Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahat Nabi SAW. yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah, istri Rasulullah SAW. masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (akan tetapu yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.” (H.R. Muslim)
A. ALIRAN KHAWARIJ
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangkal karena, seperti yang telah diungkapkan sejarah, Khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “Apakah Mu’awiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka, karena Ali dan Mu’awiyah beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. dan semua pelaku dosa besar (muttab al-kabirah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Nadjah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka semalanya. Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Nadjah tak jauh berbeda dari Azariqah. Kalau Azariqah memberikan predikat musyrik kepada umat Islam yang tidak mau bergabung dengan kelompok mereka, Nadjah pun memberikan predikat yang sama kepada siapapun dari umat Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandangan musyrik, tetapi kafir. Namun, jika pelakunya melaksanakan terus-menerus, ia akan menjadi musyrik.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.
Lain halnya dengan subsekte Khawarij yang sangat moderat, yaitu ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir millah (agama). Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
B. ALIRAN MURJI’AH
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Salihiyah, Al-Yunisiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).
Untuk memilah mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nsution menyebutkan bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiyah. Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah Allah dengan kalbu, bukan secara demonstrative, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa iqrar dan amal buklah bagian dari iman. Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran.” Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampun dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Cirri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).
Di antara subsekte Murji’ah yang dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal di dalamnya. Di samping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Agaknya hal ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah, baik ekstrim maupun moderat seperti Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, Asy-Syimriyah, dan Al-Gailaniyah. Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam adalah sama kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka hanya berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya
Satu hal yang patut dicatat adalah seluruh subsekte Murji’ah yang disebutkan oleh Al-Asy’ari, kecuali As-Saubaniyah, At-Tuminiyah, dan Al-Karramiyah, memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka. Pertanyaannya, apa yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al-mahabbah wa al-khudu).
C. ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang hamper sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; Apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara eimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dsa besar, apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebuatan yang sangat tekenal al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah menempati posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal dunia sebelum bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun, siksaan yang bakal diterimanya lebih ringan darpada siksaan orang kafir. Dalam perkembanganna kemudian, beberapa tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir, melainkan sebagai kategori netral dan independen.
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsure terpenting dalam konsep iman, bahkan hamper mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki keterkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan salah satu dari “pancasila” Mu’tazilah.
Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akanl). Ma’rifah menjadi unsure yang tak kalah penting dari iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsure pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-taqlid). Di sini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Harun Nsution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, menurut mereka, iman seseorang dapat dikatakan benar apabila didasarkan pada akal bukan karena taqlid kepada orang lain.
Pandangan Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin).
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah agaknya merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar, menurut mereka adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak disebutkan secara tegas dalam nash. Tampaknya kelompok ini menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran Murji’ah, disinggung pula oleh Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami mengingat Mu’tazilah, seperti halnya Khawarij, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dari iman (al-amal juz’un min al-iman).
D. ALIRAN ASY’ARIYAH
Agak pelik untuk memahami iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa, iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Ary’ari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).
Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan oleh Asy-Syahrastasi, salah seorang teolog Asy’ariyah. Asy-Syahrastani menulis:
“Al-Asy’ari berkata: “... iman adalah tashdiq bi al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan cabang-cabang iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih ... Dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”
Jadi, bagi Al-Asy’ari dan juga Asy’ariyah, persyaratan miniman untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang jika diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatain.
E. ALIRAN MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 14. Lebih lanjutnya, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasulNya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud engan tashdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
==========
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, ilmu kalam,2009, Bandung : CV Pustaka Setia.
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
- ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
- amal, perbuatan baik atau patuh.
- iqrar, pengakuan secara lisan.
- tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (akan tetapu yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.” (H.R. Muslim)
A. ALIRAN KHAWARIJ
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangkal karena, seperti yang telah diungkapkan sejarah, Khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?” “Apakah Mu’awiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka, karena Ali dan Mu’awiyah beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. dan semua pelaku dosa besar (muttab al-kabirah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Nadjah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka semalanya. Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Nadjah tak jauh berbeda dari Azariqah. Kalau Azariqah memberikan predikat musyrik kepada umat Islam yang tidak mau bergabung dengan kelompok mereka, Nadjah pun memberikan predikat yang sama kepada siapapun dari umat Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandangan musyrik, tetapi kafir. Namun, jika pelakunya melaksanakan terus-menerus, ia akan menjadi musyrik.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.
Lain halnya dengan subsekte Khawarij yang sangat moderat, yaitu ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir millah (agama). Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
B. ALIRAN MURJI’AH
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Salihiyah, Al-Yunisiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).
Untuk memilah mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nsution menyebutkan bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiyah. Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah Allah dengan kalbu, bukan secara demonstrative, baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau Nasrani. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa iqrar dan amal buklah bagian dari iman. Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran.” Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampun dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Cirri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).
Di antara subsekte Murji’ah yang dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal di dalamnya. Di samping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Agaknya hal ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah, baik ekstrim maupun moderat seperti Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, Asy-Syimriyah, dan Al-Gailaniyah. Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam adalah sama kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka hanya berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya
Satu hal yang patut dicatat adalah seluruh subsekte Murji’ah yang disebutkan oleh Al-Asy’ari, kecuali As-Saubaniyah, At-Tuminiyah, dan Al-Karramiyah, memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka. Pertanyaannya, apa yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al-mahabbah wa al-khudu).
C. ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang hamper sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; Apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara eimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dsa besar, apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebuatan yang sangat tekenal al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah menempati posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal dunia sebelum bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun, siksaan yang bakal diterimanya lebih ringan darpada siksaan orang kafir. Dalam perkembanganna kemudian, beberapa tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir, melainkan sebagai kategori netral dan independen.
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsure terpenting dalam konsep iman, bahkan hamper mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki keterkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan salah satu dari “pancasila” Mu’tazilah.
Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akanl). Ma’rifah menjadi unsure yang tak kalah penting dari iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsure pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-taqlid). Di sini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Harun Nsution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, menurut mereka, iman seseorang dapat dikatakan benar apabila didasarkan pada akal bukan karena taqlid kepada orang lain.
Pandangan Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin).
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah agaknya merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar, menurut mereka adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak disebutkan secara tegas dalam nash. Tampaknya kelompok ini menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran Murji’ah, disinggung pula oleh Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami mengingat Mu’tazilah, seperti halnya Khawarij, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dari iman (al-amal juz’un min al-iman).
D. ALIRAN ASY’ARIYAH
Agak pelik untuk memahami iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sebab, di dalam karya-karyanya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa, iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Ary’ari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).
Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan oleh Asy-Syahrastasi, salah seorang teolog Asy’ariyah. Asy-Syahrastani menulis:
“Al-Asy’ari berkata: “... iman adalah tashdiq bi al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan cabang-cabang iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih ... Dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”
Jadi, bagi Al-Asy’ari dan juga Asy’ariyah, persyaratan miniman untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang jika diekspresikan secara verbal berbentuk syahadatain.
E. ALIRAN MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 14. Lebih lanjutnya, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasulNya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud engan tashdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
==========
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, ilmu kalam,2009, Bandung : CV Pustaka Setia.
0 comments:
Post a Comment