buya Hamka, tafsir Al Azhar yang menjadi rujukan bagi kebanyakan negara asia tenggara. Begitu juga karya Pak Natsir, fiqh dakwah yang juga tersebar di daratan melayu (Indonesia, Malaysia dan Thailand) bahkan dicetak dengan bahasa arab melayu karena mayoritas muslimin di selatan Thailand (Fathani) menggunakan arab melayu untuk menulis bahasa melayu.
3. Dekadensi moral dikalangan mahasiswa dan pelajar
Gejala yang ketiga ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan tidak dapat lagi dikatakan sebagai gejala. Tapi telah menjurus kepada fenomena. Kalau dulu di awal-awal 90-an kita sudah terbiasa mendengar tawuran antara sesama pelajar dan mahasisiwa. Baik antara sekolah dan perguruan yang sama atau pun yang berbeda. Kadang penyebab dari tawuran tersebut adalah hal yang sangat sepele, seperti persaingan nama, persaingan cinta (pacaran), kesenggol di bis atau di jalan dan lain sebagainya. Semua sebab tersebut mengindikasikan betapa bodohnya mereka. Lebih jauh lagi betapa tidak adanya efek positif dari apa yang mereka pelajari. Pada hal kalau kita cermati pada masa-masa tersebut sangat gencar diadakan penataran P4 untuk semua jenjang pendidikan. Bahkan merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan ijazah. Namun semua itu tidak menjadikan mereka lebih baik.
Pada masa dua tahun terakhir ini dekadensi moral tidak lagi sekedar tawuran, tapi telah lebih parah lagi. Mahasiswa dan pelajar (sampai tingkat SD) telah dicekoki oleh narkoba. Suatu hal yang mungkin dulu tidak pernah terbayangkan. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah sampai kepada kecanduan yang sudah sangat sulit diobati. Ini baru beberapa kebejatan moral yang telah terlanjur diekspos kehadapan publik. Adapun kebejatan moral yang tersembunyi yang tidak atau belum terdeteksi tentunya lebih parah lagi. Seperti pelacuran dikalangan mehasiswi dan mahasiswa, pornografi dengan berbagai jenis dan bentuknya, pemalsuan ijazah, kerusakan akhlak dikalangan para pendidik sendiri dan lain sebagainya.
Kita tidak memungkiri adanya faktor eksternal yang sangat kuat yang menyebabkan kondisi ini. Tapi minimal ini merupakan indikator yang sangat nyata betapa jeleknya kondisi internal mereka (baca pendidikan dengan segala isinya). Karena apa yang mereka pelajari dan siapa yang mengajari mereka sudah tidak mampu lagi memberikan imunitas kepada mereka dari bahaya-bahaya luar. Sehingga ketika mereka dirasuki oleh racun-racun eksternal mereka terkapar tak berdaya digerogoti oleh racun tersebut.
Kerusakan moral para mahasisiwa dan pelajar dengan segala jenis dan bentuknya adalah sebuah ancaman yang berbahaya tidak saja terhadap para pelakunya, tapi merupakan ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, ekonomi dan keamanan serta kesatuan bangsa. Atau dengan kata lain dapat merongrong integritas suatu bangsa (4).
Beberapa fenomena di atas kiranya cukup menjadi alasan yang kuat untuk melakukan reformasi pendidikan dalam berbagai bidang. Jika pendidikan di negara-negara maju yang telah memberikan banyak kontribusi positif untuk kehidupan manusia di seluruh dunia tidak lepas dari pembaruan dari waktu ke waktu, maka pendidikan di Indonesia yang pada masa belakangan ini masih belum menemukan format yang produktif tentunya sangat mendesak sekali untuk diperbaharui.
Beberapa Faktor Penyebab
Sesungguhnya asap tidak akan ada kalau tidak ada api. Begitu juga sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada sebab. Fenomena yang kita paparkan di atas sangat pasti ada penyebabnya. Kita akan coba melihat secara ringkas beberapa faktor yang kemungkinan besar menjadi penyebabnya:
1. Kemampuan ilmiah
Yang kita maksud kemampuan ilmiah di sini adalah kapabilitas seseorang untuk melakukan sebuah aktifitas yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Seperti penguasan terhadap metodologi riset, perangkat-perangkat riset baik yang berupa perangkat lunak (software) seperti referensi maupun perangkat keras (hardware) seperti mesin dan sebagainya. Semua komponen ini jarang terpenuhi karena faktor ekonomi, waktu dan kesempatan dan skill para sarjana dalam menggunakannya. Disamping itu kemampuan dan minat baca rakyat Indonesia secara umum masih sangat rendah dan jauh dari rata-rata. Indonesia masih termasuk negara yang paling rendah dalam mengkonsumsi buku pertahunnya. Padahal membaca adalah salah satu faktor yang paling urgen dalam kemampuan ilmiah seseorang. Belum lagi harga buku yang relatif sangat mahal yang menjadi penghalang terwujudnya masyarakat yang minat bacanya tinggi.
Itu yang berkaitan dengan kemampuan ilmiah, sementara itu yang berkaitan dengan krisis moral besar kemungkinan adalah tipisnya nilai-nilai moral dan akhlak dalam diri mahasiswa tersebut. Karena kebanyakan mereka sudah tidak lagi mendapatkan pendidikan moral yang memadai pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi. Sementara gerogotan dari luar terhadap moral mereka sangat gencar sekali, seperti koran, majalah, radio dan televisi dan lingkungan tempat mereka berinteraksi. Sehingga seseorang lebih menjadi murid lingkungannya dibanding murid sekolahnya.
2. Kesempatan
Kebanyakan para mahasiswa atau sarjana terlanjur sibuk dengan banyak aktifitas rutin harian yang menyita hampir seluruh waktu yang dimilikinya. Sehingga sangat sulit untuk mencari peluang dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ilmiahnya. Apalagi peluang untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidaklah mudah. Persaingan dan biaya yang tinggi sering penjadi penghalang dihadapan para sarjana untuk melanjutkan studi mereka. Sementara itu peluang untuk mengganti spesialisasi lain ataupun menambah spesialisasi lebih dari satu baik di tingkat S1 maupu ditingkat S2 dan S3 sangat kekecil kemungkinannya karena batasan umur yang mengikat, biaya yang mahal dan peraturan yang kurang mendukung. Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Mesir misalnya, banyak sekali mahasiswa yang belajar pada tingkat S1 di suatu bidang, tapi ia di bidang yang lain sudah S3 atau S2. Atau adanya mahasiswa yang menyandang lebih dari 5 gelar S2 tapi masih mau mengambil spesialisasi yang lain di tingkat S1 atau S2.
3. Faktor ekonomi
Kondisi ekonomi rakyat baik sebelum krisis apalagi setelah krisis merupakan faktor yang dominan yang menyebabkan timbulnya fenomena di atas. Apalagi pendidikan telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Sehingga banyak konglomerat menginvestasikan uangnya di bidang ini. Sementara itu anggaran pendidikan nasional tidak mampu mengatasi problema ini karena jumlahnya yang masih jauh dari cukup. Maka kita lihat semua sarana pendidikan milik pemerintah mulai dari tingkat SLTP sampai perguruan tinggi tidak ada yang gratis. Apalagi yang milik swasta. Padahal kalau dibandingkan dengan Sudan yang lebih miskin dari kita malah mampu menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya.
Gejala di atas berakibat banyaknya rakyat yang tidak mendapatkan pendidikan sampai ketingkat yang lebih tinggi. Kalaupun ada, kebanyakan hanya bertahan sampai jenjang S1. Rata-rata terbentur oleh kondisi finansial mereka yang sangat tidak mendukung. Padahal dari segi kecerdasan banyak yang potensial.
4. Faktor politik
Dalam masa orde baru ada kecendrungan para penguasa untuk mempolitisir pendidikan demi kesinambungan kekuasan mereka, dengan mengabaikan kemajuan rakyat. Contoh sederhana dapat kita lihat pada penanaman nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme perlahan-lahan berubah dari loyalitas kepada bangsa menjadi loyalitas kepada penguasa betapa pun jeleknya. Slogan nasionalisme dijadikan alat untuk menekan dan mengelabui rakyat. Padahal mereka yang berkoar-koar dengan slogan nasionalisme tersebut tidak jarang merekalah orang yang paling tidak nasionalisme. Terbukti setelah runtuhnya rezim orde baru terungkap berbagai bentuk penyelewengan harta dan kekayaan bangsa, baik dalam bentuk korupsi, kolusi maupun nepotisme. Kalau seandainya semua harta yang dipegang oleh "bandit-bandit" nasionalisme tersebut niscaya akan sangat mencukupi untuk menanggulangi krisis yang berlarut-larut sekarang ini, bahkan bisa berlebih. Semakin semrawutnya masalah ini sampai sekarang menjadi bukti berikutnya bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki nasionalisme sama sekali melainkan egoisme belaka.
Contoh lain dari mempolitisir pendidikan adalah adanya mata pelajaran yang pada intinya pengulangan dari mata pelajaran yang lain, seperti PSPB yang seharusnya sudah cukup dengan pelajaran PMP dan sejarah. Namun karena pelajaran tersebut menguntungkan penguasa maka harus dipelajari.
5. Sistem penerimaan mahasiswa baru
Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dibandingkan dengan sebagian negara ketiga lainnya. Seperti pemakaian sistem SKS disemua perkuliahan merupakan sebuah nilai positif. Masih banyak negara-negar ketiga yang belum mampu merealisasikan sistem ini. Namun ada sedikit kekurangan yang menyangkut sistem peneriamaan mahasiswa baru. Karena sering sistem ini yang menyebabkan tidak masuknya siswa/siswi yang bernilai agak bagus ke perguruan tinggi (PT) negeri. Akibat selanjutnya PT swasta menjadi solusi. Namun kondisi inilah yang menyebabkan pendidikan menjadi ladang bisnis. Apa artinya diadakan EBTANAS untuk siswa kelas 3 SMU kalau setelah itu mereka harus ikut ujian lagi untuk masuk PT? Kenapa nilai EBTANAS murni mereka tidak dijadikan sebagai standar penerimaam mahasiswa baru?. Apabila siswa yang bernilai rendah banyak yang berhasil lolos sebaliknya yang bernilai di atas rata-rata tidak masuk, maka akibat berikutnya tentu dapat diduga yaitu ketidak mampuan untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi disamping juga prestasi studinya yang kurang memuaskan.
Reformasi Pendidikan dalam Tantangan Modernitas
Uraian di atas mengantarkan kita kepada perlunya reformasi dalam pendidikan Indonesia. Karena bangsa kita tidak saja dihadapkan kepada masalah-masalah internal, tetapi juga tantangan eksternal untuk dapat terus mengiringi kemajuan zaman. Bahkan seharusnya tidak saja mengiringi, tetapi ikut andil dalam modernisasi kehidupan manusia. Oleh sebab itu reformasi (pembaharuan) yang diinginkan hendaklah memiliki orientasi yang jelas. Bukan dengan menggunakan politik tambal sulam yang selama ini sering diperankan oleh siapa saja yang menjadi menteri pendidikan. Sehingga berkibat compang-campingnya pendidikan Indonesia. Pada kesempatan ini penulis memberikan beberapa ide yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam mereformasi pendidikan Indonesia.
1. Pohon pendidikan bukan jenjang pendidikan
Dalam dunia pendidikan kita mendengar istilah jenjang pendidikan (Educational Ladder) yaitu tangga atau tingkat yang harus dilalui seseorang dalam menggeluti pendidikan secara berturut-turut. Sistem ini memiliki permulaan yang terbatas, kemudian lanjutan yang terbatas dan ujung yang terbatas juga. Contohnya mulai dari SD, kemudian SMP, lalu Jurusan fisika (IPA) di SMU, selanjutnya fakultas tekhnik di perkuliahan dan seterusnya. Dan akan berakhir pada satu titik (puncak tangga). Tidak ada peluang dengan sistem ini untuk mengembangkan diri kebagian yang lain. Karena ia berurutan seperti tangga. Sistem semacam ini perlu ditinjau kembali. Karena ia sangat tidak relefan dengan perkembangan zaman serta kemajuan ilmu dan teknologi.
Untuk mengikuti tuntutan zaman sistem ini sudah semestinya diganti dengan sistem yang lebih fleksibel dan membuka peluang untuk selalu maju dan berkembang. Sistem yang cocok sebagai alternatif adalah sistem Pohon Pendidikan (Educational Tree). Sesuai dengan namanya sistem ini seperti sebuah pohon yang memiliki beberapa unsur yang menjadikannya layak dikatakan sebagai sebuah pohon yang rindang dan berdiri kokoh diatas tanah yang kuat. Unsur tersebut adalah:
Secara ringkas pengertian sistem ini dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Tanah yang subur
Ia merupakan sumber dan tempat berdirinya semua proses pendidikan yang menggambarkan suatu bangsa dan negara. Dari padanyalah batang pohon mengambil segala makanannya. Apabila tanahnya subur dan memiliki komponen-komponen yang sehat dan kuat maka batang pohon tersebut juga akan menjadi kuat dan kokoh. Begitu juga sebaliknya, pohon akan keropos apabila tanah tempat erpijaknya banyak memgandung racun, penyakit virus dan sebagainya. Oleh sebab itu didalamnya harus terdapat agama, falsafah hidup, adat kebiasaan yang baik, dan wawasan kebangsaan (nasionalisme) dengan arti yang sebenarnya. Semua unsur ini harus menjadi inti dan prioritas dalam membuat sebuah kurikulum pendidikan dasar. Dengan menjadikan semua unsur di atas sebagai bagian terpenting dalam pembuatan kurikulum, maka berarti pohon pendidikan tersebut telah mengambil makanannya dengan lengkap. Sebaliknya mengabaikan salah satu dari unsur di atas berarti pohon tersebut akan sangat mudah diserang penyakit dan hama, tidak akan berbuah, atau buahnya dimasuki ulat, atau buahnya pahit dan tidak tertutup kemungkinan akan mati seketika.
Dengan konsep ini penulis menekankan bahwa pelajaran agama mesti menjadi pelajaran wajib bagi setiap siswa pendidikan dasar, dan harus dalam persentasi yang proposional, bukan pelajaran tambahan tapi menjadi syarat lulus dalam ujian dan dengan nilai minimal yang lebih tinggi dari mata pelajaran lainnya. Pelajaran agama yang hanya dua jam dalam sepekan dan hanya satu mata pelajaran di semua sekolah pemerintah sangatlah tidak proposional. Karena sama artinya dengan mencabut atau memisahkan batang pohon dari tanahnya. Penulis tidak bermaksud hanya untuk agam Islam, tapi semua agama yang resmi di Indonesia. Setiap siswa/siswi harus mempelajari agamanya dengan baik semenjak pendidikan dasar.
b. Batang pohon
Batang pohon adalah pendidikan dasar yang harus dilalui oleh setiap warga negara. Dalam aplikasinya adalah pendidikan dari usia sekolah (6 tahun) sampai usia 15 tahun atau yang populer dengan nama tingkat SD dan SLTP (usia wajib belajar). Karena batang adalah bagian pertama dari pohon yang menghujam lansung ke tanah maka pendidikan di masa ini harus berangkat dari tanah yang sama. Artinya kurikulum di tingkat ini harus sama. Dengan pengertian tidak ada lagi istilah sekolah agama dan sekolah umum. Semua harus menjadi sekolah agama dan umum, mempelajari kurikulum yang sama. Bagi yang beragama Islam harus mempelajari agamanya dengan porsi yang lebih banyak dari apa yang dipelajari sekarang. Begitu juga yang beragama Kristen, Hindu dan Budha. Masing-masing harus mengenal agamanya dengan baik dan matang. Dengan cara ini semua warga negara memiliki wawasan beragama yang matang dan mantap yang semakin memperkecil konflik antar agama. Karena semua agama mengajarkan kebaikan, walaupun tentunya penulis sebagai seorang muslim harus tetap komitmen dengan Islam yang dianut. Dan penulis melihat pada level ini tidak ada lagi yang namanya pesantren atau ibtidaiyah, karena semua telah mempelajari agama dengan baik dan lengkap dengan kurikulum yang baru.
c. Cabang pohon
Dengan kondisi Indonesia yang sekarang ini yang membutuhkan perbaikan di segala bidang dengan biaya yang seminim mungkin dan perlunya menyediakan tenaga terampil yang murah sebanyak-banyaknya, maka penulis melihat mulainya cabang pohon dari tingkat SLTA. Artinya pada level ini siswa sudah mulai kepada spesialisasi yang memungkinkan mereka untuk lansung terjun ke medan kerja seandainya tidak mampu melanjutkan pendidikannya. Pada kondisi ekonomi yang mapan dan stabil bisa saja cabang pohon baru di mulai pada tingkat perkuliahan.
Untuk mengaplikasikan hal ini penulis mengusulkan dibuatnya SLTA yang integral dalam satu jenis disiplin ilmu. Dimana SLTA tersebut mencakup beberapa spesialisasi yang hampir sama. Contohnya SLTA IPA, SLTA Sosial, SLTA tekhnik, SLTA Agama dan lain sebagainya.. Bentuknya hampir sama dengan jurusan yang ada sekarang di SMU dan STM, tapi lebih menjurus dan mendalam. Setamatnya dari pendidikan ini siswa dapat memilih antara melanjutkan atau lansung terjun ke lapangan kerja, karena mereka sudah memiliki ketrerampilan yang memadai. Bahkan ini juga peluang untuk memperbaiki mutu dan kapasitas tenaga kerja Indonesia, baik di dalam maupun yang dikirim ke luar negeri sebagai TKI, dan mereka telah terampil dan harganya tidak terlalu mahal yang membuka peluang banyaknya negara asing yang mengontrak mereka (dari pada kita hanya mampu mengirim pembantu dan cleaning servis).
Pada tingkat inilah peluang untuk membuat pesantren yang merupakan SLTA Agama.
d. Dahan dan ranting
Pada level ini setiap orang memiliki peluang untuk masuk tanpa batasan umur, yang penting memenuhi syarat-syarat ilmiah. Sehingga siapa saja dapat memperluas wawasan dan kemapuannya sesuai dengan keinginan dan kesempatan yang dimilikinya. Dengan sistem ini seorang ahli ekonomi bisa saja masuk fakultas syariah di sebuah universitas, atau seorang sarjana kedokteran mengambil spesialisasi lain dibidang arsitektur dan seterusnya. Karena diantara keistimewaan dahan dan ranting adalah dapat tumbuh di mana-mana di batang pohon dan siapa saja dapat berpindah-pindah dari satu dahan ke dahan yang lain dan dari satu ranting ke ranting yang lain (5)
2. Integral bukan parsial
Pembaharuan yang diharapkan hendaklah pembaharuan yang integral bukan parsial. Karena pembaharuan parsial tidak obahnya dengan tambal sulam, akibatnya pendidikan Indonesia menjadi compang-camping. Apalagi kalau memang ingin merealisasikan sistem pohon pendidikan seperti yang penulis gambarkan di atas.
Oleh sebab itu pembaharuan harus mencakup semua segi pendidikan, baik dari segi tujuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran, teknis dan metode serta srategi pengajaran, sarana dan fasilitas pendidikan, sistem evaluasi dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini penulis menekankan perlunya pengembangan proses pendidikan dengan menggunakan tekhnologi pendidikan. Disini tidak cukup dengan adanya internet di sebuah sekolah (baik SLTP ataupun SLTA dst) tapi bagaimana agar kemajuan teknologi tersebut betul-betul dalam rangka mendukung proses belajar dan mengajar.
Disamping itu untuk mendukung penerapan sistem pohon pendidikan penulis melihat perlunya perubahan pada model atau tipe universitas yang ada. Model yang ada sekarang adalah sebuah universitas terdiri dari beberapa fakultas yang mewakili sebuah spesialisasi besar, kemudian fakultas tersebut terdiri dari beberapa jurusan yang merupakan spesialisasi yang lebih kecil lagi. Kondisi ini kurang mendukung untuk pelaksanaan sistem pohon pendidikan. Akan sangat ideal apabila fakultas yang ada berubah menjadi universitas. Artinya universitas tersebut hanya terdiri dari satu spesialisasi induk, maka akan muncul universitas kedokteran, universitas tekhnik, universitas syariah dan seterusnya.
Model semacam ini telah diterapkan dengan sukses di Jepang seperti: Universitas Studi-Studi Asing Osaka, Universitas Perdagangan Otaro,Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi Tokyo, Universitas Pertanian Tokyo dan lain sebagainya. Di Prancis Universitas Sorbon di pecah menjadi 13 universitas sesuai dengan spesialisasi yang ada. Begitu juga di negara-negara maju lainnya seperti: Amerika, Jerman, Australia dan Austria, sistem ini telah diterapkan dengan baik sekali (6).
3. Kerja bukan teori
Sejalan dengan ide pembentukan SLTA yang integral serta sistem pohon pendidikan maka orientasi pembaharuan haruslah kepada kerja bukan kepada berapa banyak yang teori yang dipelajari. Karena kenyataan menunjukkan banyaknya mata pelajaran yang dipelajari di satu tingkat, lalu pada tingkat berikutnya pelajaran tersebut tidak ada gunanya sama sekali, atau belum bisa di bawa ke lapangan kerja. Bahkan ini terjadi dalam bidang yang hampir sama. Contohnya seorang siswa yang belajar di jurusan IPA di SLTA mempelajari beberapa mata pelajaran yang kalau mereka melanjutkan ke jurusan yang sama pada tingkat perkuliahan, pelajaran tersebut tidak ada gunanya bagi mereka atu lebih detail lagi tidak dapat mereka praktekkan ketika mereka masuk ke lapangan kerja. Sehingga sudah merupakan fenomena umum apabila seorang sarjana tekhnik yang baru bekerja di sebuah perusahaan tekhnik harus melalui beberapa kursus dan training baru dapat bekrja dengan semestinya pada perusahaan tersebut. Apa gunanya empat tahun atau lebih kuliah di fak. Teknik lalu ketika masuk bekerja belum dapat langsung bekerja?
Oleh sebab itu pembaharuan pendidikan harus mengarah kepada pembentukan tenaga-tenaga terampil yang siap pakai dalam berbagai disiplin ilmu. Target ini menghendaki adanya kolerasi antara apa yang dipelajari di bangku perkuliahan dengan kenyataan yang ada di lapangan kerja. Kalau perlu setiap perusahaan besar (BUMN misalnya) seharusnya membuat SLTA dan perkuliahan tersendiri yang mampu melahirkan tenaga-tenaga terampil di perusahaan tersebut. Sehingga betul-betul ada jalinan yang kuat antara pendidikan dan kerja.
4. Mengurangi tekanan internal dan eksternal
Seharusnya pendidikan terbebas dari tekanan-tekanan internal dan eksternal, agar pendidikan betul-betul untuk mendidik dan untuk mencerdaskan bangsa. Bukan untuk kemaslahatan pihak-pihak tertentu ataupun untuk kepentingan penguasa. Dengan kebebasan pendidikan dari segala tekanan luar dan dalam, persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud. Karena rakyatnya memiliki tingkat ilmu pengetahuan yang hampir sama dan merata, sehingga tidak ada satu pihakpun mampu mengelabui pihak lain yang lebih bodoh.
Diantara bentuk tekanan internal sebagai contoh adanya sekolah yang di bawah kontrol departemen pendidikan, lalu yang lain di bawah kontrol departemen agama, kemudian yang satu lagi dibawah departemen pertahanan dan keamanan, dan yang lain lagi di bawah departemen kepemudaan. Kondisi ini hanya akan menyebabkan perbedaan bentuk wawasan dan cara berfikir yang pada kemudian hari merupakan faktor pemicu pertikaian. Dengan menyatukan kurikulum pada tingkat wajib belajar (6-15 tahun) maka kesatuan wawasan dan pemikiran akan semakin terjaga.
Adapun faktor eksternal adalah tekanan-tekanan pihak luar untuk menerapkan satu sistem tertentu dalam pendidikan Indonesia. Karena bagaimana pun juga negara dan bangsa Indonesia memiliki wawasan, adat kebiasaan, pola hidup yang jelas tidak sama dengan negara lain yang memaksakan satu sistem tersebut.
5. Prioritas skill pendidikan
Sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas, setiap orang yang terjun kedunia mendidik haruslah memiliki spesialisasi pendidikan. Apapun yang menjadi spesialisasinya, namun bila ingin menjadi guru atau dosen maka hendaklah lebih dulu mempelajari ilmu-ilmu pendidikan. Ide ini dapat direalisasikan dengan membuka diploma pendidikan, sekurang-kurangnya satu tahun dan selama-lamanya dua tahun. Setiap sarjana S1 yang akan mengajar di SLTA misalnya harus mengambil diploma pendidikan satu tahun. Dan yang akan menjadi dosen harus mengambil diploma dua tahun. Dengan cara ini tingkat kemahiran dan wawasan seorang guru dalam mengajar dapat ditingkatkan dan selanjutnya prestasi siswa/mahasiswanya juga akan lebih baik.
6. Perbaikan status sosial guru
Di Indonesia gaji guru di tingkat SD, SLTP dan SLTA sangatlah minim dibandingkan dengan seorang dosen. Padahal tugas dan usaha yang harus mereka lakukan lebih urgen. Karena dari peran merekalah diharapkan lahirnya warga negara yang berloyalitas tinggi kepada bangsa dan negara, berkemauan keras untuk maju. Dan pada hakekatnya merekalah yang menjadi batang pohon. Sementara pendidikan di tingkat universitas adlah dahan dan ranting. Apabila dahan dan ranting patah, pohon masih akan berpeluang untuk hidup. Tapi apabila batangnya yang patah dan keropos maka pohon akan mati dan dahan beserta rantingnya tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Penulis melihat kiranya Indonesia perlu melihat dan meniru sistem Jepang yang sangat berhasil. Di Jepang piramida gaji para tenaga pengajar di berbagai jenjang pendidikan terbalik dari piramida yang biasa. Dimana gaji yang paling tinggi adalah guru-guru pada tingkat pendidikan dasar, kemudian menengah, atas dan seterusnya. Sehingga pendidikan dasar mereka sangat kuat, karena gurunya betul-betul berkonsentrasi dan mengerahkan segala kemampuannya untuk mendidik.
Tentunya pada waktu sekarang ini kurang ideal bagi negara kita untuk mewujudkan hal tersebut, tapi kita harus mengacu kearah itu secara perlahan-lahan. Dari sekarang sudah seharusnya di mulai dengan menjadikannya sama atau di bawah sedikit dari gaji seorang dosen.
Penutup
Di akhir tulisan ini penulis mengakui bahwa ide-ide yang telah di sampaikan membutuhkan sebuah riset yang detail dan terperinci dan harus dilakukan para pakar yang berkompeten dalam hal ini dengan syarat semua beri'tiqad baik untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia, terlepas dari tekanan internal dan eksternal. Walaupun mungkin ada diantara ide-ide tersebut yang kurang relevan dan signifikan dengan realita bangsa Indonesia, penulis yakin bahwa sesuatu yang sulit untuk direalisasikan sebagian besarnya, tidak mesti ditinggalkan keseluruhannya. Semoga Allah SWT memberi kita taufiq dan hidayah-Nya.
==========
Catatan kaki:
(1). Abdurrahman Ibnu Al Khaldun, Muqaddimah, Daar Al Fikr, Beirut.,Cet I, 1998, hal.412.
(2). Mushthafa 'Abdus Sami', Teknolojia At Ta'lim, Markaz Al kitab Lin Nasyr, Cairo, 1999, hal.10.
(3). C. Winfield and Scoot, The Great Debate, 1957.
(4). Delbert S. Elliott and Beatrix A. Hamburg, Violence in American Schools,,C.J Petrick Hunter Design Associate, University of Colorado, 1997, p 13.
(5). 'Ali Ahmad Madkur, At Ta'lim Al 'Aliy Fii Al Wathan Al "Arabi, Daar Al Fikr Al 'Arabi, Cairo, 2000, hal. 95-117.
(6). 'Abdul Fattah Ahmad Jalal, Tajdid Al 'Amaliyah At Ta'limiyah Fi Al Jami'ah Al Mustaqbal, Majalah 'Ulum Al Tarbawiyah, Cairo University, Cairo, 1993, hal. 23-29.
Dipublikasikan di Jurnal OASE edisi 16 Th.2000
Pengantar
Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktifitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita akan dapatkan bahwa pendidikan telah mulai berproses semenjak Allah swt. menciptakan manusia pertama Adam di sorga dimana Allah telah mengajarkan kepada beliau semua nama-nama yang oleh para malaikat belum dikenal sama sekali (QS Al Baqarah: 31-33).
Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia telah berhasil merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lini kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia (1).
Dan secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju (taqaddumiyyah). Sehingga apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi dan beradabtasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi terwujudnya kemajuan yang lebih baik (2).
Sebagai contoh nyata dari argumen di atas dapat kita lihat dari dua kenyataan berikut:
Pertama, ketika Uni Sovyet meluncurkan pesawat luar angkasanya yamg pertama spotnic pada 4 oktober 1957, Amerika Serikat tergoncang dengan dahsyatnya. Demam spotnic melanda seantero Amerika. Betapa tidak, karena Amerika adalah negara besar pemenang perang dunia II telah kedahuluan oleh Uni Sovyet. Sampai-sampai presiden AS ketika itu membentuk tim khusus untuk merespon kejadian besar ini. Tim tersebut bukan bertugas menyelidiki kenapa Uni Sovyet berhasil mendahului mereka dalam meluncurkan pesawat luar angkasa, melainkan mereka mendapat intruksi lansung dari presiden untuk melakukan suatu tugas yang tidak disangka-sangka oleh para pengamat politik waktu itu. Tugas mereka adalah meninjau kembali kurikulum pendidikan AS mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dengan bekerja keras dan dalam waktu yang singkat tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan AS dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan harus direvisi. Sebuah keputusan yang teramat berani waktu itu. Tapi itulah sebuah konsekuensi kalau hendak berkompetisi dalam kemajuan peradaban.
Amerika pun mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala segi dan dimensinya. Mulai dari kurikulum, mata pelajaran, tenaga pengajar, sarana pendidikan sampai kepada sistem evaluasi pendidikan. Usaha mereka dengan sangat cepat membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Pada tanggal 14 juli 1969 mereka berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Hanya dalam kurun waktu 12 tahun mereka berhasil mengungguli teknologi Uni Sovyet. Waktu yang relatif singkat, kurang dari masa pendidikan seorang anak dari tingkat dasar sampai jenjang perkuliahan (3)
Hasil lain dari itu tentunya dapat disaksikan oleh dunia semuanya dimana AS sekarang telah menjadi kekuatan tunggal setelah runtuhnya US.
Kedua, kejadian yang hampir serupa sebenarnya pernah terjadi di Jepang seusai kekalahan mereka dalam perang dunia II dengan dibom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang praktis lumpuh dalam segala segi kehidupan. Bahkan kaisar Jepang waktu itu menyatakan bahwa mereka sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali tanah dan air. Belum lagi hukuman sebagai orang yang kalah perang yang melarang Jepang untuk membangun angkatan bersenjata. Semua itu merupakan hambatan yang sangat besar untuk dapat bangkit dan membangun sebuah peradaban baru. Tapi perkiraan akal manusia tidak selamanya benar. Jepang bangkit perlahan-lahan dengan memperbarui sistem pendidikan mereka dalam semua jenjang pendidikan. Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mundur ke balakang. Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah berobahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengetian "tidak bisa menggunakan komputer". Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan dunia ketiga, yang berarti tidak bisa tulis dan baca.
Dua fenomena di atas merupakan gambaran nyata dari urgensi pendidikan yang telah dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh AS dan Jepang. Langkah yang mereka ambil telah membuktikan kepada dunia bahwa kemajuan pendidikan berarti kemajuan sebuah bangsa. Dan bangsa manapun di dunia ini yang mengabaikan pendidikan maka tunggulah kehancurannya.
Pembaruan Pendidikan Indonesia Sebuah Keharusan
Kalau kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan indikasi yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi. Fenomena dan indikasi tersebut antara lain:
1. Rendahnya mutu dan tingkat pendidikan para tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan.
Fenomena ini dapat ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit wawasan mengenai kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah ini sangat perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh para pendidik, dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat pendidikan dasar di Indonesia sangat jarang diantara mereka yang memiliki ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah tamatan sekolah menengah atau sarjana muda. Untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas, maka akan kita temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga pengajar ditingkat ini kebanyakan sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana penuh. Dan bisa dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk tingkat perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali dosen yang hanya tamatan S1. Dalam waktu yang sama sangat jarang dosen yang bergelar Doktor mengajar di tingkat ini. Bahkan diantara dosen-dosen yang hanya memiliki ijazah S1 tersebut kadang kala tidak mengisi mata kuliahnya, tetapi digantikan oleh asistennya yang biasanya adalah mahasiswa/ mahasiswi tahun terakhir yang berprestasi atau sarjana baru.
Sementara itu kalau ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya bukan lulusan dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah ke bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti aktifitas mendidik. Karena mendidik bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid atau siswa, tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang mempunyai metode dan seni tersendiri.
Kalau kita adakan studi komparatif secara kasar dengan sebagian negara-negara arab yang nota bene negara ketiga seperti negara kita, maka kita akan sedikit tertinggal dari mereka. Padahal sering ejekan dari mulut kita bahwa orang-orang arab tidak lebih maju dari kita. Di Mesir saja tidak ada sarjana S1 yang mengajar di tingkat S1. Minimal tenaga pengajarnya adalah S2, tapi kebanyakan adalah Doktor (S3). Untuk tingkat sekolah menengah tidak ada tenaga pengajar yang lulusan sekolah menengah juga, kebanyakan lulusan S1, bahkan tidak jarang yang sudah magister ataupun lulusan Diploma Khusus (tingkatan setelah S1). Dan tidak jarang pula guru-guru pada tingkat pendidikan dasar pemilik ijazah diploma khusus tadi. Sementara itu di negara teluk terutama Kuwait dan Emirat Arab, mewajibkan tenaga pengajar untuk pendidikan tingkat menengah pertama ke bawah adalah lulusan dari fakultas-fakultas pendidikan. Ini baru perbandingan kasar dengan sebagian negara Arab, apalagi kalau kita bandingkan dengan negara maju seperti Amerika dan Inggris, maka kita akan sangat jauh tertinggal.
2. Rendahnya kemampuan sarjana-sarjana Indonesia
Gejala yang kedua ini merupakan akibat logis dari fenomena yang kita sebutkan di atas. Karena kapasitas dan kapabilitas para pendidik (dosen) akan berakibat lansung terhadap mutu yang mahasiswanya, baik secara positif maupun secara negatif. Dengan arti kata apabila seorang dosen memiliki tingkat akademis yang tinggi kemudian ia juga memiliki wawasan yang cukup dalam ilmu pendidikan maka besar peluang ia akan menghasilkan mahasisiwa dan mahasisiwi yang yang unggul dan lebih baik dibandingkan dengan dosen lain yang tidak memilki kriteria tersebut. Ini dapat kita ambil contoh pada beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memilki kemampuan finansial yang kuat yang memungkinnya untuk mendatangkan tenaga dosen yang qualified. Dibandingkan dengan perguruan tinggi yang lain yang kebanyakan para dosennya hanya lulusan S1, maka prestasi mahasisiwanya akan sangat jauh berbeda. Apalagi ketika bersaing dalam mendapatkan peluang kerja. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih rendah, baik pendidikan tingkat menengah maupun pendidikan dasar.
Indikasi lain dari gejala di atas adalah minimnya karya ilmiyah yang dihasilkan oleh para sarjana Indonesia. Contoh sederhana adalah masih jarangnya karya tulis dari penulis-penulis Indonesia. Yang ramai memenuhi pasar adalah buku-buku terjemahan, baik dari bahasa Arab, Inggris maupun bahasa lainnya. Kalaupun ada karya tulis dari penulis-penulis terkenal Indonesia, namun belum mampu menjadi rujukan di kawasan Asia tenggara apalagi untuk level Internasional. Coba kita bandingkan dengan karya Buya Hamka, tafsir Al Azhar yang menjadi rujukan bagi kebanyakan negara asia tenggara. Begitu juga karya Pak Natsir, fiqh dakwah yang juga tersebar di daratan melayu (Indonesia, Malaysia dan Thailand) bahkan dicetak dengan bahasa arab melayu karena mayoritas muslimin di selatan Thailand (Fathani) menggunakan arab melayu untuk menulis bahasa melayu.
3. Dekadensi moral dikalangan mahasiswa dan pelajar
Gejala yang ketiga ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan tidak dapat lagi dikatakan sebagai gejala. Tapi telah menjurus kepada fenomena. Kalau dulu di awal-awal 90-an kita sudah terbiasa mendengar tawuran antara sesama pelajar dan mahasisiwa. Baik antara sekolah dan perguruan yang sama atau pun yang berbeda. Kadang penyebab dari tawuran tersebut adalah hal yang sangat sepele, seperti persaingan nama, persaingan cinta (pacaran), kesenggol di bis atau di jalan dan lain sebagainya. Semua sebab tersebut mengindikasikan betapa bodohnya mereka. Lebih jauh lagi betapa tidak adanya efek positif dari apa yang mereka pelajari. Pada hal kalau kita cermati pada masa-masa tersebut sangat gencar diadakan penataran P4 untuk semua jenjang pendidikan. Bahkan merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan ijazah. Namun semua itu tidak menjadikan mereka lebih baik.
Pada masa dua tahun terakhir ini dekadensi moral tidak lagi sekedar tawuran, tapi telah lebih parah lagi. Mahasiswa dan pelajar (sampai tingkat SD) telah dicekoki oleh narkoba. Suatu hal yang mungkin dulu tidak pernah terbayangkan. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah sampai kepada kecanduan yang sudah sangat sulit diobati. Ini baru beberapa kebejatan moral yang telah terlanjur diekspos kehadapan publik. Adapun kebejatan moral yang tersembunyi yang tidak atau belum terdeteksi tentunya lebih parah lagi. Seperti pelacuran dikalangan mehasiswi dan mahasiswa, pornografi dengan berbagai jenis dan bentuknya, pemalsuan ijazah, kerusakan akhlak dikalangan para pendidik sendiri dan lain sebagainya.
Kita tidak memungkiri adanya faktor eksternal yang sangat kuat yang menyebabkan kondisi ini. Tapi minimal ini merupakan indikator yang sangat nyata betapa jeleknya kondisi internal mereka (baca pendidikan dengan segala isinya). Karena apa yang mereka pelajari dan siapa yang mengajari mereka sudah tidak mampu lagi memberikan imunitas kepada mereka dari bahaya-bahaya luar. Sehingga ketika mereka dirasuki oleh racun-racun eksternal mereka terkapar tak berdaya digerogoti oleh racun tersebut.
Kerusakan moral para mahasisiwa dan pelajar dengan segala jenis dan bentuknya adalah sebuah ancaman yang berbahaya tidak saja terhadap para pelakunya, tapi merupakan ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, ekonomi dan keamanan serta kesatuan bangsa. Atau dengan kata lain dapat merongrong integritas suatu bangsa (4).
Beberapa fenomena di atas kiranya cukup menjadi alasan yang kuat untuk melakukan reformasi pendidikan dalam berbagai bidang. Jika pendidikan di negara-negara maju yang telah memberikan banyak kontribusi positif untuk kehidupan manusia di seluruh dunia tidak lepas dari pembaruan dari waktu ke waktu, maka pendidikan di Indonesia yang pada masa belakangan ini masih belum menemukan format yang produktif tentunya sangat mendesak sekali untuk diperbaharui.
Beberapa Faktor Penyebab
Sesungguhnya asap tidak akan ada kalau tidak ada api. Begitu juga sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada sebab. Fenomena yang kita paparkan di atas sangat pasti ada penyebabnya. Kita akan coba melihat secara ringkas beberapa faktor yang kemungkinan besar menjadi penyebabnya:
1. Kemampuan ilmiah
Yang kita maksud kemampuan ilmiah di sini adalah kapabilitas seseorang untuk melakukan sebuah aktifitas yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Seperti penguasan terhadap metodologi riset, perangkat-perangkat riset baik yang berupa perangkat lunak (software) seperti referensi maupun perangkat keras (hardware) seperti mesin dan sebagainya. Semua komponen ini jarang terpenuhi karena faktor ekonomi, waktu dan kesempatan dan skill para sarjana dalam menggunakannya. Disamping itu kemampuan dan minat baca rakyat Indonesia secara umum masih sangat rendah dan jauh dari rata-rata. Indonesia masih termasuk negara yang paling rendah dalam mengkonsumsi buku pertahunnya. Padahal membaca adalah salah satu faktor yang paling urgen dalam kemampuan ilmiah seseorang. Belum lagi harga buku yang relatif sangat mahal yang menjadi penghalang terwujudnya masyarakat yang minat bacanya tinggi.
Itu yang berkaitan dengan kemampuan ilmiah, sementara itu yang berkaitan dengan krisis moral besar kemungkinan adalah tipisnya nilai-nilai moral dan akhlak dalam diri mahasiswa tersebut. Karena kebanyakan mereka sudah tidak lagi mendapatkan pendidikan moral yang memadai pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi. Sementara gerogotan dari luar terhadap moral mereka sangat gencar sekali, seperti koran, majalah, radio dan televisi dan lingkungan tempat mereka berinteraksi. Sehingga seseorang lebih menjadi murid lingkungannya dibanding murid sekolahnya.
2. Kesempatan
Kebanyakan para mahasiswa atau sarjana terlanjur sibuk dengan banyak aktifitas rutin harian yang menyita hampir seluruh waktu yang dimilikinya. Sehingga sangat sulit untuk mencari peluang dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ilmiahnya. Apalagi peluang untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidaklah mudah. Persaingan dan biaya yang tinggi sering penjadi penghalang dihadapan para sarjana untuk melanjutkan studi mereka. Sementara itu peluang untuk mengganti spesialisasi lain ataupun menambah spesialisasi lebih dari satu baik di tingkat S1 maupu ditingkat S2 dan S3 sangat kekecil kemungkinannya karena batasan umur yang mengikat, biaya yang mahal dan peraturan yang kurang mendukung. Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Mesir misalnya, banyak sekali mahasiswa yang belajar pada tingkat S1 di suatu bidang, tapi ia di bidang yang lain sudah S3 atau S2. Atau adanya mahasiswa yang menyandang lebih dari 5 gelar S2 tapi masih mau mengambil spesialisasi yang lain di tingkat S1 atau S2.
3. Faktor ekonomi
Kondisi ekonomi rakyat baik sebelum krisis apalagi setelah krisis merupakan faktor yang dominan yang menyebabkan timbulnya fenomena di atas. Apalagi pendidikan telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Sehingga banyak konglomerat menginvestasikan uangnya di bidang ini. Sementara itu anggaran pendidikan nasional tidak mampu mengatasi problema ini karena jumlahnya yang masih jauh dari cukup. Maka kita lihat semua sarana pendidikan milik pemerintah mulai dari tingkat SLTP sampai perguruan tinggi tidak ada yang gratis. Apalagi yang milik swasta. Padahal kalau dibandingkan dengan Sudan yang lebih miskin dari kita malah mampu menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya.
Gejala di atas berakibat banyaknya rakyat yang tidak mendapatkan pendidikan sampai ketingkat yang lebih tinggi. Kalaupun ada, kebanyakan hanya bertahan sampai jenjang S1. Rata-rata terbentur oleh kondisi finansial mereka yang sangat tidak mendukung. Padahal dari segi kecerdasan banyak yang potensial.
4. Faktor politik
Dalam masa orde baru ada kecendrungan para penguasa untuk mempolitisir pendidikan demi kesinambungan kekuasan mereka, dengan mengabaikan kemajuan rakyat. Contoh sederhana dapat kita lihat pada penanaman nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme perlahan-lahan berubah dari loyalitas kepada bangsa menjadi loyalitas kepada penguasa betapa pun jeleknya. Slogan nasionalisme dijadikan alat untuk menekan dan mengelabui rakyat. Padahal mereka yang berkoar-koar dengan slogan nasionalisme tersebut tidak jarang merekalah orang yang paling tidak nasionalisme. Terbukti setelah runtuhnya rezim orde baru terungkap berbagai bentuk penyelewengan harta dan kekayaan bangsa, baik dalam bentuk korupsi, kolusi maupun nepotisme. Kalau seandainya semua harta yang dipegang oleh "bandit-bandit" nasionalisme tersebut niscaya akan sangat mencukupi untuk menanggulangi krisis yang berlarut-larut sekarang ini, bahkan bisa berlebih. Semakin semrawutnya masalah ini sampai sekarang menjadi bukti berikutnya bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki nasionalisme sama sekali melainkan egoisme belaka.
Contoh lain dari mempolitisir pendidikan adalah adanya mata pelajaran yang pada intinya pengulangan dari mata pelajaran yang lain, seperti PSPB yang seharusnya sudah cukup dengan pelajaran PMP dan sejarah. Namun karena pelajaran tersebut menguntungkan penguasa maka harus dipelajari.
5. Sistem penerimaan mahasiswa baru
Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dibandingkan dengan sebagian negara ketiga lainnya. Seperti pemakaian sistem SKS disemua perkuliahan merupakan sebuah nilai positif. Masih banyak negara-negar ketiga yang belum mampu merealisasikan sistem ini. Namun ada sedikit kekurangan yang menyangkut sistem peneriamaan mahasiswa baru. Karena sering sistem ini yang menyebabkan tidak masuknya siswa/siswi yang bernilai agak bagus ke perguruan tinggi (PT) negeri. Akibat selanjutnya PT swasta menjadi solusi. Namun kondisi inilah yang menyebabkan pendidikan menjadi ladang bisnis. Apa artinya diadakan EBTANAS untuk siswa kelas 3 SMU kalau setelah itu mereka harus ikut ujian lagi untuk masuk PT? Kenapa nilai EBTANAS murni mereka tidak dijadikan sebagai standar penerimaam mahasiswa baru?. Apabila siswa yang bernilai rendah banyak yang berhasil lolos sebaliknya yang bernilai di atas rata-rata tidak masuk, maka akibat berikutnya tentu dapat diduga yaitu ketidak mampuan untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi disamping juga prestasi studinya yang kurang memuaskan.
Reformasi Pendidikan dalam Tantangan Modernitas
Uraian di atas mengantarkan kita kepada perlunya reformasi dalam pendidikan Indonesia. Karena bangsa kita tidak saja dihadapkan kepada masalah-masalah internal, tetapi juga tantangan eksternal untuk dapat terus mengiringi kemajuan zaman. Bahkan seharusnya tidak saja mengiringi, tetapi ikut andil dalam modernisasi kehidupan manusia. Oleh sebab itu reformasi (pembaharuan) yang diinginkan hendaklah memiliki orientasi yang jelas. Bukan dengan menggunakan politik tambal sulam yang selama ini sering diperankan oleh siapa saja yang menjadi menteri pendidikan. Sehingga berkibat compang-campingnya pendidikan Indonesia. Pada kesempatan ini penulis memberikan beberapa ide yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam mereformasi pendidikan Indonesia.
1. Pohon pendidikan bukan jenjang pendidikan
Dalam dunia pendidikan kita mendengar istilah jenjang pendidikan (Educational Ladder) yaitu tangga atau tingkat yang harus dilalui seseorang dalam menggeluti pendidikan secara berturut-turut. Sistem ini memiliki permulaan yang terbatas, kemudian lanjutan yang terbatas dan ujung yang terbatas juga. Contohnya mulai dari SD, kemudian SMP, lalu Jurusan fisika (IPA) di SMU, selanjutnya fakultas tekhnik di perkuliahan dan seterusnya. Dan akan berakhir pada satu titik (puncak tangga). Tidak ada peluang dengan sistem ini untuk mengembangkan diri kebagian yang lain. Karena ia berurutan seperti tangga. Sistem semacam ini perlu ditinjau kembali. Karena ia sangat tidak relefan dengan perkembangan zaman serta kemajuan ilmu dan teknologi.
Untuk mengikuti tuntutan zaman sistem ini sudah semestinya diganti dengan sistem yang lebih fleksibel dan membuka peluang untuk selalu maju dan berkembang. Sistem yang cocok sebagai alternatif adalah sistem Pohon Pendidikan (Educational Tree). Sesuai dengan namanya sistem ini seperti sebuah pohon yang memiliki beberapa unsur yang menjadikannya layak dikatakan sebagai sebuah pohon yang rindang dan berdiri kokoh diatas tanah yang kuat. Unsur tersebut adalah:
- Tanah yang subur
- Batang pohon yang kokoh dan menghujam jauh ke dalam tanah
- Cabang pohon yang bisa tumbuh di mana saja dan dalam jumlah yang tidak terbatas.
- Dahan dan ranting yang juga dapat tumbuh di bagian mana saja dari pohon.
Secara ringkas pengertian sistem ini dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Tanah yang subur
Ia merupakan sumber dan tempat berdirinya semua proses pendidikan yang menggambarkan suatu bangsa dan negara. Dari padanyalah batang pohon mengambil segala makanannya. Apabila tanahnya subur dan memiliki komponen-komponen yang sehat dan kuat maka batang pohon tersebut juga akan menjadi kuat dan kokoh. Begitu juga sebaliknya, pohon akan keropos apabila tanah tempat erpijaknya banyak memgandung racun, penyakit virus dan sebagainya. Oleh sebab itu didalamnya harus terdapat agama, falsafah hidup, adat kebiasaan yang baik, dan wawasan kebangsaan (nasionalisme) dengan arti yang sebenarnya. Semua unsur ini harus menjadi inti dan prioritas dalam membuat sebuah kurikulum pendidikan dasar. Dengan menjadikan semua unsur di atas sebagai bagian terpenting dalam pembuatan kurikulum, maka berarti pohon pendidikan tersebut telah mengambil makanannya dengan lengkap. Sebaliknya mengabaikan salah satu dari unsur di atas berarti pohon tersebut akan sangat mudah diserang penyakit dan hama, tidak akan berbuah, atau buahnya dimasuki ulat, atau buahnya pahit dan tidak tertutup kemungkinan akan mati seketika.
Dengan konsep ini penulis menekankan bahwa pelajaran agama mesti menjadi pelajaran wajib bagi setiap siswa pendidikan dasar, dan harus dalam persentasi yang proposional, bukan pelajaran tambahan tapi menjadi syarat lulus dalam ujian dan dengan nilai minimal yang lebih tinggi dari mata pelajaran lainnya. Pelajaran agama yang hanya dua jam dalam sepekan dan hanya satu mata pelajaran di semua sekolah pemerintah sangatlah tidak proposional. Karena sama artinya dengan mencabut atau memisahkan batang pohon dari tanahnya. Penulis tidak bermaksud hanya untuk agam Islam, tapi semua agama yang resmi di Indonesia. Setiap siswa/siswi harus mempelajari agamanya dengan baik semenjak pendidikan dasar.
b. Batang pohon
Batang pohon adalah pendidikan dasar yang harus dilalui oleh setiap warga negara. Dalam aplikasinya adalah pendidikan dari usia sekolah (6 tahun) sampai usia 15 tahun atau yang populer dengan nama tingkat SD dan SLTP (usia wajib belajar). Karena batang adalah bagian pertama dari pohon yang menghujam lansung ke tanah maka pendidikan di masa ini harus berangkat dari tanah yang sama. Artinya kurikulum di tingkat ini harus sama. Dengan pengertian tidak ada lagi istilah sekolah agama dan sekolah umum. Semua harus menjadi sekolah agama dan umum, mempelajari kurikulum yang sama. Bagi yang beragama Islam harus mempelajari agamanya dengan porsi yang lebih banyak dari apa yang dipelajari sekarang. Begitu juga yang beragama Kristen, Hindu dan Budha. Masing-masing harus mengenal agamanya dengan baik dan matang. Dengan cara ini semua warga negara memiliki wawasan beragama yang matang dan mantap yang semakin memperkecil konflik antar agama. Karena semua agama mengajarkan kebaikan, walaupun tentunya penulis sebagai seorang muslim harus tetap komitmen dengan Islam yang dianut. Dan penulis melihat pada level ini tidak ada lagi yang namanya pesantren atau ibtidaiyah, karena semua telah mempelajari agama dengan baik dan lengkap dengan kurikulum yang baru.
c. Cabang pohon
Dengan kondisi Indonesia yang sekarang ini yang membutuhkan perbaikan di segala bidang dengan biaya yang seminim mungkin dan perlunya menyediakan tenaga terampil yang murah sebanyak-banyaknya, maka penulis melihat mulainya cabang pohon dari tingkat SLTA. Artinya pada level ini siswa sudah mulai kepada spesialisasi yang memungkinkan mereka untuk lansung terjun ke medan kerja seandainya tidak mampu melanjutkan pendidikannya. Pada kondisi ekonomi yang mapan dan stabil bisa saja cabang pohon baru di mulai pada tingkat perkuliahan.
Untuk mengaplikasikan hal ini penulis mengusulkan dibuatnya SLTA yang integral dalam satu jenis disiplin ilmu. Dimana SLTA tersebut mencakup beberapa spesialisasi yang hampir sama. Contohnya SLTA IPA, SLTA Sosial, SLTA tekhnik, SLTA Agama dan lain sebagainya.. Bentuknya hampir sama dengan jurusan yang ada sekarang di SMU dan STM, tapi lebih menjurus dan mendalam. Setamatnya dari pendidikan ini siswa dapat memilih antara melanjutkan atau lansung terjun ke lapangan kerja, karena mereka sudah memiliki ketrerampilan yang memadai. Bahkan ini juga peluang untuk memperbaiki mutu dan kapasitas tenaga kerja Indonesia, baik di dalam maupun yang dikirim ke luar negeri sebagai TKI, dan mereka telah terampil dan harganya tidak terlalu mahal yang membuka peluang banyaknya negara asing yang mengontrak mereka (dari pada kita hanya mampu mengirim pembantu dan cleaning servis).
Pada tingkat inilah peluang untuk membuat pesantren yang merupakan SLTA Agama.
d. Dahan dan ranting
Pada level ini setiap orang memiliki peluang untuk masuk tanpa batasan umur, yang penting memenuhi syarat-syarat ilmiah. Sehingga siapa saja dapat memperluas wawasan dan kemapuannya sesuai dengan keinginan dan kesempatan yang dimilikinya. Dengan sistem ini seorang ahli ekonomi bisa saja masuk fakultas syariah di sebuah universitas, atau seorang sarjana kedokteran mengambil spesialisasi lain dibidang arsitektur dan seterusnya. Karena diantara keistimewaan dahan dan ranting adalah dapat tumbuh di mana-mana di batang pohon dan siapa saja dapat berpindah-pindah dari satu dahan ke dahan yang lain dan dari satu ranting ke ranting yang lain (5)
2. Integral bukan parsial
Pembaharuan yang diharapkan hendaklah pembaharuan yang integral bukan parsial. Karena pembaharuan parsial tidak obahnya dengan tambal sulam, akibatnya pendidikan Indonesia menjadi compang-camping. Apalagi kalau memang ingin merealisasikan sistem pohon pendidikan seperti yang penulis gambarkan di atas.
Oleh sebab itu pembaharuan harus mencakup semua segi pendidikan, baik dari segi tujuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran, teknis dan metode serta srategi pengajaran, sarana dan fasilitas pendidikan, sistem evaluasi dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini penulis menekankan perlunya pengembangan proses pendidikan dengan menggunakan tekhnologi pendidikan. Disini tidak cukup dengan adanya internet di sebuah sekolah (baik SLTP ataupun SLTA dst) tapi bagaimana agar kemajuan teknologi tersebut betul-betul dalam rangka mendukung proses belajar dan mengajar.
Disamping itu untuk mendukung penerapan sistem pohon pendidikan penulis melihat perlunya perubahan pada model atau tipe universitas yang ada. Model yang ada sekarang adalah sebuah universitas terdiri dari beberapa fakultas yang mewakili sebuah spesialisasi besar, kemudian fakultas tersebut terdiri dari beberapa jurusan yang merupakan spesialisasi yang lebih kecil lagi. Kondisi ini kurang mendukung untuk pelaksanaan sistem pohon pendidikan. Akan sangat ideal apabila fakultas yang ada berubah menjadi universitas. Artinya universitas tersebut hanya terdiri dari satu spesialisasi induk, maka akan muncul universitas kedokteran, universitas tekhnik, universitas syariah dan seterusnya.
Model semacam ini telah diterapkan dengan sukses di Jepang seperti: Universitas Studi-Studi Asing Osaka, Universitas Perdagangan Otaro,Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi Tokyo, Universitas Pertanian Tokyo dan lain sebagainya. Di Prancis Universitas Sorbon di pecah menjadi 13 universitas sesuai dengan spesialisasi yang ada. Begitu juga di negara-negara maju lainnya seperti: Amerika, Jerman, Australia dan Austria, sistem ini telah diterapkan dengan baik sekali (6).
3. Kerja bukan teori
Sejalan dengan ide pembentukan SLTA yang integral serta sistem pohon pendidikan maka orientasi pembaharuan haruslah kepada kerja bukan kepada berapa banyak yang teori yang dipelajari. Karena kenyataan menunjukkan banyaknya mata pelajaran yang dipelajari di satu tingkat, lalu pada tingkat berikutnya pelajaran tersebut tidak ada gunanya sama sekali, atau belum bisa di bawa ke lapangan kerja. Bahkan ini terjadi dalam bidang yang hampir sama. Contohnya seorang siswa yang belajar di jurusan IPA di SLTA mempelajari beberapa mata pelajaran yang kalau mereka melanjutkan ke jurusan yang sama pada tingkat perkuliahan, pelajaran tersebut tidak ada gunanya bagi mereka atu lebih detail lagi tidak dapat mereka praktekkan ketika mereka masuk ke lapangan kerja. Sehingga sudah merupakan fenomena umum apabila seorang sarjana tekhnik yang baru bekerja di sebuah perusahaan tekhnik harus melalui beberapa kursus dan training baru dapat bekrja dengan semestinya pada perusahaan tersebut. Apa gunanya empat tahun atau lebih kuliah di fak. Teknik lalu ketika masuk bekerja belum dapat langsung bekerja?
Oleh sebab itu pembaharuan pendidikan harus mengarah kepada pembentukan tenaga-tenaga terampil yang siap pakai dalam berbagai disiplin ilmu. Target ini menghendaki adanya kolerasi antara apa yang dipelajari di bangku perkuliahan dengan kenyataan yang ada di lapangan kerja. Kalau perlu setiap perusahaan besar (BUMN misalnya) seharusnya membuat SLTA dan perkuliahan tersendiri yang mampu melahirkan tenaga-tenaga terampil di perusahaan tersebut. Sehingga betul-betul ada jalinan yang kuat antara pendidikan dan kerja.
4. Mengurangi tekanan internal dan eksternal
Seharusnya pendidikan terbebas dari tekanan-tekanan internal dan eksternal, agar pendidikan betul-betul untuk mendidik dan untuk mencerdaskan bangsa. Bukan untuk kemaslahatan pihak-pihak tertentu ataupun untuk kepentingan penguasa. Dengan kebebasan pendidikan dari segala tekanan luar dan dalam, persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud. Karena rakyatnya memiliki tingkat ilmu pengetahuan yang hampir sama dan merata, sehingga tidak ada satu pihakpun mampu mengelabui pihak lain yang lebih bodoh.
Diantara bentuk tekanan internal sebagai contoh adanya sekolah yang di bawah kontrol departemen pendidikan, lalu yang lain di bawah kontrol departemen agama, kemudian yang satu lagi dibawah departemen pertahanan dan keamanan, dan yang lain lagi di bawah departemen kepemudaan. Kondisi ini hanya akan menyebabkan perbedaan bentuk wawasan dan cara berfikir yang pada kemudian hari merupakan faktor pemicu pertikaian. Dengan menyatukan kurikulum pada tingkat wajib belajar (6-15 tahun) maka kesatuan wawasan dan pemikiran akan semakin terjaga.
Adapun faktor eksternal adalah tekanan-tekanan pihak luar untuk menerapkan satu sistem tertentu dalam pendidikan Indonesia. Karena bagaimana pun juga negara dan bangsa Indonesia memiliki wawasan, adat kebiasaan, pola hidup yang jelas tidak sama dengan negara lain yang memaksakan satu sistem tersebut.
5. Prioritas skill pendidikan
Sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas, setiap orang yang terjun kedunia mendidik haruslah memiliki spesialisasi pendidikan. Apapun yang menjadi spesialisasinya, namun bila ingin menjadi guru atau dosen maka hendaklah lebih dulu mempelajari ilmu-ilmu pendidikan. Ide ini dapat direalisasikan dengan membuka diploma pendidikan, sekurang-kurangnya satu tahun dan selama-lamanya dua tahun. Setiap sarjana S1 yang akan mengajar di SLTA misalnya harus mengambil diploma pendidikan satu tahun. Dan yang akan menjadi dosen harus mengambil diploma dua tahun. Dengan cara ini tingkat kemahiran dan wawasan seorang guru dalam mengajar dapat ditingkatkan dan selanjutnya prestasi siswa/mahasiswanya juga akan lebih baik.
6. Perbaikan status sosial guru
Di Indonesia gaji guru di tingkat SD, SLTP dan SLTA sangatlah minim dibandingkan dengan seorang dosen. Padahal tugas dan usaha yang harus mereka lakukan lebih urgen. Karena dari peran merekalah diharapkan lahirnya warga negara yang berloyalitas tinggi kepada bangsa dan negara, berkemauan keras untuk maju. Dan pada hakekatnya merekalah yang menjadi batang pohon. Sementara pendidikan di tingkat universitas adlah dahan dan ranting. Apabila dahan dan ranting patah, pohon masih akan berpeluang untuk hidup. Tapi apabila batangnya yang patah dan keropos maka pohon akan mati dan dahan beserta rantingnya tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Penulis melihat kiranya Indonesia perlu melihat dan meniru sistem Jepang yang sangat berhasil. Di Jepang piramida gaji para tenaga pengajar di berbagai jenjang pendidikan terbalik dari piramida yang biasa. Dimana gaji yang paling tinggi adalah guru-guru pada tingkat pendidikan dasar, kemudian menengah, atas dan seterusnya. Sehingga pendidikan dasar mereka sangat kuat, karena gurunya betul-betul berkonsentrasi dan mengerahkan segala kemampuannya untuk mendidik.
Tentunya pada waktu sekarang ini kurang ideal bagi negara kita untuk mewujudkan hal tersebut, tapi kita harus mengacu kearah itu secara perlahan-lahan. Dari sekarang sudah seharusnya di mulai dengan menjadikannya sama atau di bawah sedikit dari gaji seorang dosen.
Penutup
Di akhir tulisan ini penulis mengakui bahwa ide-ide yang telah di sampaikan membutuhkan sebuah riset yang detail dan terperinci dan harus dilakukan para pakar yang berkompeten dalam hal ini dengan syarat semua beri'tiqad baik untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia, terlepas dari tekanan internal dan eksternal. Walaupun mungkin ada diantara ide-ide tersebut yang kurang relevan dan signifikan dengan realita bangsa Indonesia, penulis yakin bahwa sesuatu yang sulit untuk direalisasikan sebagian besarnya, tidak mesti ditinggalkan keseluruhannya. Semoga Allah SWT memberi kita taufiq dan hidayah-Nya.
==========
Catatan kaki:
(1). Abdurrahman Ibnu Al Khaldun, Muqaddimah, Daar Al Fikr, Beirut.,Cet I, 1998, hal.412.
(2). Mushthafa 'Abdus Sami', Teknolojia At Ta'lim, Markaz Al kitab Lin Nasyr, Cairo, 1999, hal.10.
(3). C. Winfield and Scoot, The Great Debate, 1957.
(4). Delbert S. Elliott and Beatrix A. Hamburg, Violence in American Schools,,C.J Petrick Hunter Design Associate, University of Colorado, 1997, p 13.
(5). 'Ali Ahmad Madkur, At Ta'lim Al 'Aliy Fii Al Wathan Al "Arabi, Daar Al Fikr Al 'Arabi, Cairo, 2000, hal. 95-117.
(6). 'Abdul Fattah Ahmad Jalal, Tajdid Al 'Amaliyah At Ta'limiyah Fi Al Jami'ah Al Mustaqbal, Majalah 'Ulum Al Tarbawiyah, Cairo University, Cairo, 1993, hal. 23-29.
0 comments:
Post a Comment