Tafsir bi al-Ma'tsur

Ketika al-Qur’an diturunkan, kemudian Rasulullah Saw, memberikan penjelasan kepada para sahabat tentang arti dan kandungannya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau ayat yang samar-samar artinya. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Rasullah Saw.

Setelah wafat Rasulullah, para sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas'ud.

Sementara sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah. Kususnya sejarah Nabi atau kisah-kisah yang tercantum kedalam al-Qur’an, kepada tokoh-tokh ahlul kitab yang telah mememlik agama Islam, seperti ‘Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Isra’Iliyyat.

Disamping itu para tokoh tafsir, dari golongan sahabat yang disebutkan, mempunyai murit-murit dari para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersbut. Gabungan dari tiga sumber diatas, yaitu penafsiran Rasullah Saw, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bil-Ma’tsur.

A. Pengertian Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil Ma’tsur merupakan salah satu model penafsiran Al-Qur’an. Bentuk lainnya adalah Tafsir bil- Ra’yi (ijtihad). Dua model penafsiran ini merupakan hasil pengklarifikasian secara umum yang dilakukan oleh mayoritas ulama. Sebelum membahas tafsir bil-ma’tsur secara rinci untuk memperjelas pembahasan, penulis akan menguraikan pengertian tafsir terlebih dahulu.

Tafsir secara tirmonologi adalah isim masdar dari kata Fassara yang berarti Bayan atau menjelasakan. Adapun menurut istilah yaitu ilmu yang membahas tentang seluk beluk yang menyangkut Al-Qur’an baik dari segi memahami dilalah ayat-ayat dari segi kewahyuannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki manusia.[1]

Adapun Tafsir bil-ma’tsur sebagai mana dijelaskan diatas bahwa tafsir merupakan ilmu yang mempelajari bagai mana memahami Al-Qur’an. Sementara memahami bil-Ma’tsur berasal dari isim maful atsara yang berarti manqul atau dinukilkan. Kata bil-Ma’tsur disini mencakup, baik yang di nukilkan dari Allah melalui Al-Qur’an, yang dinukilkan dari Nabi saw, (Hadist), dan dari para sahabat ra, dan tabi’in.[2]

Jadi yang dimaksud dengan tafsir bil-Ma’tsur adalah keterangan atau penjelasan yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an yang diambil dari beberapa ayat al-qur’an itu sendiri, dari Nabi Muhammad Saw, dan dari para sahabat dan tabi’in.[3]

Muhammad Husein Adz-Dzahaby mengkategorikan penjelasan para tabi’in terhadap Al-qur’an sebagai Tafsir bil-ma’tsur, karena Ibnu Jarir Al-Thabary dalam Tafsirnya Jami’ul Bayan fi Tafsir al- Al-Qur’an memasukkan katagori tersebut ke dalam Tafsir bil-ma’tsur, walaupaun ada yang memperselisisihkannya.[4]

B. Macam-macam Tafsir bil-Ma’tsur dan bentuk-bentunya.
Sebagai garis besar Tafsuirbil-ma’tsur dapat diklasifikasikan kepada empat macam, yaitu sebagai berikut:

1. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Yaitu penafsiran beberapa ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an juga. Karna Al-Qur’an pada dasarnya saling menafsirkan ayat yang ada, ayat yang global yang terdapat dalam Al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat yang ada di tempat lain, dan apa yang disebut secara ringkas dalam Al-Qur’an ditafsir secara mendetail pada ayat yang lain.

Contohnya:
مر ج ا لبحر ين يلتقيا ن 19
بينها برز ح لا يبغيا ن 20
فبأ ي ء ا لا ء ربكماتكذ با ن 21
يخر ج منهما اللو لووالمرجا ن 23
Artinya:
19. Dia membiarkan dua lautan mengalir.
20. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.
21. Maka nikmat tuhan kamu yang manahkah yang kamu dustakan.
22. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.[5]

Firman Allah, (Surat Al-Furqan. 53)

وهو ا لذ ي مرخ ا لبحر ين هذ ا عذ ب فر ا ت و هذا ملح أ خا وخعل بينهما بر زخا و حخر امحخو را
Artinya: Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit, dan dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menhalangi.[6]

2. Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah (al-Hadist)
Yaitu jika ditemukan penjelasan tentang suatu ayat dalam Al-qur’an pada Al-Qur’an itu sendiri, maka hendaklah penjelasan atau tafsir tersebut di cari pada sesuatu yang terdapat pada sunnah atau Hadist Rasullah Saw, karena fungsi dari Sunnah adalah sebagai penjelas atau penerang dari Al-Qur’an .

Contohnya:
Firman Allah, (QS. Al-Nahl: 44) dan (QS. Jumu’ah ayat 22)

وأ نز لنا أليك ا لذ كرلتبين للنا س ما نز ل أ ليهم و لعلهم يتفكر
Artinya: Dan kami turunkan kepdamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.

(QS. Jum’ah: 2)

هو الذي بعث قى الأميْن ر سو لأ منهم يتلو أعليتم ء ا يته ويزكيم و يعلمهم الكت والحكمة

Kedua ayat tersebut diatas ditafsirkan dengan Hadist Rasullah Saw:

Dari Miqdam bin’id Yakrib, bahwa Rasulullah Saw bersabda;
أألأ انى أ و تيت ا لكتا مثله معه
Artinya: Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku diberi wahyu sebuah kita (Al-Qur’an ) dan sesuatu yang sepertinya (sunnah atau Hadist)

3. Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat
Penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat dilakukan dengan jika tidak terdapat penjelasan tentang suatu ayat dalam Al-Qur’an atau juga tidak terdapat dalam suatu sunnah atau dibandingkan dengan kita, dimana mereka mendapatkan penjelasan langsung tentang makna-makna tersebut dari nabi dengan cara menjelasankan ayat-ayat yang gelobal atuapun dengan cara menghilangkan problematikanya. Selain itu merak (para sahabat) juga hidup dan menyaksikan situasi dan kondisi yang meliputi turunnya Al-Qur’an, sehingga meraka memiliki pemahaman bagus, ilmu yang matang, amal yang baik dan hati yang memancarkan sinar, serta otak yang cerdas. Seperti khalifah yang empat, Abdullah bin Mas’ut, Ubay bin ka’ab, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Abbas dan lain-lain.

Contohnya:
Sebagaimana diriwayatan oleh Bukhari, Ibnu Abbas manyatakan bahwa Allah SWT berfirman QS. Al-Baqarah. 181.

و عل الذ ين يط يقو نه فد ية طعا م حسكين
Adalah menjelaskan akan diperbolehkan berbuka puasa bagi orang tua yang sudah tua renta, dengan syarat harus memberi makan setiap hari seorang yang fakir miskin.

4. Tafsir Al-Quir’an parkataan para Tabiin
Yaitu penafsiran suatu ayat Al-Qur’an yang didasarkan pada ucapan-ucapan para Tabiin, meskipun ucapan-ucapan para tokoh Tabiin tentang Al-Qur’an dierselisihkan statusnya apakah termasuk katagori tafsir bil Ma’tsur atau termasuk katagori tafsir bil Ra’yi, namun yang perlu dicatat adalah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah setelah para sahabat dan pada umumya mereka menerima tafsiran Al-Qur’an dari para sehabat. Maka wajar kalau sebagian besar ulama menggolongkan tafsir yang bersandar kepada ucapan-ucapan para tabiin sebagai tafsir bil-Ma’sur.[7]

Hanya saja ucapan para tabiin itu tidak berdasarkan sumber dari Rasulullah melalui sahabat, tapi hanya diambil dari pendapat sendiri atau sumber-sumber lain seperti ahlil kitab yang masuk Islam, maka tafsir tersebut tidak dapat digolongkan sebagai tafsir bil Ma’tsur.

Contoh tafsir bil Ma’tsur ketika menafsirkan kata-kata Nhadirah dalam Al-Qur’an Surat Al-Qasiyah. 22-23.

وجو ي ه يو معذ تل صر ة
Wajah-wajah pada hari kiamat itu berseri-seri

أ لئ ر بها نا ضرة
Kepada Tuhannyalah mereka melihat

Oleh seorang mufasir Iman mujahid murud Ibnu Mas’ud di tafsirkan dengan pengertian “mereka menunggu” yaitu menunggu pahala dari Tuhan. Penafsiran berdasarkan pendapat para tabiin minsalnya adalah untuk menjelaskan kesamaran yang ditemukan oleh kaum muslimin tentang sebagian makna seperti penafsiran tabiin terhadap Al-Qur’an Ash-Shafaat.65.

طلعها كا نه رء و سئ ا لسيطين

“Mayangnya seperti kepala-kepala setan”

Jika dan acaman Allah dan hanya dapat dipahami sesuatu yang telah dikenal manusia, sedangkan manusia tidak pernah melihat kepala-kepala setan yang menjadikan unggkapan pada ayat diatas. Maka Abu Ubaydah (tabiin) menafsirkan kepala-kepala setan dengan perkataan Amru Al-Qays (seortang penyair Arab) sebagai berikut.

Adakah orang Arab, dapat membunuhku sedangkan masyrif adalah tempat tinggalku dan (aku mempunyai pedang-pedang) yang tajam (yang kerena tajamnya ia mengkilat bewarna) seperti taring-taring setan."

C.Beberapa kitab Tafsir Bil-Ma’tsur.

1. Jami’al – Bayyan fi Tafsir Qur’an
Pengarangnya adalah Abu Ja’far Abu Muhammad bim Jarir at Thabari, lahir di Amjul Thabaristan 224 H, wafat di Baqdad 310 H. Kitabnya termasuk kitab tafsir dengan Ma’tsur yang paling agung, paling banyak mencakup pendapat para sahabat dan tabiiin serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi mufasirin. Beberapa keistimewaan dalam tafsir ini adalah:
  • Berpengang pada asar berupa hadist, sasahabat dan tabiin
  • Senantiasa menyebutkan sanad dan pendapat yang diriwayatkan
  • Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menjelaskan hadist yang shahih dan dha’if
  • Menyebutkan segi I’raf (uraian kalimat ) dan pengistimbata hukum dari ayat-ayat Al-Qur’an
Kitab ini juga diupayakan untuk dikoreksi oleh para mufasir lain untuk kesempurnaannya.[8]

2. Tafsir al- Al-Qur’an azhim
Tafsir ini dikarang oleh Abu Al-Fidha Imaduddin bin Amer bin Katsir ad-Dimasyqi, lahir di Busro Syam, tahun 700 H. Tafsir ini termasuk tafsir yang terkenal sebagai tafsir bil-Ma’tsur dan memdapat tempat kedua sebagai tafsir Thabari.

3. Ad-Darul Mantsur Tafsiril Ma-tsur
Pengarang tafsir ini adalah imam Al-Hafidz Jamaluddin Abdul Fald Abdurrahman ibnu Abu Baqar Muhammad Asayuhti Asy-Shafi’i. Beliau lahir pada tahun 489 H. dan wafat pada tahun 911 H.

4.Ma’alimut Tanziil.
Pengarangyan adalah imam Al-Husein ibnu Masud bin Muhammad Baqhawi, seorang ahli fiqih mefasir dan ahli Hadist yang dikenal dengan gelar penghidup sunnah dan agama. Beliau wafat pada tahun 510 H. kitab tafsir ini digolongkan pada kitab tafsir menengah. Didalanya banyak dikutif pendapat para kitab sahabat dan tabiin orang-orang yang sesudah mereka.

D. Pandangan Ulama Tentang Status Tafsir Bil-Ma’tsur
Para ulama sepakat bahwa tafsir bil-Ma’stur, terutama tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an dengan as sunnah al shahibah, bisa diterima sebagai hujjah sebab tidak mengandung titik kelemahan ataupun keraguan, namun bila tafsir Al-qur’an itu menggunakan as-asunna dengan sanad, riwayat atau matan yang salah, maka tafsirannya tidak bisa diterima.

Sedangkan tafsir Al-Qur’an dengan riwayat sahabat dan tabiin, maka para ulama tidak sepakat menerima karena didalamnya terdapat cacat dan kelemahan yang harus diperhatikan. Menurut Al-Dzahabi, setidaknya ada tiga sebab maksutnya cacat dan kelemahan kedalam tafsiran para sahabat dan tabiin.
  1. Banyaknya tafsiran palsu yang dinisbatkan kepada mereka
  2. Masuknya isra’iliyat
  3. Dihapuskan sistim isnad sehingga tidak lagi diketahui dari siapa tafsiran itu diriwayatkan
Tafsir palsu terjadi anatara lain adanya fanatisme golongan. Untuk memperkuat status golongannya mereka membuat tafsir Al-qur’an yang dinisbahkan kepada Nabi melalui para sahabat dekat mereka. Golongan syi’ah menisbatkan tafsir Al-Qur’an kepada Rasulullah melalui para imam ahlil bait, khawarij menisbahkannya kepada para sahabat mereka, dan begitu pula golongan as-sunnah.

Tafsir yang paling banyak dipalsukan adalah tafsir Ali bin Abi-Thalib dan ibnu abbas adalah bapak khalifah dari Bani Abbas. Dengan membuat tafsir yang dinisbatkan kepada mereka maka tafsir itu akan diterma sebagai hujjah.

Sebagai contoh adalah adanya, dua tafsir yang saling bertentangan tetapi keduanya dinisbatkan kepada ibnu Abbas yaitu anak (korban yang akan disembelih Ibrahim). Pada suatu riwayat anak itu adalah Ismail, tetapi anak itu adalah Ishaq.[9]


Maksud isra’iliyat kedalam tafsiran sahabat dan tabiin menyebabkan terjadinya titik lemah tafsir bil Ma’tsur. Kecendrungannya memasukkan riwayat-riwayat isra’iliyat kedalam tafsir Al-Qur’an itu menurut Ibn Khaldun antara lain disebabkan karena kebanyakan bangsa Arab waktu itu bukanlah para ahli kitab dan ahli ilmu. Mereka masih banyak diliputi kebodohan dan masih banyak buta huruf, itulah ketika mereka ingin mengetahui secara rinci tentang sebab asal mula kejadian, tentang rahasia alam dan lain-lainnya, kepada ahli kitab dari kaum Yahudi atau Nasrani. Padahal pengetahuan para ahli kitab itu sendiri kebanyakan hanya sebatas pengetahaun secara pasti diketahui berdasarkan kitab suci mereka. Para mufasir kemudian menjadikan cerita-cerita mereka sebagai tafsir Al-Qur’an.

Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat dan orang Nasranipun mempunyai pengetahuan keagmaan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak orang Nasrani dan Yahudi yang bernaung dibawah panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedang mereka tetap memelihara baik pengetahuan keagamaannya itu.

Sementara itu Al-Qur’an bayak mencakup hal-hal yang terdapat dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah para Nabi dan berita ummat terdahulu. Namun dalam Al-Quran kisah-kisah itu hanya dikemukakan secara singkat menitik beratkan pada aspek-aspek nasehat dan pelajaran, tidak mengungkapkan secara rinci dan mendetail seperti pristiwa, nama-nama negeri dan nama-nama pribadi.

Ketika ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan disaat membaca kisah-kisah dalam Al-qur’an terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Adalah para sahabat menaruh atensi terhadap kisah-kisah mereka bawakan, sesuai pesan Rasulullah.

Berita-berita yang diceritakan ahlil kitab yang masuk Islam itu adalah Isra’iliyyat, mengingat bahwa yang paling dominant adalah pihak Yahudi (Bani Israil), bukan pihak Nasrani. Sebab penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena percampuran mereka dengan kaum muslilmin telah dimulai sejak kelahiran Islam, dimana hijjrahnya Rasulullah ke Madinah (tempat dimana orang yahudi banyak menetap).

Maka disinilah letak korelasi Tafsir bil Ma’tsur, dimana penjelasan-penjelasan terhadap Al-Qur’an terkadang dimasuki oleh cerita-cerita yang dibawa oleh ahlil kitab yang msuk islam, baik oleh pihak-pihak Yahudi maupun Nasrani, teruitama didalam Al-Qur’an banyak terdapat kisah-kisah para Nabi dan berita ummat terdahulu yang panjang lebar diceritakan di dalam Taurat dean Injil.

E. Beberapa keistimewaan Tafsir Bil-Ma’strur.
At-Tafsir Bil-Ma’stur , yang terbaik adalah tafsir Ibnu Jarir at-Thabrani di dalam Jami’ul-Bayaan Fi Tafsiiril- Qur’an dan lain-lain.
  1. Dalam mengetengahkan penafsiran para sahabat Nabi dan Kaum Tabiin selalu disertai dengan isnad (sumber-sumber riwayatnya) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat.
  2. Terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-bentuk i’rab (kedudukan kata-kata didalam rangkaian kalimat), yang menambah kejelasan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an.
  3. Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menjelaskan riwayat yang shahih dan yang dhaif.[10]

F. Beberapa Kelemahan Tafsir Bil Ma’stur
Penafsiran Al- Qur’an dengan sebagiannya dan penafsiran Al-qur’an dengan Hadist sahih yang disampaikan kepada Rasulullah Saw, maka tidak diragukan lagi bisa di terima dan tidak ada perbedaan, ia merupakan tinggkat tafsir tertinggi. Adapun penafsiran Alqur’an dengan Ma’stur dari para sahabat dan tabiin terdapat kelemahan-kelemahannya:
  1. Terjadinya campur baur antara yang sahih dan tidak sahih dan banyak pendapat yang dihubungkan kepada sahabat dan tabiin, tampa ada isnad dan penelitian yang mengakibatkan campurannya kebenaran dan kebatilan.
  2. Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita Israiliyat yang memuat banyak kurafat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Hal itu sengaja disusupkan kepada kaum muslimin dari ahlul kitab.
  3. Sebagian majhab memutarbalikkan beberapa pendapat. Mereka berbuat kebatilan, lalu menyandarkannya kepada sebahagaian para sahabat seperti para ulama Syia’ah.
  4. Sesungguhnya musuh-musuh Islam dari golongan kafir zindiq bersembinyi dibelakang para sahabat, maka perlu adanya penelitian yang sungguh-sungguh terhadap pendapat-pendapatyang disandarakan kepada para sahabat dan tabiin.

=====================
[1]Syeh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 106
[2]Ibid., h. 107
[3]Muhammad Husein al-Dzahaby, Al-Tafsir wal-mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), jil 1,cet, 7, h.112
[4]Ibid,
[5]Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an, (Damaskus:Darull Misry Liltaba’ah, 1335), h.272
[6]Ibid,. 273
[7]Abu Hayyan, Khalil Al-Qattan, Terj. Muzakkir AS, (Jakarta: Litera antara nusa, 1996), h.456
[8]Fahd bin Abdurrahman ar-rumi, Dirasht Ulumul Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Halabi Muhammad, (Jakarta; Ulumul Qur’an, 1999), h.204.
[9]Abd Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqadimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 439
[10]Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1990), h. 385


=====================
Daftar Pustaka

Syeh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani,

Mahammad Husein al-Dzahaby, Al-Tafsir wal-mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah,

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an, (Damaskus:Darull Misry Liltaba’ah,

Abu Hayyan, Khalil Al-Qattan, Terj. Muzakkir AS, (Jakarta: Litera antara nusa, 1996),

Fahd bin Abdurrahman ar-rumi, Dirasht Ulumul Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Halabi Muhammad, (Jakarta; Ulumul Qur’an, 1999),


Abd Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqadimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991),

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1990), h. 385 Syeh

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001),

Mahammad Husein al-Dzahaby, Al-Tafsir wal-mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), jil 1,cet, 7,

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an, (Damaskus:Darull Misry Liltaba’ah, 1335),

Abu Hayyan, Khalil Al-Qattan, Terj. Muzakkir AS, (Jakarta: Litera antara nusa, 1996),

Fahd bin Abdurrahman ar-rumi, Dirasht Ulumul Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Halabi Muhammad, (Jakarta; Ulumul Qur’an, 1999),

Abd Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqadimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991),

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1990), h. 385 Syeh

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001),

Mahammad Husein al-Dzahaby, Al-Tafsir wal-mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), jil 1,cet, 7,


Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an, (Damaskus:Darull Misry Liltaba’ah, 1335),

Abu Hayyan, Khalil Al-Qattan, Terj. Muzakkir AS, (Jakarta: Litera antara nusa, 1996),

Fahd bin Abdurrahman ar-rumi, Dirasht Ulumul Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Halabi Muhammad, (Jakarta; Ulumul Qur’an, 1999),

Abd Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqadimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991),

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1990),

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger