A. Agama , ideologi dan budaya
Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Terdapat banyak tema agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.
Agama berasal dari bahasa Sanskrit, yang mempunyai arti: tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwarisi turun-temurun. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa agama itu berarti teks atau kitab suci dan atau tuntunan. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa agama itu ajarannya bersifat tetap dan diwariskan secara turun-temurun, mempunyai kitab suci dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya.
Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Terdapat banyak tema agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.
Agama berasal dari bahasa Sanskrit, yang mempunyai arti: tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwarisi turun-temurun. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa agama itu berarti teks atau kitab suci dan atau tuntunan. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa agama itu ajarannya bersifat tetap dan diwariskan secara turun-temurun, mempunyai kitab suci dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya.
“Din” dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi, menguasai dan menundukkan untuk patuh kepada aturan Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajarannya sebagai suatu kewajiban, merasa berutang bagi yang meninggalkan kewajiban yang telah biasa dilakukannya, memberi balasan baik bagi yang mematuhinya dan balasan tidak baik bagi yang melanggarnya.
Sedangkan kata “religi” berasal dari bahasa Latin, mempunyai arti mengumpulkan, membaca dan mengikat. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan kumpulan aturan-aturan lainnya yang dikumpulkan dalam kitab suci yang harus dibaca, dan di samping itu, agama juga mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, ikatan antara manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi atau ikatan antara manusia dengan Tuhan-nya. Sedangkan komponen-komponen atau unsur – unsur penting yang ada atau yang harus ada dalam agama adalah: 1) Kekuatan gaib. 2) Keyakinan manusia 3) Respons yang bersifat emosional dari manusia. 4) Paham adanya yang kudus {sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib. Maka agama dapat diartikan sebagai jalan yang harus dilalui dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat berhubungan dengan kekuatan gaib dan supranatural melalui aktivitas penyembahan dan pemujaan agar hidup bahagia dan sejahtera.
Ideologi dan budaya
Ideologi dapat berarti suatu faham atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja para filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Contoh : Ideologi sosialis-komunis dan liberalis-kapitalis di dunia Eropa Timur dan dunia Barat, dan faham Jabariah dan Qadariah di dunia Islam adalah contoh dalam hal ini.
Ideologi ini dapat melahirkan suatu kebudayaan, di samping ideologi itu sendiri merupakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah hasil dunia, rasa dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, ideologi itu mesti kebudayaan tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama (wahyu), ideologi dan kebudayaan seringkali sulit untuk dibedakan. Karena ketiganya sama-sama dapat dijadikan sebagai pedoman hidup walaupun-masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Agama dapat di ideologikan dan dibudayakan. Sebaliknya ideologi dan kebudayaan dapat diagamakan. Agama (wahyu) pada dasarnya bukan ideologi — dan memang bukan ideologi—akan tetapi dapat dijadikan sebagai ideologi apabila agama (wahyu) itu sudah dipersepsi oleh seseorang atau sejumlah orang dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya.
Agama budaya
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Agama Wahyu (langit) dan Agama Budaya (adat istiadat)
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran — walau sebenarnya relatif — atau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardli.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, termasuk aliran kepercayaan.
B. Islam sebagai Ideologi
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicita-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).
Namun nama “Islam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang fundamental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
C. Islam sebagai Budaya dalam perspektif masyarakat Jawa.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999) yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga masyarakat, yaitu :
Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak.
Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim.
Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam.
Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern.
Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.
Pengaruh Islam dapat dikatakan tidaklah terlalu besar. Agama ini hanya menyentuh kulit luar budaya Hindu-Budha-Animistis yang telah berakar kuat. Akibatnya Islam menurut pendapat Geertz, C (1975)” Islam tidak bergerak ke wilayah baru, melainkan ke salah satu wilayah bentukan politik,estetika, religius dan sosial terbesar di Asia, yakni kerajaan Jawa Hindu/Budha, yang walaupun pada masa itu mulai melemah, telah berakar kuat di masyarakat Indonesia (khususnya di Jawa, walau tak hanya disana).
Fenomena ini juga dijelaskan , menurut Muhaimin (2002) di Jawa, ”Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya menyelaraskannya”. Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah Tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir di pesisir. Melalui proses panjang asimilasi secara damai dan berhasil membentuk kantong-kantong masyarakat pedagang di beberapa kota besar dan dikalangan petani kaya. Komunitas muslim itu kemudian memeluk suatu sinkritisme yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang terdiri atas : a) Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan elemen petani. b) Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu. c) Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.
Keadaan kebudayaan masyarakat ini sebenarnya seirama dengan situasi etnis (suku bangsa) pendatang, dimana secara tegas tidak diketahui secara pasti ketika itu. Yang dapat diketahui sesudah berkembangnya agama Islam di Jawa. Sampai sekarang terlihat bahwa kebudayaan mereka berlatar belakang ajaran Islam. Adat istiadat yang berkembang di daerah Jawa tetap bernafaskan Islam, walaupun bentuk dan tata cara pelaksanaanya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain dalam satu desa. Bahkan juga kesenian dan kebudayaan lainnya turut berkembang sehingga terlihat adanya percampuran antara Hindu dan Islam contoh pagelaran wayang kulit, budaya slametan, pitonan bayi, bersih deso, penerapan penanggalan Jawa : legi,pon,wage,pahing kliwon.
Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa, sebagian masih percaya dengan animisme dan dinamisme. Misalnya , ketika seseorang menggali sumur, saat itu agak emosi karena ada sesuatu yang kurang pas dengan pekerja sawahnya. Ketika emosi muncul tiba-tiba galian tanah yang mau dipakai untuk sumur tidak bisa dilanjutkan karena ada pondasi yang terbuat dari batu merah persis batu merah yang ada di candi Trowulan, Mojokerto. Akhirnya mereka berhenti dan pulang. besuknya, mereka mau menggali sumur di tempat sebelahnya. Sesampainya di sawah, Ternyata pondasi sudah tidak ada lagi. Karena pondasi sudah tidak ada lagi, mereka melanjutkan penggaliannya di tempat itu dengan keyakinan bahwa di tempat ini ada danyangnya (makhluk ghaib yang menjaga tempat itu). Maka dengan hormatnya mereka mengadakan ritual adat berupa permintaan maaf dan permohonan ijin kepada sang penunggu dengan sesaji berupa slametan. Kejadian semacam tadi tidak hanya dialami oleh satu orang saja, tetapi masih ada lagi pengalaman nyata yang dialami oleh orang-orang Islam lainnya yang ada di Jawa dan bukan menjadi rahasia umum lagi.
Akhirnya, Geertz sampai pada muara kesimpulan bahwa yang dinamakan agama Jawa tidak lain adalah sinkretisme. la melihat adanya perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam praktik slametan yang biasanya dilakukan oleh kalangan Abangan. Pada praktik slametan terkandung berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di situ ada praktik magis berupa kepercayaan kepada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu doa yang dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slemetan. Sehingga Islam melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya.
==================
Pustaka
Amin Abdullah, M., 1996. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Beatty, Andrew, 2001, Variasi agama di Jawa,suatu pendekatan antropologi, PT.RajaGrafindo persada, Jakarta.
Geertz, Clifford, Agama di Jawa, 1992. Konflik dan Interaksi, dalam : Roland Robertson (ed), Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Ishomuddin, 1997. Sosiologi Pespektif Islam. Malang: UMM Press.
Muhaimin .AG. 2002. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. P.T. Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Roberson, Roland, (ed)., 1992. Agama: Dalam Analisa dan Interretasi Sosiologis. Terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: CV. Fajawali.
Syafi`I Maarif, Ahmad, 1995. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syihab, Alwi, 1997. Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Wahid, Abdurrahman ET. All, 1997. Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Seri Dian I Tahun I.
sumber: bayu96ekonomos.wordpress.com
Sedangkan kata “religi” berasal dari bahasa Latin, mempunyai arti mengumpulkan, membaca dan mengikat. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan kumpulan aturan-aturan lainnya yang dikumpulkan dalam kitab suci yang harus dibaca, dan di samping itu, agama juga mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, ikatan antara manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi atau ikatan antara manusia dengan Tuhan-nya. Sedangkan komponen-komponen atau unsur – unsur penting yang ada atau yang harus ada dalam agama adalah: 1) Kekuatan gaib. 2) Keyakinan manusia 3) Respons yang bersifat emosional dari manusia. 4) Paham adanya yang kudus {sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib. Maka agama dapat diartikan sebagai jalan yang harus dilalui dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat berhubungan dengan kekuatan gaib dan supranatural melalui aktivitas penyembahan dan pemujaan agar hidup bahagia dan sejahtera.
Ideologi dan budaya
Ideologi dapat berarti suatu faham atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja para filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Contoh : Ideologi sosialis-komunis dan liberalis-kapitalis di dunia Eropa Timur dan dunia Barat, dan faham Jabariah dan Qadariah di dunia Islam adalah contoh dalam hal ini.
Ideologi ini dapat melahirkan suatu kebudayaan, di samping ideologi itu sendiri merupakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah hasil dunia, rasa dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, ideologi itu mesti kebudayaan tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama (wahyu), ideologi dan kebudayaan seringkali sulit untuk dibedakan. Karena ketiganya sama-sama dapat dijadikan sebagai pedoman hidup walaupun-masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Agama dapat di ideologikan dan dibudayakan. Sebaliknya ideologi dan kebudayaan dapat diagamakan. Agama (wahyu) pada dasarnya bukan ideologi — dan memang bukan ideologi—akan tetapi dapat dijadikan sebagai ideologi apabila agama (wahyu) itu sudah dipersepsi oleh seseorang atau sejumlah orang dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya.
Agama budaya
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Agama Wahyu (langit) dan Agama Budaya (adat istiadat)
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran — walau sebenarnya relatif — atau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardli.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, termasuk aliran kepercayaan.
B. Islam sebagai Ideologi
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicita-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).
Namun nama “Islam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang fundamental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
C. Islam sebagai Budaya dalam perspektif masyarakat Jawa.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999) yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga masyarakat, yaitu :
Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak.
Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim.
Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam.
Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern.
Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.
Pengaruh Islam dapat dikatakan tidaklah terlalu besar. Agama ini hanya menyentuh kulit luar budaya Hindu-Budha-Animistis yang telah berakar kuat. Akibatnya Islam menurut pendapat Geertz, C (1975)” Islam tidak bergerak ke wilayah baru, melainkan ke salah satu wilayah bentukan politik,estetika, religius dan sosial terbesar di Asia, yakni kerajaan Jawa Hindu/Budha, yang walaupun pada masa itu mulai melemah, telah berakar kuat di masyarakat Indonesia (khususnya di Jawa, walau tak hanya disana).
Fenomena ini juga dijelaskan , menurut Muhaimin (2002) di Jawa, ”Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya menyelaraskannya”. Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah Tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir di pesisir. Melalui proses panjang asimilasi secara damai dan berhasil membentuk kantong-kantong masyarakat pedagang di beberapa kota besar dan dikalangan petani kaya. Komunitas muslim itu kemudian memeluk suatu sinkritisme yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang terdiri atas : a) Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan elemen petani. b) Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu. c) Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.
Keadaan kebudayaan masyarakat ini sebenarnya seirama dengan situasi etnis (suku bangsa) pendatang, dimana secara tegas tidak diketahui secara pasti ketika itu. Yang dapat diketahui sesudah berkembangnya agama Islam di Jawa. Sampai sekarang terlihat bahwa kebudayaan mereka berlatar belakang ajaran Islam. Adat istiadat yang berkembang di daerah Jawa tetap bernafaskan Islam, walaupun bentuk dan tata cara pelaksanaanya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain dalam satu desa. Bahkan juga kesenian dan kebudayaan lainnya turut berkembang sehingga terlihat adanya percampuran antara Hindu dan Islam contoh pagelaran wayang kulit, budaya slametan, pitonan bayi, bersih deso, penerapan penanggalan Jawa : legi,pon,wage,pahing kliwon.
Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa, sebagian masih percaya dengan animisme dan dinamisme. Misalnya , ketika seseorang menggali sumur, saat itu agak emosi karena ada sesuatu yang kurang pas dengan pekerja sawahnya. Ketika emosi muncul tiba-tiba galian tanah yang mau dipakai untuk sumur tidak bisa dilanjutkan karena ada pondasi yang terbuat dari batu merah persis batu merah yang ada di candi Trowulan, Mojokerto. Akhirnya mereka berhenti dan pulang. besuknya, mereka mau menggali sumur di tempat sebelahnya. Sesampainya di sawah, Ternyata pondasi sudah tidak ada lagi. Karena pondasi sudah tidak ada lagi, mereka melanjutkan penggaliannya di tempat itu dengan keyakinan bahwa di tempat ini ada danyangnya (makhluk ghaib yang menjaga tempat itu). Maka dengan hormatnya mereka mengadakan ritual adat berupa permintaan maaf dan permohonan ijin kepada sang penunggu dengan sesaji berupa slametan. Kejadian semacam tadi tidak hanya dialami oleh satu orang saja, tetapi masih ada lagi pengalaman nyata yang dialami oleh orang-orang Islam lainnya yang ada di Jawa dan bukan menjadi rahasia umum lagi.
Akhirnya, Geertz sampai pada muara kesimpulan bahwa yang dinamakan agama Jawa tidak lain adalah sinkretisme. la melihat adanya perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam praktik slametan yang biasanya dilakukan oleh kalangan Abangan. Pada praktik slametan terkandung berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di situ ada praktik magis berupa kepercayaan kepada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu doa yang dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slemetan. Sehingga Islam melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya.
==================
Pustaka
Amin Abdullah, M., 1996. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Beatty, Andrew, 2001, Variasi agama di Jawa,suatu pendekatan antropologi, PT.RajaGrafindo persada, Jakarta.
Geertz, Clifford, Agama di Jawa, 1992. Konflik dan Interaksi, dalam : Roland Robertson (ed), Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Ishomuddin, 1997. Sosiologi Pespektif Islam. Malang: UMM Press.
Muhaimin .AG. 2002. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. P.T. Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Roberson, Roland, (ed)., 1992. Agama: Dalam Analisa dan Interretasi Sosiologis. Terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: CV. Fajawali.
Syafi`I Maarif, Ahmad, 1995. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syihab, Alwi, 1997. Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Wahid, Abdurrahman ET. All, 1997. Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Seri Dian I Tahun I.
sumber: bayu96ekonomos.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment