Ilmu tafsir dapat mendorong kita untuk mengetahui ilmu-ilmu al-Quran sedikit mendalam, serta mendorong kita untuk memahami hal-hal yang menunjang pemahaman al-Quran yang mulia ini.
Al-Quran al-karim adalah sumber hukum pertama bagi ummat Muhammad. Kebahagiaan mereka tergantung pada kemampuan memahami maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung didalamnya. Maka tidaklah heran kalau al-Quran mendapatkan perhatian yang besar dari ummatnya melalui pengkajian intensip terutama dalam rangka penafsiran kata-kata atau dalam menakwilkan suatu redaksi kalimat.
A. Pengertian Tafsir. Ta’wil dan Tarjamah
1. Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-yadhribu” dan “nashara-yannshuru”. Dikatakan: “fasara asy-syai’a-yafsiru” dan yafsuru, fasran,”dan”fassarahu,” artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafazh yang musykil.
Secara istilah Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, indicator-indikatornya, masalah hokum-hukumnya baik yang independent maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.
Menurut Al-Kilabi dalam at-Tashil Tafsir adalah uraian yang menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat, atau tujuannya.
Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahib at-Taujih Tafsir adalah menjelaskan lafazh yang sukar difahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.
2. Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata ”a-u-l,” yang berarti kembali keasal. Atas dasar ini maka ta’wil al-kalam (penakwilan terhadap statu kalimat) dalam istilah mempunyai dua makna: Pertama, takwil kalam dengan pengertian, sesuatu makna yang menjadi tempat kembali percatan pembicara, atau sesuatu makna yang kepadanya statu kalam dikembalikan. Dalam kalam itu biasanya merujuk lepada makna aslinya yang merupakan esensi yang dimaksud. Kedua, Takwil al-kalam maknanya menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
3. Tarjamah
Arti tarjamah menurut bahasa ádalah salinan dari suatu bahasa kebahasa lain. Atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa kebahasa lain.
Kata ”Tarjamah” dapat dipergunakan pada dua arti:
Tarjamah al-Quran adalah seperti dikemukakan oleh Ash-Shabuni ” Memindahkan Al-Quran kebahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT.
B. Jenis Tafsir
Dalam pembagian tafsir ada dua sudut pandang yang keduanya saling berhubungan kuat, yaitu dipandang dari tingkat sulit dan mudahnya tafsir dan dari segi pola pendekatan tafsir yang dilakukan.
1. Tafsir dari segi sulit dan mudahnya
Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas r.a tafsir (pemahaman) ayat-ayat al-Quran ada 4 tingkatan/bahagian, yaitu:
Dari segi pola pendekatan memahami al-Quran, tafsir dibagi dalam tiga bagian yaitu:
C. Bentuk Tafsir
Telah diriwayatkan Imam As-Suyuti dari Ibnu Jarirn dari banyak jalan, dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya dia berkata: Tafsir itu ada 4 bentuk:
D. Corak Tafsir
1. Corak tafsir pada masa Nabi dan sahabat
Para sahabat pada masanya menafsirkan al-Quran berpegang pada:
2. Corak tafsir pada masa Tabi’in
Menurut Adh-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufassir dikalangan Tabi’in berpegang pada al-Quran itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Disamping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah lepada mereka.
Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Quran. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit difahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu dalam menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya merekapun menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Estela itu muncullah generasi sesudah tabi’in. Generasi inipun berusaha menyempurnakan tafsir al-Quran secara terus-menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Quran yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lanilla.
3. Corak Tafsir Masa Pembukuan
Masa pembukuan dimulai pada akhir Dinasti Bani Umayyah dan awal dinsti Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadist mendapat prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini tafsir yang hanya memuat tafsir al-Quran, surat demi surat dan ayat demi ayat, dari awal al-Quran sampai akhir, memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadist.
Kemudian datang generasi selanjutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari hadist. Al-Quran mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan sistematika mushaf. Mereka adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarir at-Thabari, Abu Bakar bin al-Mundzir dll. Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in, Tabi’it-tabi’in, dan terkadang disertai pentarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbath sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir Ath-Thabari.
E. Qawaid Al-Tafsir
Komponen ini mencakup:
F. Syarat Mufassir
Para ulama telah meringkaskan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir, antara lain sebagai berikut:
Ilmu-ilmu yang harus dimiliki Mufassir:
G. Pandangan Ulama Mengenai Ta’wil
Menurut Ar-Raghif Al-Ashfahani pada Ta’wil lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah, Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil, Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah, dan Menafsirkan batin lafazh.
Menurut sebahagian ulama ayat-ayat yang berbicara tentang keimanan kepada Tuhan, hari akhir dan alam akhirat; ayat-ayat seperti ini tidak menerima ta’wil. Adapun hal-hal yang terkait dengan perspektif masing-masing pemikir akan keberadaan landasan-landasan tersebut masih bisa dita’wilkan. Maka, mengkafirkan sebuah pemikiran semata karena perbedaan dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an tidak dibenarkan secara `aql dan naql. Tidak ada konsensus umum dalam melakukan penta’wilan, juga tidak ada undang-undang yang menjelaskan secara rinci ayat-ayat yang bisa dita’wil.
H. Ragam Tarjamah Al-Quran
Tarjamah dibagi dua bagian:
1. Terjemahan Harfiyyah
Yang dimaksud dengan terjemahan harfiyyah yaitu menterjemahkan al-Quran kepada bahasa Inggris, Jerman, Perancis dan lain-lain mengenai lafazh, kosa kata, jumlah dan susunannya dengan terjemahan yang sesuai dengan bahasa aslinya.
2. Terjemahan Tafsiriyyah
Yang dimaksud dengan terjemahan Tafsiriyyah yaitu menterjemahkan arti ayat-ayat al-Quran dimana sipenterjemah sama sekali tidak terikat dengan lafazhnya, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah arti al-Quran diterjemahkan dengan lafazh-lafazh yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penterjemah hanya berpegang pada bahasa asal lalu memahaminya kemudian dituangkan kedalam bentuk bahasa lain dan arti ini sesuai dengan maksud pemakai bahasa asal tanpa memaksakan diri membahas dan meneliti setiap suku kata atau lafazh.
Analisis Perbedaan dan Persamaan
Menurut Abu Ubaidah Tafsir dan ta’wil satu makna. Kemudian dibantah oleh segolongan ulama, diantaranya Abu Bakar Ibn Habib an Naisabury.
Menurut Ar-Raghib al-Asyfahany Tafsir lebih umum daripada ta’wil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tungal sedangkan ta’wil lebih banyak dipai mengenai makna dan susunan kalimat. Dan sebahagian ulama mengatakan bahwasanya tafsir menerangkan makna lafadz yang tak menerima dari satu arti. Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh statu lafadz yang dapat menerima banyak makna karena ada dalia-dalil yang menghendakinya.
Persamaan Tafsir dan ta’wil adalah sama-sama berupaya menjelaskan makna setiap kata didalam al-Quran dan tarjamah hanya mengalihkan bahasa al-Quran yang berasal dari bahasa Arab kebahasa non Arab.
======================
DAFTAR BACAAN
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Study Ilmu al-Quran, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar), 2006.
Anwar, Rosihon, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia), 2000.
Nawawi, Rif’at Syauki & Hasan, M. Ali Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang), 1988.
Ash-Shobuni, Ali, Syaikh Muhammad, At-Tibyan fi ‘ulumil Quran, (Jakarta: Pustaka Amani), 1988.
Al-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, (Mesir: Al-Halabi), 1957, Jilid 1
Amanah, St, Pengantar Ilmu a-Quran & Tafsir, (Semarang: Asy-Syifa’), 1993.
Ash-Shiddiqie, M. Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang), 1954.
http://rolandgunawan.blogspot.com/2007-10-01-archive.html.
Ash-Shobuni, Ali, Muhammad, Pengantar Study Al-Quran, (at-Tibyan) Terjemahan, (Jakarta: Offset), 1982.
Ash-Shiddiqie, Hasby, Teungku M., Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), 1999,
Al-Quran al-karim adalah sumber hukum pertama bagi ummat Muhammad. Kebahagiaan mereka tergantung pada kemampuan memahami maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung didalamnya. Maka tidaklah heran kalau al-Quran mendapatkan perhatian yang besar dari ummatnya melalui pengkajian intensip terutama dalam rangka penafsiran kata-kata atau dalam menakwilkan suatu redaksi kalimat.
A. Pengertian Tafsir. Ta’wil dan Tarjamah
1. Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-yadhribu” dan “nashara-yannshuru”. Dikatakan: “fasara asy-syai’a-yafsiru” dan yafsuru, fasran,”dan”fassarahu,” artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafazh yang musykil.
Secara istilah Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, indicator-indikatornya, masalah hokum-hukumnya baik yang independent maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.
Menurut Al-Kilabi dalam at-Tashil Tafsir adalah uraian yang menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat, atau tujuannya.
Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahib at-Taujih Tafsir adalah menjelaskan lafazh yang sukar difahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.
2. Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata ”a-u-l,” yang berarti kembali keasal. Atas dasar ini maka ta’wil al-kalam (penakwilan terhadap statu kalimat) dalam istilah mempunyai dua makna: Pertama, takwil kalam dengan pengertian, sesuatu makna yang menjadi tempat kembali percatan pembicara, atau sesuatu makna yang kepadanya statu kalam dikembalikan. Dalam kalam itu biasanya merujuk lepada makna aslinya yang merupakan esensi yang dimaksud. Kedua, Takwil al-kalam maknanya menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
3. Tarjamah
Arti tarjamah menurut bahasa ádalah salinan dari suatu bahasa kebahasa lain. Atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa kebahasa lain.
Kata ”Tarjamah” dapat dipergunakan pada dua arti:
- Tarjamah harfiyah, yaitu mengalihkan lafazh-lafazh dari satu bahasa kedalam lafazh-lafazh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
- Tarjamah Tafsiriyah atau Tarjamah Maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Tarjamah al-Quran adalah seperti dikemukakan oleh Ash-Shabuni ” Memindahkan Al-Quran kebahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT.
B. Jenis Tafsir
Dalam pembagian tafsir ada dua sudut pandang yang keduanya saling berhubungan kuat, yaitu dipandang dari tingkat sulit dan mudahnya tafsir dan dari segi pola pendekatan tafsir yang dilakukan.
1. Tafsir dari segi sulit dan mudahnya
Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas r.a tafsir (pemahaman) ayat-ayat al-Quran ada 4 tingkatan/bahagian, yaitu:
- Tafsir yang menyangkut tentang halal dan haram, yang tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengatakan tidak tahu. Hal ini berhubungan dengan ayat-ayat ahkam, nash-nash al-Quran yang mengandung hukum dan nash-nash yang menunjukkan pada keesaan Allah
- Tafsir yang dilakukan oleh orang yang menguasai bahasa Arab, atau oleh orang Arab, atau oleh orang-orang arab yang dengan kemampuan bahasanya menafsirkan al-Quran didasarkan pada sisi bahasa dan i’rab
- Tafsir yang dilakukan oleh para ulama. Keulamaan seseorang tidak hanya ditandai oleh kemampuannya dalam berbahasa Arab tetapi juga ilmu yang lain.
- Tafsir yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.
Dari segi pola pendekatan memahami al-Quran, tafsir dibagi dalam tiga bagian yaitu:
- Tafsir bir-Riwayah disebut juga tafsir bil-Ma’tsur
- Tafsir bid-Dirayah disebut juga tafsir bir-Ra’yi atau tafsir bil-Ijtihad.
- Tafsir bil-Isyarah disebut juga tafsir bil Isyari.
C. Bentuk Tafsir
Telah diriwayatkan Imam As-Suyuti dari Ibnu Jarirn dari banyak jalan, dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya dia berkata: Tafsir itu ada 4 bentuk:
- Tafsir yang banyak diketahui oleh dialek bangsa Arab.
- Tafsir dimana tidak sepantasnya seseorang tidak mengetahuinya.
- Tafsir yang diketahui oleh para ulama
- Tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh Allah saja.
D. Corak Tafsir
1. Corak tafsir pada masa Nabi dan sahabat
Para sahabat pada masanya menafsirkan al-Quran berpegang pada:
- Al-Quran al-Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan dijelaskan secara terperinci ditempat lain. Terkadang sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat yang lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir al-Quran dengan al-Quran.
- Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) al-Quran otoritatif. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka merujuk lepada Nabi.
- Pemahaman dan Ijtihad. Adalah para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad.
2. Corak tafsir pada masa Tabi’in
Menurut Adh-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para mufassir dikalangan Tabi’in berpegang pada al-Quran itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Disamping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah lepada mereka.
Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Quran. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit difahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu dalam menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya merekapun menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Estela itu muncullah generasi sesudah tabi’in. Generasi inipun berusaha menyempurnakan tafsir al-Quran secara terus-menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Quran yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lanilla.
3. Corak Tafsir Masa Pembukuan
Masa pembukuan dimulai pada akhir Dinasti Bani Umayyah dan awal dinsti Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadist mendapat prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini tafsir yang hanya memuat tafsir al-Quran, surat demi surat dan ayat demi ayat, dari awal al-Quran sampai akhir, memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadist.
Kemudian datang generasi selanjutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari hadist. Al-Quran mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan sistematika mushaf. Mereka adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarir at-Thabari, Abu Bakar bin al-Mundzir dll. Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in, Tabi’it-tabi’in, dan terkadang disertai pentarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbath sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir Ath-Thabari.
E. Qawaid Al-Tafsir
Komponen ini mencakup:
- ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran.
- sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran.
- patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran.
- kaidah ism dan fi’il.
- kaidah ta’rif dan tankir.
- kaidah istifham dan macam-macamnya.
- ma’ani al-huruf seperti ‘asa, la’alla, in, idza, dan lain-lain.
- kaidah su’al dan jawab.
- kaidah pengulangan.
- kaidah perintah sesudah larangan.
- kaidah penyebutan nama dalam kisab.
- kaidah penggunaan kata dan uslub Al-Quran, dan lain-lain.
F. Syarat Mufassir
Para ulama telah meringkaskan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir, antara lain sebagai berikut:
- Akidah yang benar,
- Bersih dari hawa nafsu
- Menafsirkan lebih dahulu al-Quran dengan al-Quran
- Mencari penafsiran dari sunnah
- Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat.
- Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Quran, sunnah dan pandangan para sahabat, maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada pendapat tabi’in.
- Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karena al-Quran diturunkan dalam bahasa arab.
- Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, seperti ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafazh-lafazh)al-Quran.
- Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari’at.
Ilmu-ilmu yang harus dimiliki Mufassir:
- Lughat Arabiyah
- Undang-undang Bahasa Arab
- Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’
- Dapat menentukan yang mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui sebab nuzul dan nasakh.
- Mengetahui Ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan dan larangan.
- Ilmu kalam
- Ilmu qiraat.
G. Pandangan Ulama Mengenai Ta’wil
Menurut Ar-Raghif Al-Ashfahani pada Ta’wil lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah, Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil, Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah, dan Menafsirkan batin lafazh.
Menurut sebahagian ulama ayat-ayat yang berbicara tentang keimanan kepada Tuhan, hari akhir dan alam akhirat; ayat-ayat seperti ini tidak menerima ta’wil. Adapun hal-hal yang terkait dengan perspektif masing-masing pemikir akan keberadaan landasan-landasan tersebut masih bisa dita’wilkan. Maka, mengkafirkan sebuah pemikiran semata karena perbedaan dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an tidak dibenarkan secara `aql dan naql. Tidak ada konsensus umum dalam melakukan penta’wilan, juga tidak ada undang-undang yang menjelaskan secara rinci ayat-ayat yang bisa dita’wil.
H. Ragam Tarjamah Al-Quran
Tarjamah dibagi dua bagian:
- Terjemahan Harfiyyah (Litterlik)
- Terjemahan Tafsiriyyah (Ma’nawiyah)
1. Terjemahan Harfiyyah
Yang dimaksud dengan terjemahan harfiyyah yaitu menterjemahkan al-Quran kepada bahasa Inggris, Jerman, Perancis dan lain-lain mengenai lafazh, kosa kata, jumlah dan susunannya dengan terjemahan yang sesuai dengan bahasa aslinya.
2. Terjemahan Tafsiriyyah
Yang dimaksud dengan terjemahan Tafsiriyyah yaitu menterjemahkan arti ayat-ayat al-Quran dimana sipenterjemah sama sekali tidak terikat dengan lafazhnya, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah arti al-Quran diterjemahkan dengan lafazh-lafazh yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penterjemah hanya berpegang pada bahasa asal lalu memahaminya kemudian dituangkan kedalam bentuk bahasa lain dan arti ini sesuai dengan maksud pemakai bahasa asal tanpa memaksakan diri membahas dan meneliti setiap suku kata atau lafazh.
Analisis Perbedaan dan Persamaan
- Tafsir, Lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosa kata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya. Ta’wil, lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah.
- Tafsir, Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti. Ta’wil, menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
- Tafsir, Menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah. Ta’wil, Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah.
- Tafsir, Menerangkan makna lafazh, baik berupa hakikat atau majaz. Ta’wil, Menafsirkan batin lafazh.
- Sedangkan Tarjamah Memindahkan Bahasa al-Quran kebahasa lain yang bukan Bahasa Arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah.
Menurut Abu Ubaidah Tafsir dan ta’wil satu makna. Kemudian dibantah oleh segolongan ulama, diantaranya Abu Bakar Ibn Habib an Naisabury.
Menurut Ar-Raghib al-Asyfahany Tafsir lebih umum daripada ta’wil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tungal sedangkan ta’wil lebih banyak dipai mengenai makna dan susunan kalimat. Dan sebahagian ulama mengatakan bahwasanya tafsir menerangkan makna lafadz yang tak menerima dari satu arti. Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh statu lafadz yang dapat menerima banyak makna karena ada dalia-dalil yang menghendakinya.
Persamaan Tafsir dan ta’wil adalah sama-sama berupaya menjelaskan makna setiap kata didalam al-Quran dan tarjamah hanya mengalihkan bahasa al-Quran yang berasal dari bahasa Arab kebahasa non Arab.
======================
DAFTAR BACAAN
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Study Ilmu al-Quran, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar), 2006.
Anwar, Rosihon, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia), 2000.
Nawawi, Rif’at Syauki & Hasan, M. Ali Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang), 1988.
Ash-Shobuni, Ali, Syaikh Muhammad, At-Tibyan fi ‘ulumil Quran, (Jakarta: Pustaka Amani), 1988.
Al-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, (Mesir: Al-Halabi), 1957, Jilid 1
Amanah, St, Pengantar Ilmu a-Quran & Tafsir, (Semarang: Asy-Syifa’), 1993.
Ash-Shiddiqie, M. Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang), 1954.
http://rolandgunawan.blogspot.com/2007-10-01-archive.html.
Ash-Shobuni, Ali, Muhammad, Pengantar Study Al-Quran, (at-Tibyan) Terjemahan, (Jakarta: Offset), 1982.
Ash-Shiddiqie, Hasby, Teungku M., Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), 1999,
0 comments:
Post a Comment