(Analisa Terhadap Pemikiran dan Usaha Pembaharuan Muhammad Abduh Amir Ali dan Harun Nasution)
A. Pendahuluan.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat suatu masa di mana pemikiran Islam mengalami kemandegan dan kejumudan. Ada beberapa faktor yang melatari kejumudan atau kestatisan berpikir tersebut. Salah satu faktornya adalah tercapainya titik jemu terhadap filsafat yang dianggap membawa pemikiran kepada sekular. Kritik terhadap filsafat yang dilontarkan oleh al-Ghazali terhadap tiga masalah metafisika filsafat[1] , nantinya membawa dampak yang signifikan terhadap kestatisan tersebut.[2]
Sedangkan dampak dari kejumudan berfikir tersebut adalah mundurnya Islam, terjadinya penjajahan atas negara-negara muslim, terperangkapnya muslim dalam doktrin ukhrawi dan sebagainya.
Dari kenyataan di atas, timbullah usaha-usaha untuk kembali membangkitkan Islam, menyadarkan muslim dari doktrin yang membutakan mereka dari urusan duniawi. Usaha kebangkitan tersebut bermuara pada rasionalitas pemikiran dan ajaran Islam, hingga disebut Islam Rasional.[3] Pemikiran pembaharuan ini muncul dari berbagai belahan dunia, Mesir, India, Pakista, Turki, Iran, Indonesia dan sebagainya.
Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang pemikiran pembaharuan tersebut dikhususkan kepada pemikiran Abduh, Harun dan Ami Ali.
B. Ide Pembaharuan Harun Nasution: Makna Pembangunan Islam
Islam sebagai agama Allah yang mutlak benar dengan mudah sepakat orang menyetujuinya. Tetapi setelah Islam menjadi agama yang dianut masyarakat Islam sepanjang sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan tentang apa saja ajaran Islam tersebut. Ada yang berpendapat ajaran Islam itu hanya yang tertera dalam kitab suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat normatif. Ada pula yang berpendapat selain Islam yang bersifat normatif itu, Islam juga bersipat historis, atau menurut Harun Nasution, Islam yang dilaksanakan oleh umatnya sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka.
Menurut Harun Nasution, dalam Alquran hanya ada sedikit ayat yang pengertiannya bersifat qath'i (pasti), dan banyak sekali yang bersipat dzanni (dugaan). Pengertian qath'i dan dzanni yang berasal dari kalangan ulama fikih ini digunakan Harun Nasution untuk semua masalah agama dalam Islam. Sehingga dia beranggapan bahwa lapangan ajaran Islam yang berasal dari dzanni al-dilalah, sangat banyak. Pengertian dzanni (dugaan atau tidak pasti) jelas bisa berubah sesuai kemampuan orang dalam memformulasikannya, dan tetap dianggap benar selama tidak bertentangan dengan bagian yang bersifat qath'i (pasti).[4]
Karena itu, Islam bisa diperbaharui, yaitu bagian yang bersifat dzanni (tidak pasti). Karena ini banyak, maka lapangan pembaharuan Islam jadi luas sekali. Memang tidak ada pembaharuan dalam soal kewajiban salat dan ibadah haji, karena itu sudah jelas ada ayat yang bersifat qath'i yang mengaturnya. Tetapi mengerjakan salat dengan mikropon atau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan pesawat terbang, merupakan bagian ajaran Islam yang bisa diperbaharui setiap saat sesuai dengan teknologi yang lebih memungkinkan.
Pemicu pembaharuan
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, pernah Rasulullah bersabda bahwa Allah akan membangkitkan seorang pembaharu kepada umat Islam, pada setiap puncak seratus tahun, yang memperbaharui ajaran agama mereka. Hadis ini cukup populer di kalangan kaum modernis sepanjang masa. Dia banyak dianggap sebagai pemicu orang-orang tertentu untuk bangkit jadi pembaharu agama bagi umatnya dalam sejarah.
Berbeda dengan hal itu, Harun Nasution lebih menitikberatkan pada realita yang terjadi. Dia beranggapan bahwa pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada abad modern, yaitu dimulai pada abad ke-18 M. Dan pada masa itu, dunia Timur, yang banyak Islam, didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, umat Islam juga harus menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disuguhkan kepada mereka. Karena kebudayaan umat Islam pada umumnya masih mengalami degradasi, wajar saja jika kebudayaan Barat lebih dominan dan banyak menguasai mereka di segala kehidupan.
Dengan adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam tergerak melakukan reformasi terhadap ajaran agama mereka. Mulanya dalam soal sosial, ekonomi, politik dan pertahanan, tetapi kemudian merebak juga ke bidang agama. Begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di Indonesia, pembaharuan terjadi setelah pengaruh dari negeri-negeri tersebut menjamah Nusantara di abad modern.
Dengan pandangan itulah, Harun Nasution menganggap adanya pembaharuan dalam Islam, dipicu adanya persinggungan kehidupan umat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang ke daerah-daerah koloni mereka di Timur. Sehingga dia mengartikan pembaharuan dalam Islam dengan pemikiran atau gerakan sementara umat Islam untuk mengubah adat, pikiran, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang baru sebagaimana terdapat di dunia Barat abad modern.
Sebagai contoh, jika sementara kaum modernis sangat menganjurkan umat Islam agar percaya diri menghadapi suatu persoalan hidup, karena demikianlah dianjurkan ajaran agama, maka dengan pengertian tersebut, anjuran kaum modernis tersebut adalah karena kemauan mereka mau mengubah sikap umat yang fatal selama ini menjadi dinamis, karena anggapan seperti itu ada di Barat. Memang sikap seperti itu ada di antara pendapat para teolog klasik, tetapi hal itu baru dicari sebagai justifikasi terhadap pendapat yang sudah terpikirkan sebelumnya.
Agama rasional
Dalam sejarah filsafat, rasionalisme pernah jaya. Aliran filsafat yang mengagungkan kebenaran hasil pemikiran manusia sebagai kebenaran ilmiah pernah ada dalam sejarah. Kebenaran ilmiah waktu itu, memang belum ditentukan oleh kebenaran rasional plus kebenaran empiris seperti sekarang. Pada masa itulah Islam lahir dan berkembang. Karena itu ada sementara tokoh Islam yang berusaha merasionalkan ajaran Islam yang ditekuni mereka, agar Islam juga dianggap mempunyai kebenaran ilmiah. Mereka mengambil unsur-unsur rasional filsafat Yunani yang sudah mereka ketahui untuk memformulasikan ajaran agama. Hal ini terjadi, karena adanya stimulan, baik internal maupun eksternal.
Menghargai akal
Manusia dalam menghadapi masalah kehidupannya di muka bumi sudah dibekali Tuhan dengan akal, suatu yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain. Dia tidak hanya seperti seulas sabut yang hanyut kemana gelombang samudera menghempaskannya. Karena itu Islam sebagai agama fitrah pasti akan menghargai akal dalam ajarannya.
Menurut Harun Nasution Alquran dan hadis Nabi juga menghargai akal. Dia dalam pelbagai tulisannya mengutip beberapa ayat Alquran yang mengharuskan umat Islam menggunakan akal. Begitu pula dengan hadis Nabi. Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, dia menemukan suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal dalam segala pendapatnya, yaitu Muktazilah.
Pada waktu wahyu belum diturunkan Tuhan, Muktazilah beranggapan bahwa akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan dan akal dapat mewajibkan manusia mengikuti perbuatan baik dan menjauhkan dirinya dari perbuatan buruk, yang dianggap sebagai syariat waktu itu. Hal ini --menurut Harun Nasution sering membandingkannya-- tidak ditemukan pada Asy'ariyah, yang hanya mengakui akal dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tak bisa mewajibkan atau melarang manusia tentang hal itu. Karena itu Harun Nasution menegaskan bahwa Muktazilah lebih menghargai kemampuan akal ketimbang Asy'ariyah. Sehingga pendapat-pendapat Muktazilah bersifat lebih rasional ketimbang pendapat-pendapat lainnya dalam menanggapi masalah-masalah teologi Islam.
Dengan penemuannya ini, Harun Nasution sering mengungkapkan, Islam sebagai agama yang sangat menghargai akal, dengan menjadikan Muktazilah sebagai prototypenya. Dia memang menginginkan umat Islam bisa maju karena menggunakan rasionalnya dalam segala bidang, karena pada masa berkembangnya Muktazilah itu umat Islam sedang mengalami masa keemasan dalam sejarah. Begitu pula di Barat orang pada maju, karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.
Sikap Muktazilah yang juga sangat dihargai Harun Nasution adalah sikapnya yang terbuka. Aliran yang dianggap sebagai pendiri hakiki ilmu Kalam ini memang selalu mengadopsi pelbagai hasil pemikiran asing, seperti filsafat Yunani, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan umum bagi umat Islam. Mereka gunakan unsur-unsur pengetahuan itu dalam memformulasikan ajaran Islam, terutama di bidang teeologi. Hampir semua tema-tema yang digunakan dalam teologi Islam sampai sekarang ini, berasal dari Muktazilah yang telah menjadikan filsafat Yunani itu sebagai salah satu refrensi mereka.
Selain itu Harun Nasution juga pernah mengritik Muktazilah yang tidak toleran dalam berpendapat. Meskipun mereka menghargai rasio, tetapi tidak bisa mentolerir perbedaan pendapat. Banyak di antara tokohnya yang saling mengkafirkan karena perbedaan pendapat, padahal mereka diikat oleh hubungan murid dengan guru bahkan anak dengan orangtuanya. Peristiwa mihnah yang banyak menyengsarakan tokoh-tokoh ulama yang berbeda pendapat dengan Muktazilah, yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah al Mu'tashim, sering mendapat kritik tajam dari Harun Nasution. Tindakan tersebut dianggapnya tidak Islami, karena Islam sangat menghargai rasio yang digunakan dalam berpendapat.
Ijtihad
Dalam rangka menghormati penggunaan rasio itulah, Harun Nasution juga menginginkan agar umat Islam melakukan ijtihad dan menjauhi taklid, suatu ide yang sudah sering dikumandangkan kaum modernis sebelumnya. Tetapi menurut Harun Nasution, pada masa ide pembaharuan beliau tersebut dilontarkan (th 1970-an), umat Islam dalam persepsinya masih belum berani berijtihad dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi mereka, karena terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan organisasi yang sangat mengikat.
Menurut pandangannya, kini batas antara kaum modernis dan tradisionalis jadi kabur, sehingga bisa terjadi tokoh yang dianggap tradisionalis lebih berani berijtihad ketimbang tokoh modenis, suatu kenyataan yang tak perlu terjadi. Hal ini menurutnya karena makin langkanya para mujtahid yang berwenang. Mungkin karena ide inilah dia pernah menegaskan bahwa sarjana S1 bisa dianggap tukang yang bisa mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya, sarjana S2 dianggap seorang yang ahli dan mampu secara ilmiah di bidang yang ditekuninya, sedangkan sarjana S3 diharapkan menjadi pencetus ide baru yang bisa dianggap sebagai mujtahid di bidangnya.
Barangkali dengan banyaknya progam pasca-sarjana yang disponsorinya membuka bagi IAIN seluruh Indonesia, kelangkaan tenaga tersebut bisa teratasi.
Konsep ijtihad yang berasal dari ulama fikih ini diintrodusir Harun Nasution untuk semua masalah agama. Kalau dalam fikih, karena ijtihad terhadap masalah-masalah fiqhiyyah, telah menimbulkan pelbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali maka ijtihad terhadap masalah-masalah akidah juga telah menimbulkan pelbagai aliran, seperti Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya.[5] Semua mazhab dan alian tersebut, menurut beliau, sah-sah saja diikuti oleh umat Islam, selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat alqurran dan hadis Nabi yang bersipat qath'i (pasti).
Analisa
Sukar untuk menolak anggapan bahwa figur Harun Nasution dianggap sebagai seorang modernis, tokoh pembaharu Islam. Dia memang dalam melaksanakan pembaharuan tidak seperti yang pada umumnya dikerjakan tokoh modernis lain, lewat organisasi, sosial maupun politik. Dia melontarkan ide-ide pembaharuannya lewat IAIN Jakarta dengan pasca-sarjananya, yang pada umumnya menjadi 'kiblat' semua IAIN di Indonesia. Tetapi untuk mengatakan semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia bercorak Harunistik, juga tidak benar. Memang sudah risiko setiap modernis, ada yang pro dan kontra terhadap ide pembaharuannya. Namun 'rasa garam' ide Harun Nasution terasa ada pada setiap IAIN, meskipun dengan nuansa berbeda.
Membaca ide pembaharuan Harun Nasution harus diletakkan secara proporsional. Mungkin saja suatu ide pembaharuan beberapa dekade lalu, sudah dianggap biasa sekarang, karena perkembangan dunia makin cepat. Pendapat Harun Nasution bahwa terjadinya pembaharuan dalam Islam karena dipicu persinggungan dengan Barat, memang suatu kenyataan sejarah. Tetapi karena itulah ada orang yang menganggap Harun Nasution seorang westernis yang pro Barat, sehingga sering dianggap sebagai agen orientalis. Sebenarnya Harun Nasution adalah seorang muslim yang menginginkan kemajuan bagi Islam dan kaum muslimin. Untuk itu dari mana saja umat Islam bisa mengambil pendapat, sebagaimana umat Islam dahulu juga melakukannya.
Kegandrungan Harun Nasution terhadap Muktazilah yang dianggapnya sebagai suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal (rasio) mengakibatkan dia mendapat pelbagai predikat yang tidak diinginkan, seperti pengikut Muktazilah atau Neo-Muktazilah. Sebenarnya keganderungan ini, didasari oleh penelitian yang dia melakukan terhadap ajaran Syekh Muhammad Abduh, seorang modernis Mesir, yang sangat rasional dalam berbagai naskahnya, sehingga dunia menganggapnya seorang yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar ide-ide tersebut, Harun Nasution mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India abad ke-19, yang digelari orang Neo-Muktazilah. Tapi Harun sendiri pernah mengakui bahwa dia seorang Ahlissunnah yang rasional.
Jadi ide pembaharuan yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam supaya menjadi pengikut Muktazilah, tetapi beliau mengharapkan agar umat Islam bersikap rasional dalam kehidupannya, karena agama Islam sangat menghargai akal (rasio), sebagaimana pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.
C. Abduh dan Kebangkitan Islam
Dunia pengabdiannya sebagai seorang pendidik ia rintis di Al-Azhar. Gebrakan pembaruan pertamanya mengusulkan perubahan terhadap Al-Azhar. Ia yakin, apabila Al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum muslimin akan membaik. Al-Azhar, dalam pandangan Abduh, sudah saatnya untuk berbenah. Dan karena itu perlu perlu diperbaiki, terutama dalam masalah administrasi dan pendidikan di dalamnya, termasuk perluasan kurikulum, mencakup ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.
Muhammad Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, gurunya. Bagi Abduh, Jamaluddin Al-Afghani adalah orang yang telah membukakan dunia Islam di hadapannya, beserta problema yang dihadapinya di zaman modern. Jamaluddin Al-Afghani bahkan telah mendorong dan mengarahkan Abduh untuk membuat sebuah penerbitan yang menjadi media dakwah bagi kedua orang tersebut.
Dari sini lahirlah majalah Al-Urwah at-Wutsqa. Bekerjasama dengan gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh mengelola majalah Al-Urwah at-Wutsqa yang terbit dari Paris. Syekh Muhammad Abduh termasuk tokoh pembaru Islam yang banyak dibicarakan dan meninggalkan pengaruh yang kuat pada kaum muslimin. Abduh adalah ulama yang menganjurkan dan membuka pintu ijtihad yang telah lama dikunci. Walaupun ide-ide pembaruan Abduh banyak menuai kritik, ulama ini tetap konsisten menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan Islam. Abduh sangat tidak menyukai adanya ahli fikih dan ulama yang hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah furu’iyah dan meninggalkan masalah utama umat. Abduh juga dikenal sebagai tokoh yang gigih memerangi segala bentuk khurafat, ia mengajak umat agar memurnikan akidah mereka.
Di masa Abduh dan gurunya, Al-Afghani hidup, dunia Islam mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Wilayah Islam yang sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah dikapling-kapling oleh bangsa-bangsa Eropa. Di samping kekalahan politik dan militer, pemikiran Islam juga mengalami kemandegan. Di saat itulah muncul para pemikir dan tokoh Islam yang mencoba membangkitkan kembali umat Islam dalam berbagai sisi.
Ide Pembaruan
Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya Al-A’mal Al-Kamilah li Al-Imam, ide-ide pembaruan teologis yang disebarkan oleh Syekh Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, yaitu:[6] [kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni : (1) manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya; (2) kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Namun demikian, menurutnya, akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.
Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu : Al-Quran sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya, syariat itu ada dua macam, yaitu; qath’i (pasti) dan zhanni (tidak pasti). Hukum syariat jenis pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits. Sedangkan hokum syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti.
Jenis hukum yang tidak pasti inilah (zhanni) yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dijadikan tempat berhukum dengan ‘taklid buta’ tanpa berani mengkritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap terbaik yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah dengan kembali kepada sumber aslinya, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah. Setiap orang yang memiliki ilmu yang mumpuni maka dia wajib berijtihad, sedang bagi orang awam, bertanya kepada orang yang ahli dalam agama adalah sebuah kewajiban.
Abduh pernah menyarankan agar para ahli fiqih membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Keputusan tim inilah yang kemudian dijadikan pegangan umat Islam. Tim ahli fiqih tersebut, selain bertugas memfilter hasil ijtihad ulama maupun madzhab masa lalu juga mengadakan reinterpretasi terhadapnya. Jadi menurut Abduh, bermazhab berarti mencontoh metode ber-istinbath hukum.
Dengan seluruh aktivitasnya ini, Muhammad Abduh bisa dikatakan telah mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan keterbelakangan. Ia adalah seorang mujtahid sekaligus mujaddid, pada masanya.
Diantara wawasan intelektualnya yang sampai saat ini masih dirasakan dan dikaji oleh umat adalah Risalah Al-Tauhid. Sementara itu, kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya telah ditulis oleh seorang muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, bertajuk Tafsir Al-Manar. Pemikiran-pemikiran Abduh tersebar ke seluruh pelosok negeri. Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi pola ormas Islam, seperti Muhammadiyah. Dengan demikian, tidak berlebihan kalau kemudian Abduh dikatakan sebagai figur seorang pembaru Islam yang menggerakkan kebangkitan umat. Kiprah panjang karirnya berakhir ketika Sang Khalik memanggilnya untuk selamanya pada tahun 1905. Pemikirannya tentang pembaruan pendidikan Islam terus berlanjut sampai kini, menembus batas-batas negeri.
D. “Ketuhanan Liberal” Rasionalisme Amir Ali.
Ilmu ketuhanan liberal yang menyusul usaha Sir Sayid Ahmad Chan mendekati Islam dengan jalan rasionalisme, mendatangkan penilaian baru tentang kesusilaan sosial yang telah menjadi adat umat Islam. Kemungkinan yang akhir ini merupakan salah satu daya tarik terbesar bagi golongan cendekiawan yang bertambah besar dengan tegas melihat keburukan sosial, yang terikat dengan keadaan sebagai perhambaan, poligami, dan perceraian yang tidak teratur. Dalam hal itu, pengaruh perguruan tinggi jauh melintasi perbatasan Islam India dengan pernyataannya yang baru tentang amal Islam dan doktrin sosial, sebagian dalam bentuk pembelaan dan sebagian reformis.[7]
Diantara pelbagai penulis India yang mempopulerkan ilmu ketuhanan liberal dan peradaban baru tokoh yang terkemuka adalah Sayid Amir Ali, seorang Syi'ah dan seorang ahli hukum ternama, Bukunya The Spirit of Islam (Roh Islam) untuk pertama kali diterbitkan dalam tahun 1841 telah menyumbangkan kepada kesadaran politik --yang bangkit diantara kaum muslimin -- dasar penghargaan diri yang masuk akal dalam menghadapi dunia Barat. Demikian cepat gagasannya cocok dengan keadaan hati kawan seangkatannya hingga hanya sedikit saja diantara para terpelajar muslimin memperhatikan bahwa Amir Ali telah merumuskan doktrin Islam dalam istilah pikiran Barat, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya oleh kaum nechari. Bukanlah tempatnya di sini untuk menyelidiki kedudukan-kedudukannya secara terperinci, tetapi tiga diantaranya harus dibentangkan karena telah menjadi unsur pokok pikiran Islam yang modern.[8]
Pertama, pemusatan yang telah kita lihat dalam pergerakan-pergerakan modern yang lain atas diri Muhammad saw. judul asli Roh Islam (The Spirit of Islam) adalah "Riwayat hidup dan ajaran Muhammad saw." (The Life and Teachings of Muhammad) cukup untuk menunjukkan tempat pusat gagasan tersebut dalam penjelasannya. Berlawanan dengan doktrin Sufi tentang Muhammad saw. penjelasannya tidak memuat sindiran sedikit pun tentang kekeramatan; Muhammad saw. digambarkan sebagai penjelmaan dan contoh kebajikan manusia dalam penjelmaannya yang paling agung. Amir Ali sendiri membawa liberalismenya hingga titik pandang Quran sebagai karya Muhammad saw. Dalam hal itu, ia tidak diikuti oleh kaum modernis umumnya yang tetap mempertahankan doktrin ortodoks bahwa Quran sekata demi sekata adalah kalam Allah asli.
Kedua, ajaran Muhammad saw. dihidangkan dalam istilah cita-cita sosial zaman sekarang. Empat kewajiban (salat, puasa, zakat, haji) dianjurkan --tidak seakan-akan dibela-- atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan faedah sosial dan badaniah. Adanya perhambaan, poligami, talak, dan lain-lain kelemahan moral dan sosial dalam masyarakat Islam diakui, akan tetapi diterangkan sebagai berlawanan dengan ajaran Quran yang benar dan tanggung jawab bagi aturan-aturan tadi diletakkan di pundak ulama-ulama dan ahli fiqih yang kemudian. Perhambaan adalah bertentangan dengan ajaran Quran tentang persamaan segala Bani Adam; poligami terlarang dengan syarat-syaratnya dalam Quran; perceraian harus seluruhnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh Muhammad saw. Dalam tahun-tahun belakangan ini, banyak negara-negara Islam telah mengadakan perundang-undangan sipil untuk menyempitkan hukum perkawinan dan perceraian, sebagaimana juga dalam bidang lain dari syariat yang dijalankan dalam mahkamah Islam, walaupun hanya negara Turki yang menggantikan hukum agama ini dengan perundang-undangan Barat murni. Perhambaan telah dibatalkan dengan undang-undang di seluruh negara Islam kecuali Arabia, dalam pertengahan kedua abad kesembilan belas.
Ketiga, tekanan yang jatuh atas Islam, sebagai kekuatan peradaban yang progressif, kejayaan Baghdad dan Kordoba, keuntungan pelajaran dan ilmu pengetahuan, kelelaan keagamaan dan penerimaan filsafat Yunani, pembinaan rumah sakit-rumah sakit, dan wakaf-wakaf perguruan, semua itu dibandingkan dengan keadaan di Eropa waktu abad pertengahan. Bahkan muslimin terpelajar yakin bahwa kebangkitan baru dalam ilmu pengetahuan dan Renaissance di Eropa telah terjadi berkat dorongan dari kebudayaan Islam, dan karena penggunaan kepandaian kecerdasan dan teknik Islam oleh sarjana dan para tukang Eropa.
E. Penutup.
Gerakan pembaharuan Islam rasional muncul diberbagai negara muslim dengan tokoh-tokoh pembaharunya. Di Mesir tersebut Muhammad Abduh, di India Sayyid Amir Ali dan Harun Nasution di Indonesia.
Inti dari ide-ide pemikiran ketiga tokoh tersebut di atas adalah:
==============
Ct:
[1]Kritik ini dapat dilihat dalam karya Al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah, ditahkik Sulailam Dunya Mesir: D±l el-Ma’±r³f, 1966.
[2]Hal ini dikarenakan bahwa beliau memang merupakan tokoh yang berpengaruh pada masanya. Nucholish Madjid (ed).Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),hal. 33
[3]Rusydi al-Ghanusi, Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 25.
[4]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994), h. 31
[5]Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution (Bandung: Syaamil, 2006), h. 17-48.
[6]Muhammad Imarah, al-A’mal al-Kamilah lil Imam (Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1986), h. 165.
[7]Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Bhratara Karya Aksara,1983), h. 76.
[8]Ibid.
==============
Daftar Pustaka
Ghanusi, Rusydi. Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Ghazali. Tahafut al-Falasifah, ditahkik Sulailam Dunya (Mesir: D±l el-Ma’±r³f, 1966.
Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen. Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
Imarah, Muhammad. al-A’mal al-Kamilah lil Imam. Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1986.
Madjid, Nucholish (ed). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994.
Rasyid, Daud. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution. Bandung: Syaamil, 2006.
A. Pendahuluan.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat suatu masa di mana pemikiran Islam mengalami kemandegan dan kejumudan. Ada beberapa faktor yang melatari kejumudan atau kestatisan berpikir tersebut. Salah satu faktornya adalah tercapainya titik jemu terhadap filsafat yang dianggap membawa pemikiran kepada sekular. Kritik terhadap filsafat yang dilontarkan oleh al-Ghazali terhadap tiga masalah metafisika filsafat[1] , nantinya membawa dampak yang signifikan terhadap kestatisan tersebut.[2]
Sedangkan dampak dari kejumudan berfikir tersebut adalah mundurnya Islam, terjadinya penjajahan atas negara-negara muslim, terperangkapnya muslim dalam doktrin ukhrawi dan sebagainya.
Dari kenyataan di atas, timbullah usaha-usaha untuk kembali membangkitkan Islam, menyadarkan muslim dari doktrin yang membutakan mereka dari urusan duniawi. Usaha kebangkitan tersebut bermuara pada rasionalitas pemikiran dan ajaran Islam, hingga disebut Islam Rasional.[3] Pemikiran pembaharuan ini muncul dari berbagai belahan dunia, Mesir, India, Pakista, Turki, Iran, Indonesia dan sebagainya.
Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang pemikiran pembaharuan tersebut dikhususkan kepada pemikiran Abduh, Harun dan Ami Ali.
B. Ide Pembaharuan Harun Nasution: Makna Pembangunan Islam
Islam sebagai agama Allah yang mutlak benar dengan mudah sepakat orang menyetujuinya. Tetapi setelah Islam menjadi agama yang dianut masyarakat Islam sepanjang sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan tentang apa saja ajaran Islam tersebut. Ada yang berpendapat ajaran Islam itu hanya yang tertera dalam kitab suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat normatif. Ada pula yang berpendapat selain Islam yang bersifat normatif itu, Islam juga bersipat historis, atau menurut Harun Nasution, Islam yang dilaksanakan oleh umatnya sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka.
Menurut Harun Nasution, dalam Alquran hanya ada sedikit ayat yang pengertiannya bersifat qath'i (pasti), dan banyak sekali yang bersipat dzanni (dugaan). Pengertian qath'i dan dzanni yang berasal dari kalangan ulama fikih ini digunakan Harun Nasution untuk semua masalah agama dalam Islam. Sehingga dia beranggapan bahwa lapangan ajaran Islam yang berasal dari dzanni al-dilalah, sangat banyak. Pengertian dzanni (dugaan atau tidak pasti) jelas bisa berubah sesuai kemampuan orang dalam memformulasikannya, dan tetap dianggap benar selama tidak bertentangan dengan bagian yang bersifat qath'i (pasti).[4]
Karena itu, Islam bisa diperbaharui, yaitu bagian yang bersifat dzanni (tidak pasti). Karena ini banyak, maka lapangan pembaharuan Islam jadi luas sekali. Memang tidak ada pembaharuan dalam soal kewajiban salat dan ibadah haji, karena itu sudah jelas ada ayat yang bersifat qath'i yang mengaturnya. Tetapi mengerjakan salat dengan mikropon atau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan pesawat terbang, merupakan bagian ajaran Islam yang bisa diperbaharui setiap saat sesuai dengan teknologi yang lebih memungkinkan.
Pemicu pembaharuan
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, pernah Rasulullah bersabda bahwa Allah akan membangkitkan seorang pembaharu kepada umat Islam, pada setiap puncak seratus tahun, yang memperbaharui ajaran agama mereka. Hadis ini cukup populer di kalangan kaum modernis sepanjang masa. Dia banyak dianggap sebagai pemicu orang-orang tertentu untuk bangkit jadi pembaharu agama bagi umatnya dalam sejarah.
Berbeda dengan hal itu, Harun Nasution lebih menitikberatkan pada realita yang terjadi. Dia beranggapan bahwa pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada abad modern, yaitu dimulai pada abad ke-18 M. Dan pada masa itu, dunia Timur, yang banyak Islam, didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, umat Islam juga harus menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disuguhkan kepada mereka. Karena kebudayaan umat Islam pada umumnya masih mengalami degradasi, wajar saja jika kebudayaan Barat lebih dominan dan banyak menguasai mereka di segala kehidupan.
Dengan adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam tergerak melakukan reformasi terhadap ajaran agama mereka. Mulanya dalam soal sosial, ekonomi, politik dan pertahanan, tetapi kemudian merebak juga ke bidang agama. Begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di Indonesia, pembaharuan terjadi setelah pengaruh dari negeri-negeri tersebut menjamah Nusantara di abad modern.
Dengan pandangan itulah, Harun Nasution menganggap adanya pembaharuan dalam Islam, dipicu adanya persinggungan kehidupan umat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang ke daerah-daerah koloni mereka di Timur. Sehingga dia mengartikan pembaharuan dalam Islam dengan pemikiran atau gerakan sementara umat Islam untuk mengubah adat, pikiran, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang baru sebagaimana terdapat di dunia Barat abad modern.
Sebagai contoh, jika sementara kaum modernis sangat menganjurkan umat Islam agar percaya diri menghadapi suatu persoalan hidup, karena demikianlah dianjurkan ajaran agama, maka dengan pengertian tersebut, anjuran kaum modernis tersebut adalah karena kemauan mereka mau mengubah sikap umat yang fatal selama ini menjadi dinamis, karena anggapan seperti itu ada di Barat. Memang sikap seperti itu ada di antara pendapat para teolog klasik, tetapi hal itu baru dicari sebagai justifikasi terhadap pendapat yang sudah terpikirkan sebelumnya.
Agama rasional
Dalam sejarah filsafat, rasionalisme pernah jaya. Aliran filsafat yang mengagungkan kebenaran hasil pemikiran manusia sebagai kebenaran ilmiah pernah ada dalam sejarah. Kebenaran ilmiah waktu itu, memang belum ditentukan oleh kebenaran rasional plus kebenaran empiris seperti sekarang. Pada masa itulah Islam lahir dan berkembang. Karena itu ada sementara tokoh Islam yang berusaha merasionalkan ajaran Islam yang ditekuni mereka, agar Islam juga dianggap mempunyai kebenaran ilmiah. Mereka mengambil unsur-unsur rasional filsafat Yunani yang sudah mereka ketahui untuk memformulasikan ajaran agama. Hal ini terjadi, karena adanya stimulan, baik internal maupun eksternal.
Menghargai akal
Manusia dalam menghadapi masalah kehidupannya di muka bumi sudah dibekali Tuhan dengan akal, suatu yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain. Dia tidak hanya seperti seulas sabut yang hanyut kemana gelombang samudera menghempaskannya. Karena itu Islam sebagai agama fitrah pasti akan menghargai akal dalam ajarannya.
Menurut Harun Nasution Alquran dan hadis Nabi juga menghargai akal. Dia dalam pelbagai tulisannya mengutip beberapa ayat Alquran yang mengharuskan umat Islam menggunakan akal. Begitu pula dengan hadis Nabi. Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, dia menemukan suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal dalam segala pendapatnya, yaitu Muktazilah.
Pada waktu wahyu belum diturunkan Tuhan, Muktazilah beranggapan bahwa akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan dan akal dapat mewajibkan manusia mengikuti perbuatan baik dan menjauhkan dirinya dari perbuatan buruk, yang dianggap sebagai syariat waktu itu. Hal ini --menurut Harun Nasution sering membandingkannya-- tidak ditemukan pada Asy'ariyah, yang hanya mengakui akal dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tak bisa mewajibkan atau melarang manusia tentang hal itu. Karena itu Harun Nasution menegaskan bahwa Muktazilah lebih menghargai kemampuan akal ketimbang Asy'ariyah. Sehingga pendapat-pendapat Muktazilah bersifat lebih rasional ketimbang pendapat-pendapat lainnya dalam menanggapi masalah-masalah teologi Islam.
Dengan penemuannya ini, Harun Nasution sering mengungkapkan, Islam sebagai agama yang sangat menghargai akal, dengan menjadikan Muktazilah sebagai prototypenya. Dia memang menginginkan umat Islam bisa maju karena menggunakan rasionalnya dalam segala bidang, karena pada masa berkembangnya Muktazilah itu umat Islam sedang mengalami masa keemasan dalam sejarah. Begitu pula di Barat orang pada maju, karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.
Sikap Muktazilah yang juga sangat dihargai Harun Nasution adalah sikapnya yang terbuka. Aliran yang dianggap sebagai pendiri hakiki ilmu Kalam ini memang selalu mengadopsi pelbagai hasil pemikiran asing, seperti filsafat Yunani, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan umum bagi umat Islam. Mereka gunakan unsur-unsur pengetahuan itu dalam memformulasikan ajaran Islam, terutama di bidang teeologi. Hampir semua tema-tema yang digunakan dalam teologi Islam sampai sekarang ini, berasal dari Muktazilah yang telah menjadikan filsafat Yunani itu sebagai salah satu refrensi mereka.
Selain itu Harun Nasution juga pernah mengritik Muktazilah yang tidak toleran dalam berpendapat. Meskipun mereka menghargai rasio, tetapi tidak bisa mentolerir perbedaan pendapat. Banyak di antara tokohnya yang saling mengkafirkan karena perbedaan pendapat, padahal mereka diikat oleh hubungan murid dengan guru bahkan anak dengan orangtuanya. Peristiwa mihnah yang banyak menyengsarakan tokoh-tokoh ulama yang berbeda pendapat dengan Muktazilah, yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah al Mu'tashim, sering mendapat kritik tajam dari Harun Nasution. Tindakan tersebut dianggapnya tidak Islami, karena Islam sangat menghargai rasio yang digunakan dalam berpendapat.
Ijtihad
Dalam rangka menghormati penggunaan rasio itulah, Harun Nasution juga menginginkan agar umat Islam melakukan ijtihad dan menjauhi taklid, suatu ide yang sudah sering dikumandangkan kaum modernis sebelumnya. Tetapi menurut Harun Nasution, pada masa ide pembaharuan beliau tersebut dilontarkan (th 1970-an), umat Islam dalam persepsinya masih belum berani berijtihad dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi mereka, karena terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan organisasi yang sangat mengikat.
Menurut pandangannya, kini batas antara kaum modernis dan tradisionalis jadi kabur, sehingga bisa terjadi tokoh yang dianggap tradisionalis lebih berani berijtihad ketimbang tokoh modenis, suatu kenyataan yang tak perlu terjadi. Hal ini menurutnya karena makin langkanya para mujtahid yang berwenang. Mungkin karena ide inilah dia pernah menegaskan bahwa sarjana S1 bisa dianggap tukang yang bisa mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya, sarjana S2 dianggap seorang yang ahli dan mampu secara ilmiah di bidang yang ditekuninya, sedangkan sarjana S3 diharapkan menjadi pencetus ide baru yang bisa dianggap sebagai mujtahid di bidangnya.
Barangkali dengan banyaknya progam pasca-sarjana yang disponsorinya membuka bagi IAIN seluruh Indonesia, kelangkaan tenaga tersebut bisa teratasi.
Konsep ijtihad yang berasal dari ulama fikih ini diintrodusir Harun Nasution untuk semua masalah agama. Kalau dalam fikih, karena ijtihad terhadap masalah-masalah fiqhiyyah, telah menimbulkan pelbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali maka ijtihad terhadap masalah-masalah akidah juga telah menimbulkan pelbagai aliran, seperti Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya.[5] Semua mazhab dan alian tersebut, menurut beliau, sah-sah saja diikuti oleh umat Islam, selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat alqurran dan hadis Nabi yang bersipat qath'i (pasti).
Analisa
Sukar untuk menolak anggapan bahwa figur Harun Nasution dianggap sebagai seorang modernis, tokoh pembaharu Islam. Dia memang dalam melaksanakan pembaharuan tidak seperti yang pada umumnya dikerjakan tokoh modernis lain, lewat organisasi, sosial maupun politik. Dia melontarkan ide-ide pembaharuannya lewat IAIN Jakarta dengan pasca-sarjananya, yang pada umumnya menjadi 'kiblat' semua IAIN di Indonesia. Tetapi untuk mengatakan semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia bercorak Harunistik, juga tidak benar. Memang sudah risiko setiap modernis, ada yang pro dan kontra terhadap ide pembaharuannya. Namun 'rasa garam' ide Harun Nasution terasa ada pada setiap IAIN, meskipun dengan nuansa berbeda.
Membaca ide pembaharuan Harun Nasution harus diletakkan secara proporsional. Mungkin saja suatu ide pembaharuan beberapa dekade lalu, sudah dianggap biasa sekarang, karena perkembangan dunia makin cepat. Pendapat Harun Nasution bahwa terjadinya pembaharuan dalam Islam karena dipicu persinggungan dengan Barat, memang suatu kenyataan sejarah. Tetapi karena itulah ada orang yang menganggap Harun Nasution seorang westernis yang pro Barat, sehingga sering dianggap sebagai agen orientalis. Sebenarnya Harun Nasution adalah seorang muslim yang menginginkan kemajuan bagi Islam dan kaum muslimin. Untuk itu dari mana saja umat Islam bisa mengambil pendapat, sebagaimana umat Islam dahulu juga melakukannya.
Kegandrungan Harun Nasution terhadap Muktazilah yang dianggapnya sebagai suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal (rasio) mengakibatkan dia mendapat pelbagai predikat yang tidak diinginkan, seperti pengikut Muktazilah atau Neo-Muktazilah. Sebenarnya keganderungan ini, didasari oleh penelitian yang dia melakukan terhadap ajaran Syekh Muhammad Abduh, seorang modernis Mesir, yang sangat rasional dalam berbagai naskahnya, sehingga dunia menganggapnya seorang yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar ide-ide tersebut, Harun Nasution mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India abad ke-19, yang digelari orang Neo-Muktazilah. Tapi Harun sendiri pernah mengakui bahwa dia seorang Ahlissunnah yang rasional.
Jadi ide pembaharuan yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam supaya menjadi pengikut Muktazilah, tetapi beliau mengharapkan agar umat Islam bersikap rasional dalam kehidupannya, karena agama Islam sangat menghargai akal (rasio), sebagaimana pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.
C. Abduh dan Kebangkitan Islam
Dunia pengabdiannya sebagai seorang pendidik ia rintis di Al-Azhar. Gebrakan pembaruan pertamanya mengusulkan perubahan terhadap Al-Azhar. Ia yakin, apabila Al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum muslimin akan membaik. Al-Azhar, dalam pandangan Abduh, sudah saatnya untuk berbenah. Dan karena itu perlu perlu diperbaiki, terutama dalam masalah administrasi dan pendidikan di dalamnya, termasuk perluasan kurikulum, mencakup ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.
Muhammad Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, gurunya. Bagi Abduh, Jamaluddin Al-Afghani adalah orang yang telah membukakan dunia Islam di hadapannya, beserta problema yang dihadapinya di zaman modern. Jamaluddin Al-Afghani bahkan telah mendorong dan mengarahkan Abduh untuk membuat sebuah penerbitan yang menjadi media dakwah bagi kedua orang tersebut.
Dari sini lahirlah majalah Al-Urwah at-Wutsqa. Bekerjasama dengan gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh mengelola majalah Al-Urwah at-Wutsqa yang terbit dari Paris. Syekh Muhammad Abduh termasuk tokoh pembaru Islam yang banyak dibicarakan dan meninggalkan pengaruh yang kuat pada kaum muslimin. Abduh adalah ulama yang menganjurkan dan membuka pintu ijtihad yang telah lama dikunci. Walaupun ide-ide pembaruan Abduh banyak menuai kritik, ulama ini tetap konsisten menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan Islam. Abduh sangat tidak menyukai adanya ahli fikih dan ulama yang hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah furu’iyah dan meninggalkan masalah utama umat. Abduh juga dikenal sebagai tokoh yang gigih memerangi segala bentuk khurafat, ia mengajak umat agar memurnikan akidah mereka.
Di masa Abduh dan gurunya, Al-Afghani hidup, dunia Islam mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Wilayah Islam yang sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah dikapling-kapling oleh bangsa-bangsa Eropa. Di samping kekalahan politik dan militer, pemikiran Islam juga mengalami kemandegan. Di saat itulah muncul para pemikir dan tokoh Islam yang mencoba membangkitkan kembali umat Islam dalam berbagai sisi.
Ide Pembaruan
Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya Al-A’mal Al-Kamilah li Al-Imam, ide-ide pembaruan teologis yang disebarkan oleh Syekh Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, yaitu:[6] [kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni : (1) manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya; (2) kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Namun demikian, menurutnya, akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.
Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu : Al-Quran sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya, syariat itu ada dua macam, yaitu; qath’i (pasti) dan zhanni (tidak pasti). Hukum syariat jenis pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits. Sedangkan hokum syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti.
Jenis hukum yang tidak pasti inilah (zhanni) yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dijadikan tempat berhukum dengan ‘taklid buta’ tanpa berani mengkritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap terbaik yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah dengan kembali kepada sumber aslinya, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah. Setiap orang yang memiliki ilmu yang mumpuni maka dia wajib berijtihad, sedang bagi orang awam, bertanya kepada orang yang ahli dalam agama adalah sebuah kewajiban.
Abduh pernah menyarankan agar para ahli fiqih membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Keputusan tim inilah yang kemudian dijadikan pegangan umat Islam. Tim ahli fiqih tersebut, selain bertugas memfilter hasil ijtihad ulama maupun madzhab masa lalu juga mengadakan reinterpretasi terhadapnya. Jadi menurut Abduh, bermazhab berarti mencontoh metode ber-istinbath hukum.
Dengan seluruh aktivitasnya ini, Muhammad Abduh bisa dikatakan telah mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan keterbelakangan. Ia adalah seorang mujtahid sekaligus mujaddid, pada masanya.
Diantara wawasan intelektualnya yang sampai saat ini masih dirasakan dan dikaji oleh umat adalah Risalah Al-Tauhid. Sementara itu, kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya telah ditulis oleh seorang muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, bertajuk Tafsir Al-Manar. Pemikiran-pemikiran Abduh tersebar ke seluruh pelosok negeri. Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi pola ormas Islam, seperti Muhammadiyah. Dengan demikian, tidak berlebihan kalau kemudian Abduh dikatakan sebagai figur seorang pembaru Islam yang menggerakkan kebangkitan umat. Kiprah panjang karirnya berakhir ketika Sang Khalik memanggilnya untuk selamanya pada tahun 1905. Pemikirannya tentang pembaruan pendidikan Islam terus berlanjut sampai kini, menembus batas-batas negeri.
D. “Ketuhanan Liberal” Rasionalisme Amir Ali.
Ilmu ketuhanan liberal yang menyusul usaha Sir Sayid Ahmad Chan mendekati Islam dengan jalan rasionalisme, mendatangkan penilaian baru tentang kesusilaan sosial yang telah menjadi adat umat Islam. Kemungkinan yang akhir ini merupakan salah satu daya tarik terbesar bagi golongan cendekiawan yang bertambah besar dengan tegas melihat keburukan sosial, yang terikat dengan keadaan sebagai perhambaan, poligami, dan perceraian yang tidak teratur. Dalam hal itu, pengaruh perguruan tinggi jauh melintasi perbatasan Islam India dengan pernyataannya yang baru tentang amal Islam dan doktrin sosial, sebagian dalam bentuk pembelaan dan sebagian reformis.[7]
Diantara pelbagai penulis India yang mempopulerkan ilmu ketuhanan liberal dan peradaban baru tokoh yang terkemuka adalah Sayid Amir Ali, seorang Syi'ah dan seorang ahli hukum ternama, Bukunya The Spirit of Islam (Roh Islam) untuk pertama kali diterbitkan dalam tahun 1841 telah menyumbangkan kepada kesadaran politik --yang bangkit diantara kaum muslimin -- dasar penghargaan diri yang masuk akal dalam menghadapi dunia Barat. Demikian cepat gagasannya cocok dengan keadaan hati kawan seangkatannya hingga hanya sedikit saja diantara para terpelajar muslimin memperhatikan bahwa Amir Ali telah merumuskan doktrin Islam dalam istilah pikiran Barat, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya oleh kaum nechari. Bukanlah tempatnya di sini untuk menyelidiki kedudukan-kedudukannya secara terperinci, tetapi tiga diantaranya harus dibentangkan karena telah menjadi unsur pokok pikiran Islam yang modern.[8]
Pertama, pemusatan yang telah kita lihat dalam pergerakan-pergerakan modern yang lain atas diri Muhammad saw. judul asli Roh Islam (The Spirit of Islam) adalah "Riwayat hidup dan ajaran Muhammad saw." (The Life and Teachings of Muhammad) cukup untuk menunjukkan tempat pusat gagasan tersebut dalam penjelasannya. Berlawanan dengan doktrin Sufi tentang Muhammad saw. penjelasannya tidak memuat sindiran sedikit pun tentang kekeramatan; Muhammad saw. digambarkan sebagai penjelmaan dan contoh kebajikan manusia dalam penjelmaannya yang paling agung. Amir Ali sendiri membawa liberalismenya hingga titik pandang Quran sebagai karya Muhammad saw. Dalam hal itu, ia tidak diikuti oleh kaum modernis umumnya yang tetap mempertahankan doktrin ortodoks bahwa Quran sekata demi sekata adalah kalam Allah asli.
Kedua, ajaran Muhammad saw. dihidangkan dalam istilah cita-cita sosial zaman sekarang. Empat kewajiban (salat, puasa, zakat, haji) dianjurkan --tidak seakan-akan dibela-- atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan faedah sosial dan badaniah. Adanya perhambaan, poligami, talak, dan lain-lain kelemahan moral dan sosial dalam masyarakat Islam diakui, akan tetapi diterangkan sebagai berlawanan dengan ajaran Quran yang benar dan tanggung jawab bagi aturan-aturan tadi diletakkan di pundak ulama-ulama dan ahli fiqih yang kemudian. Perhambaan adalah bertentangan dengan ajaran Quran tentang persamaan segala Bani Adam; poligami terlarang dengan syarat-syaratnya dalam Quran; perceraian harus seluruhnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh Muhammad saw. Dalam tahun-tahun belakangan ini, banyak negara-negara Islam telah mengadakan perundang-undangan sipil untuk menyempitkan hukum perkawinan dan perceraian, sebagaimana juga dalam bidang lain dari syariat yang dijalankan dalam mahkamah Islam, walaupun hanya negara Turki yang menggantikan hukum agama ini dengan perundang-undangan Barat murni. Perhambaan telah dibatalkan dengan undang-undang di seluruh negara Islam kecuali Arabia, dalam pertengahan kedua abad kesembilan belas.
Ketiga, tekanan yang jatuh atas Islam, sebagai kekuatan peradaban yang progressif, kejayaan Baghdad dan Kordoba, keuntungan pelajaran dan ilmu pengetahuan, kelelaan keagamaan dan penerimaan filsafat Yunani, pembinaan rumah sakit-rumah sakit, dan wakaf-wakaf perguruan, semua itu dibandingkan dengan keadaan di Eropa waktu abad pertengahan. Bahkan muslimin terpelajar yakin bahwa kebangkitan baru dalam ilmu pengetahuan dan Renaissance di Eropa telah terjadi berkat dorongan dari kebudayaan Islam, dan karena penggunaan kepandaian kecerdasan dan teknik Islam oleh sarjana dan para tukang Eropa.
E. Penutup.
Gerakan pembaharuan Islam rasional muncul diberbagai negara muslim dengan tokoh-tokoh pembaharunya. Di Mesir tersebut Muhammad Abduh, di India Sayyid Amir Ali dan Harun Nasution di Indonesia.
Inti dari ide-ide pemikiran ketiga tokoh tersebut di atas adalah:
- Pertama, bahwa Islam adalah ajaran yang rasional.
- Kedua, Islam menghargai akal dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan
- Ketiga, akal tersebut digunakan dalam ijtihad.
- Keempat, bahwa Islam memberikan kebebasan bagi manusia dalam memilih perbuatan.
- Kelima, kepercayaan yang kuat terhadap sunah Allah.
- Keenam, bahwa pribadi Muhammad adalah tokoh sentral dan pusat gagasan.
- Ketujuh, bahwa ajaran Muhammad saw. harus dihidangkan dalam istilah cita-cita sosial zaman sekarang.
- Kedelapan, bahwa tekanan yang jatuh atas Islam merupakan kekuatan peradaban yang progressif karenanya ummat Islam tidak harus apatis terhadap peradaban tersebut.
==============
Ct:
[1]Kritik ini dapat dilihat dalam karya Al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah, ditahkik Sulailam Dunya Mesir: D±l el-Ma’±r³f, 1966.
[2]Hal ini dikarenakan bahwa beliau memang merupakan tokoh yang berpengaruh pada masanya. Nucholish Madjid (ed).Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),hal. 33
[3]Rusydi al-Ghanusi, Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 25.
[4]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994), h. 31
[5]Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution (Bandung: Syaamil, 2006), h. 17-48.
[6]Muhammad Imarah, al-A’mal al-Kamilah lil Imam (Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1986), h. 165.
[7]Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Bhratara Karya Aksara,1983), h. 76.
[8]Ibid.
==============
Daftar Pustaka
Ghanusi, Rusydi. Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Ghazali. Tahafut al-Falasifah, ditahkik Sulailam Dunya (Mesir: D±l el-Ma’±r³f, 1966.
Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen. Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
Imarah, Muhammad. al-A’mal al-Kamilah lil Imam. Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1986.
Madjid, Nucholish (ed). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994.
Rasyid, Daud. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution. Bandung: Syaamil, 2006.
0 comments:
Post a Comment