Pedoman Penggunaan ‘Urf Dalam Menetapkan Hukum Syar’i

DEFINISI ADAT DAN ‘URF
Adat menurut arti bahasa adalah cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan.[1] Sedangkan adat istiadat adalah: tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.[2] Kata ini berasal dari kata العادة dalan bahasa Arab dengan arti yang sama.[3]

Adapun menurut istilah agama, para Ulama berbeda ungkapan tentang definisi adat. Diantara definisi yang mereka sebutkan adalah, “Perkara yang terulang-ulang dan dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat”[4] Jadi, menurut istilah agama, tidak semua perkara yang terulang-ulang disebut adat, tapi harus bisa diterima fitrah dan akal sehat.

Adat mencakup kebiasaan individu dan kebiasaan yang banyak. Kebiasaan yang banyak dikenal juga dengan istilah ‘urf ( العرف ). Jadi, istilah adat lebih umum dari ‘urf; karena istilah ‘urf hanya dipakai untuk menunjukkan kebiasaan orang banyak saja, dan tidak mencakup kebiasaan individu.[5] Demikianlah perbedaan antara adat dan ‘urf, namun keduanya sama-sama dipakai dan diperhitungkan dalam menetapkan hukum syar’i.[6]

ADAT DAN ‘URF DIPERHITUNGKAN DALAM AGAMA ISLAM
Agama Islam memperhitungkan adat dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah.[7] Banyak ayat dan hadits yang menunjukkan hal ini, di antaranya:

1. Firman Allah S.W.T dalam dua ayat berikut:
ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. (QS. Al-Baqarah/2:228)

وعاشروهن بالمعروف
Dan bergaullah dengan mereka secara ma’ruf. (QS. An-Nisa/4:19)

Sebagian ahli tafsir menafsirkan kalimat “bil ma’ruf” dalam dua ayat di atas dengan kalimat “sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku di tempat dan masa suami dan isteri berada”. Suami memperlakukan isteri dengan baik, sesuai dengan adat yang dikenal dan berlaku di masyarakat, demikian sebaliknya perlakuan isteri kepada suami.[8]

2. Firman Allah S.W.T dalam surat al-Maidah/5 ayat ke-89:
لا يواخذكم الله باللغو في ايمنكم ولكن يواخذكم بما عقدتم الايمن فكفرته اطعام عشره مسكين من اوسط ما تطعمون اهليكم او كسوتهم او تحرير رقبه
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (denda melanggar) sumpah itu ialah member makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.

Dalam ayat di atas, Allah S.W.T mensyaratkan bahwa makanan dan pakaian yang diberikan hendaknya yang sedang-sedang saja dan biasa diberikan kepada keluarga sendiri. Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan yang umum berlaku, karena manusia tidak sama dalam hal ini. Mereka berbeda-beda sesuai kondisi dan kemampuan mereka.[9]

3. Hadits riwayat al-Bukhari (no. 5364) :

Dari Aisyah R.A bahwa Hindun binti Utbah berkata, “wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan orang yang pelit dan tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang aku ambil tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah S.A.W bersabda, “Ambillah secukupnya untuk dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.”

Dalam hadits ini Nabi S.A.W menjadikan adat dan kebiasaan yang berlaku sebatas standar batasan nafkah yang berhak diperoleh isteri. Beliau S.A.W tidak menentukan nominalnya. Ini menunjukkan bahwa ‘urf bisa diperhitungkan dalam hal-hal yang batasannya tidak ditentukan syariah.[10]

4. Hadits riwayat Abu Dawud (no. 3569) :

Bahwasanya unta al-Bara’ bin ‘Azib R.A masuk kebun seseorang dan merusaknya. Lalu Rasulullah S.A.W menetapkan putusan bahwa pemilik kebun wajib menjaga kebunnya di siang hari, dan apa yang dirusak unta di malam hari menjadi tanggungan pemilik unta. (Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albani Rahimahullah dalam shahih Sunan Ibnu Majah no.2332)

Rasulullah S.A.W melandaskan hukum Beliau ini pada kebiasaan yang umum berlaku bahwa pemilik ternak melepaskan ternak mereka di siang hari dan tidak melepasnya di waktu malam. Sedangkan pemilik kebun biasanya berada di kebun pada siang hari saja. Maka barangsiapa menyelisihi kebiasaan ini, berarti ia telah teledor dalam menjaga hak miliknya, sehingga laksana orang yang meyimpan hartanya di tengah jalan, maka orang yang mencurinya tidak dikenai potong tangan. Ini menunjukkan bahwa ‘urf diperhitungkan dalam penetapan hukum ini.[11]

5. Hadits riwayat Ahmad (no. 26716), Abu Dawud (nomor 274) :

Dari Ummu Salamah isteri Nabi S.A.W bahwa seorang wanita mengeluarkan darah (istihadhah) pada zaman Rasulullah S.A.W maka Ummu Salam memintakan fatwa untuknya, dan Nabi S.A.W menjawab: “Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari haidh dia setiap bulannya sebelum mengalami sakit yang sekarang ini, maka hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak hari itu, dan jika sudah selesai, hendaklah dia mandi kemudian membalutnya dengan kain lalu shalat.” (Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih no. 599)

Dalam hadits ini, Nabi S.A.W merujuk kepada jumlah hari haidh yang biasa dialami wanita tersebut sebelum mengalami istihadhah. Ini menunjukkan bahwa adatlah yang dipakai untuk menetapkan hukum di atas.

Dari keterangan ayat-ayat dan hadits-hadits ini dapat disimpulkan bahwa adat dan ‘urf dijadikan hukum dalam hal-hal yang tidak ada ketentuannya dalam syariah Islam. Empat poin pertama menunjukkan bahwa adat orang banyak (‘urf) diperhitungkan, dan poin terakhir menunjukkan bahwa adat individu juga dipakai dalam menetapkan hukum syar’i. Karenanya, para Ulama menyebutkan sebuah kaidah fikih yang agung :

العادة محكمة
Adat itu dijadikan hakim.

Maksudnya, adat dalam pandangan syariah memiliki kekuatan dan menjadi rujukan dalam menentukan hukum syar’i.[12]

TIDAK SEMUA ADAT (‘URF) MENJADI RUJUKAN
Di atas telah dijelaskan bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah secara detail.[13] Namun perlu diketahui bahwa tidak semua adat dan ‘urf menjadi rujukan. Ada syarat-syarat yang harus ada pada suatu adat agar bisa menjadi muhakkam, di antaranya[14] :
  1. Harus muththarid atau ghalib. Muththarid artinya adat dan ‘urf harus konstan, tidak berubah-ubah, dan menyebar di masyarakat. Adapun ghalib berarti bahwa ‘urf itu lebih sering dipakai daripada ditinggalkan. Adapun jika suatu ‘urf tidak terkenal dan tersebar, atau berubah-ubah, atau lebih sering ditinggalkan, maka ia tidak bisa dijadikan landasan penetapan suatu hukum.
  2. Urf itu sudah ada dan masih berlaku saat hukum ditetapkan. Jadi jika ‘urf belum berlaku saat penetapan hukum, atau sudah tidak berlaku lagi, maka ‘urf itu tidak bisa diperhitungkan dalam penetapan suatu hukum.
  3. Tidak ada persetujuan yang diucapkan atau tertulis yang menyelisihi adat, jika ada, maka persetujuan itu yang dipakai. Misalnya, jika kebiasaan pada suatu masyarakat adalah membebankan biaya pengangkutan barang dagangan kepada pembeli, kemudian suatu ketika pembeli menetapkan syarat bahwa biaya pengangkutan barang ditanggung penjual lalu penjual setuju. Dalam kasus ini, adat masyarakat di atas tidak dipakai, dan yang dipakai adalah persetujuan ini.
  4. ‘Urf tidak boleh menyelisihi dalil-dalil syar’i. Jika dalil menetapkan suatu hukum syar’i, kemudian adat ‘urf yang berlaku di masyarakat menyelisihi hukum tersebut, maka ‘urf tersebut tidak dianggap dan menjadi tidak bernilai. Syarat yang terakhir ini adalah yang terpenting dan disepakati oleh para Ulama. Dan kesalahan banyak orang pada pemberlakuan suatu adat biasanya terjadi pada syarat ini.

KEBIASAAN YANG MENYELISIHI DENGAN SYARIAT ADALAH DILARANG
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Konsekuensinya, agama ini tidak perlu lagi ditambah-tambah. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali Nabi S.A.W telah menjelaskannya. Dan tidak ada satu keburukan pun, kecuali Nabi S.A.W telah mengingatkan umat Beliau untuk waspada terhadapnya.

Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman ada sebagian umat Islam yang lalai akan hakikat ini. Sebagian kaum Muslimin menciptakan tata cara ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi S.A.W. Banyak juga yang menciptakan upacara-upacara atau peringatan-peringatan yang tidak pernah ada pada masa generasi awal umat Islam. Mereka berdalih bahwa hal ini sudah menjadi adat dan tradisi sudah turun-temurun, dan Islam menghormati adat bahkan memperhitungkannya dalam menetapkan hukum. Mereka pun menyebutkan kaidah fikih ( العادة محكمة ) Benarkah dalih mereka ini?

Kalau melihat keterangan para Ulama di atas, kita dapatkan bahwa kaidah ini dipakai dalam bab mu’amalah (yang mengatur hubungan sesame manusia), yaitu pada hal-hal yang ketentuannya tidak diatur syariah. Kalaupun ada memiliki hubungan dengan ibadah seperti bab thaharah (merujuk hari haidh yang biasa dialami), maka itu bukan dalam hal memunculkan tata cara ibadah baru atau hari raya yang tidak ada contohnya. Lihatlah pada dalil-dalil pemakaian ‘urf di atas! Pemakaiannya tidaklah seperti yang mereka praktekkan.

/
Dan sudah diketahui secara umum bahwa hukum asal dalam ibadah adalah semua ibadah tidak boleh dilakukan, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya. Maka, merupakan kesalahan jika ada orang yang melakukan ibadah yang tidak ada dalil, kemudian saat diingatkan dia mengatakan “Tidak ada dalil khusus yang melarang hal ini”. Dalih seperti ini seharusnya diucapkan dalam bab mu’amalah, yang hukum asalnya adalah boleh, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. Dalam bab ibadah, orang yang memunculkan tata cara ibadah atau hari raya barulah yang harus mendatangkan dalil.[15]

Di samping itu, adat yang demikian tidak memenuhi syarat untuk dijadikan landasan penetapan hukum karena menyelisihi dalil yang melarang adanya cara perkara-perkara baru dalam agama seperti sabda Nabi S.A.W :
من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barang siapa mengada-adakan dalam perkara (agama) kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka amalan tersebut tertolak. (HR. al-Bukhari, no. 2550 dan Muslim no. 1718 dari Aisyah R.A)

Dan dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka amalan tersebut tidak diterima.

Demikian pula sabda Nabi S.A.W dalam hadits yang lain dari al-‘Irbadh bin Sariyah R.A :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وإن كل بدعة ضلالة
Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 46, dihukum shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 6/238)

PENUTUP
Dengan demikian jelaslah bahwa adat dan ‘urf diperhitungkan dalam syariat Islam dan dijadikan hakim dalam perkara yang tidak diatur ketentuannya oleh agama. Namun tidak semua ‘urf diakui, tapi harus memenuhi beberapa syarat. Syarat terpenting adalah tidak boleh menyelisihi dalil-dalil syar’i. Jelas pula kesalahan orang yang berlindung dibalik perisai adat untuk melegalkan bid’ah dalam beragama. Semoga Allah S.W.T membimbing umat Islam kepada pemurnian sunnah, karena itulah jalan kebangkitan mereka. Wallahu Ta’ala A’lam.

======
Footnote:
1. http://kamusbahasaindonesia.org/adat#ixzz1aqLypiQa
2. http://kamusbahasaindonesia.org/adat%20istiadat#ixzz1aqLZUb8O
3. Mu’jam Maqayisil al-Lughah 4/182 , al-Mu’jamul Wasith hlm. 635
4. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah 2/4
5. Al-Wajiz, hlm. 276
6. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah 2/6
7. Al-Mantsur fil Qawa’id, hlm. 356
8. Fathul Qadir 1/351.
9. Tafsir Ibnu Katsir 3/173
10. Fathul Bari 9/630
11. Ma’alim as-Sunan 2/241.
12. Al-Wajiz, hlm. 276.
13. Al-Mantsur fil Qawa’id, hlm. 356.
14. Lihat: al-Qawa’id al-Fiqhiyyah 2/13-19.
15. Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qawa’idih, hlm. 80


Disadur dari Majalah As-Sunnah No. 09 Thn. XV, Shafar 1433H, Januari 2012M.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger