Hak-Hak Asasi Manusia (Human Rights)

A. Pendahuluan
Ketika manusia lahir ke muka bumi, jeritan dibarengi tangisan menghiasi perjalanan hidup manusia, hal ini menandakan bahwa setiap individu telah merasakan secara naluri bagaimana hak dan kewajibannya ketika lahir. Penyelewengan, penipuan, pembunuhan karakter dan sebagainya telah mewarnai kehidupan yang dimiliki manusia itu sendiri.

Hak manusia secara sederhana merupakan sesuatu proses atau sistem yang sudah terdapat dalam diri manusia, dan untuk merealisasikannya diperlukan suatu pola yang akurat dan jitu agar hak-hak tersebut dapat berjalan sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing. Katagori hak manusia dewasa ini selalu diartikan sempit, padahal banyak pakar yang berkomentar luwes tentang hal tersebut. Islam mendukung sepenuhnya eksistensi hak anak manusia mulai dari penciptaan hingga kematiannya. Pembodohan hak inilah akan menimbulkan secercah fenomena sosial masyarakat kita, ketika diaplikasikan.

Dalam mendeskripsikan hak azasi manusia, penulis membuat suatu stressing yang dianggap layak untuk dibahas dalam paparan makalah ini, antara lain : Lahirnya Deklarasi universal Hak-hak asasi manusia, Hak dalam pandangan Islam, Deskripsi Hak Manusia menurut Deklarasi PBB, Fenomena sosial dalam tatanan Hak Manusia secara global, Persoalan rakyat menyangkut status dan hak-haknya.

B. Lahirnya Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah menegaskan akan perlunya memelihara perdamaian dan keamanan dunia, menegaskan pula tentang pentingnya bangsa-bangsa di dunia ini untuk memperhatikan tentang hak-hak manusia, martabat dan kehormatan individu, kesamaan hak-hak manusia baik laki-laki maupun perempuan, juga perlakuan negara-nagara besar kepada yang kecil secara wajar.

Tujuan utama dari Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut adalah untuk merealisasikan kerjasama internasional dalam mengatasi masalah-masalah dunia di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan dan kemanusiaan serta untuk menghormati hak-hak seluruh umat manusia dan mendukung ke arah itu secara mutlak tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa, agama dan juga tanpa membeda-bedakan laki-laki ataupun perempuan.

Meskipun Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya lebih dulu fenomena yang dikenal sebagai hak-hak manusia, tetapi piagam tersebut tidak merinci dan tidak memuat daftar hak-hak manusia yang mesti dihormati, dan juga tidak mengacu pada suatu sumber yang menyebutkan secara tepat hak-hak yang perlu dihormati itu. Pada waktu perumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirancang, pernah ada beberapa usul dari beberapa negara agar dicantumkan daftar hak-hak beberapa negara. Namun demikian , Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang, perlu untuk menyusun suatu Bill of Rights International dalam waktu setahun setelah piagam itu diberlakukan.

Tugas menyusun Bill of Rights international sebagaimana tersebut di atas, diserahkan kepada Commision of Human Rights (Komisi Hak Asasi Manusia) yang merupakan aparat dari Economic and Sosial Council (ECOSOC). Komisi ini bertugas membuat rincian tentang hak-hak asasi yang mesti dihormati oleh setiap manusia di muka bumi ini, di samping itu komisi ini juga diberi wewenang untuk mempersiapkan rancangan program internasional tentang hak-hak asasi manusia dalam piagam PBB, dan memberikan penjelasan persetujuan mengenai hak-hak sipil, kedudukan wanita, larangan diskriminasi yang didasarkan kepada ras, bangsa, bahasa dan agama.

Komisi Hak Asasi Manusia telah bersidang dan membentuk beberapa komisi menurut tugas yang diberikan kepadanya. Setelah melalui perdebatan yang panjang maka lahirlah “Universal Declaratiaon of Human Rights” atau disebut Deklarasi Internasional tentang hak-hak asasi manusia, ditetapkan pada sidang dan menetapkannya pula atas dasar persetujuan anggota-anggotanya, kecuali empat negara absen. Akhirnya pada tanggal 10 Desember 1948, Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan rancangan deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia dalam sidangnya di Paris. Kemudian pada hari berikutnya sidang UNESCO menyetujui pula seluruh isi deklarasi tersebut.

Deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia di dalam bentuknya yang terakhir memuat daftar hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosioal dan budaya yang menjadi hak semua orang tanpa terkecuali. Deklarasi ini sama sekali tidak memuat lembaga atau mekanisme yang akan menjamin diindahkannya hak-hak itu. Pada mula disahkan deklarasi tersebut, semua meteri yang ada dalam bentuk mengikat secara non hukum, tetapi dalam prakteknya di kemuduan hari telah mengubahnya menjadi sebuah alat yang mempunyai kekuatan yuridis, walaupun status hukumnya masih terjadi pro dan kontra.

Meskipun banyak kesulitan yang dijumpai PBB dalam upaya memantapkan sistem universal untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi PBB telah berbuat banyak guna menangani masalah ini secara khusus. Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi manusia yang sudah dirundingkan di bawah pengawasan PBB. Sebagian besar dirancang oleh kelompok kerja dari komisi PBB mengenai hak-hak asasi manusia (badan yang berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial). Adapun yang paling baru adalah Konvensi mengenai hak-hak anak yang dicetuskan oleh komisi awal 1989.

Teori sosial sering berkembang lebih pesat dari prakteknya. Akan tetapi sering pula teori itu tertinggal jauh ke belakang. Keadaan yang mendesak dan kesempatan pengalaman menimbulkan jawaban-jawaban yang tampaknya dapat dan diperlukan jauh sebelum kita dapat membenarkan mereka. Ini khususnya terlihat pada gerakan-gerakan untuk hak-hak manusia. Meskipun kesadaran mengenai pentingnya HAM semakin tumbuh dan berkembang luas, dan gerakan-gerakan serta sebab-sebab yang menyuarakan HAM ataupun hak-hak lainnya menjadi beragam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini masih dirasakan, jika dibandingkan dengan literarur lain yang bertemakan filsafat. Literarur yang kini ada, masih sangat sementara sifatnya dan membingungkan, dan kadang-kadang merupakan kesangsian dalam memandang hakikat, realitas, serta apa yang disebut dasar-dasar hak-hak manusia.

Namun demikian, tuntutan atas hak-hak manusia itu terus berlangsung. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dalam makna apapun, Tuntutan-tuntutan itu bermuara dari adanya rasa tertekan dan ketidakpuasan yang turut mendorong keputusan bahwa segala sesuatu, dan memang seharusnya menjadi lebih baik dari keadaan kini. Semakin luasnya tuntutan tersebut kelihatannya bukan dipengaruhi oleh kesulitan dalam analisis matematika. Atau realisasinya tidak bergantung pada hal-hal semacam itu melainkan berpengaruh pada kekuasaan yang relatif dari orang-orang yang mendukung atau yang menentang tuntutan-tuntutan ini.

Konsekuensi yang paling penting dari kesangsian mengenai kesahihan dari teori manapun mengenai HAM adalah kecenderungan yang mendorong kita untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologi dari hubungan-hubungan kekuasaan belaka. Sejumlah alasan telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak-hak manusia itu ada atau bisa kita ketahui keberadaannya. Alasan-alasan tersebut antara lain :
  1. Kadang kala orang mempunyai pandangan bahwa HAM tidak pernah ada karena tidak ada hal-hal seperti itu sebagai hak-hak moral secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa kita tidak akan pernah bisa memberikan landasan-landasan yang sahih dan obyektif untuk keputusan moral apapun.
  2. Kadang-kadang orang berpendapat bahwa tidak ada HAM di dalam sistem moral manapun, kecuali kalau hak tersebut ditafsirkan secara muthlak, tak bersyarat, atau tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini tersirat dalam beberapa pakar hukum yang berpikiran liberal. Asumsi ini tidak mengandung pengertian apa-apa dalam istilah yang digunakan, kecuali atas dasar anggapan bahwa hanya ada satu hak yang muthlak atau jika adapun lebih dari satu, bahwa kita bisa memberikan alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa semua HAM dapat selaras satu sama lain dan dalam keadaan yang tak dapat diperkirakan atau dipercaya hak-hak tersebut akan saling bertentangan. Perbedaan yang jelas antara kewajiban dan hak prima facie,1 kemudian kewajiban dan hak muthlak tampaknya merupakan sebuah analisis yang sudah memadai terhadap persoalan yang kita hadapi. Semua hak manusia memiliki validitas prima facie di dalam situasi di mana hak tersebut relevan, tetapi hak-hak itu tidak secara muthlak dan pasti mengikat tingkah laku dalam setiap kasus khusus apapun, meskipun hak-hak itu harus dipertimbangan. Kita tidak bisa mengatakan hak yang mana secara pasti mengikat, karena kita tidak dapat mengetahui mana yang lebih dulu suatu hak bertentangan dengan hak lain. Di sisi lain konsekuensi-konsekuensi ketaatan dan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban demikian kompleks dalam tatanan bobot yang tidak stabil dan tidak konstan, sehingga tidak ada hirarki yang dapat ditegakkan sebelumnya untuk membimbing kita untuk masuk ke semua lini situasi yang konstruktif.
  3. Sumber kesangsian lainnya tentang HAM muncul oleh karena adanya perbedaan-perbedaan dalam daftar hak manusia, sebagaimana hal itu terlihat dalam berbagai deklarasi hak-hak manusia. Keberatan ini menunjukkan kesalahan konsep yang amat besar tentang tujuan atau kegunaan penempatan hak-hak semacam itu. Daftar tersebut tidak terlepas dari pengaruh historis-fungsional. Upaya apapun untuk menyebutkan hak-hak manusia satu persatu memberikan referensi sejarah.2

C. Hak-Hak Asasi Dalam Pandangan Islam
Berbicara tentang hak-hak manusia dalam Islam secara langsung, kita lantas berpikir mengenai metodologi yang digunakan dalam menyingkapi persolaan yang terjadi. Masalah utama yang yang dihadapi berasal dari pendekatan orientalis, oleh para analis berpendapat bahwa jika Barat dan Islam dihadapkan dalam polemik hak manusia, maka mereka mengambil budaya dan norma-norma mereka sebagai rujukan dan menjadikannya sebagai modal dalam memperbandingkan peradaban dan tatanan lain. Parameter moral, hukum, politik yang dibentuk sebagai tujuan pemberian penghargaan kepada Islam disusun dengan bentuk-bentuk istemewa yang meragukan.

Sarjana Barat jarang mengunakan agama Kristen sebagai titik tolak untuk menjelaskan perkembangan-perkebangan yang berlaku di Eropa beberapa dekade yang lalu. Namun dalam menerangkan peristiwa-peristiwa di negara-negara Muslim, mereka cenderung dan hampir selalu menggunakan istilah-istilah keagamaan. Menjadikan Islam sebagai dalih atau penyebab tradisionalisme di satu sisi, atau revolusi di segi lain, merupakan kecenderungan yang sudah berlangsung dan telah mencapai puncaknya sejak jatuhnya rezim Syah di Iran. Kita cenderung berpendapat bahwa kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan, tradisi dan hal-hal lain dinilai tabu tidak dapatdianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia Islam sekarang. Sebenarnya daripada melihat Islam sebagai kesatuan yang independen dari satu hakikat mistik, lebih baik memandang kita memandang negara, pemerintahan atau masyarakat Islam sebagai satu komponen kekuasan yang solid mengenai soasial-politik dengan perubahan dengan berbagai rezim politik, gaya kognitif dan sistem ekonomi yang berlainan.

Masalah kedua berasal dari interpretasi yang berlawanan sebagaimana ditawarkan oleh para sarjana Islam sendiri. Bagi sementara sarjana Islam, yang keinginannya membantah pandangan orientalis telah bergeser menjadi penolakan, sikap mengagungkan Islam sudah menjadi semacam apologi hingga mencapai titik di mana mereka menghendaki bahwa apapun yang ditemukan diluat batas-batas orang-orang Islam pasti mempunyai batasan dalam diri mereka, seperti: gagasan intelektual, pengalaman-pengalaman politik, konsep-konsep dan penemuan ilmiah. Baik hak-hak manusia maupun kodifikasi kemanusian bukanlah merupakan pengecualian bagi para pemikir Muslim, yang dengan segara dapat menunjukkan bahwa, meskipun baru saja dilembagakan hak-hak manusia dan kodifikasi kemanusian tersebut, hal-hal semacam ini bahkan sudah dilaksanakan pada zaman permulaan Muhammad Saw.3

Menurut pandang sarjana Muslim ainnya, sejarah Islam bukan saja rangkaian peristiwa yang tak dapat dipisahkan (yakni terdapat suatu perkembangan historis tunggal yang memiliki kaitan dengan semua masyarakat yang memiliki agama sama).

Namun demikian negara-negara modern dewasa ini tidak mempunyai kesamaan dengan masyarakat kecil dalam melihat aspek yang diperlukan masyarakat dalam tatanan kebutuhan yang primer. Malah mereka menggunakan masyarakat kecil sebagai batu loncatan agar terkenal dan berkuasa. Islam sejak dini telah melihat aspek yang fundamental tersebut dalam kaitan hak-hak manusia.

Dari beberapa literatur, dapatlah disimpulkan bahwa hak-hak asasi manusia adalah suatu tanggung jawab yang telah ada semenjak manusia lahir atau dengan kata lain hak dasar yang dimiliki manusia. Hak tersebut termasuk dalam katagori kebebasan dan kemerdekaan. Yang meliputi hak hidup, hak mendapatkan sesuatu, kebebasan bersikap tanpa ada yang menghalangi. Dalam Islam hak asasi ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian yang selaran dan seimbang, tanpa melihat perbedaan di kalangan masyarakat sosial walaupun di sana-sini masih ada. Al-qur’an dan sunnah merupan cerminan hak asasi manusia yang up to date.

D. Deskripsi Hak Asasi Manusia Menurut Deklarasi Hak Universal PBB.
Pollis dan Schwab menyimpulkan dalam esai mereka, “Hak Azasi Manusia : Suatu konstruksi Barat dengan keberlakuan yang terbatas dengan penonjolan keberatan yang lazim terhadap etnosentrisme.4 Sayangnya tidak hanya hak-hak azasi manusia yang diajukan dalam Deklarasi Universal yang diprakarsai sebagai bias barat yang kaut, melainan ada kecenderungan untuk memandang hak tersebut secara ahistoris dan dipisahkan begitu saja dari konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.5

Kritik seperti itu sering ditujukan pada pernyataan-pernyataan tentang hak-hak pribadi, hiburan, status, perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk hukuman, dan beberapa jaminan politik dan perdata, seperti prosedur-prosedur pemilihan yang dimuat dalam beberapa dokumen hak-hak azasi manusia yang diakui secara internasional. Kecaman tersebut merupakan manifestasi dari budaya yang terlalu sempit dan pengalaman sejarah dalam hal-hal tertentu saja. Tudingan lain muncul karena adanya tuduhan serius dan menantang. Para pembela hak-hak asasi manusia perlu menghadapi secara jujur dan menanggapinya secara teliti dan seksama. Apakah semua hak yang dimuat dalam dokumen-dokumen itu sama-sama mengikat semua orang dimanapun, atau berapakah hak yang tunduk pada kebijaksaan kultural dan nasional, dan sejauhmana kebijaksaan tersebut diaplikasikan, mungkinkah masing-masing pemerintah dan budaya memilih dengan sederhana di antara daftar-daftar hak dalam hak-hak manusia, dan menentukan hak-hak mana yang mengikat dan tidak, singkatnya dari sejumlah kendala itu, apakah ukuran standar dari pemerintah dan budaya, atau pemerintahan dan budaya yang merupakan barometer hak azasi manusia?.

Fenomena demikian merupakan persoalan-persoalan besar yang mengejutkan. Persoalan itu juga mewarnai teori moral, hukum, politik dan ekonomi, termasuk studi etika perbandingan. Penulis tidak memulai dan memberikan jawaban yang komprehensif, dan bahkan tidak ragu terhadap argumentasi jawaban dari pakar-pakar hak azasi manusia selama rasional dengan tidak mengeyampingkan sikap hormat terhadap refleksi persoalan hak azasi manusia.

Sejumlah keberatan umat Islam untuk pertama kalinya tercatat pada tahun 1948, selama pembahasan sekitar Pasal 18 Deklarasi Universal yang dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, nurani, dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk merubah agama dan kenyakinan, dan kebebasan, baik sendiri atau dalam masyarakat yang lain, baik dalam urusan publik atau privaat dalam mengungkapkan ajaran, praktek, ibadah dan ketaatan agama atau keyakinannya dalam pengajaran”6 Dalam tanggapannya, sejumlah negara Islam (khususnya Arab Saudi) berusaha untuk menghapus pasal tersebut. Dan dari dalih pasal itu, mereka menunjukkan kambing hitam yang lain– Libanon, misalnya-untuk mendukung pernyataan Saudi tersebut, mereka beranggapan bahwa hak-hak kaum Muslim Libanon akan rusak oleh kata-kata dalam pasal itu.

Keberatan-keberatan yang sama diajukan oleh beberapa negara terhadap pasal itu yang lebih rinci dari versi kebebasan agama yang dimuat dalam naskah Konsep Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang belakangan disetujui dan dinyatakan bahwa: “Tak seorangpun boleh tunduk pada paksaan yang akan merusak kebebasan untuk menganut agama atau kenyakinan yang menjadi pilihannya” (Pasal 18 ayat 2). Dan pasal 26 Kovenan itu menambahkan ketentuan baru lain yang menjamin perlindungan hukum yang sama terhadap bentuk deskriminasi atas dasar apapun seperti ras, jenis kelamin, agama dan sebagainya.

Pembahasan sekitar Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan kebebasan agama. Hal ini bersifat diskusi Internasional, dan karena pasal-pasal tertentu dari Deklarasi itu mengarah pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebebasan agama secara langsung-khususnya pasal 18, yang memberikan hak tehadap kebebasan nurani dalan memilih dan mempraktekkan keyakinan agama, termasuk hak untuk pindah agama. Persoalan ini merupakan ketetapan yang paling menimbulkan perselisihan antara negara-negara Islam Saudi Arabia dan Pakistan.7

E. Fenomena Sosial Dalam Tatanan Hak Asasi Manusia Secara Global
Melindungi Hak Asasi Manusia mayoritas dan minoritas di atas permukaan bumi harus dipertahankan. Alasannya yang cukup kuat, struktur kekuasaan tata dunia baru sangat tidak seimbang. Kekuasaan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya berada di tangan elite. Tata dunia baru sesungguhnya hanyalah slogan, kata-kata jebakan yang diciptakan untuk melanggengkan pola dominasi dan kontrol Barat yang satu atau lain bentuk, dimana telah bercokol selama hampir sepanjang dua ratus tahun terakhir. Karena tujuan utamanya adalah untuk melayani kepentingan yang berkuasa, dunia akan terus menyangkal dan mencabut kemanusiaan dari hak-haknya. Ketika sebuah sistem diorientasikan kepada yang kuat atau yang memiliki hak istemewa, maka hak orang akan biasa berada dalam bahaya. Ini adalah fakta yang terjadi berulang kali pada tingkat negara-kebangsaan. Betapapun komprehensipnya hak yang dijanjikan kepada rakyat dalam konstitusi sebuah negara, realisasi aktualnya tergantung pada sejauhmana struktur kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut melaksanakannya. Apabila kekuasaan terdistribusi secara merata, amat boleh jadi warga negara akan menikmati hak-hak yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, jika kekuasaan terpusat pada level elite masyarakat, maka hak azasi manusia lebih memungkinkan untuk dilanggar ketimbang ditaati. Disamping itu, tidak seperti banyak negara sekarang ini yang mematuhi sejumlah kecil amanat akibat dari politik perwakilan, sistem global tidak memiliki tanggung jawab terhadap ras manusia. Lembaga-lembaga kekuasaan yang mendominasi sistem global tidak bertanggung jawab terhadap rakyat. Apartheid global bukan hanya menganugerahkan kekuasaan dan kekayaan kepada minoritas istemewa melainkan juga menjamin bahwa mereka yang memegang kendali (control) akan dapat mempertahankan dan melanggengkan posisi mereka melalui hukum, institusi, dan nilai yang sesuai dengan kepentingannya. Sebagian bahkan berpendapat bahwa seperti apartheid konvensional, terdapat pula unsur rasis yang lembut namun kuat dalam apartheid global.

Ketika kita melihat hak asasi manusia dipermainkan dengan hal-hal yang dianggap legal, kita tidak menyadari bahwa setelah kebijakan yang diterapkan berlainan dengan apa yang telah diformulasikan, kepentingan demi kepentingan merupan faktor yang sangan dominan terjadi dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dewasa ini. Era modern sebagai wadah yang cukup signifikan terjadi gejala sosial masyarakat baik itu dari individu sampai lembaga yang kompeten sekalipun. Indonesia sendiri yang 60 tahun merdeka, telah banyak meyepelekan hak yang ada pada manusia, baik secara halus maupun terang-terangan. Banyaknya korban HAM yang rela mengorbankan sesuatu untuk ibu pertiwi ini, tapi apa yang mereka dapatkan setelah darah, jiwa, air mata serta kepedihan dipertaruhkan. Kesengsaraan dan kegetiran hidup selalu menjadi fenomena sosial yang kerap kita lihat dimana-mana melalui media-media atau di lapangan. Masyarakat kita kurang tersentuh hatinya ketika melihat problem orang lain, akan tetapi jika masalah tersebut ada sangkut pautnya dengan keluarganya baik secara kekerabatan, maka ia akan berontak dan langsung sadar apa yang harus dilakukan, tanpa memekirkan akabat yang akan terjadi belakangan. Pelanggaran HAM di dunia Barat siapa yang dapat menghentikannya, pembantaian massal kaum Muslim Bosnia-Herzigovina siapa yang bertanggung jawab, pelanggaran HAM di Indonesia siapa yang harus dikambing hitamkan. Lembaga peradilan yang kompeten sekalipun tidak akan mampu secara jujur mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut. Dugaan tak bersalah merupakan senjata ampuh untuk mengelabui masyakat yang awam akan hakekat dimensi hukum dan keadilan yang terselubung itu. Menanti terus menanti merupakan suatu kemunafikan yang sama membuat persepsi kita berpaling untuk memdapatkan kebenaran dan keadilan. Stratifikasi sosial salah satu andil masyarakat kita melihat sesuatu persoalan, disinilah letak kebobrokan hukum negara kita.

Konflik yang terjadi dilingkungan kita disebabkan oleh berbagai ketidak puasaan yang dilakukan sekelompok orang yang iri terhadap kesenangan orang lain, pembunuhan, perkosaan, pencurian dan beberbagai penyelewengan bagaian kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Dengan demikian konflik itu sangat jelas. Pasal-pasal tentang kebebasan agama dan nurani dalam berbagai dokumen hak asasi manusia nampak berbenturan, hal-hal yang penting dari banyak persoalan yang sudah ditetapkan dan ajaran Islam yang resmi tentang pemberlakuan terhadap orang-orang murtad dan orang-orang non Islam yang dilindungi. Ada sekurang-kurangnya empat strategi yang mungkin bisa kita gunakan dalam menghadapi konflik tersebut :
  1. Kita dapat saja mendukung ditariknya kembali semua pernyataan yang mendukung kebebasan beragama dan nurani (atau barangkali kita dapat menyempurnakannya dengan tujuan yang sama, dengan cara menulis kembali pernyataan-pernyataan itu dengan maksud supaya tidak berbahaya). Banyak problem dengan tanggapan seperti ini. Apakah semua pernyataan hak azasi manusia harus ditarik kembali atau dikebiri kapan saja ketika berhadapan dengan oposisi. Akan tetapi lebih tepat lagi, sebenarnya ada sedikit dalam masyarakat internasional, bahkan di kalangan orang-orang Islam, dalam mengambilangkah-langkah radikalsemacam itu. Orang-orang Islam, seperti halnya yang lain, nampaknya bisa saja menerima status hak azasi manusia tentang kebebasan dan nurani, sepanjang hak-hak itu dibatasi sebagaimana mestinya sesuai dengan ajaran tradisional.
  2. Kita dapat mencoba untuk membantah bahwa ketaatan terhadap pernyataan-pernyataan kebebasan agama yang ada memerlukan perizinan negara-negara Muslim, bersama-sama dengan setiap orang yang selain Muslim, kebijaksanaa untuk membatasi toleransi agama dan batas-batasnya dengan cara apa saja yang mereka tentukan. Maka kita akan membolehkan hak-hak orang Islam mengikutu hati nurani mereka sendiri, dan oleh karena itu, tindakan terhadap hak kebebasan agama mereka dijamin secara internasional. Ada dua problem di sini. Pertama adalah dengan membiarkan semua pandangan yang sangat tidak toleran, akan menghasilkan kebijaksanaan yang sebaliknya, khususnya ketika sikap tidak toleran mengarah pada keyakinan keyakinan tertentu yang dapat dilaksanakan. Kedua adalah adanya fakta bahwa pernyataan-pernyataan tentang hak kebebasan agama yang ada secara eksplisit mencakup larangan-larangan yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan Islam tertentu.
  3. Kita dapat berpegang teguh pada pernyataan tentang hak kebebasan agama yang ada dan mencoba untuk menetapkannya secara internasional dengan memakai perangkat-perangkat yang sama seperti dilakukan PBB umpamanya, dari waktu ke waktu telah melakukan upaya memperkuat hak-hak politik, ekonomi, sosial dan hak-hak penduduk lainnya. Di samping itu, tanpa ada persetujuan bahwa suatu keyakinan dengan kebebasan agama memerlukan toleransi keyakinan apapun, bahkan keyakinan-keyakinan yang memaksa sikap intoleran, betul-betul menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan kultural mengenai masalah ini menciptakan kerumitan-kerumitan dan kebingungan bagi para pendukung HAM yang tidak tercantum berkenaan dengan pelangaran-pelangaran yang lebih terkenal, seperti penganiyaan yang kasar terhadap para tahanan, lawan politik dan lain sebagainya.
  4. Kita dapat mengatakan perdebatan kontemporer antara orang-orang Barat dan orang-orang Islam tentang kebebasan agama dan nurani sebagai kesempatan untuk mempertimbangkan dasar-dasar dan sifat dari suatu keyakinan tentang kebebasan tersebut baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Jika dengan teliti, dievalusi secara kritis, konflik antara pandangan Barat dan Islam mengenai sesuatu yang sedemikian penting dan mendasar, seperti hak kebebasab dalam beragama dan nurani menjadi lebih konsisten dari yang diduga, memiliki banyak alasan untuk mulai menyerukan “penerapan yang tanpa batas”8 dari Deklarasi Hak Munusia, sebagaimana diduga banyak orang.

F. Persoalan Rakyat : Status dan Hak-Haknya
Menurut al- Maududi,9 ajaran Islam mencakup sistem pemikiran dan pedoman tingkah laku manusia dan bertujuan untuk mendirikan negara berlandaskan Ideologi Islam sendiri. Untuk itu Islam membagi dua tipe kewarganegaraan : Muslim dan Dzimmi.

Dalam hal ini, kata al- Maududi, secara terus terang dan jujur membedakan warganya secara jelas dalam struktur politiknya, tanpa bersembunyi dibalik hiasan kata-kata belaka. Misalnya sebagaimana yang banyak dilakukan oleh negara-negara yang di atas kertas menjamin persamaan hak antara warga negaranya, namun dalam kenyataannya, sepanjang masa mempraktekkan diskriminasi terhadap sejumlah penting warga negaranya. Ini dapat disaksikan misalnya dalam perlakuan tehadap kaum Negro (penduduk kulit hitam) di Amerika Serikat atau perlakuan terhadap orang-orang non komunis di Rusia.

Dalam kenyataannya, kata al- Maududi10, semua negara modern sekarang terdapat perlakuan yang semacam itu dalam berbagai tingkatannya. Dalam hal ini ajaran Islam menempuh jalan paling rasional, adil dan terhormat. Jalan tersebut bagi al- Maududi bahwa sejak awal dan terang-terangan ajaran Islam mengklasifikasikan dua lapisan warga negara berdasarkan ukuran agama : Islam dan non-Islam.

Di atas setiap pundak warga negara Muslim terletak kewajiban untuk menyelenggarakan seluruh ajaran Islam. Merekalah yang memikul kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukumnya dan secara bersama-sama untuk merealisasikan ajaran Islam dalam bidang keagamaan, moral, kebudayaan dan politik. Islam meletakkan itu semua pada mereka dan meminta pengorbanan mereka dalam segala bentuknya agar dapat mempertahankan ajaran tersebut.

Di segi lain, praktek perkawinan terhadap sesama TKI di luar negari menjadi suatu kajian hukum mengenai status anak yang dlahirkan tersebut baik itu tentang status kewarganegaraan maupun aspek-aspek yang timbul di kemudian hari.11 Status buruh yang bekerja diluar negeripun semakin gencar-gencarnya diperjuangkan agar kepastian hukum kita sebanding dengan hukum negara lain.

G. Penutup
Akhir akhir ini persoalan Hak Manusia kembali mencuat ke permukaan dan banyak dibicarakan di mana-mana. Ini menandakan bahwa manusia sedang menuju kepada pemahaman jati dirinya sendiri, Hak-hak asasi manusia menghendaki adanya kebebasan atau kemerdekan. Di saat masyarakat dunia sedang galau menghadapi terpaan arus globalisasi dan modernisasi, penegakan HAM itu sendiri ditenggarai sebagai bagian dari proses demokratisasi, terutama di negara-negara sedang berkembang.

Islam jauh hari telah membuat suatu legitimasi hukum yang kuat tentang hak-hak individu manusia, sejak dari alam rahim hingga dapat berinteraksi sesamanya. Hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan hak mutlak setiap insan dalam memahami dan menjalankan ajarannya.

Pelanggaran HAM dewasa ini kerena ada berbagai kepentingan dari kebijakan penguasa yang kurang meperhatikan aspek-aspek nilai yang berkembang dalam masyarakat, banyak kasus-kasus pencemaran nama baik, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan kreativitas dalam berkreasi menjadi persoalan HAM semakin kompleks. Ajaran Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi solusi alternatif. Amin.


Note:
1. Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Azasi Manusia Dalam Islam, Cet. I (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pustaka Firdaus, 1987), h. 7- 8.
2. Ibid, h. 10.
3. Jean Claude Vatin, Human Rights in Islam, dalam Philosophy and Public Policy (Southen Illinois: University Press, 1980), h. 359.
4. Adamantia Pollis dan Peter Schwab, Human Rights: Cultural and Ideological Perspectives (New York: Praeger, 1979), h. 17.
5. David Little, John Kelsey dan Abdul al-Azis A. Sachedina, Human Rights and the Complict of Cultures: Western and Islamic Perspectives on Religious Liberty, Terj. Riyanto, Cet. I (Yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1997), h. xi.
6. Ibid, h. xiii.
7. James P. Piscatory, Human Rights and Islamic Political Culture, Moral Imperative of Human Rights, (ed) Kenneth W. Thompson (Washington: University Press of America, 1980), h. 144.
8. David Litle, John Kelsay dan Abdu Azis A. Sachedina, Human Rights and the Conflict of Cultures: Westren and Islamic Perspectives on Religious Liberty, h. xx.
9. Abu al-A’la al- Maududi, Islamic Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication LTD, 1967), h. 263-270.
10. Ibid, hal. 265, Lihat juga, Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syari’at Islam, (Ed). Hasan Basri, Cet. I (Banda Acah: Ar-raniry Press, 2004), h. 60.
11. Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cet. II (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 98.


DAFTAR PUSTAKA
Little, David, John Kelsey dan Abdul al-Azis A. Sachedina. Human Rights and the Complict of Cultures: Western and Islamic Perspectives on Religious Liberty, Terj. Riyanto, Cet. I. yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1997.
al- Maududi, Abu al-A’la. Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication LTD, 1967.
Muhammad, Rusjdi Ali. Hak Manusia, Dalam Perspektif Syari’at Islam. Cet. I. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
Nasution, Harun dan Bahtiar Effendy. Hak Azasi Manusia Dalam Islam, Cet. I Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pustaka Firdaus, 1987.
Piscatory, James P. Human Rights and Islamic Political Culture, Moral Imperative of Human Rights, (ed) Kenneth W. Thompson. Washington: University Press of America, 1980.
Pollis, Adamantia dan Peter Schwab. Human Rights: Cultural and Ideological Perspectives. New York: Praeger, 1979.
Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia, Cet. II. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Vatin, Jean Claude. Human Rights in Islam, dalam Philosophy and Public Policy. Southen Illinois: University Press, 1980.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger