Irak
Di negeri antah-berantah hiduplah seorang nelayan. Istrinya mati tenggelam di sungai besar dan meninggalkan seorang gadis kecil yang cantik berumur kurang dari dua tahun. Di sebuah rumah di dekat situ tinggallah seorang janda bersama putrinya. Kedua perempuan itu mulai sering datang ke rumah nelayan untuk merawat si gadis kecil dan menyisir rambutnya, dan setiap kali sang janda berkata kepada gadis kecil itu, “Tidakkah aku bersikap layaknya seorang ibu kepadamu?” Dia berusaha menyenangkan hati nelayan, tapi nelayan selalu berkata, “Aku tidak akan menikah lagi. ibu tiri biasanya membenci anak-anak suami mereka meskipun ibu anak-anak itu telah meninggal dan dikubur.”
Ketika putrinya sudah cukup besar dan jatuh kasihan kepada ayahnya setiap kali dia melihat sang ayah mencuci pakaiannya sendiri, dan berkata, “Mengapa engkau tidak menihaki tetangga kita, Ayah? Dia tidak jahat, dan dia menyayangiku seperti menyayangi putrinya sendiri.”
Pepatah mengatakan, tetesan air akan melubangi sebuah batu. Akhirnya nelayan menikahi janda itu, dan dia pindah ke rumahnya. Perkawinan belum lewat seminggu ketika jelas sudah bahwa janda itu merasa cemburu pada putri suaminya. Dia menyadari betapa sang ayah sangat menyayangi putrinya dan memanjakannya. Dan dia pun menyadari bahwa anak itu cantik, dan cerdas, sementara anaknya sendiri kurus dan bodoh, dan begitu canggung sehingga dia tidak tahu bagaimana caranya menjahit keliman bajunya sendiri.
Tidak lama setelah perempuan itu merasa yakin dirinya menjadi nyonya rumah, dia mulai menyerahkan seluruh tugas rumah tangga untuk dikerjakan putri tirinya. Dan tidak mau memberikan sabun kepada gadis itu untuk mencuci rambut dan kakinya, dan dia tidak menyediakan makanan untuknya kecuali makanan sisa dan remah-remah. Semua ini dijalani si gadis dengan penuh kesabaran, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebab dia tidak ingin membuat ayahnya sedih, dan dia berpikir, “Aku mengambil kalajengking itu dengan tanganku sendiri; aku akan menyelamatkan diriku dengan usahaku sendiri.”
Di samping tugas-tugas lainnya, putri nelayan harus pergi ke sungai setiap hari untuk membawa pulang hasil tangkapan ayahnya, ikan yang mereka makan dan yang mereka jual. Suatu hari dari bawah sebuah keranjang yang berisi tiga ekor ikan lele, tiba-tiba seekor ikan merah kecil berbicara kepadanya:
Anak dengan kesabaran begitu besar,
Aku mohon padamu, selamatkan nyawaku.
Ke dalam air tolong aku engkau lempar,
Dan kini dan selanjutnya jadilah anakku.
Gadis itu berhenti untuk mendengarkan, setengah heran setengah takut. Lalu sambil mundur dia melemparkan ikan tersebut ke dalam air sungai dan berkata, “Pergilah! Pepatah mengatakan, ‘Berbuat baiklah, bahkan jika itu seperti membuang emas ke laut, di mata Allah tidak diabaikan.’” Mengangkat mukanya ke atas air, ikan kecil berkata:
Kebaikanmu tidaklah sia-sia
Seorang ibu baru engkau temukan.
Datanglah padaku jika engkau berduka,
Dan aku akan membantumu meraih kegembiraan.
Gadis itu melangkah kembali ke rumah dan menyerahkan tidak ekor ikan lele kepada ibu tirinya. Ketika nelayan menanyakan ikan keempat, si gadis berkata, “Ayah, ikan merah itu jatuh dari keranjangku. Ia mungkin masuk ke sungai, sebab aku tidak bisa menemukannya lagi.”
“Tidak apa-apa,” kata nelayan, “itu Cuma ikan kecil.” Tapi ibu tirinya mulai mencela. “Kamu tidak pernah memberi tahu aku ada empat ekor ikan. Kamu tidak mengatakan yang satu hilang. Pergi sekarang dan carilah, sebelum aku mengutukimu.”
Saat itu sudah lewat petang hari dan si gadis harus berjalan kembali ke sungai dalam kegelapan. Dengan mata bengkak karena penuh air mata, dia berdiri di tepi sungai dan berseru,
Ikan merah, ibu dan pengasuhku,
Datanglah cepat, lepaskan kutukanku.
Dan muncullah di dekat kakinya ikan merah kecil itu, menenangkan hatinya dan berkata, “Meski kesabaran itu pahit, buahnya sangat manis. Kini membungkuklah dan ambil kepingan emas dari mulutku. Berikan pada ibu tirimu, dan dia tidak akan mengata-ngataimu lagi.” Tepat seperti itulah yang terjadi.
Tahun berganti tahun, dan di rumah nelayan kehidupan berlangsung seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah kecuali bahwa kedua gadis kecil itu kini menjadi gadis remaja.
Suatu hari, seorang tokoh terkenal, pedagang paling terkemuka, mengumumkan bahwa putrinya akan menikah. Sudah menjadi adat bahwa para perempuan berkumpul di rumah mempelai perempuan pada “hari inai mempelai” untuk membuat perayaan dan bernyanyi saat mereka menyaksikan kaki, telapak tangan, dan lengan gadis itu dihiasi dengan inai merah untuk menyambut saat pernikahan. Lalu setiap ibu membawa putri-putri mereka yang belum menikah agar dilihat calon-calon ibu mertua. Nasib kebanyakan gadis ditentukan pada hari seperti itu.
Istri nelayan menggosok dan membersihkan tubuh putrinya dan memberinya gaun paling indah yang dimilikinya dan bergegas membawanya ke rumah pemimpin para pedagang bersama yang lain. Putri nelayan ditinggalkan di rumah dengan tugas mengisi kendi air dan menyapu lantai sementara mereka pergi.
Begitu kedua perempuan itu hilang dari pandangan, putri nelayan mengangkat roknya dan lari menuju sungai untuk memberitahukan kesedihannya pada ikan merah kecil. “Kamu akan pergi ke pesta inai mempelai itu dan duduk di atas bantal di tengah bangsal,” kata ikan merah kecil. Dia memberi gadis itu sebuah bungkusan kecil dan berkata, “Inilah segala sesuatu yang perlu kamu kenakan, dengan sisir mutiara untuk rambutmu dan kasut emas untuk kakimu. Tapi satu hal harus kamu ingat: pastikan kamu sudah pergi sebelum ibu tirimu berpamitan.”
Ketika gadis itu melepaskan kain yang diikatkan pada pakaian itu, jatuhlah selembar gaun sutra berwarna hijau bagai daun semanggi. Gaun itu disulam dengan benang dan perhiasan dari emas, dan dari lipatannya tercium bau harum seperti bunga mawar. Dengan cepat gadis itu mandi dan berdandan dan memasang sisir mutiara itu pada rambutnya dan menyusupkan kakinya pada kasut emas dan pergi bergegas ke tempat pesta.
Para perempuan dari setiap rumah di kota itu berada di sana. Mereka berhenti berbicara untuk mengagumi kecantikan dan keanggunannya, dan mereka berpikir, “Ini pastilah putri gubernur!” Mereka membawakan untuknya sari buah dan kue yang terbuat dari buah badam dan madu serta mereka mendudukkannya di tempat kehormatan di tengah-tengah mereka semua. Dia mencari ibu tiri dan anaknya dan melihat mereka jauh di sana, di dekat pintu bersama para petani dan istri-istri para pemintal dan pedagang keliling.
Ibu tirinya menatapnya dan berkata pada dirinya sendiri, “Ya Allah, tumpuan puja-puji kami, betapa miripnya perempuan ini dengan putri suamiku! Tapi bukankah pepatah mengatakan, ‘Setiap tujuh orang dibuat dari satu gumpalan tanah?’” Dan sang ibu tiri tidak tahu bahwa gadis itu tidak lain putri suaminya sendiri!
Untuk tidak memperpanjang cerita, sebelum semua perempuan itu berdiri, putri nelayan pergi menemui ibu mempelai dan berkata, “Semoga rahmat dan karunia Allah menyertaimu, ya bibiku!” lalu bergegas keluar. Matahari telah tenggelam dan kegelapan datang. Dalam perjalanannya, gadis itu harus melewati sebuah jembatan di atas sungai yang mengalir menuju taman raja. Dan karenatakdir dan ketentuan Ilahi, kebetulan ketika dia berlari melewati jembatan itu, kasut emasnya lepas dari kakinya dan jatuh ke dalam sungai di bawahnya. Terlalu jauh untuk turun ke sungai dan mencari di dalam gelap; bagaimana jika ibu tirinya sudah tiba di rumah sebelum dia pulang? Maka gadis itu melepas kasutnya yang satu lagi, dan sambil mengangkat gaunnya tinggi-tinggi, dia melesat pulang ke rumahnya.
Ketika tiba di rumah dia melipat pakaiannya yang indah dan menggulung sisir mutiara serta kasut emasnya di dalamnya, dan menyembunyikannya di bawah tumpukan kayu. Dia melumuri kepala dan tangan serta kakinya dengan tanah untuk membuatnya tampak kotor, dan dia tengah berdiri menyapi ketika ibu tirinya menemuinya. Istri nelayan itu memandang wajahnya dan memperhatikan tangan serta kakinya dan berkata, “Masih menyapu setelah matahari tenggelam? Atau apakah kamu ingin menyapu nyawa kami semua?”
Bagaimana dengan kasut emas itu? Nah, arus sungai membawanya ke dalam taman raja dan mendorongnya serta mendorongnya terus hingga masuk ke dalam kolam tempat putra raja menuntun kudanya minum. Keesokan harinya, pangeran memberi air pada kudanya. Dia memperhatikan bahwa setiap kali kuda itu menurunkan kepalanya untuk minum, sesuatu membuatnya malu dan melangkah mundur. Ada apa di bawah kolam itu yang telah membuat takut kudanya? Dia memanggil pengurus kandang, dan dari balik lumpur, orang itu mengambil kasut emas yang bercahaya dan menunjukkannya kepada pangeran.
Ketika pangeran memegang benda kecil yang itu itu, dia mulai membayangkan kaki kecil yang indah yang memakainya. Dia berjalan kembali ke dalam istana dengan jantung berdebar dan pikiran penuh khayalan tentang gadis yang memiliki alas kaki yang begini berharga. Ratu melihatnya tenggelam dalam angan-angan dan berkata, “Semoga Allah menurunkan kabar baik pada kital mengapa melamun begitu asyik, putraku?”
“Yammah, wahai Ibu, aku ingin engkau mencarikan seorang istri untukku!” Kata pangeran.
“Memikirkan satu istri saja sampai jadi begini?” kata ratu. “Aku akan mencarikanmu seribu orang jika kamu ingin! Aku akan mendatangkan setiap gadis di kerajaan ini untuk menjadi istrimu jika kamu mau! Tapi katakan padaku, putraku, siapakah gadis yang telah membuatmu kehilangan akal?”
“Aku ingin mengawini gadis yang memiliki kasut ini,” sahut pangeran, dan dia menceritakan kepada ibunya bagaimana dia menemukan benda itu.
“Kamu akan mendapatkannya, putraku,” kata ratu. “Aku akan memulai pencarianku besok begitu matahari terbit, dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.”
Keesokan harinya, ibu pangeran mulai bekerja, masuk ke satu rumah dan keluar dari rumah lainnya dengan kasut emas terkepit di lengannya. Setiap kali melihat seorang gadis remaja, dia mencobakan kasut itu pada telapak kakinya. Sementara itu, pangeran duduk di gerbang istana, menantinya kembali. “Bagaimana kabarnya, Ibu?” tanyanya. Dan sang ibu menjawab, “Belum ketemu, putraku. Sabarlah, nak, tempelkan salju ke dadamu dan kendalikan hasratmu. Aku akan terus mencarinya.”
Pencarian itu pun terus berlanjut. Memasuki satu gerbang dan meninggalkan gerbang lainnya, ratu mengunjungi rumah-rumah para bangsawan dan para saudagar serta para pandai emas. Dia menemui putri-putri para pengrajin dan para pedagang. Dia memasuki gubuk para pengangkut air dan tukang pintal, dan berhenti pada setiap rumah hingga tinggal pondok nelayan di tepai sungai itu yang belum didatangi. Setiap malam ketika pangeran menanyakan kabar, dia berkata, “Aku akan menemukannya, aku akan menemukannya.”
Ketika keluarga nelayan itu diberi tahu bahwa ratu akan datang untuk mengunjungi rumah mereka, istri nelayan yang penuh muslihat itu jadi sibuk, dia memandikan putrinya dan memakaikan gaunnya yang paling baik, dia mencuci rambutnya dengan inai dan menghiasi matanya dengan kohl dan menggosok-gosok pipinya sampai berkilau merah. Tapi tetap saja ketika gadis itu berdiri di samping putri nelayan, dia tampak seperti lilin di samping matahari. Meskipun anak tiri itu diperlakukan dengan demikian buruk dan sering kelaparan, dengan kehendak Allah dan dengan bantuan ikan merah kecil, kecantikannya semakin bertambah dari hari ke hari.
Kini ibu tirinya menyeretnya keluar rumah dan ke halaman. Dia mendorongnya ke dalam pemanggang dan menutup pintunya dengan kaki lempung bulat yang biasa digunakan untuk meratakan adonan. Ini diberinya pemberat dengan batu gerinda. “Jangan berani-berani bergerak sampai aku mendatangimu!” kata ibu tiri. Apa yang dapat dilakukan gadis malang itu kecuali meringkuk di atas abu dan memercayakan nasibnya kepada Allah?
Ketika ratu tiba, ibu tiri mendorong putrinya ke depan, sambil berkata, “Ciumlah tangan ibu pangeran, anak bodoh!” Seperti yang telah dilakukannya di rumah-rumah lain, ratu menyuruh gadis itu duduk di sampingnya dan memegang kakinya dan menyusupkannya ke dalam kasut emas. Tepat pada saat itu ayam jantan tetangga terbang ke halaman dan mulai berkokok,
Ki-ki-ki-kow!
Ketahuilah istri raja,
Mereka memamerkan gadis buruk rupa,
Dan menyembunyikan si jelita.
Ki-ki-ki-kow!
Dia mulai lagi dengan jeritannya yang memekakkan telinga, dan ibu tiri berlari keluar dan mengayunkan tangannya untuk mengejarnya. Tapi ratu telah mendengar kata-katanya, dan dia menyuruh pelayan-pelayannya untuk mencari ke sana-kemari. Ketika mereka mendorong ke samping penutup pemanggang, mereka menemukan gadis itu—cantik bagaikan bulan di tengah kepulan abu. Mereka membawanya menghadap ratu, dan kasut emas itu pas di kakinya seakan-akan ia dibuat menurut ukuran kakinya.
Ratu merasa puas. Dia berkata, “Sejak saat ini putrimu kujodohkan dengan putraku. Bersiap-siaplah untuk menyambut perkawinannya. Insya Allah, iring-iringan akan datang pada hari Jumat.” Dan dia memberikan kepada ibu tiri itu sekantung penuh uang emas.
Ketika perempuan itu sadar bahwa rencananya gagal, bahwa putri suaminya akan menikah dengan pangeran sementara anknya sendiri tetap tinggal di rumah, hatinya dipenuhi kemarahan dan dendam. “Aku akan berusaha agar dia dikembalikan ke rumah ini sebelum malam berlalu.”
Dia mengambil kantung berisi emas itu, lari ke pasar wewangian, dan minta obat pencahar yang begitu kuat hingga dapat membuat isi perut hancur-lebur. Melihat emas, penjual mulai mencapur bubuk obat itu di atas bakinya. Lalu dia minta arsenik dan kapur, yang dapat melemahkan rambut dan membuatnya rontok, serta balsem yang baunya seperti daging bangkai.
Nah, ibu tiri mempersiapkan mempelai menyambut hari perkawinannya. Dia mencuci rambutnya dengan inai dicampur arsenik dan kapur, serta menggosokkan balsem bau itu pada rambutnya. Lalu dia memegang telinga gadis itu dan mengucurkan obat pencahar ke dalam kerongkongannya. Tidak lama kemudian iring-iringan pengantin tiba, dengan kuda-kuda dan genderang, pakaian-pakaian indah berwarna cerah, dan suara-suara riang. Mereka menaikkan mempelai perempuan ke atas tandu dan membawanya pergi.
Dia memasuki istana didahului suara musik dan diikuti nyanyian serta puja-puji dan tepukan tangan. Dia memasuki kamar pengantin, pangeran membuka kerudung wajahnya, dan dia bersinar bagaikan bulan tanggal empat belas. Wangi amber dan bunga mawar membuat pangeran menekankan wajahnya ke rambut istrinya. Dia menyisir rambut itu dengan jari-jarinya, dan rasanya seperti bermain dengan kain emas. Kini gadis itu mulai merasa perutnya berat, tapi dari bawah gaunnya jatuhlah kepingan-kepingan emas dalam jumlah ribuan hingga permadani dan bantal-bantal tertutup emas.
Sementara itu, ibu tiri menanti di depan pintu, sambil berkata, “Kini mereka akan mengembalikan gadis itu dengan membawa aib, dia akan tiba di rumah dalam keadaan kotor dan botak,” Tapi meskipun dia berdiri di depan pintu sampai pagi, tak seorang pun datang dari istana raja.
Berita mengenai istri cantik sang pangeran mulai tersebar di kota, dan putra pedagang berkata kepada ibunya. “Mereka berkata bahwa istri pangeran punya saudara perempuan. Aku ingin dia menjadi istriku.” Ketika pergi ke gubuk nelayan, ibu pemuda itu memberikan sekantung penuh uang emas kepada istri nelayan dan berakat, “Persiapkan putrimu, sebab kami akan datang untuk menjemputnya pada hari Jumat, insya Allah.”
Istri nelayan berkata pada dirinya sendiri, “Jika apa yang kulakukan pada putri suamiku dapat mengubah rambutnya menjadi benang emas dan perutnya menjadi penuh uang, tidakkah akan kulakukan hal yang sama pada anakku sendiri?” Dia bergegas mendatangi penjual wewangian dan minta bubuk dan obat-obatan yang sama, tapi lebih keras dari yang sebelumnya. Lalu dia mempersiapkan anaknya, dan iring-iringan pengantin tiba. Ketika putra pedagang membuka kerudung wajah mempelainya, rasanya seperti mengangkat penutup peti jenazah. Bau busuk mengengat begitu kuat sehingga pemuda itu tercekik, dan rambut gadis itu rontok di tangannya. Maka mereka membungkus mempelai yang malang itu dengan kotorannya snediri dan membawanya kembali ke rumah ibunya.
Sedangkan sang pangeran hidup bersama putri nelayan dalam kebahagiaan dan kegembiraan, dan Allah menganugerahkan tujuh anak laksana tujuh burung emas.
Mulberry, mulberry,
Maka berakhirlah kisahku ini.
Jika rumahku tidak begitu jauh jaraknya,
Aku akan membawakanmu kismis dan buah ara.
Di negeri antah-berantah hiduplah seorang nelayan. Istrinya mati tenggelam di sungai besar dan meninggalkan seorang gadis kecil yang cantik berumur kurang dari dua tahun. Di sebuah rumah di dekat situ tinggallah seorang janda bersama putrinya. Kedua perempuan itu mulai sering datang ke rumah nelayan untuk merawat si gadis kecil dan menyisir rambutnya, dan setiap kali sang janda berkata kepada gadis kecil itu, “Tidakkah aku bersikap layaknya seorang ibu kepadamu?” Dia berusaha menyenangkan hati nelayan, tapi nelayan selalu berkata, “Aku tidak akan menikah lagi. ibu tiri biasanya membenci anak-anak suami mereka meskipun ibu anak-anak itu telah meninggal dan dikubur.”
Ketika putrinya sudah cukup besar dan jatuh kasihan kepada ayahnya setiap kali dia melihat sang ayah mencuci pakaiannya sendiri, dan berkata, “Mengapa engkau tidak menihaki tetangga kita, Ayah? Dia tidak jahat, dan dia menyayangiku seperti menyayangi putrinya sendiri.”
Pepatah mengatakan, tetesan air akan melubangi sebuah batu. Akhirnya nelayan menikahi janda itu, dan dia pindah ke rumahnya. Perkawinan belum lewat seminggu ketika jelas sudah bahwa janda itu merasa cemburu pada putri suaminya. Dia menyadari betapa sang ayah sangat menyayangi putrinya dan memanjakannya. Dan dia pun menyadari bahwa anak itu cantik, dan cerdas, sementara anaknya sendiri kurus dan bodoh, dan begitu canggung sehingga dia tidak tahu bagaimana caranya menjahit keliman bajunya sendiri.
Tidak lama setelah perempuan itu merasa yakin dirinya menjadi nyonya rumah, dia mulai menyerahkan seluruh tugas rumah tangga untuk dikerjakan putri tirinya. Dan tidak mau memberikan sabun kepada gadis itu untuk mencuci rambut dan kakinya, dan dia tidak menyediakan makanan untuknya kecuali makanan sisa dan remah-remah. Semua ini dijalani si gadis dengan penuh kesabaran, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebab dia tidak ingin membuat ayahnya sedih, dan dia berpikir, “Aku mengambil kalajengking itu dengan tanganku sendiri; aku akan menyelamatkan diriku dengan usahaku sendiri.”
Di samping tugas-tugas lainnya, putri nelayan harus pergi ke sungai setiap hari untuk membawa pulang hasil tangkapan ayahnya, ikan yang mereka makan dan yang mereka jual. Suatu hari dari bawah sebuah keranjang yang berisi tiga ekor ikan lele, tiba-tiba seekor ikan merah kecil berbicara kepadanya:
Anak dengan kesabaran begitu besar,
Aku mohon padamu, selamatkan nyawaku.
Ke dalam air tolong aku engkau lempar,
Dan kini dan selanjutnya jadilah anakku.
Gadis itu berhenti untuk mendengarkan, setengah heran setengah takut. Lalu sambil mundur dia melemparkan ikan tersebut ke dalam air sungai dan berkata, “Pergilah! Pepatah mengatakan, ‘Berbuat baiklah, bahkan jika itu seperti membuang emas ke laut, di mata Allah tidak diabaikan.’” Mengangkat mukanya ke atas air, ikan kecil berkata:
Kebaikanmu tidaklah sia-sia
Seorang ibu baru engkau temukan.
Datanglah padaku jika engkau berduka,
Dan aku akan membantumu meraih kegembiraan.
Gadis itu melangkah kembali ke rumah dan menyerahkan tidak ekor ikan lele kepada ibu tirinya. Ketika nelayan menanyakan ikan keempat, si gadis berkata, “Ayah, ikan merah itu jatuh dari keranjangku. Ia mungkin masuk ke sungai, sebab aku tidak bisa menemukannya lagi.”
“Tidak apa-apa,” kata nelayan, “itu Cuma ikan kecil.” Tapi ibu tirinya mulai mencela. “Kamu tidak pernah memberi tahu aku ada empat ekor ikan. Kamu tidak mengatakan yang satu hilang. Pergi sekarang dan carilah, sebelum aku mengutukimu.”
Saat itu sudah lewat petang hari dan si gadis harus berjalan kembali ke sungai dalam kegelapan. Dengan mata bengkak karena penuh air mata, dia berdiri di tepi sungai dan berseru,
Ikan merah, ibu dan pengasuhku,
Datanglah cepat, lepaskan kutukanku.
Dan muncullah di dekat kakinya ikan merah kecil itu, menenangkan hatinya dan berkata, “Meski kesabaran itu pahit, buahnya sangat manis. Kini membungkuklah dan ambil kepingan emas dari mulutku. Berikan pada ibu tirimu, dan dia tidak akan mengata-ngataimu lagi.” Tepat seperti itulah yang terjadi.
Tahun berganti tahun, dan di rumah nelayan kehidupan berlangsung seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah kecuali bahwa kedua gadis kecil itu kini menjadi gadis remaja.
Suatu hari, seorang tokoh terkenal, pedagang paling terkemuka, mengumumkan bahwa putrinya akan menikah. Sudah menjadi adat bahwa para perempuan berkumpul di rumah mempelai perempuan pada “hari inai mempelai” untuk membuat perayaan dan bernyanyi saat mereka menyaksikan kaki, telapak tangan, dan lengan gadis itu dihiasi dengan inai merah untuk menyambut saat pernikahan. Lalu setiap ibu membawa putri-putri mereka yang belum menikah agar dilihat calon-calon ibu mertua. Nasib kebanyakan gadis ditentukan pada hari seperti itu.
Istri nelayan menggosok dan membersihkan tubuh putrinya dan memberinya gaun paling indah yang dimilikinya dan bergegas membawanya ke rumah pemimpin para pedagang bersama yang lain. Putri nelayan ditinggalkan di rumah dengan tugas mengisi kendi air dan menyapu lantai sementara mereka pergi.
Begitu kedua perempuan itu hilang dari pandangan, putri nelayan mengangkat roknya dan lari menuju sungai untuk memberitahukan kesedihannya pada ikan merah kecil. “Kamu akan pergi ke pesta inai mempelai itu dan duduk di atas bantal di tengah bangsal,” kata ikan merah kecil. Dia memberi gadis itu sebuah bungkusan kecil dan berkata, “Inilah segala sesuatu yang perlu kamu kenakan, dengan sisir mutiara untuk rambutmu dan kasut emas untuk kakimu. Tapi satu hal harus kamu ingat: pastikan kamu sudah pergi sebelum ibu tirimu berpamitan.”
Ketika gadis itu melepaskan kain yang diikatkan pada pakaian itu, jatuhlah selembar gaun sutra berwarna hijau bagai daun semanggi. Gaun itu disulam dengan benang dan perhiasan dari emas, dan dari lipatannya tercium bau harum seperti bunga mawar. Dengan cepat gadis itu mandi dan berdandan dan memasang sisir mutiara itu pada rambutnya dan menyusupkan kakinya pada kasut emas dan pergi bergegas ke tempat pesta.
Para perempuan dari setiap rumah di kota itu berada di sana. Mereka berhenti berbicara untuk mengagumi kecantikan dan keanggunannya, dan mereka berpikir, “Ini pastilah putri gubernur!” Mereka membawakan untuknya sari buah dan kue yang terbuat dari buah badam dan madu serta mereka mendudukkannya di tempat kehormatan di tengah-tengah mereka semua. Dia mencari ibu tiri dan anaknya dan melihat mereka jauh di sana, di dekat pintu bersama para petani dan istri-istri para pemintal dan pedagang keliling.
Ibu tirinya menatapnya dan berkata pada dirinya sendiri, “Ya Allah, tumpuan puja-puji kami, betapa miripnya perempuan ini dengan putri suamiku! Tapi bukankah pepatah mengatakan, ‘Setiap tujuh orang dibuat dari satu gumpalan tanah?’” Dan sang ibu tiri tidak tahu bahwa gadis itu tidak lain putri suaminya sendiri!
Untuk tidak memperpanjang cerita, sebelum semua perempuan itu berdiri, putri nelayan pergi menemui ibu mempelai dan berkata, “Semoga rahmat dan karunia Allah menyertaimu, ya bibiku!” lalu bergegas keluar. Matahari telah tenggelam dan kegelapan datang. Dalam perjalanannya, gadis itu harus melewati sebuah jembatan di atas sungai yang mengalir menuju taman raja. Dan karenatakdir dan ketentuan Ilahi, kebetulan ketika dia berlari melewati jembatan itu, kasut emasnya lepas dari kakinya dan jatuh ke dalam sungai di bawahnya. Terlalu jauh untuk turun ke sungai dan mencari di dalam gelap; bagaimana jika ibu tirinya sudah tiba di rumah sebelum dia pulang? Maka gadis itu melepas kasutnya yang satu lagi, dan sambil mengangkat gaunnya tinggi-tinggi, dia melesat pulang ke rumahnya.
Ketika tiba di rumah dia melipat pakaiannya yang indah dan menggulung sisir mutiara serta kasut emasnya di dalamnya, dan menyembunyikannya di bawah tumpukan kayu. Dia melumuri kepala dan tangan serta kakinya dengan tanah untuk membuatnya tampak kotor, dan dia tengah berdiri menyapi ketika ibu tirinya menemuinya. Istri nelayan itu memandang wajahnya dan memperhatikan tangan serta kakinya dan berkata, “Masih menyapu setelah matahari tenggelam? Atau apakah kamu ingin menyapu nyawa kami semua?”
Bagaimana dengan kasut emas itu? Nah, arus sungai membawanya ke dalam taman raja dan mendorongnya serta mendorongnya terus hingga masuk ke dalam kolam tempat putra raja menuntun kudanya minum. Keesokan harinya, pangeran memberi air pada kudanya. Dia memperhatikan bahwa setiap kali kuda itu menurunkan kepalanya untuk minum, sesuatu membuatnya malu dan melangkah mundur. Ada apa di bawah kolam itu yang telah membuat takut kudanya? Dia memanggil pengurus kandang, dan dari balik lumpur, orang itu mengambil kasut emas yang bercahaya dan menunjukkannya kepada pangeran.
Ketika pangeran memegang benda kecil yang itu itu, dia mulai membayangkan kaki kecil yang indah yang memakainya. Dia berjalan kembali ke dalam istana dengan jantung berdebar dan pikiran penuh khayalan tentang gadis yang memiliki alas kaki yang begini berharga. Ratu melihatnya tenggelam dalam angan-angan dan berkata, “Semoga Allah menurunkan kabar baik pada kital mengapa melamun begitu asyik, putraku?”
“Yammah, wahai Ibu, aku ingin engkau mencarikan seorang istri untukku!” Kata pangeran.
“Memikirkan satu istri saja sampai jadi begini?” kata ratu. “Aku akan mencarikanmu seribu orang jika kamu ingin! Aku akan mendatangkan setiap gadis di kerajaan ini untuk menjadi istrimu jika kamu mau! Tapi katakan padaku, putraku, siapakah gadis yang telah membuatmu kehilangan akal?”
“Aku ingin mengawini gadis yang memiliki kasut ini,” sahut pangeran, dan dia menceritakan kepada ibunya bagaimana dia menemukan benda itu.
“Kamu akan mendapatkannya, putraku,” kata ratu. “Aku akan memulai pencarianku besok begitu matahari terbit, dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.”
Keesokan harinya, ibu pangeran mulai bekerja, masuk ke satu rumah dan keluar dari rumah lainnya dengan kasut emas terkepit di lengannya. Setiap kali melihat seorang gadis remaja, dia mencobakan kasut itu pada telapak kakinya. Sementara itu, pangeran duduk di gerbang istana, menantinya kembali. “Bagaimana kabarnya, Ibu?” tanyanya. Dan sang ibu menjawab, “Belum ketemu, putraku. Sabarlah, nak, tempelkan salju ke dadamu dan kendalikan hasratmu. Aku akan terus mencarinya.”
Pencarian itu pun terus berlanjut. Memasuki satu gerbang dan meninggalkan gerbang lainnya, ratu mengunjungi rumah-rumah para bangsawan dan para saudagar serta para pandai emas. Dia menemui putri-putri para pengrajin dan para pedagang. Dia memasuki gubuk para pengangkut air dan tukang pintal, dan berhenti pada setiap rumah hingga tinggal pondok nelayan di tepai sungai itu yang belum didatangi. Setiap malam ketika pangeran menanyakan kabar, dia berkata, “Aku akan menemukannya, aku akan menemukannya.”
Ketika keluarga nelayan itu diberi tahu bahwa ratu akan datang untuk mengunjungi rumah mereka, istri nelayan yang penuh muslihat itu jadi sibuk, dia memandikan putrinya dan memakaikan gaunnya yang paling baik, dia mencuci rambutnya dengan inai dan menghiasi matanya dengan kohl dan menggosok-gosok pipinya sampai berkilau merah. Tapi tetap saja ketika gadis itu berdiri di samping putri nelayan, dia tampak seperti lilin di samping matahari. Meskipun anak tiri itu diperlakukan dengan demikian buruk dan sering kelaparan, dengan kehendak Allah dan dengan bantuan ikan merah kecil, kecantikannya semakin bertambah dari hari ke hari.
Kini ibu tirinya menyeretnya keluar rumah dan ke halaman. Dia mendorongnya ke dalam pemanggang dan menutup pintunya dengan kaki lempung bulat yang biasa digunakan untuk meratakan adonan. Ini diberinya pemberat dengan batu gerinda. “Jangan berani-berani bergerak sampai aku mendatangimu!” kata ibu tiri. Apa yang dapat dilakukan gadis malang itu kecuali meringkuk di atas abu dan memercayakan nasibnya kepada Allah?
Ketika ratu tiba, ibu tiri mendorong putrinya ke depan, sambil berkata, “Ciumlah tangan ibu pangeran, anak bodoh!” Seperti yang telah dilakukannya di rumah-rumah lain, ratu menyuruh gadis itu duduk di sampingnya dan memegang kakinya dan menyusupkannya ke dalam kasut emas. Tepat pada saat itu ayam jantan tetangga terbang ke halaman dan mulai berkokok,
Ki-ki-ki-kow!
Ketahuilah istri raja,
Mereka memamerkan gadis buruk rupa,
Dan menyembunyikan si jelita.
Ki-ki-ki-kow!
Dia mulai lagi dengan jeritannya yang memekakkan telinga, dan ibu tiri berlari keluar dan mengayunkan tangannya untuk mengejarnya. Tapi ratu telah mendengar kata-katanya, dan dia menyuruh pelayan-pelayannya untuk mencari ke sana-kemari. Ketika mereka mendorong ke samping penutup pemanggang, mereka menemukan gadis itu—cantik bagaikan bulan di tengah kepulan abu. Mereka membawanya menghadap ratu, dan kasut emas itu pas di kakinya seakan-akan ia dibuat menurut ukuran kakinya.
Ratu merasa puas. Dia berkata, “Sejak saat ini putrimu kujodohkan dengan putraku. Bersiap-siaplah untuk menyambut perkawinannya. Insya Allah, iring-iringan akan datang pada hari Jumat.” Dan dia memberikan kepada ibu tiri itu sekantung penuh uang emas.
Ketika perempuan itu sadar bahwa rencananya gagal, bahwa putri suaminya akan menikah dengan pangeran sementara anknya sendiri tetap tinggal di rumah, hatinya dipenuhi kemarahan dan dendam. “Aku akan berusaha agar dia dikembalikan ke rumah ini sebelum malam berlalu.”
Dia mengambil kantung berisi emas itu, lari ke pasar wewangian, dan minta obat pencahar yang begitu kuat hingga dapat membuat isi perut hancur-lebur. Melihat emas, penjual mulai mencapur bubuk obat itu di atas bakinya. Lalu dia minta arsenik dan kapur, yang dapat melemahkan rambut dan membuatnya rontok, serta balsem yang baunya seperti daging bangkai.
Nah, ibu tiri mempersiapkan mempelai menyambut hari perkawinannya. Dia mencuci rambutnya dengan inai dicampur arsenik dan kapur, serta menggosokkan balsem bau itu pada rambutnya. Lalu dia memegang telinga gadis itu dan mengucurkan obat pencahar ke dalam kerongkongannya. Tidak lama kemudian iring-iringan pengantin tiba, dengan kuda-kuda dan genderang, pakaian-pakaian indah berwarna cerah, dan suara-suara riang. Mereka menaikkan mempelai perempuan ke atas tandu dan membawanya pergi.
Dia memasuki istana didahului suara musik dan diikuti nyanyian serta puja-puji dan tepukan tangan. Dia memasuki kamar pengantin, pangeran membuka kerudung wajahnya, dan dia bersinar bagaikan bulan tanggal empat belas. Wangi amber dan bunga mawar membuat pangeran menekankan wajahnya ke rambut istrinya. Dia menyisir rambut itu dengan jari-jarinya, dan rasanya seperti bermain dengan kain emas. Kini gadis itu mulai merasa perutnya berat, tapi dari bawah gaunnya jatuhlah kepingan-kepingan emas dalam jumlah ribuan hingga permadani dan bantal-bantal tertutup emas.
Sementara itu, ibu tiri menanti di depan pintu, sambil berkata, “Kini mereka akan mengembalikan gadis itu dengan membawa aib, dia akan tiba di rumah dalam keadaan kotor dan botak,” Tapi meskipun dia berdiri di depan pintu sampai pagi, tak seorang pun datang dari istana raja.
Berita mengenai istri cantik sang pangeran mulai tersebar di kota, dan putra pedagang berkata kepada ibunya. “Mereka berkata bahwa istri pangeran punya saudara perempuan. Aku ingin dia menjadi istriku.” Ketika pergi ke gubuk nelayan, ibu pemuda itu memberikan sekantung penuh uang emas kepada istri nelayan dan berakat, “Persiapkan putrimu, sebab kami akan datang untuk menjemputnya pada hari Jumat, insya Allah.”
Istri nelayan berkata pada dirinya sendiri, “Jika apa yang kulakukan pada putri suamiku dapat mengubah rambutnya menjadi benang emas dan perutnya menjadi penuh uang, tidakkah akan kulakukan hal yang sama pada anakku sendiri?” Dia bergegas mendatangi penjual wewangian dan minta bubuk dan obat-obatan yang sama, tapi lebih keras dari yang sebelumnya. Lalu dia mempersiapkan anaknya, dan iring-iringan pengantin tiba. Ketika putra pedagang membuka kerudung wajah mempelainya, rasanya seperti mengangkat penutup peti jenazah. Bau busuk mengengat begitu kuat sehingga pemuda itu tercekik, dan rambut gadis itu rontok di tangannya. Maka mereka membungkus mempelai yang malang itu dengan kotorannya snediri dan membawanya kembali ke rumah ibunya.
Sedangkan sang pangeran hidup bersama putri nelayan dalam kebahagiaan dan kegembiraan, dan Allah menganugerahkan tujuh anak laksana tujuh burung emas.
Mulberry, mulberry,
Maka berakhirlah kisahku ini.
Jika rumahku tidak begitu jauh jaraknya,
Aku akan membawakanmu kismis dan buah ara.
0 comments:
Post a Comment