Epistemologi Islam : Beberapa Prinsip Dasar

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata yakni episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos bermakna pengetahuan. Oleh karena itu epistemologi itu disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) , di mana dalam bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy menyatakan epistemologi sebagai studi tentang pengetahuan dan kebenaran , paling tidak secara khusus mempelajari tentang tiga bagian penting : pertama ; penegasan ciri-ciri pengetahuan, kedua ; kondisi sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya dan ketiga ; batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.

Apa yang dapat kita ketahui? dan bagaimana kita dapat mengetahui itu? adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis dan bentuk-bentuk pengetahuan menjadi topik utama epistemologi, secara bersamaan dihubungkan kepada gagasan kesadaran lain seperti kepercayaan (belief), pemahaman (understanding), akal Budi (reason), keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan atau tanggapan daya memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition), dugaan (guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).

Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi kepada dua aliran yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan tentang hakikat pengetahuan ini sendiri Realisme menyatakan hakikat pengetahuan adalah apa yang ada dalam gambar atau kopi yang sebenarnya dari alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi asli yang terdapat di luar akal. Pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan. Sedangkan idealisme menganggap pengetahuan itu adalah gambar menurut pendapat atau penglihatan. Pengetahuan tidak menggambarkan yang sebenarnya karena pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Sehubungan dengan itu perbedaan pokok antara teori-teori pengetahuan adalah perbedaan antara metode rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal, ia berfungsi untuk menghubungkan data dari luar atau menerjemahkan peristiwa dengan peristiwa yang lain. Adapun empirisme menegaskan pengetahuan diperoleh melalui panca indra, kesan-kesan berkumpul pada manusia kemudian disusun dan diatur sedemikian rupa menjadi pengetahuan. Jika dihubungkan dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka bagaimanakah dengan filsafat Islam, berada di kelompok manakah yang mungkin diikuti oleh para filosof muslim dan metode apa yang mereka gunakan?
Adapun pengertian Islam itu sendiri secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Arab, dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari kata ini dibentuk kata aslama yang artinya “memeliharakan diri dalam keadaan selamat sentosa” dan berarti juga “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Seseorang yang bersikap sebagaimana dimaksud oleh pengertian Islam tersebut disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Allah.

Secara istilah (terminologi), Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW . S. Chander mengutarakan:

The Islam is derived from the arabic salima which means peace, purity, submission and obedience. In the religion sense, Islam means submission to the will of God and obedience to his law, founded by prophet Muhammad. Islam is religion, the way of the muslim of the world (Islam adalah derivasi dari bahasa Arab “salima” yang berarti kedamaian, kemurnian, ketundukan dan kepatuhan. Dalam pengertian agama, Islam adalah ketundukan kepada kehendak Tuhan dan tunduk kepada aturan-aturannya yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam adalah agama, jalan hidup kaum muslim di dalam dunia.

Hasil penyimpulan seorang pakar linguistik Toshihiko Izutsu bahwa Islam secara harfiah adalah ketundukan dan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain. Arti penting dari istilah ini dalam agama Islam ditunjukkan oleh kenyataan yang telah diketahui bahwa Islam menjadi nama untuk agama (al-din) ini . Selanjutnya Seraya mengutip statemen dari kitab Syarah bukhari, ia menyetujui bahwa Islam itu ada dua macam : (1) Tipe Islam yang formal dan superfisial yang dimotivasi oleh sesuatu yang murni agama, ketakutan dibunuh (oleh Muslim) sebagai contoh, dan (2) Islam Riil dan inilah yang dimaksud dengan tipe Islam sebagai diungkapkan Alquran surat Ali ‘Imran 19.” Inna al-din ‘Inda Allah al-Islam “Sesungguhnya Agama disisi Allah adalah Islam.

Dalam Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam dijelaskan bahwa terma salima berarti “damai” dipahami oleh muslim muslim awal sebagai ketiadaan tertarik pada berbagai hal yan g berhubungan dengan politeisme. Dalam politeisme tak merasa dan percaya pasti dewa mana yang dapat menenangkan atau tindakan apa yang bermakna positif. Kata al-Din untuk agama juga bermakna hutang atau berkewajiban bahwa orang beriman berhutang kepada Allah, maka Islam menyiratkan satu rangkaian tindakan seperti halnya kepercayaan.

Bagaimana persis kedudukan dan model pengetahuan dalam Islam yang mencerminkan identitas dirinya, baik yang sudah, sedang atau akan direncanakan serta bagaimana formulasi yang dirumuskan oleh para ilmuan muslim menyangkut konsep-konsep yang dibangun Islam dalam upaya pengembangan dan perolehan pengetahuan serta kebenaran, maka hal tersebut sangat bergantung kepada sumber-sumber pengetahuan itu sendiri.

A. Sumber-sumber Pengetahuan
Manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu melalui sumber-sumber tertentu. Sumber-sumber sangat penting karena menjadi sebuah tolak ukur untuk memastikan apakah pengetahuan tersebut valid atau tidak valid dan hal ini dipengaruhi oleh metode-metode tertentu yang mengklaim bahwa sumbernya yang paling valid untuk mengajukan pengetahuan. Keseluruhan sumber-sumber itu tetap mengandung kelebihan disamping kekurangannya masing-masing. Pembahasan tentang sumber-sumber dalam epistemologi, pandangan kaum muslimin sangat beragam. Dari sekian banyak pandangan para ilmuan dan filosof muslim, kita dapat mengeneralisasi sumber-sumber tersebut kepada tiga bagian , yakni; indra, akal dan hati.

Keseluruhan sumber – sumber ini secara literal menurut Quraish Shihab dijustifikasikan dalam ayat Alquran surat al-Nahl ayat 78 :
 “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk ilahi untuk memperoleh pengetahuan).

Ayat ini menurut Quraish Shihab mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, telinga, mata (penglihatan), akal dan hati.
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra tentu sangat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indra adalah sumber awal mengenal alam sekeliling kita. Bahkan satu riwayat menyatakan : “apabila seorang manusia kehilangan salah satu indranya, maka ia telah kehilangan setengah ilmu”. Melalui mata manusia menangkap hal-hal yang tampak apakah bentuk, keberadaan, sifat atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga dapat mendengar suara. Demikian juga dengan indra perasa, kita bisa mengenal dimensi yang lain lagi dari objek-objek dunia yaitu rasa (QS.7:22) , (masam, manis , asam, pahit dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat dan didengar oleh mata dan telinga .Indra peraba untuk memegang (QS.6:7) . Tak kalah pentingnya juga indra penciuman (QS.12:94) yang dapat menyerap aspek lain dari objek-objek fisik yaitu bau Setelah melihat fungsi indra sangat besar pengaruhnya untuk mendapatkan pengetahuan. Persoalan sekarang, cukupkah indra memenuhi kebutuhan akan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya?. Apakah misalnya penglihatan manusia telah mampu memberikan pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan, bintang ? Sepintas bisa dijawab ya, dapat dikatakan langit itu biru dan bintang itu kecil. Namun apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagaimana adanya atau semata-mata kesan yang tercerap oleh mata belaka?. Apakah kesan-kesan inderawi itu sama dengan kenyataan? tidak, ternyata indra itu terbatas. Banyak dorongan dan perintah bagi kaum muslimin dalam Alquran untuk mengadakan pengamatan (observasi) dengan indera juga penalaran dalam memahami alam.

Ibnu al-Haitsam, seorang ahli optik menjelaskan kekeliruan-kekeliruan mata telanjang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; jarak yang terlalu jauh, posisi yang terlalu jauh, pencahayaan, ukuran objek yang terlalu kecil, keburaman yang terlalu pekat, transparansi yang terlalu kuat, lamanya memandang diluar batas moderat dan kondisi mata yang tidak memungkinkan akibat kerusakan mata.

Bagi kelompok rasionalis filosofis seperti Baqir al-Sadr, indra merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir (al-ifkar) yang sederhana, bahkan disana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan tingkat gambaran, ia mencontohkan betapa kesimpulan teori gravitasi oleh ilmuan alam disebabkan dengan hasil penemuan hukumnya bukan menginderai hukum tersebut, dan kesimpulan tersebut bersifat rasio.

Sadr menyimpulkan pandangannya tentang hubungan akal dan eksperimen antara lain : Pertama, prinsip-prinsip rasional niscaya adalah dasar-dasar umum bagi semua kebenaran ilmiyah. Kedua, teori-teori ilmiyah dalam bidang eksperimental bergantung pada sejauh mana akurasi teori teori dan hasil-hasil itu dalam menerapkan prinsip-prinsip niscaya tersebut pada totalitas empirikal yang terhimpun. Ketiga, bidang non eksperimen (metafisika), teori filsafat mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip niscaya tersebut pada bidang-bidang itu tanpa eksperimen seperti prinsip non-kontradiksi, prinsip kausalitas dan matematis primer. Hal ini menunjukkan bahwa satu teori filsafat memiliki nilai dan derajat yang sama dengan nilai dan derajat teori ilmiyah. Oleh karena itu sangat mungkin memperoleh pengetahuan pada bidang-bidang metafisika.

Sumber pengetahuan yang lain adalah akal yang mempunyai fungsi sangat besar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Posisinya sangat tinggi dalam Islam, ia berpotensi sebagai alat untuk berfikir, memahami dan mengambil kesimpulan, khususnya dikalangan para filosof dibagi kepada dua yakni aktif dan teoritis dengan fungsinya masing-masing. Akal aktif berkaitan dengan etika, sedangkan yang pokok akal teoritis merupakan fakultas pemahaman.

Ibnu Sina membagi akal ini kepada empat model, pertama; akal materi (al-‘aql al-hayulani), mirip dengan hyle (materi awal penciptaan) mengandung kesiapan untuk menerima gambar, yakni akal yang menyimpulkan seluruh invidu-individu spesies dalam prinsip fitrah mereka. Akal bakat (al-‘aql bi al-Malakah) yakni yang disebut ketika menghasilkan konsep-konsep primer (al-ma’qulat al-ula) dengan aktuil (bi al-fi’li), dengan ini akal bakat menjadi potensi. Akal aktuil (al-‘aql bi al-fi’li) kesiapan untuk memperoleh konsep-konsep sekunder (al-ma’qulat al-saniyah) yakni ilmu yang diusahakan, akal disini berfikir dan menduga. Terakhir akal yang diperoleh (al-‘aql al-mustafad) yaitu hadirnya ma’qulat (konsep-konsep) dengan praktis ke dalam jiwa atau memperoleh kenikmatan hal-hal yang dapat dipikirkan dengan praktis dengan penyaksian (musyahadah) juga penggambaran dalam mental. Bagi yang terakhir ini, menurut filosof pengetahuan yang diperoleh melaluinya akan setara tingkat kebenarannya dengan kualitas wahyu. Titik perbedaan hanya jika seorang rasul memperoleh pengetahuan dengan cara wahyu sedangkan filosof dengan mengerahkan segala daya pikir dan renungan. Akal berfungsi untuk menyempurnakan indera kita dan memperbaiki kekeliruan kesan-kesan yang diterimanya .

Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa , yang tidak dimiliki oleh hewan yakni akal. Akal mempunyai kemampuan bertanya secara kritis. Kelebihan yang paling istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.

Sumber pengetahuan ketiga adalah intuisi atau hati (qalb), secara umum dapat dikatakan bahwa intuisi mampu memahami banyak hal yang tak dapat dipahami akal Menurut kalangan sufi, mereka mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Mulyadi Kartanegara menyimpulkan tiga kelemahan akal antara lain ;
  1. Rumi mengatakan “akal boleh menguasai seribu cabang ilmu, tetapi tentang hidupnya ia tidak tahu apa-apa. Banyak hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan akal, khususnya dengan pengalaman yang kita rasakan langsung bukan seperti yang kita konsepsikan.
  2. Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang (spatilize) apapun yang menjadi objeknya, cenderung memahami sesuatu secara general atau homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan sebuah “ momen atau ruang “ 
  3. Akal seperti yang dikatakan Rumi dan Bergson tidak mampu memahami objeknya secara langsung karena akal dengan menggunakan kata-kata atau simbol hanya akan berputar – putar seputar objek tersebut , tetapi tidak dapat langsung menyentuhnya.

Hati inilah yang dapat memahami pengalaman langsung yakni pengalaman eksistensial yaitu pengalaman riil yang dirasakan langsung dan bukan sebagaimana yang dikonsepsikan akal. Hati juga mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung . Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan ekperiensial atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Secara umum hati itu memang milik para sufi dan secara khusus juga dibahas dan digunakan para filosof semisal filosof Ibnu Sina menyinggung di akhir karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat tentang tasawuf. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos kealam ketidaksadaran (atau gaib dalam bahasa religius) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non indrawi atau apa yang disebut ESP ( entra- sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.

Realitas pengalaman mistik dalam Islam dapat dijumpai dengan lahirnya tokoh sentral semisal Ibnu Arabi, seorang mistikus terbesar sepanjang sejarah perkembangan tasawuf dengan karya-karya masterpiece seperti Fusus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyah tidak lain merupakan hasil pengalaman-pengalaman intuitif. Salah satu penemuannya adalah tentang alam al-Mitsal dengan keistimewaannya menurut Ibnu ‘Arabi seperti dinyatakannya : “di bumi ini – yang kemudian kita ketahui bernama alam al-Mitsal – segala makhuk yang kita pandang mati, disana semuanya diberi kehidupan dan kecerdasan, sebagaimana layaknya makhluk yang berakal. Realitas pengalaman mistik ini sebenarnya juga telah dipahami oleh seorang filosof dan psikolog Amerika yang terkenal, William James. Dikatakan Mehdi Hairi Yazdi dalam bukunya The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy : Knowledge by Presence, bahwa ketika William James membicarakan halusinasi, ia berkesimpulan bahwa pengalaman keagamaan, sebagaimana dialami oleh para mistikus, bukanlah halusinasi karena dalam pengalaman-pengalaman keagamaan yang dialami oleh para mistikus dari massa ruang yang berjauhan dan pengalaman mistik identik dengan pengalaman rasional yang dikaji dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, ditemukan apa yang ia sebut the onderliness and uniformity. Ini luar biasa karena seandainya pengalaman-pengalaman tersebut tidak riil, lalu dari manakah datangnya the onderliness and uniformity tersebut? Dengan demikian, James menyimpulkan bahwa pengalaman keagamaan (atau mistik dalam konteks kita sekarang) bukanlah halusinasi (yaitu kepercayaan yang keliru) melainkan realitas yang objektif sebagaimana pengalaman- pengalaman manusia yang lain.

Muhammad Taqi Ja’fari seorang ahli tasawuf memaparkan konsepnya tentang tasawuf positif menilai bahwa terdapat hubungan yang erat, sejalan dan tidak terpisahkan antara tasawuf dengan sains dan akal. Memisahkan sains dan akal dari tasawuf adalah seperti menutup dua celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir. Sains adalah cahaya penerang bagi fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara, alat-alat, hukum alam, serta batas-batas tujuan dan orientasi. Akal adalah pengatur dalam diri kita dalam mempersepsi fenomena sensual, aktivitas mental, abstraksi untuk generalisasi, angka-angka, simbol-simbol pelaksana operasi matematik dan sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara manusia dengan kenyataan. Dapatkah keduanya dipisahkan dari tasawuf positif? Bagaimana mungkin jiwa berkembang dan menguasai dunia wujud jika akal dan sains dipisahkan dari tasawuf. Prinsip penting yang harus diingat, jika sains dan akal dijadikan sekedar kebanggaan dan untuk menghias diri saja, maka keduanya akan berubah menjadi penghalang (atau bahkan) penghalang bagi jiwa. Begitu juga tasawuf jika ia menjadi cara untuk menghias diri dan mencari keuntungan semata, tasawuf akan menjadi hijab yang sangat berat yang menghalangi mata hati dari memandang wajah Allah. Inilah kisah agama, jalan dan kebenaran yang sayangnya telah saling terpisah dan mengakibatkan hal-hal yang tak menguntungkan yakni;
  1. Orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah agama tidak mampu mencapai kebenaran karena sesungguhnya perintah-perintah agama untuk melaksanakan ritus-ritus tertentu itu adalah suatu cara dan bukan tujuan ; sebuah cara dan jalan untuk mencapai kebenaran. Dengan menganggap ritus-ritus agama sebagai tujuan, orang-orang yang melaksanakannya tidak mendapatkan keuntungan peningkatan akhlak dan tujuan sebenarnya dari perintah untuk melaksanakan ritus-ritus itu , yaitu kebenaran
  2. Muncul pertentangan yang tak perlu antara sains dan akal – yang merupakan sarana terbaik untuk menemukan kebenaran - disatu sisi, ma’rifah dan cinta, disisi lain. Hal ini merusakkan keduanya.
  3. Ada pula pertentangan antara materi dan makna. Pertentangan-pertentangan ini seharusnya dapat dihindari hanya melalui cara penyerapan realitas yang benar ; agar jiwa manusia dapat memelihara hubungan realitas setiap saat.
Hanya agamalah yang membahas lengkap empat hubungan penting, yaitu hubungan dengan dirinya, dengan Tuhannya, dengan dunia wujud dan dengan sesamanya. Agama menunjukkan jalan dan syarat-syarat bagi umat manusia untuk menyempurnakan keempat hubungan. Mistisisme yang tidak menafsirkan hubungan-hubungan ini atau tidak mampu menjelaskannya dan gagal mengungkapkan jalan menuju kebenaran adalah mistisime yang palsu dan negatif.

Bagi yang mengaku dirinya muslim sumber utamanya adalah wahyu atau al-Quran sebagai sumber absolut yang berasal dari Tuhan semesta alam. Wahyu menempati posisi absolut karena bersumber dari yang absolut pula. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar dan kebenarannnya tidak dapat dibantah manusia. Hampir setiap penilaian terhadap sesuatu senantiasa merujuk kepada wahyu tersebut. Wahyu yang menekankan ketiga sumber tersebut dan mengingatkan manusia tentang ketertinggalan dan kemunduran untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran tidak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri yang lalai dan malas menggunakan semua potensi- potensi yang telah dianugerahkan kepada mereka atau pengetahuan itu tidak menghampiri manusia karena ada hijab (batas) yang menghalanginya.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan wahyu itu sebagai sumber? Di kalangan kaum muslimin ada dua tipe pemikiran dalam memahami wahyu itu sebagai sumber. Pertama, sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah dan kedua, sebagai sumber petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kedalam kelompok yang pertama sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi dan Quraish Shihab termasuk kelompok yang kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada diantara kedua kelompok tersebut, ia menekankan wahyu itu sebagai petunjuk bagi manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa menggunakan indra, akal dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri.

B. Cara Mempelajari Islam (Kajian Epistemologi)
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah titik pusat dari setiap pandangan dunia. Dia menjadi barometer yang menentukan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin di dalam bidang Islam. Epistemologi berusaha mendefenisikan pengetahuan, membedakan variasi-variasi utamanya, menandai sumber-sumbernya dan menentukan batas-batasnya. Pengabaian epistemologi dalam tulisan-tulisan muslim masa kini dan sebagai akibatnya, kurangnya penghargaan terhadap makna sejati dari konsep dan nilai ilmu terutama karena satu cara yang dominan yang mempunyai peranan universal. Epistemologi Barat kini telah menjadi cara pemikiran dan pencaharian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lain.

Mungkin layak menyebut hal ini ironi dan sangat tragis, ketika Alquran mengklaim bahwa hidayah Allah itu tidak pernah diberikan kepada orang-orang kafir atau musyrik , dalam waktu yang bersamaan peradaban dan ilmu pengetahuan mereka yang notabene yang tersebut kita gelari itu mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, jauh mengungguli kita dalam ruang lingkup yang sama. Dampak tak terlihat dari kemajuan tersebut muncul diantaranya pada pola pikir manusia dan pada gilirannya tentu saja pada prilakunya. Ini tampak pada domisasi rasionalisme dan empirisme - pilar utama metode keilmuan (scientific methode) dalam penilaian manusia atas realitas baik realitas individu, sosial dan keagamaan. Pada waktu yang sama landasan dan metode-keilmuan yang dikembangkan di “Barat”, cenderung empiris dan sekularistik atau penolakan terhadap nilai-nilai keagamaan sebagai sumber-sumber pengetahuan. Menghadapi kenyataan diatas intelektual muslim dihadapkan kepada persoalan-persoalan Islamisasi pengetahuan.

Ada tiga pandangan intelektual muslim dalam menanggapi sains moderen hasil produk barat. Pandangan-pandangan yang dimaksud menurut Ziauddin Sardar:
  • Pertama ; Kelompok Muslim yang menyatakan bahwa sains bersifat netral dan universal dan demikian pula halnya dengan semua kebudayaan. Bagi yang menganut paham ini, mereka berusaha mengesahkan sains moderen dengan jalan menyamakan dan menyelaraskannya dengan al-Qur’an. Alasan penting diutarakan bahwa pencaharian pengetahuan melalui pemanfaatan akal mencapai 750 ayat sedangkan menyangkut hukum hanya 250 ayat. Contoh figurnya adalah Maurice Bucaille dengan The Bible, the Qur’an and Sciences.
  • Kedua ; Pendekatan kedua terhadap Islam dan sains mengambil sikap yang lebih kritis, walaupun yakin pada kenetralan dan universalitas sains. Pendukung ini mendukung jika sains dicari dalam suatu pemerintahan Islam, maka fungsi-fungsinya diubah untuk meraih cita-cita Islam. Figur seperti Abdussalam merupakan contohnya.
  • Ketiga ; kelompok yang percaya akan adanya sains Islam dan berusaha membangunnya. Sosok penting kalangan ini adalah Seyyed Husein Nasr dalam karyanya the Counter of Man and Nature.
Cara mempelajari Islam dari perspektif epistemologi erat hubungannya dengan proses Islamisasi ilmu pengetahuan, demikian tulis Sardar. Ia menyarankan penemuan epistemologi Islam masa kini tidak dapat dimulai dengan memusatkan perhatian pada disiplin-disiplin yang telah mapan melainkan dengan mengembangkan paradigma-paradigma di dalam ungkapan-ungkapan eksternal utama dari peradaban muslim seperti sains, teknologi, ilmu politik, dan hubungan internasional, struktur sosial, dan aktifitas ekonomi. Perkembangan pedesaan dan perkotaan dapat dikaji dan dikembangkan dalam hubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas masa kini.

Ada dua paradigma yang ditawarkan Sardar yaitu, Paradigma pengetahuan dan paradigma prilaku. Paradigma pengetahuan memusatkan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam yang menyangkut bidang- bidang pencaharian tertentu. Paradigma prilaku menentukan batasan-batasan etika dimana para sarjana dan ilmuan dapat bekerja dengan bebas. Tentu saja badan utama dari prinsip, konsep dan nilai tersebut terdapat dalam Alquran, kehidupan Nabi Saw dan warisan intelektual Islam. Tetapi ini harus dikaji dalam perspektif realitas masa kini.

Sehubungan dengan paradigma diatas, beberapa persoalan ditujukan berkenaan dengan bagaimana status Alquran sebagai sumber pengetahuan. Pola berfikir yang dapat dikembangkan dengan mempertanyakan , apakah Alquran berbicara secara tuntas dan detail mengenai tema-tema kehidupan ataukah terbatas hanya pada prinsip-prinsip yang bersifat umum saja? Kalangan modernis berpendapat bahwa dalam banyak hal Alquran berbicara secara global mengenai prinsip-prinsip moral dan keimanan. Karena itulah maka ia sangat aktual dan fleksibel untuk dipelajari dan dikaji ulang .Kelengkapan dan kesempunaan Alquran tidak diinterpretasi dengan kaku dan ortodok juga tidak semata-mata menjadi kebanggaan semu dan temporer, namun lebih jauh harus dapat memacu inspirasi, motivasi dan pemahaman setiap muslim. Untuk itu tidak salah jika seorang modernis, Fazlur Rahman menegaskan perlunya memandang Alquran dalam keadaan sekarang ini seolah-olah ia baru saja diturunkan.

Pengetahuan-pengetahuan Islam yang harus direkonstruksi dalam pandangan Rahman antara lain ; melakukan kajian secara menyeluruh, kajian yang historis sistematis mengenai perkembangan disiplin-disiplin Islam karena Islam historislah yang memberikan kontinuitas pada wujud intelektual dan dan spiritual masyarakat seperti kajian tentang filsafat dan sains. Terdapat relevansi antara filsafat dan sains dimana para ilmuan Islam dulu ketika melakukan pengamatan serta pengkajian filsafat dan kealaman benar-benar merasakan aktivitas tersebut sebagai aktifitas Islami. Pembaharuan ala Ataturk pada upaya penghapusan wujud historis masyarakat dan mengusahakan masa depan tanpanya dalam pandangan Rahman kurang menarik.

Muhammmad Baqir al-Sadr (w.1980), ulama Irak, merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir muslim yang berupaya keras membendung pengaruh- pengaruh sekularisasi yang demikian kuat merasuki dunia muslim. Dia lebih menganjurkan kaum muslimin dalam membendung budaya tersebut dengan menekankan pentingnya logika, perlunya kausalitas dan pemikiran filosofis dan teologis yang canggih sehingga mampu memerangi kekuatan-kekuatan sekularisme dan agnotisme.

Analisa Mulyadhi Kartanegara tentang naturalisasi ilmu dan sekularisasinya menunjukkan ketidaknetralan ilmu. Ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologis dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang disebut helenisasi ilmu, kristenisasi ilmu, islamisasi ilmu pada masa Islam klasik, kemudian westernalisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat Barat terhadap ilmu. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang alamiyah, bahwa ketika dari Barat ilmu ditransfer ke negara-negara Islam (berpenduduk mayoritas muslim), ilmu tersebut mengalami “naturalisasi”, yaitu proses adaptasi dan akulturasi ilmu terhadap nilai-nilai religius dan budaya yang berkembang disana. Proses inilah yang dimaksud “islamisasi” sains.

Ada dua corak Islamisasi yang ditawarkan Mulyadhi yang bekerja pada level epistemologi :
  1. pada sistem klasifikasi ilmu dan
  2. metodologi ilmiyahnya.
Tentang klasifikasi ilmu, Islam pada prinsipnya membolehkan pengkajian pada bidang yang sangat luas dan tidak membatasi, dari mulai bidang fisik melalui bidang matematika hingga bidang matematika hingga bidang metafisika. Dalam bidang-bidang ilmu alam semua bidang kajian sains menjadi kajian yang sah dalam Islam. Islam tidak mengenal tabu untuk meneliti setiap objek fisik karena hanya zat Tuhan yang tidak bisa (karena manusia tidak akan mampu) diteliti. Hasil penelitian sains dapat diterima dengan baik sebagai sarana yang baik untuk lebih mengenal Tuhan. Namun asumsi sains bahwa dunia fisik merupakan realitas akhir yang independen tidak akan diterima dalam perspektif Islam.

Adapun bidang metodologi ketika bidang kajian ilmu Islam tidak dibatasi pada bidang fisik sebagaimana terjadi di dunia Barat, tetapi meluas pada bidang-bidang non fisik, seperti matematika dan metafisika, mau tak mau para pemikir muslim harus berusaha menciptakan metode-metode yang bisa dipakai tidak hanya untuk meneliti benda-benda fisik , yaitu metode observasi atau eksperimen, tetapi juga metode yang bisa digunakan untuk meneliti objek-objek non fisik, baik yang bersifat rasional, seperti metode demonstratif (burhani), atau yang bersifat intuitif (‘irfani). Oleh karena itu metode ilmiyah yang digunakan dalam ilmu-ilmu Islam, menurut Mulyadi, harus juga mengakui metode burhani atau logika atau metode ‘irfani atau intuitif.

Metode burhani sangat dibutuhkan sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membuktikan keberadaan entitas-entitas spiritual dan status ontologis mereka – seperti yang telah dilakukan oleh para filosof, termasuk al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi dalam membuktikan adanya Tuhan. Metode ‘irfani (intuitif) sangat dibutuhkan dalam bidang metafisika dan keagamaan karena dengan metode ini kita diajak untuk mengalami dan melihat sendiri (musyahadah) alam-alam metafisika baik di alam muluk (dunia fisik), alam malakut (dunia imajinasi), maupun alam jabarut (dunia spiritual).

Terakhir, metode ‘irfani ini tentu sangat krusial dalam kerangka keilmuan Islam, mengingat melalui metode ‘irfani inilah kita bisa memahami dan juga menjustifikasi kebenaran wahyu/kenabian yang penting sebagai salah satu pilar keimanan.

C. Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi Islam
Bagaimana kita tahu bahwa suatu pengetahuan itu benar? Bagaimana caranya kita menyingkirkan kepercayaan kita yang salah?. Para ahli menguji suatu kebenaran dengan tiga cara ; korespondensi, koherensi dan pragmatisme.

Teori korespondensi atau The correspondence theory of truth yang kadangkala dinamakan the accordance the theory of truth, tentang teori ini dapat disampaikan bahwa kebenaran itu berupa kesesuaian (korespondensi) antara arti yang dimaksud oleh satu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya. Adapun fakta itu kecocokan antara pertimbangan dan situasi yang di pertimbangkan. Jika kita mengatakan bahwa papan tulis itu hitam , dalam hal ini kalau warnanya cocok berarti benar. Ringkasnya sebagai berikut : kita mengenal dua hal, yaitu ; pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan sesuatu dengan kenyataan itu sendiri. Teori ini disebut juga objektifisme, umumnya dianut oleh para pengikut realisme.

Keberatan terhadap teori ini, pembicaraan manusia tidak semuanya memiliki realitas objektif yang cocok, bagaimana kita membandingkan ide-ide kita dengan realitas itu. Untuk membuat suatu perbandingan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang hendak kita perbandingkan yakni sebutlah kepercayaan pada satu pihak dan kenyataan pada pihak lainnya. Namun apa bila kita sudah mengetahui kenyataan (realitas), mengapa kita perlu memakai perbandingan , padahal kita memiliki kebenaran itu dan apabila kita mengetahui kenyataan bagaimana pula kita dapat membuat perbandingan.

Kedua; teori konsistensi atau the consistence theory of truth dan kadang dinamai the coherence theory of truth tentang kebenaran, kebanyakan dianut oleh kelompok idealis rasionalis. Teori ini adalah teori kebenaran yang memberlakukan adanya persepsi-persepsi subjek yang konsisten menerima kebenaran yang telah teruji. Di dalam teori koherensi akan muncul pertimbangan yang benar apabila pertimbangan itu bersifat konsisten, tidak goyah dalam menerima pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Dengan kata lain, pertimbangan yang benar adalah pertimbangan yang koheren (ada persesuaian) menurut kaidah logika dan dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang relevan. Contoh shri Jawaharlal Nehru adalah ayahanda Indira Gandhi adalah suatu putusan atau pernyataan yang telah kita ketahui, terima dan akui sebagai benar.

Keberatan atas teori ini dimana koherensi berkata bahwa dapat saja kita membangun saling hubungan (koheren) yang saling, disamping yang benar. Namun teori ini tidak membedakan antara kebenaran yang konsisten dengan kesalahan yang konsisten. Berbilang sistem pada masa lalu yang konsisten (berpautan) secara logis yang namun kemudian terbukti sama sekali salah.

Ketiga, teori pragmatisme atau disebut the pragmatic (pragmatist) theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma berarti yang dikerjakan, dilakukan, perbuatan dan tindakan. Sebagai sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842-1910). Teori kebenaran pragmatis adalah teori kebenaran berdasarkan kegunaan atau manfaat sesuatu dari yang diteliti. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mendasarkan pada manfaat dari suatu usaha atau sesuatu yang dikerjakan dan hasilnya sangat memuaskan. Sebuah contoh, seorang mahasiswa sedang menulis skripsi. Saat sidang/diuji ia harus menyampaikan kebenaran pragmatis tentang penulisan skripsinya. Itulah pragmatisme ini diangkat pada 1865 oleh Charles S. Pierce (1893-1914).

Keberatan atau kritik atas pandangan kelompok ini :
  1. Dapat diterangkan bahwa suatu kepercayaan mungkin saja berlaku dengan baik walaupun tidak benar dan sebaliknya suatu kepercayaan mungkin saja berjalan dengan buruk walaupun benar.
  2. Kepercayaan yang benar biasanya berlaku dan hal ini biasanya karena pertama-pertama kepercayaan itu benar.
  3. Apa yang berlaku benar bagi seseorang mungkin saja tidak berlaku bagi orang lain. Bahkan apa yang berlaku bagi seseorang tertentu pada waktu tertentu, mungkin saja tidak berlaku lagi bagi dia sendiri pada waktu lain.
Dari target yang diperoleh oleh ilmu pengetahuan melalui eksperimen dan riset juga filsafat dengan integral, radikal dengan mengamalkan tangan logika serta agama dengan kitab suci atau wahyu Ilahi, hanya kebenaran agama yang bersifat absolut sedangkan kebenaran ilmu dan akal bersifat relatif.

Salah seorang filosof muslim Muhammad Husein Thabathaba`i (w.1981) bersama muridnya Murtadha Muthahhari (w.1978) telah menulis sebuah buku berjudul Usul-e Falsafah wa Rawesy-e Ri’alism (prinsip-prinsip filsafat dan metode realisme) yang berisikan tentang filsafat- filsafat barat dan timur. Thabathaba’i dalam kitab tersebut cenderung membela dan mengunggulkan metode realisme. Pada tempat yang lain, ia menyatakan metode realisme instinktif merupakan cara mengenal Tuhan menurut Alquran.

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi seorang filosof muslim Iran kontemporer turut menegaskan korespondensi sebagai tolak ukur kebenaran dalam filsafat Islam dan dengan uraian-uraian yang sangat filosofis telah menjelaskan cara menentukan kesesuaiannya dengan realitas melalui hasil kognisi dan pengetahuan perolehan (ilm al-Husuli). Kunci masalah ini mestilah dengan menilik bentuk pemahaman sekaligus bentuk objek acuan, sedemikian sehingga kita menghadirkan pemahaman akan kesesuaian itu secara langsung tanpa perantaraan apapun. Ia juga menjelaskan secara gamblang antara lain keberatan yang ditujukan terhadap proposisi-proposisi metafisika yang tidak memiliki realitas eksternal (katakanlah Tuhan, malaikat dan lainnya) yang tidak bisa dianggap benar ataupun salah, tapi harus dianggap absurd atau tanpa makna. Muhammad Taqi menyatakan keraguan semacam ini berasal dari asumsi bahwa realitas objektif eksternal setara dengan realitas bendawi. Padahal pertama; realitas objektif eksternal tidak terbatas pada realitas bendawi tetapi juga realitas abstrak dan kedua; realitas yang menjadi tumpuan kesesuaian seluruh proposisi adalah acuan mutlak yang diungkapkannya tidaklah mesti bersifat bendawi. Dan maksud “realitas eksternal” adalah sesuatu yang melatarbelakangi dan berada dibalik (pemunculan) konsep, meskipun realitas atau semesta eksternal berada dalam benak atau bersifat kejiwaan sehingga konsep, realitas, alam luaran dan kesesuaiannya semuanya berlangsung dalam benak. Adapun menurut Yazdi, koherensi maupun pragmatis tidak dianggap tolak ukur kebenaran dan seperti disinggung pada akhir karya falsafatuna, setelah menelaah dan membandingkan berbagai aliran-aliran filsafat Barat serta ide-ide yang dianut aliran tersebut, Sadr menyimpulkan bahwa ide-ide yang timbul sama sekali tidak dilandasi dengan penalaran logika yang benar dan kokoh.

Mulyadhi dalam tulisannya lebih suka menggunakan istilah “upaya mendekati kebenaran” dan menurutnya para pemikir muslim terdorong untuk melakukan upaya-tersebut tidak lain berdasarkan afirmatif, artinya mereka percaya pada kemungkinan pengetahuan dan aktivitas tersebut didukung oleh perintah-perintah positif dalam Alquran. Menurut penulis, hal yang pasti kebenaran-kebenaran Alquran mesti diimani tapi keimanan tidak memberikan nilai apapun kecuali jika ia sudah dibuktikan melalui argumentasi rasional. Tidak benar, keyakinan yang menyatakan Alquran harus diterima sebagaimana adanya karena Alquran tidak dapat dibenarkan dengan Alquran. Kajian yang telah dilakukan oleh filosof atau mistikus muslim sepanjang sejarah dengan menggunakan rasio maupun hati tidak lain ingin membuktikan dan mempertahankan serta mempertanggungjawabkan kebenaran-kebenaran Alquran.

D. Peran dan Fungsi Pengetahuan Dalam Islam (Kajian Aksiologi)

Ilmu atau pengetahuan dalam Islam mempunyai peran dan fungsi yang cukup penting. Tak dapat dipungkiri keberadaan ilmu menempati posisi sangat tinggi karena mempunyai peran dan pengaruh cukup besar pada perkembangan, perubahan dan kemajuan umat manusia.

Jalaluddin Rakhmat mengungkap peran penting ilmu menurut Islam antara lain :
  1. Ilmu pengertahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab akibat dan tujuan dialam semesta. Dalam banyak ayat Alquran dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh pengurus dan pencipta yang tunggal, karena itu tidak pernah ada kerancuan (tahafut) di dalamnya (QS.67:3). Alam bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk main-main dan bukan perbuatan sia-sia (QS.6:73; 21:16; 44:38-39; 23: 115; 3:191). Keteraturan dalam ilmu biasanya disebut hukum-hukum yang terdapat dalam afaq disebut alquran sebagai qadar atau takdir (QS.65:3; 6:96; 36:38) sedangkan aturan dalam anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah.
  2. Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang dan segala yang langit dan dibumi untuk manusia (QS.22:65; 31:20; 16:14; 14:32)
  3. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan baik afaq atau anfus (QS. 7:56,85; 47:22; 2:205; 13:25)
Adapun fungsi ilmu menurut RBS. Fubyartana sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari antara lain:
  1. fungsi Deskriptis : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti
  2. Fungsi pengembangan : Melanjutkan hasil penemuan yang lalu yang menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru
  3. Fungsi prediksi : meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya
  4. Fungsi kontrol : berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.

Dalam Ensiklopedi, Dawam Raharjo menyatakan satu fungsi ilmu yakni, perbaikan atau pembaharuan, dalam istilah Alquran “ishlah” .


Mahdi Ghulsyani menerangkan manfaat ilmu antara lain :
  1. Ilmu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang akan Allah.
  2. Ilmu dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya.
  3. Dapat membimbing orang lain.
  4. Dapat memecahkan berbagai problem masyarakat.
Terakhir, seraya mengutip pandangan Murtadha Muthahhari, Quraisy Shihab menyingkap hubungan penting antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai berikut :
  • Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
  • Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
  • Ilmu hiasan lahir dan agama hiasan batin
  • Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa
  • Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab yang dimulai dengan “mengapa”.
  • Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.

===============
DAFTAR PUSTAKA

Alquran dan Terjemahannya, 1996, Departemen Agama RI

Arkoun, Muhammad, 1996, Rethinking Islam, terj. Yudian W dan Latiful khuluq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar )

Burhani, Ahmad Najib, 2001, Islam Dinamis, Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, ( Jakarta : Buku Kompas )

Djaelani, Abdul Qadir, 1993, Filsafat Islam, ( Semarang : Bina Ilmu )

Hartono, Dic, 1986, Kamus popular filsafat, ( Jakarta : Rajawali Kartanegara )

Kartanegara, Mulyadi, 2002, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam,
( Penerbit : Mizan )

Lubis, Nur Ahmad Fadhil Lubis, 2001, Etika Bisnis, ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama )

Naqib Al Attas Syed Muhammad, 1995, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzanmi, ( Bandung : Mizan )

Nasution, Harun, 1974, Islam Ditinjai Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta : UI- Press)

Nata, Abudin, 1998, Metodologi studi Islam, Cet. 2, ( Jakarta : Raja Grafindo Perkasa )

Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materil, ( Jakarta : Rineka Cipta )

Titus, Smith, Nolan, 1984, Living Issues In Philosophy, terj. H.M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta : Bulan Bintang )

Usman, Suparman, 2001, Hukum Islam, ( Jakarta : Gaya Media Pratama )

Yazdi, Mehdi Hairi, 2003, Efistemologi Iluminasionis Dalam Filsafat Islam, (edisi. I) terj. Asih Muhammad, ( Bandung : Mizan )

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger