Dinasti Fatimiyah

Periode Fathimiyyun dimulai dari tahun 297 H (909 M), yang ditandai dengan kekhalifahan Ubaidillah AL-Mahdi dilanjutkan sampai delapan khalifah setelahnya hingga tahun 487 H (1094 M). Para khalifah Fathimiyyun adalah sebagai berikut: Ubaidillah Al-Mahdi, Al-Qa’im bi Amrillah, Al-Manshur bi Allah, Mu’izzun li Dinillah, ‘Azizun bi Allah, Al-Hakim Bi Allah, Az-Zhahir li ‘Izazidinillah dan yang terakhir Al-Mustanshir bi Allah. Mereka memerintah selama 185 tahun. Selama 185 tahun ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan Ismailiyah. Sastra Ismailiyah juga berkembang dengan pesat. Ilmuwan-ilmuwan seperti Abu Hatim, Ar-Razi, Nashir Khasru dan lain-lain hidup di masa keemasan ini. Luas kekuasaan pemerintahan mereka dimulai dari Maroko hingga Mesir. Setelahnya, sebagian besar daerah-daerah kekuasaan pemerintahan Islam dikuasainya. Masiniun bahkan menamakan abad keempat hijriah (abad kesepuluh masehi) sebagai abad Ismailiyah Islam .

Munculnya dinasti Fatimiyah sebagai kedaulatan yang otonom menandingi kekhilafahan pusat di Baghdad serta merupakan sebuah bukti terjadinya disintegrasi yang mengarah pada pengakuan sepihak terhadap kekuasaan politik di kawasan Afrika Utara dan Mesir. Kedaulatan ini semakin menunjukkan pengaruhnya setelah dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran baik secara struktur kepemerintahan khusunya dalam bidang militer dan semakin tidak terkendalinya konflik intern dalam memperbutkan kekuasaan dikalangan elite politik, sehubungan dengan hal ini, Ira M. Lapidus menyatakan : “bersamaan dengan periode ini, perubahan dalam organisasi administratif juga menguras kapasitas pemerintahan pusat dalam mengendalikan imperium, perubahan di bidang pemerintahan ini sebagian disebabkan lantaran campur tangan pihak militer, dan sebagain disebabkan karena bangkitnya sejumlah pemerintahan propinsial dan dari adanya tekanan internal yang lajim melekat dalam kerja birokrasi ”.

Sebelum itu, embrio perpecahan dalam dinasti Abbasiyah telah ada sejak awal terbentuknya khilafah. Konsolidasi kekuatan untuk merebut kekuasaan dari tangan dinasti Umayyah telah merubah komitmen persatuan diantara Bani Hasyim dengan orang-orang Persia yang menyebabkan sentimentil yang mengarah pada konfrontasi yang diwujudkan dalam bentuk pertikaian fisik maupun dalam bentuk fanatisme terhadap aliran tertentu antara sunni dan syiah.

A. Pembentukan dan Asal Muasal Dinasti Fathimiyah
Dimulai dari tahun 297 hingga 362. Periode ini dihitung mulai dari Ubaidillah AL-Mahdi menjadi khalifah di Maroko sampai ekspansi mereka ke Mesir oleh Al-Mu’izzu bi Allah sekaligus dijadikannya Mesir sebagai ibu kotanya. Pada tahun 290 ketika Zakarawiyah bin Mahriyah melakukan pemberontakan dan menguasai banyak daerah, Ubaidillah Al-Mahdi kemudian lari ke Salmaniiyah Di Syiria. Dari Salmiyah ia pergi ke Ramullah Palestina. Dari Ramullah ia kemudian pergi ke Mesir. Di Mesir ia baru mengetahui kalau kelompok Qaramithah banyak membunuh masyarakat Salmaniyah. Oleh sebab itu, dari pada memilih Yaman ia kemudian pergi menuju Maroko. Di Maroko ia membangun sebuah kerajaan kecil. Pada akhirnya, setelah melakukan peperangan-peperangan pada bulan Rabi’u At-Tsani tahun 297 di kota Raqqadah ia menjadi khalifah. Setelah menjadi khalifah ia memilih sebutan ‘Al-Mahdi bi Allah’ dan ‘Amirul Mukminin’. Dikarenakan nama Sayyidah Fathimah, putri Rasulullah, di mana Ubaidillah dan pengganti setelahnya menganggap Fathimah sebagai nenek mereka (hal ini juga dikarenakan keyakinan mereka bahwa Mahdi adalah keturunan Fathimah). Ia juga memberi gelar dirinya dengan “Fathimiyah”. Dengan menyebut dirinya sebagai Imam, dimulailah periode keterbukaan. Untuk menyebarkan pemikiran Syi’ah mereka berkeyakinan bahwa yang paling pokok untuk dilakukan adalah menghancurkan pemerintahan Bani Abbasiyah. Dan itu harus dimulai dari Mesir. Namun, mereka tidak pernah menguasai Mesir akan tetapi, Ubaidillah dengan membangun kota Mahdiyah dan ekspansinya ke Selatan Eropa yang menghasilkan rampasan perang yang banyak membuat ia mampu membangun imperiumnya yang kokoh .

Dinasti Fatimiyyah termasuk ke dalam negara yang melandaskan idiologi politiknya berdasarkan ajaran syiah, selain dinasti Idrisiyyah yang berada di Maroko. Terbentuknya dinasti inbi tidak dapat dilepaskan dari andil yang dilakukan oleh Abu Ubaidullah Asy-Sy’i sebagai seorang penganjur paham syiah Ismailiyah yang sebelumnya berada di Yaman. Karena adanya intimidasi dari penguasa Abbasiyah maka dia kemudian pergi ke Afrika Utara untuk menyebarkan pahamnya yang pada perkembangannya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat pribumi, yaitu suku Berber Karthama. Keberhasilan ini kemudian diarahkannya untuk membentuk kekuatan politik dengan mengundang dan mengangkat Ubaidillah al-Mahdi yang sebelumnya berada di Syiria sebagai pemimpin gerakan Syiah.

Dinasti Fatimiyyah berdiri tahun 297-567/909-1171 semula di Afrika Utara, kemudian di Mesir dan Syiria. Dinasti ini beraliran Syiah Ismailiyyah, dan pendirinya yakni Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara menisbahkan nasabnya hingga Fatimah binti Rasulillah SAW, istri Ali bin Abi Thalib. Oleh karenanya dinamakan dinasti Fatimiyah, walaupun kalangan Sunni meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakannya al-Ubaidiyyun sebagai ganti dari Fatimiyyun. Ubaidillah dapat mengalahkan para penguasa di Afrika Utara yakni Aglabiyah di Al-Jazair, Rustamiyah yang Khawarij di Tahart dan Idrisiyah di Fez. Pusat pemerintahannya pertama kali ialah di Al-Mahdiyah, sekitar Qairawan dan mengembangkan sayapnya di samping ke barat juga ke timur serta menguasai Mesir. Di negeri itulah mereka mendirikan kota baru yang bernama Kairo (al-Qahiroh) berarti yang berjaya, atas prakarsa panglima perangnya, Jauhar as-Siqili (As-Saqali) seorang keturunan dari Pulau Sicilia di Laut Tengah yang pernah dikuasai oleh Islam kemudian menundukkan Palestina dan Syiria .

Dalam perjalanannya, Abu Ubaidillah Al-Mahdi (910-934) dan pengikutnya berhasil merebut kawasan Afrika Utara dan meresmikan dinasti Fatimiyyah pada tahun 909 M, dengan Tunisia sebagai ibu kotanya yang kemudian dipindahkan ke Mesir pada masa kekuasan al-Muizli Dinillah (952-975 M), selama masa kekuasaan Dinasti Fatimiyyah telah dipimpin 14 orang Khalifah yang silih berganti dimana pada masa pemerintahan Khalifah al-Musta’li Billah (1094-1101 M) sistem kekuasaan beralih pada sistem parlementer yang memberikan otoritas penuh pada perdaan mentri untuk mengatur roda pemerintahan.

Sebagai sebuah dinasti yang independen, dinasti Fatimiyyah mampu membentuk serta membina peradaban dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, hal ini dapat dilihat dengan dibangunnya perguruan tinggi Al-Azhar sebagai tempat pengkajian ilmu keislaman yang terkenal sebagai ikon dan pusat pengkajian Islam sampai saat ini, yang pada masa al-Hakim Biamrillah dibangun pula Darul Al-Hikmah dengan perpustakaan yang bernama Darul Ulum sebagai tandingan terhadap lembaga pendidikan yang terdapat di Baghdad dan Cordova.

Berbagai kemajuan yang diperoleh tersebut juga diselingi oleh berbagai faktor yang menyebabkan semakin lemahnya kekuatan dinasti Fatimiyyah yang selanjutnya menjadi penyebab kehancurannya. Isu umum yang terjadi pada masa itu cendrung terjadi karena adanya konflik antara ideologi Syiah Ismailiyyah yang dianut oleh pemerintah dan Sunni yang dianut oleh mayoritas masyarakat Islam yang semakin diperburuk pula oleh perebutan kekuasaan dikalangan elite politik yang diwakili oleh suku Arab, Barbar, Armenia, Habsyi dan Turki. Disamping itu juga dinasti Fatimiyah menghadapi ancaman yang datang dari pasukan Salib yang berusaha menguasai daerahnya, kondisi-kondisi internal dan eksternal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya fragmen yang potensial menjadi penyebab utama kehancurannya. Pada akhirnya dinasti Fatimiyyah berakhir setelah Salahuddin al-Ayyubi (1137-1193) berhasil menduduki jabatan penting dan menggantikan posisi khalifah al-Adhid Lidinillah.

Dari rangkaian umum perjalan sejarah Dinasti Fatimiyyah tersebut maka dapat dilihat adanya sebuah skenario dari ideologi Syiah Ismailiyyah sehingga mampu berkembang dan berhasil mendapatkan manifesto politik yang kemudian dijadikan sebagai landasan untuk mendirikan sebuah negara. Disamping itu dinasti ini juga mampu membuktikan dirinya sebagai pioneer yang mampu melengkapi khazanah kemajuan peradaban di dunia Islam. Memang disatu sisi, eksistensi dinasti ini mengalami persinggungan dengan pola penaklukan terhadap satu khilafah Abbasiyah yang berada di Baghdad yang berimplikasi pada semakin lemahnya kekuatan umat Islam secara umum.

Terbentuknya dinasti-dinasti kecil yang terlepas dari dinasti Abbasiyah, mulai muncul sejak masa Al-Mu’tasim yang dalam pemerintahannya memanfaatkan tenaga bayaran dalam bentuk bantuan militer dari tentara Turki. Masuknya tentara Turki sebagai undangan dari Al-Mu’tasim dimaksudkan sebagai tandingan terhadap unsur Arabisme dan Persia yang sebelumnya telah mendominasi dinasti Abbasiyah. Memang pada masa al-Mu’tashim dan al-Watsiq, tentara Turki ini masih dapat dikontrol dan untuk sepenuhnya kepada Khalifah, tetapi pada masa al-Mutawakkil tentara ini telah mampu mengambil jabatan strategis yang kemudian berhasil mengatur kekuasaan khalifah, sehingga merekalah yang kemudian berhasil mengatur pemerintahan dinasti Abbasiyah, sedangkan khalifah yang berkuasa pada masa itu hanya di jadikan sebagai simbol keagamaan saja.

Ketergantungan yang amat besar pada tentara Turki itu menyebabkan lemahnya kekuatan pusat dinasti Abbasiyah, dimana ketika semakin berkurangnya kekuatan Turki tersebut maka muncullah kekuatan di daerah-daerah tertentu yang merasa memiliki kekuatan dan berusaha melepaskan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad. Latar belakang inilah yang kemudian mewarnai perjalanan munculnya dinasti Fatimiyyah yang independen.

Perjalanan terbentuknya dinasti Fatimiyyah tidak dapat terlepaskan dari peran al-Hasan bin Zakaria yang lebih dikenal dengan nama Abdullah asy-Syi’i, dia merupakan tokoh penganjur utama Syi’ah Ismailliyah yang berada di Yaman. Karena adanya intimidasi dari khalifah Abbasiyah maka dia kemudian meloloskan diri ke Afrika Utara, disamping karena adanya undangan dari tokoh Ismailiyyah yang sebelumnya telah berada didaerah tersebut, yaitu Al-Halwani dan Abu Sufyan yang telah berhasil menyebarkan faham syiah ketengah suku Barbar Khartama. Setelah kedua tokoh ini meninggal dunia maka diangkatlah Abdullah Asy-Syi’i sebagai pemimpin mereka. Dia kemudian berhasil mempromosikan Abu Ubaidillah Al-Mahdi sebagai imam dari keturuan Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu masih berada di Syam. Pada masa kepemimpinan Abu Ubaidillah, paham Syi’ah Ismailliyah menyebar sampai ke Yaman, Yamamah, Bahrain, Sind dan Mesir.

Kemudian setelah meninggalnya Abu Ubaidillah, Imam digantikan oleh anaknya yang bernama Ubaidillah Al-Mahdi, (910-934 M), pada masa kekuasaannya, bersama-sama dengan panglima perangnya yang bernama Abdullah Fathuhah, mereka berhasil menaklukkan Dinasti Idrisiyah yang berada di Fez (Maroko) dan dinasti Rustamiyah yang berada di Tahart. Ketika terjadinya kemelut politik dikalangan elite politik pada masa khalifat al-Muqtadir di pemerintahan pusat, Ubaidillah bersama pasukannya berhasil memasuki Raqadah dan berhasil menaklukkan dinasti Aghlabiyah yang berada di Aljazair, kemudian meneruskan ekspedisi tempunya dan berhasil menguasai Sicilia dan daerah-daerah yang berada disekitar Laut Tengah.

Setelah keberhasilannya itu, Ubaidillah kemudian menjadikan Tunisia pada tahun 909 M sebagai pusat kekuasaannya dan pada tahun 910 dia diakui sebagai Imam Al-Mahdi dan menjabat Amirul Mu’minin , setelah itu dia membangun kota Al-Mahdiyah pada tahun 916 M yang dijadikan sebagai ibu kota kekuasaannya dan pada masa inilah dinasti Fatimiyah berdiri secara resmi.

Dinasti Fatimiyah berkuasa mulai dari tahun 909 M sampai 1171 M dengan teritorila kekuasaan mulai dari sungai Ashi di Syiria sampai keperbatasan Maroko dan mulai dari Sudan sampai ke Asia Kecil. Selama masa kekuasaannya tersebut dinasti Fatimiyyah dipimpin oleh khalifah yang silih berganti sejak pusat pemerintahnnya berada di Tunisiah maupun di Mesir.

Yang berkuasa di Tunisia adalah :

Khalifah
Tahun
Ubaidillah al-Mahdi
910-934 M
Al-Qaim Biamrillah
934-945 M
Al-Manshur bin al-Qaim
945-952 M
Al-Muiz Lidinillah
952-975 M

Sedangkan yang berkuasa di Mesir adalah :

Khalifah
Tahun
Al-Azis Billah
975-996 M
Al-Hakim Biamrillah
996-1020 M
Al-Zhahir
1020-1035 M
Al-Mustnashir Billah
1035-1094 M
Al-Musta’li Billah
1094-1101 M
Al-Amir Biahkamillah
1101-1129 M
Al-Hafidz Lidinillah
1129-1148 M
Al-Dzafir Biamrillah
1148-1153 M
Al-Faiz Billah
1153-1159 M
Al-Adhid Lidinillah
1159-1171 M

Para penguasa dinasti Fatimiyah ini mengklaim dirinya sebagai khalifah dengan menyandang gelar tahta atau kehormatan eskatologis tertentu sebagai manifestasi pemegang jabatan spritiual dan politik tertinggi yang berhak menguasai seluruh kawasan Islam.

B. Kemajuan Peradaban
Kemajuan dalam bidang peradaban yang dicapai oleh dinasti Fatimiyah tidak hanya diimplementasikan pada bentuk kebendaan tetapi juga dalam bentuk sikap dan pola pikir dari penguasa maupun masyarakat yang mampu menerima kehidupan sosial yang beraneka ragam dengan toleransi yang tinggi.

Pada masa kekuasaan Al-Muiz Lidinillah, perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi agenda serius dalam menata struktur kepemerintahannya. Kontribusi kemajuan dalam bidang arsitektur dan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dilihat dari usaha yang dilakukan oleh panglima Jauhar al-Siqqili dengan membangun al-Qahirah beserta dengan istananya disekitar pinggiran barat sungai Nil dan dia juga meletakkan batu pertama pendirian Jami’ah AL-Azhar pada tahun 969 M yang selesai pembangunannya pada tahun 1971 yang kemudian diresmikan oleh Al-Muiz Lidinillah pada tahun 973 M untuk dijadikan perguruan tinggi Islam .

Dalam bidang administrasi negara, kemajuan yang dicapai pada masa ini adalah mulai dikenalnya sistem penertiban administrasi pemerintahan dalam bentuk departemen khusus yang mengurus urusan dalam negeri Mesir serta urusan wilayah kekuasaan yang berada di Barat (Maghribia). Kemudian dalam bidang perekonomian pada masa ini telah dikenal adanya industri rumah tangga dan berbagai perusahaan yang memproduksi hasil tenunan, keramik, perhiasan emas dan perak, peralatan kaca, manisan, ramuan dan perobatan. Sedangkan dalam bidang pertahanan maritim, telah dibangun galangan kapal dipinggiran ibu ktoa yang bernama Magus yang mampu menampung muatan armada sebanyak 600 buah kapal perang dengan pangkalan armada di daerah Asqalan, Dimyat, Iskandariah, Akka dan Sour.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, khalifah Al-Muiz Lidinillah sangat bersikap toleran terhadap masyarakat Mesir yang menganut mazhab Sunni dan juga memberikan kebebasan kepada masyarakat Kopti yang menganut agama Nasrani aliran Jacobite untuk mengajarkan dan mengamalkan ajarannya.

Pada masa kekausaan Al-Azis Billah, perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan semakin intens, hal ini dapat dilihat dari berkembangnya perguruan tinggi Al-Azhar dengan kelengkapan fasilitas belajar dan penyediaan asrama, makanan dan pakaian yang diberikan secara gratis kepada pelajar melalui program yang berkala. Sedang dalam bidang sosial kemasyarakatan, khalifah ini juga sangat bersikap toleran terhadap umat Islam yang bermazhab Sunni dan memberikan kebebasan beragam kepada penganut agama lain. Hal ini dapat dilihat dari pengangkatan Manasseh yang bergama Yahudi untuk menjabat sebagai Gubernur di Syiria, disamping adanya kebebasan kepada masyarakat Yahudi dan Nasrani untuk membangun rumah ibadahnya, bahkan Al-Azis sendiri memiliki seorang istri yang menganut agama Nasrani. Disamping itu dari segi keindahan dan arsitektur bangunan, pada masa ini pula telah dirintis pembangunan Mesjid Agung di dekat gerbang al-Nashar yang kemudian dikenal dengan keindahannya .

Pada masa ini terlahirnya ilmuan Islam yang memberikan sumbangan yang besar dalam bidang optik sehingga dinobatkan bapak Ilmu optik modern oleh dunia Islam yang bernama Ibn Haitham .

Pada masa kekuasaan khalifah al-Hakim Biamrillah, perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan semakin marak dengan dibangunnya Daral Hikmat dengan perpuastakaannya Darul Ulum sebagai tempat berkumpulnya ilmuan Islam untuk mempelajari berbagai macam ilmu, seperti Fisika, Astronomi, Matematika, Kimia, Biologi, Filasafat dan lainnya.

C. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyyah.
Benih kemunduran Dinasti Fatimiyah mulai terjadi pda masa kekuasaan Khalifah al-Mustanshir Billah (1035-1094 M) yang ditandai dengan adanya perebutan kekuasaan dikalangan intern pejabat pemerintahan untuk mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus dimata khalifah.

Perebutan kekuasaan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya unsur Arab, Barbar dan Turk yang saling bertikai untuk menguasai jalannya kepemerintahan. Masuknya Barbar dan Turki tidak dapat dilepaskan dari sejarah awalnya terbentuk dinasti Fatimiyyah. Pada mulanya dinasti Fatimiyyah terbentuk atas usaha dan hasil kerja sama antara Arab dengan Barbar, pada perkembangan selanjutnya orang-orang Barbar ini mendapatkan jabatan khusus kenegaraan.

Pada masa khalifah al-Musthansir, masuknya orang-orang Barbar disebabkan adanya paksaan dari ibunya sendiri yang juga keturunan Barbar. Karena khawatir dapat menggulingkan kekuasaannya, maka khalifah al-Musthansir mengudang orang-orang Turki untuk menduduki jabatan penting dalam bidang militer untuk menandingi kekuatan orang Barbar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pasukan Turki yang berada di Mesir pada masa itu telah memiliki kekuatan yang sangat besar dan telah menjabat kedudukan yang penting sejak masa kekusaan dinasti Thuluniyah dan dinasti Ikshidayah.

Hal-hal inilah yang kemudian melatar belakangi sering terjadinya konfontasi antara orang Barbar dan Turki, dimana sering dimenangkan oleh pasukan Barbar. Maka untuk mengantisipasi hal tesebut, Khalifah Al-Mustanshir kemudian meminta bantuan kepada Emir Tutush (1078-1095 M) yang merupakan putra Alp Arselan (1036-1072 M) dari dinasti Saljuk yang menguasai Baghdad . Emir Tutush sebgai penguasa daerah Palestina dan Syria menyambut gembira undangan tersebut dan mengirimkan panglima perangnya Badr Al-Jamalli untuk memasuki Mesir.


Setelah Al-Musthansir wafat, terjadi perpecahan dikalangan sekte Syi’ah Ismailliyah mengenai permasalahan siapa yang berhak untuk menjadi khalifah. Sebelumnya Al-Musthansir memilki tiga orang anak, yaitu : Nizar Billah, Al-Musta’ali Billah dan al-Musta’in, jika ditinjau dari konsep Imam Syi’ah maka yang paling berhak menjadi khalifah sesudah itu adalah Nizar Billah, tetapi pada kenyataannya jabatan khalifah direbut oleh al-Musta’ali Billah atas suksesi yang dilakukan oleh pasukan Armenia dan Turki. Pertikaian dikalangan sekte Syi’ah Ismailiyah ini semakin meruncing setelah diketahui bahwa Nizar Billah dipenjara sampai mati dan para pengikutnya dibunuh oleh pasukan Al-Musta’ali. Pengikut setia Nizar Billah kemudian membentuk sekte Syi’ah Nizariyah dibawah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang berhasil mengkonsolidasikan kekuatan pengikutnya kemudian berhasil merebut seluruh daerah pegunungan Allamut di Persia Utara .

Pada masa kekuasaan khalifah Al-Musta’ali Billah kekuasaan negara sepenuhnya berda di tangan perdana menteri, sedangkan kekuasaan khalifah hanya dijadikan sebagai simbol saja. Pada masa ini pulalah dikenal pertama kalinya sistem parlementer dalam pemerintahan dinasti Fatimiyyah yang dikenal dengan sebutah ahlu mufuzil wazara atau masa pengaruh dari mentri-mentri .

Pada masa kekuasaan khalifah Al-Amir Biahkamillah (1101-1129 M) mulai terjadi pertikaian yang sengit antara penguasa yang bermazhab Syi’ah dengan masyarakat yang mayoritas menganut mazhab Sunni dan kondisi ini semakin diperburuk pula oleh perpecahan dikalangan sekte Syiah Ismailiyyah sendiri.

Pada masa kekuasaan para khalifah di atas, dinasti Fatimiyyah sedang berada pada fase kemunduran karena adanya tekanan dari konflik-konflik internal yang ditandai dengan perebutan kekuasaan, pemberontakan dan pertikaian antara mazhab Sunni dan Syiah maupun secara eksternal yang ditandai dengan intervensi dari penguasa Islam yang lain dan datangnya pasukan Salib kedaerah Mesir.

Indikasi kehancuran dinasti Fatimiyyah makin terlihat pada masa kekuasaan khalifah al-Adhid Lidinillah yang diangkat menjadi khalifah pada usia 11 tahun, karena usianya relatif muda maka kekuasaan negara sepenuhnya diserahkan kepada menterinya yaitu Syawir bin Muzir dan Dargam bin Amir. Diantara kedua menteri tersebut saling berkompetisi untuk merebut kedudukan khusus dari khalifah dimana Dargam bin Amir akhirnya berhasil mendapatkannya. Karena tidak menerima keadaan tersebut, Syawir kemudian meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki dari dinasti Zankiah yang masih tunduk sepenuhnya dibawah kekuasaan dinasti Abbasiyah untuk memulihkan kembali kekuasaannya sebagai mentri.

Kesempatan baik ini digunakan Nuruddin Zanki untuk merebut dan mengembalikan kembali daerah Mesir ketangan dinasti Abbasiyah. Demi kepentingannya itu, dia kemudian meminta persetujuan dari Arselan Shah dan dari pihak Khalifah al-Mustanjid, setelah itu dia mengirimkan panglima militernya yang bernama Asaduddin Shirkuh bersama pasukannya yang didalamnya juga ikut serta keponakannya yang bernama Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1165 M.

Keberhasilan pasukan Shirkuh memasuki ibukota Al-Qahirah tidak dapat dilepaskan dari andil yang diberikan masyarakat Sunni Mesir yang memang saat itu telah mengidam-idamkan kedatangan pasukan Shirkuh untuk menggulingkan penguasa Syiah yang dalam kebijakan agama dan negara sering merugikan kepentingan mereka.

Setelah itu Shirkuh diangkat menjadi menteri besar oleh khalifah Al-Adhid. Kekuasaan Shirkuh tidak dapat bertahan lama karena tidak lama sesudah pengangkatan itu dia wafat dan sebagai gantinya maka diangkatlah Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menjadi menteri besar. Walaupun pada saat itu Shalahuddin memiliki kekuatan untuk menghancurkan kekuasaan Al-Adhid, tetapi dia masih menghormatinya dan lebih bertindak hati-hati. Setelah khalifah Al-Adhid wafat pada tahun 1171, Salahuddin kemudian mengambil tampuk kepemimpinan secara penuh dan sejak saat itu resmilah berdirinya dinasti Ayyubiyah dan berakhirlah kekuasaan Fatimiyah di Mesir.

Krisis internal itu diperoleh dengan masuknya tentara salib dan pengaruh Nazaruddin Zhangi dengan panglimanya.Sahaluddin Yusuf Al Ayubi ketika khaliah al -Adid sedang sakit pada tahun 555 H Sahaluddin al - Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khotbah dengan menyebut nama khalifah Abbasiyah, Al Musradi dengan demikian maka berakhirlah Daulah Fathimiyah .

======================
DAFTAR PUSTAKA

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid III, (Jakarta : Al-Husma Zikra, 1997) h. 340

Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi hingga Abad XX, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2004)

Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997)

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 2003)

Ghufron A. Mas’adi, Ensklopedi Islam Ringkas, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999)

http://www.al-shia.com/htm/id/shia/moarrefi/2.htm pada 14 Nov 2006 14:09:36

http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=1&id=136967&kat id+105&katid 1 =151 =263 direkam pada 2 Nov 2006 13:55:29 GMT
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societes, (terj) Ghufran A.Mas’adi.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta : Kencara, 2003)

Suplemen koran Hamshahri Iran Kherad Nameh tentang Syi’ah Shenasi (…. )Volume kedua tertanggal 26 Januari 2005

Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 2 ( Jakarta : PT I chtiar Baru Van Hoeve .tt )
Tim Penyusun Ensklopedi Islam, Jilid I, (Jakarta : Depag RI, 1993),

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger