Al-Mashlahah Al-Mursalah

1. Al-Mashlahah Al-Mursalah

Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-mashlahah al-mursalah. Tujuan utama al-mashlahah al-mursalah adalah kemashlahatan, yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.

Menurut para ulama ushul, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan kata al-munasib al-mursal. Ada pula yang menggunakan ¬al-istislah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
  1. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan
  2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan.
  3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu mashlahah yang ditunjukkan bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.

Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah al-mashlahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang kedua, dipakai istilah ¬al-munasib al-mursal. Untuk segi yang ketiga dipakai istilah al-istishlah.

Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-mashlahah al-mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.

a. Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para Ulama dalam Al-Mashlahah Al-Mursalah

Beberapa pendapat ulama dalam kitab Ushul tentang al-mashlahah al-mursalah :
  1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, IV : 140, ”Para ulama dari golongan Syafi’i, Hanafi telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali Imam Malik.
  2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam Al-Ghazali memakainya, dia menerimanya dari Asy-Syafi’i dan Malik. Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.
  3. Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Istifham, II : 111-112 : Pendapat tentang adanya mashlahah mursalah itu telah diperdebatkan di kalangan para ulama, yang dapat dibagi dalam empat pendapat :
  • Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya.
  • Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
  • Imam Asy-Syafi’i dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai al-mashlahah al-mursalah dengan permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya sahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang sahih.
  • Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau tajayyun ( perbaikan ), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas.
Dengan melihat beberapa pendapat ulama di atas jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang menerima istishlah secara mutlak.

b. Penerimaan Imam Abu Hanifah terhadap Al-Mashlahah Al-Mursalah

Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-Tasyri’ Al-Islamy hal 89 : “ Pendapat yang masyhur yang tertulis dalam berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak memakai istishlah dan tidak menganggapnya sebagai dalil syara’. Hal itu didasarkan pada berbagai tinjauan :
  1. Para ahli fiqih Irak dalam muqaddimahnya berkata bahwa hukum syara’ itu mengandung maksud kemashlahatan tersebut. Pendapat yang lebih jauh lagi bahwa para pemimpin fiqih Irak tidak menggunakan istishlah, seperti Ibrahim An-Nakha’I, dia tidak menggunakan istishlah, tetapi senantiasa berhujjah untuk kemaslahatan. Mereka termasuk yang mendahulukan qiyas dan menjaga kemaslahatan.
  2. Mereka hanya memakai istihsan dan tidak menggunakan istishlah, dan menganggap bahwa istishlah itu bagian dari istihsan yang bersandarkan pada adat, kepentingan, dan kemaslahatan. Namun, bila mereka dikatakan berhujjah dengan istishlah, mereka tidak mengakuinya dan hanya menganggap bahwa mereka telah berdalil dengan istihsan dan ‘urf.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para ulama telah mengeluarkan berbagai istinbath hukum dengan cara istishlah yang sama artinya dengan istihsan menurut Imam Abu Hanifah.

Adapun penggunaan ‘urf khususnya di kalangan Hanafiyah lebih luas dibanding istishlah terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya. Hal itu tentunya bebas bagi tiap-tiap daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai kemashlahatan hidup mereka. Tak heran kalau banyak hukum yang didasarkan pada ‘urf menurut Hanafiyah sebenarnya sama dengan istishlah menurut ulama lainnya.


2. Dzari’ah

a. Pengertian Dzari’ah
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “Jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah ( yang dilarang ) dan fath Adz-dzari’ah ( yang dianjurkan ).

b. Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian sadd Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi ( dalam Syafe’i, 2007 : 132 ) adalah :

التوصل بماهومصلحةالئ مفسدة
Artinya : Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan ( kemafsadatan ).

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.

Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu :
  1. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
  2. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan.
  3. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.

c. Macam-macam Dzari’ah
  • 1. Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatan
 Menurut Imam Asy Syatibi, dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam :
  1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.
  2. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
  3. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.
  4. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan.
  • 2. Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( dalam Syafe’i, 2007:135 ), pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut :
  1. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan.
  2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak.


d. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Dalil sadd adz-dzari’ah dapat juga diterapkan terhadap segala sesuatu yang dianggap dapat membahayakan agama dan masyarakat banyak secara umum Sebagai contoh, diharamkannya perkawinan beda agama yang dikhawatirkan dapat merusak akidah isteri atau anak-anaknya kelak. Dan dengan dalil inipun dapat digunakan pemerintah untuk melarang penjualan bebas alat kontrasepsi untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan, peredaran buku porno, film cabul, penutupan panti pijat yang pekerjanya wanita, dan bayi tabung dari suami istri yang normal atau dari sperma suami yang telah meninggal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan motif-motif tertentu.

Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’ :
Alasan mereka antara lain :

a) Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am : 108 :
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم
Artinya : “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

b) Hadis Rasulullah SAW. antara lain yang artinya:

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibudan bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang memncaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya”. ( HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud ).



Perbedaan pendapat antara ulama ushul dengan Malikiyah dan Hanabilah dalam berhujjah dengan sadd adz-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama Malikiyah dan hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja.

e. Fath Adz-Dzari’ah
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Imam Al –Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu adakalanya dilarang yang disebut sadd adz-dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.

Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah ( pendahuluan ) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah :
مالايتم ا لواجب الابه فهوواجب
Artinya :”Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib. “

Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah :
ما دلءلئ حرام فهو حرام
Artinya : “Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan”.

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath adz-dzari’ah, sedangkan ulama yang lain menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. ( Aj-Juhaili:874)

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger