Rangkaian Hijrah Rasul dan Kaum Muslimin

Ketika kondisi Mekkah telah menjadi “Kota Srigala” bagi kaum muslimin, Rasul Saw. tidak kehabisan konsep. Pada tahun kelima Bi’tsah Rasulullah Saw. memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hijrah yang pertama ke Habasyah. Yang menarik dicermati pada hijrah ini adalah beliau terlebih dahulu “menyelamatkan” pengikutnya, bukan “mengamankan” diri terlebih dahulu. Sebagian dari kaum muslimin ada juga yang tidak mau ikut dalam rombongan pertama ini dengan alasan ingin menanggung resiko seburuk apapun asal tetap bersama-sama Rasulullah di Mekkah.[1]

Gelagat hijrah itu tercium oleh kaum Quraisy Mekkah sehingga mereka akhirnya menerapkan Undang-undang pemboikotan yang isinya; Pertama, isolasi pergaulan dengan Muhammad dan pengikutnya, terutama pernikahan; Kedua, pemutusan segala bentuk interaksi dagang; Ketiga, menetapkan UU pemboikotan sebagai UU suci kaum quraisy; dan Keempat, berlaku sampai diserahkannya Muhammad kepada kaum quraisy.

Pasca pemberlakuan UU pemboikotan itu, kaum muslimin yang telah hijrah pada gelombang pertama kembali lagi ke Mekkah karena suatu sebab dan ikut menderita akibat pemboikotan. Demikian selama + 3 tahun lamanya dan telah menyentuh “basicneed”, namun kesabaran Nabi Saw. dan pengikutnya seakan tiada batas, da’wah pun terus berlanjut sampai akhirnya dilakukan hijrah ke Madinah. Ketika hijrah ke Madinah kehadirannya beserta dakwah yang dilakukan oleh Nabi Saw. tidak mendapat kendala apapun, karena sudah lebih dahulu menerima. Hal ini tidak terlepas dari da’wah yang dilakukan Nabi Saw. kepada orang asing yang datang ke Mekkah sejak awal da’wahnya, termasuk orang-orang yang berasal dari Madinah. Begitupun ternyata Nabi Saw. pernah mengirimkan secara rahasia beberapa orang sahabat untuk menjadi da’i dan murabbi disana.[2]

Akhirnya, secara bertahap hijrah ke Madinah dimulai beberapa gelombang kaum muslimin berangkat ke Madinah dengan berbagai rintangan yang dihadapi dan akhirnya disusul oleh Rasul Saw. bersama Abu Bakar, Ali dan beberapa sahabat lain. Namun itu, situasi umum Madinah berbeda dengan Mekkah karena seluruh wilayahnya adalah gurun pasir dan tidak memungkinkan untuk pertanian, sehingga mereka hanya memelihara unta dan sangat tergantung pada bisnis perdagangan. Masyarakatnya terdiri dari berbagai kabilah (clans) dan yang paling mengusai pasar adalah Bani Qainuqa, namun dalam sikap keagamaan Yahudi paling berperan di samping Nasrani dan Kristen.[3]

Aktivitas Rasul Sebagai Pemimpin Negara Di Madinah
Ada 5 program besar yang dilakukan Rasulullah Saw. sebagai dasar pembinaan masyarakat baru Madinah, yaitu: Pertama; hubungan umat dengan Allah dengan mesjid sebagai simbulnya. Mesjid quba adalah mesjid pertama yang kemudian dijadikan sebagai “center of Religious and social activities”, Kedua; hubungan antar umat (golongan) melalui pencanangan “ikha” khususnya Muhajirin dan Anshar, dimana baik Mekkah ataupun Madinah hubungan masyarakatnya tidak harmonis, bahkan terpecah-pecah dalam kelompok yang sangat kecil termasuk diharmonisasi keluarga yang sangat tinggi, walaupun setelah lebih kurang 13 tahun da’wah Rasul di Mekkah kondisi itu agak membaik, Ketiga; hubungan antara umat dengan berbagai aspek yang melingkupinya, dalam program ini aspek yang paling krusial adalah soal keragaman agama yaitu perlindungan terhadap warga non muslim.[4] Dari beberapa literatur yang penulis baca pembahasan tentang problem ini paling kurang memakan halaman dalam hal ini Rasul berusaha menekan sekecil mungkin sikap “keanaan” dari masing-masing golongan dan menghembuskan “ruh jamaah”, Keempat; membangun pertahanan negara yang diawali dengan pembentukan pasukan militer dari golongan muhajirin dan anshar, dan Kelima; mengembangkan pilar-pilar demokrasi dan musyawarah.

Dalam kaitannya dengan program ini, disamping secara terus menerus melakukan pembinaan informal Rasul juga merancang beberapa perjanjian resmi berskala besar diantaranya:
  • a. Bai’at ‘aqabah pertama dan kedua. Sebelum kedatangan Rasul di Madinah, ada dua suku besar yang sudah berseturu dan berperang selama + 120 tahun yaitu Bani Khazraj dan Bani Aus. Namun dengan telah tersebarnya nur Islam ke madinah oleh beberapa orang Bani Khazraj yang pernah berkunjung ke Mina dan bertemu dengan Rasul di bukit Aqabah dan sempat di Bai’t untuk memeluk Islam, maka kebanyakan pemimpin dari kedua golongan ini memeluk Islam yang lambat laun tidak lagi saling berperang. Bai’t ini terjadi 2 kali karena bertambahnya orang-orang yang ingin menyusul masuk Islam melalui bai’t yang kemudian dikenal dengan bai’t aqabah ula dan kubra.[5]
  • b. Piagam Madinah. Merupakan perjanjian yang paling monumental sebab dilakukan segera pada awal pembinaan masyarakat madinah (tahun 622 M) yang terdiri dari mukaddinah, 10 bab dan 47 pasal yang berazaskan pada 2 batang tubuh :
  1. Mengatur hubungan antar umat Islam dari golongan muhajirin dan anshar
  2. Mengatur hubungan antar kaum muslimin dengan Yahudi dan perlindungan terhadap agama mereka.[6]
  • c. Perjanjian Hudaibiyah. Terjadi karena Quraisy Mekkah selalu menghalang-halangi keinginan Rasul berkunjung untuk keperluan haji. Isi perjanjian itu adalah:
  1. Rasul boleh kembali ke Mekkah dengan sarat tidak membawa peralatan perang dan tidak boleh dari 3 hari berada di Mekkah.
  2. Tidak ada aktivitas permusuhan atau perang selama 10 tahun
  3. Jika ada orang Quraisy yang menyelinap ke Madinah Muhammad harus mengembalikannya tapi tidak ada satu orang muslimpun yang berada di Mekkah dikembalikan kepada Muhammad.[7]
  • d. Perjanjian pertama dengan kaum Kristen pada akhir tahun 4 hijriah dengan isi perjanjian diantarnya :
  1. Memberi perlindungan kepada mereka mulai saat itu sampai seterusnya
  2. Keyakinan dan acara-acara agama mereka tidak akan dicampuri
  3. Mereka tidak akan menindas dan ditindas
  4. Kepada mereka dikenakan pajak sebesar 10% dari penghasilan
  • e. Beberapa surat yang dikirim orang tua oleh Rasul kepada beberapa orang raja seperti kepala daerah Yaman yang beragama Majusi yang intinya juga perlindungan terhadap agama dan hak-hak mereka.[8]
Namun ironisnya orang-orang Yahudi masih tetap berusaha memusuhi Islam meskipun perjanjian telah ditetapkan. Mereka melakukan berbagai cara karena kedengkian dan takut kalau pelaksanaan kepalsuan agama mereka terbongkar. Usaha-usaha Yahudi kemudian intensitasnya terus meningkat sampai pada penggunaan kekuatan fisik, tidak ada jalan lain bagi Rasul kecuali melakukan peperangan dengan mengacu pada prinsip “bertahan” atau “menyerang bila diserang” sehingga terjadilah lebih kurang 27 kali peperangan baik yang langsung dipimpin oleh Rasul (ghazwah) ataupun tidak (Sariyyah).

Sebab Hijrah ke Yasrib dan Penyebaran Islam
Ada beberapa sebab Rasulullah Saw. Hijrah ke yasrib, yaitu:
  1. Tekanan dan ancaman orang Quraisy musyrikin terhadap Nabi Muhammad telah bertambah dari sesama ke semasa, lebih-lebih lagi selepas kewafasan Abu Talib dan Khadijah. Perbuatan kaum Quraisy musyrikin tersebut mengganggu orang Islam, lebih-lebih lagi semasa mereka mengerjakan amalan sebagaimana yang ditentukan oleh ajaran Islam, menyebabkan orang Islam merasa perlu berpindah ke tempat lain.
  2. Pengalaman perpindahan sahabat Nabi Muhammad ke Habsyah dengan tujuan untuk menghindari ancaman Quraisy musyrikin telah menimbulkan beberapa idea ke arah pemindahan di atas. Kesan penghijrahan tersebut sangat baik, karena anggota-anggota rombongan yang berhijrah itu telah terpelihara daripada segala ancaman yang tidak diingini dan bebas menjalankan amalan agama di bawah pemerintahan raja Habsyah yang adil itu.
  3. Kedatangan rombongan tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua perempuan Islam dari Yasrib, daripada suku Aus dan Khazraj ke Makkah, menemui Nabi Muhammad, mengajaknya pindah ke Yasrib dengan sumpah setia mereka untuk memelihara Rasulullah telah menimbulkan langkah-langkah perpindahan yang sangat bersejarah itu.
  4. Kedudukan kota Yasrib dari segi perniagaan adalah istimewa dan suasana masyarakatnya adalah menggalakkan. Aliran perjalanan perniagaan dari utara seperti Syam (Syria) ke selatan, ke Yaman, atau ke Makkah adalah bertemu di Yasrib. Dalam pada itu pula di Yasrib terdapat beberapa kumpulan orang Islam, khususnya golongan Aus dan Khazraj. Melalui perpindahan itu Nabi Muhammad dan para sahabatnya akan dapat membina satu tapak masyarakat Islam yang kukuh dan yang dapat menghadapi segala ancaman luar.
Disamping sebab tersebut, perkembangan agama Islam ke Yasrib (Madinah) berlaku sebelum penghijrahan Nabi Saw. bermula kira-kira sebelas tahun setelah Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama (tahun 621 M). Suku kaum Yasrib yang banyak sekali menerima Islam ialah daripada golongan Khazraj dan Aus. Penyiaran ini dimulai ketika enam orang Yasrib daripada suku Khazraj menemui Nabi Muhammad di sebuah tempat bernama ‘Aqabah semasa mereka menunaikan Haji di Makkah. Dalam pertemuannya itu mereka telah tertarik dengan ajaran Muhammad, lantas kemudian memeluk Islam. Setelah itu apabila orang Yasrib kembali ke tempat asalnya di Yasrib, mereka mengembangkan agama Islam kepada kaum kerabat dan teman-teman mereka.

Kemudian pada musim Haji yang kedua belas iaitu dua belas tahun setelah Nabi Muhammad dibangkitkan menjadi Rasulullah, seramai dua belas orang Yasrib telah menemui Nabi Muhammad di ‘Aqabah, yaitu ketika mereka menunaikan Haji di Mekkah. Mereka kemudiannya telah memeluk agama Islam, dan bersumpah setia di situ. Sumpah setia ini dikenali dengan nama “Sumpah setia ‘Aqabah Yang Pertama” atau “Sumpah Setia Perempuan”, karena dalam kumpulan dua belas orang itu termasuk seorang perempuan bernama ‘Afra binti ‘Ubaid. Apabila rombongan ini kembali ke Yasrib, Nabi Muhammad telah mengutuskan bersama mereka seorang guru bernama Mus’ab bin ‘Umair untuk mengajar mereka ajaran-ajaran Islam dan juga menjadi imam sembahyang. Di Yasrib Mus’ab bukan sahaja memainkan tugas seperti yang tersebut, tetapi juga menjalankan kegiatan mengembangkan agama Islam kepada golongan lain.

Disamping itu dalam musim Haji, setelah 13 tahun Nabi Muhammad menjadi Rasulullah (622 M). Seramai tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua perempuan dari Yasrib yang baharu sahaja memeluk Islam telah datang ke Makkah menemui Nabi Muhammad di’Aqabah, dengan tujuan mengajak beliau pindah ke Madinah. Mereka bersumpah setia akan memelihara Rasulullah seperti mereka memelihara keluarganya. Sumpah setia ini dikenali sebagai “Sumpah Setia ‘Aqabah Yang Kedua”. Kemudian mereka kembali ke Yasrib, dan di sana mereka terus mengembangkan Islam.

Perkara utama yang memudahkan orang Yasrib memeluk agama Islam ialah karena keadaan yang baik di kota itu. Yasrib bolehlah dianggap sebagai tempat pertemuan dua golongan kaum yang berbeza dari segi keturunan dan kepercayaan. Golongan yang pertama ialah bangsa Yahudi yang datangnya dari utara, yang terdiri daripada suku-suku Yahudi Bani Qainuqa’, Bani Quraizah, Bani Nadzir dan lain-lain. Sementara kumpulan kedua dari selatan, iaitu Yaman, terdiri daripada suku Aus dan Kahzraj. Pertemuan itu telah melahirkan beberapa perkara seperti berikut:
  • Bangsa Arab Yasrib adalah bangsa yang paling hampir dengan ‘Agama Samawi’, yaitu agama yang berasaskan kitab-kitab dan nabi-nabi yang tertentu, umpamanya agama Yahudi yang berpunca dari ajaran Nabi Musa, agama Kristian berpunca dari Nabi Isa dan lain-lain.
  • Bangsa Arab dan bangsa Yahudi sentiasa bermusuhan. Permusuhan ini timbul daripada berbagai-bagai aspek, termasuklah aspek perniagaan dan kebudayaan. Mengikut beberapa sumber cerita yang tertentu, apabila orang Arab mendapat kemenangan orang Yahudi sering berkata : “Tidak lama lagi akan dibangkitkan seorang Nabi sebagaimana yang terdapat dalam kitab kami”.
  • Di samping itu terdapat pula perselisihan di antara suku Arab Aus dengan Khazraj, dan mereka berlumba-lumab untuk mengikat perhubungan dengan golongan lain. Hal ini menyebabkan mereka memeluk agama Islam, dengan tujuan untuk mendapatkan teman daripada orang Quraisy dan lain-lain yang beragama Islam. Dari sini mereka mengharapkan dapat mengatasi kaum Yahudi di Yasrib.
Perpindahan ke Yasrib[9] merupakan sesuatu yang dibayangkan oleh Nabi Muhammad supaya Islam dapat disebarkan dan jaya. Adalah suasana yang begitu mengalakkan Nabi Saw. dan memerintahkan para sahabatnya pindah ke Yasrib, agar dapat terhindar dari segala penganiayaan kaum Quraisy serta bergabung dengan kaum Muslimin di sana. Perintah Rasulullah itu telah mendapat sambutan yang menggalakkan dari orang Islam di Makkah dan banyak di antara mereka telah berhijrah ke Yasrib secara sulit.

Sumpah setia di antara Nabi Muhammad dengan orang-orang Islam Yasrib di ‘Aqabah, Mekkah, dan kegiatan perpindahan orang Islam Mekkah ke Yasrib telah diketahui oleh kaum Quraisy musyrikin. Ini telah menyebabkan mereka merasa bimbang. Kebimbangan mereka itu bukan sahaja disebabkan oleh soal-soal agama, tetapi juga disebabkan oleh kemungkinkan kehilangan perniagaan dan kehancuran ekonomi mereka. Seperti yang telah disebutkan Yasrib mempunyai kedudukan yang istimewa dari segi perjalanan perniagaan. Sekiranya Yasrib dikuasai oleh orang Islam, dan mengambil sikap menentang Mekkah, umpamanya menyekat perjalanan pedagang Mekkah yang pergi atau kembali dari Syam, ini boleh merosakan perniagaan mereka.

Keadaan ini telah menyebabkan orang Quraisy berkumpul dan berunding di balai muafakat merekat yang dikenali sebagai Dar al-Nadwah. Dalam perundingan itu mereka telah mencapai tiga jalan untuk dipilih bagi menyelesaikan masalah Nabi Muhammad itu, yaitu sama ada membiarkan Nabi Muhammad tinggal tetap di Makkah, membunuhnya ataupun menghalau baginda keluar negeri. Setelah berbincang dengan panjang lebarnya akhirnya mereka mengambil keputusan memilih cara membunuhnya sahaja. Mengikut keputusan orang Quraisy musyrikin itu, kalau ditetapkan di Makkah, umpamanya dengan memenjarakannya sudah tentu kaum kerabatnya akan berusaha membebaskannya. Sekiranya dihalau keluar negeri sudah tentu Nabi Saw. akan menuju ke Yasrib, dan ini lebih membahayakan lagi. Masalahnya yang timbul sekarang ialah bagaimana cara hendak melakukan pembunuhan itu, karena mengikut tradisi masyarakat Arab, tiap-tiap pembunuhan itu, mestilah dibalas dengan pembunuhan juga. Bagi mengatasi masalah ini mereka telah mengambil keputusan memilih seorang pemuda yang handal dari tiap-tiap suku dan pemuda-pemuda itu berkerjasama membunuh Nabi Muhammad supaya darahnya itu dapat ditanggung bersama. Dengan cara ini tentulah Bani Abdul Manaf iaitu suku Nabi Muhammad tidak boleh menuntut bela, karena pembunuhan itu dikerjakan bersama, dan tentulah mereka menerima diet (tebusan).

Berita pemuafakatan pembunuhan sulit itu telah sampai ke pengatahan Rasulullah, dan Allah pun telah memerintahkan supaya baginda berhijrah ke Yasrib. Kemudian Nabi Muhammad telah memberitahu rancangan orang Quraisy musyrikin itu kepada sahabat karibnya Abu Bakar, serta menyatakan kesanggupannya untuk menemani Rasulullah berpindah ke Yasrib. Abu Bakar terus mengupah Abdullah bin Uraqit seorang Quraisy yang belum lagi beragama Islam membawa dua ekor unta ke sebuah gua di Bukit Sur untuk kenderaannya dan Nabi Muhammad berhijrah. Gua itu adalah menjadi tempat mereka berhenti berehat dan bersembunyi pada masa yang ditentukan. Sementara Abu Bakar akan menemani Nabi Muhammad dalam perjalanan ke Yasrib. Beliau menyadari bahwa orang Quraisy akan sentiasa memburu mereka. Kemudian Abu Bakar menyuruh anaknya Abdullah bin Abu Bakar mengintip rahasia langkah-langkah kaum Quraisy terhadap Rasulullah pada siang hari, dan mengkhabarkan kepada baginda di tempat persembunyiannya pada waktu malam.

Di pihak lain pula, Abu Bakar telah meminta orang suruhannya, ‘Amir bin Fuhairah, supaya menggembala kambing pada siang hari kemudian pergi ke tempat persembunyian itu membawa bersama-sama kambingnya itu untuk diperah susunya dan disembelihnya. Anak perempuannya pula, Asma’binti Abu Bakar diminta membawa makanan untuk mereka pada tiap-tiap petang. Abu Bakar sendiri membawa seluruh hartanya dalam perpindahan itu.

Pada malam perpindahan itu, iaitu dalam tahun 622 M. pemuda-pemuda pilihan yang ditugaskan membunuh Rasulullah itu telah mengepung rumah Rasulullah, dengan tujuan untuk untuk menangkap dan membunuh baginda apabila keluar berhijrah nanti, ataupun menyerbu ke dalam rumah itu apabila masanya telah sesuai. Apabila Nabi Muhammad menyedari bahwa beliau sedang dikepung, baginda telah meminta Ali bin Abu Talib tidur di atas tempatnya supaya orang Quraisy musyrikin menyangka Nabi Muhammad masih berada lagi di rumah itu. Kemudian apabila masa telah sesuai Nabi Muhammad pun keluar lantas menuju ke gua di Bukit Sur itu, kira-kira lapan kilometer dari Makkah, dan bersembunyi di situ.

Setelah orang Quraisy musyrikin menyedari bahwa Nabi Muhammad telah berjaya melepaskan diri, dan dari beberapa bukti yang tertentu bahwa baginda sedang dalam perjalanan menuju ke Yasrib orang Quraisy itu telah menawarkan 100 ekor unta kepada sesiapa yang dapat menangkap Rasulullah sama ada hidup atau mati. Tawaran ini telah mendapat sambutan yang paling menggalakkan. Di antara orang-orang yang berusaha mencari Nabi Muahammad itu ada yang tiba di gua, di tempat baginda dan Abu Bakar bersembunyi. Akan tetapi mereka tidak menyadari yang kedua-duanya berada di tempat itu. Abdullah bin Abu Bakar dan Asma’binti Abu Bakar telah menjalankan tugas mereka seperti yang telah diperintahkan.

Setelah semua keadaan tenang, dan orang Quraisy musyrikin telah menghentikan usaha memburu mereka, kerana disangkanya mereka telah tiba di Yasrib, Nabi Muhammad dan Abu Bakar pun keluar dari gua itu, manakala Abdullah bin Uraiqat telah tiba membawa dua ekor unta itu pada waktu yang tepat. Kedua-duanya pun menunggang unta melalui jalan yang tidak pernah dilalui orang, berhampiran dengan pantai Laut Merah. Setelah beberapa hari dalam perjalanan itu mereka telah tiba di Quba’, dan singgah di sana selama empat hari. Nabi Muhammad telah mengasaskan sebuah masjid yang kemudiannya dikenali dengan nama Masjid Quba’. Di Quba’ inilah Ali bin Abu Talib yang mengikuti Nabi Muhammad dari belakang, telah menggabungkan diri dengan rombongan itu. Kemudian pada hari Jumaat rombongan Nabi Muhammad itu telah menuju ke Yasrib dan telah tiba di sana dengan disambut begitu meriah oleh penduduk-penduduk Islam Yasrib pada 16 Rabi’ al-awwal bersamaan 20 September 622 M.

Pembentukan Negara Islam Yang Pertama
Kedudukan agama Islam di Makkah lebih merupakan kegiatan untuk menerangkan dan menyebarkan konsep kepercayaan dan ibadah dalam Islam, seperti konsep ketuhanan, Hari Qiamat dan berbagai-bagai lagi. Orang Islam di Makkah sebagai orang perseorangan yang penuh berjiwa Islam, tetapi tidak merupakan masyarakat Islam yang berarti. Tetapi setelah Nabi Muhammad dan para sahabatnya berhijrah ke Madinah dan pusat penyebaran Islam juga pindah ke sana, segala-galanya telah berubah. Nabi Muhammad telah berusaha bersungguh-sungguh mewujudkan sebuah Negara Islam yang ulung, yang paling objektif sekali dalam sejarah Islam, dan merupakan contoh yang boleh dijadikan cermin bagi umat Islam kemudiannya dan umat manusia seluruhnya.

Pada masa Nabi Muhammad tiba di Madinah, penduduk Madinah terbahagi kepada tiga kaum yang terbesar, yaitu:
  1. Golongan Muhajirin, atau golongan orang Islam yang pindah dari Makkah ke Madinah.
  2. Golongan Ansar, atau penduduk tempatan Madinah yang telah memeluk agama Islam. Mereka kebanyakannya terdiri daripada suku Aus dan Khazraj.
  3. Golongan orang Yahudi, yang beragama dan berkebudayaan Yahudi. Golongan Yahudi ini pula terbahagi kepada beberapa suku yang tertentu.
Walaupun penduduk Madinah ketika itu terdiri daripada berbagai-bagai kaum, tetapi tidak sukar bagi Nabi Muhammad untuk membangunkan sebuah masyarakat Islam yang dicita-citakan itu. Adapun langkah yang dibangun Nabi Saw. untuk membangunkan masyarakat atau Negara Islam sebagi berikut:

a. Membina Masjid
Perkara yang pertama yang dilakukan Nabi Muhammad dalam rangka membangunkan masyarakat Islam yang berkenaan ialah membina masjid iaitu Masjif Quba’, dan ini adalah masjid yang pertama dalam Islam. Masjid sebagaimana yang diketahui adalah institusi agama dan kemasyarakatan yang terpenting dalam Islam. Peranan masjid dalam Islam amatlah besar, bukan sahaja sebagai tempat ibadah dan pusat penyiaran Islam, tetapi juga sebagai temapt pemuafakatan untuk perkara-perkara umum. Hal ini telah pun dibuktikan dalam sejarah Islam, terutamanya pada zaman pemerintahan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Apabila masjid yang ulung itu telah siap dibina beberapa kegiatan telah timbul. Institusi agama itu telah menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di kota itu. Nabi Muhamamd dan sahabatnya telah membuat kegiatan lanjut untuk mengukuh dan mengembangkan agama Islam.

Melalui masjid itu secara tidak langsung masyarakat Islam di kota itu dapat berkumpul dan berbincang bersama. Melalui kegiatan ini dari semasa ke semasa mereka dapat menuju ke arah persatuan yang kukuh. Sebelum itu masyarakat Arab berpecah belah, dan terdiri daripada pelbagai kabilah. Melalui ajaran Islam dan masjid menjadi pusat aktiviti yang dapat mengatasi masalah perbezaan pandangan dan mereka bekerjasama dalam melaksanakan tugas-tugas masyarakat sebagaimana yang dikehendaki.

b. Mempersatukan Golongan Muhajirin dengan Ansar
Langkah yang kedua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam menegakkan masyarakat Islam di Madinah ialah mempersaudarakan orang Muhajirin dengan Ansar. Kedua-dua golongan yang tersebut pada peringkat permulaan belum lagi bersatu dalam ertikala yang sebenarnya. Sebelum mereka memeluk agama Islam, mereka hidup berpuak-puak, dan tiap satu puak sentiasa bermusuhan. Setelah mereka memeluk agama Islam sifat persukuan atau ‘asabiyah itu ada lagi pada mereka. Dalam pada itu pula kebanyakan orang-orang Muhajirin tediri daripada orang-orang miskin, karena mereka berpindah ke Madinah tanpa membawa harta benda mereka. Orang Ansar walaupun tidak kaya tetapi bolehlah dikatakan berada juga.

Keadaan perbezaan dari segi ekonomi dan kemasyarakatan itu, telah menyebabkan Nabi Muhammad merasa perlu untuk mempersaudarakan dua golongan itu, tambahan pula sifat persaudaraan ini adalah merupakan konsep yang terpenting dalam Islam. Dengan cara ini Nabi Muhammad telah berjaya melahirkan satu ‘kesatuan agama’ yang bersifat persaudaraan, dan melenyapkan ‘kesatuan suku’ yang menjadi amalan orang Arab sebelum Islam. Kesatuan agama ini membangkitkan perasaan bahwa tiap-tiap orang Islam bersaudara karena Allah, bukan karena keturunan ataupun sebagainya.

c. Kumandang Adzan
Mulailah kaum muslimin menghadiri shalat-shalat lima waktu dengan berjama’ah di mana mereka selalu menantikan waktu-waktunya. Sebagian mereka lebih awal datang dan sebagian yang lain terlambat. Maka bermusyawarahlah Nabi bersama kaum muslimin membahas tanda yang bisa mereka kenali untuk mendatangi shalat. Sebagian mereka mengusulkan dengan menaikkan, api, sebagian lagi dengan tiupan terompet, dan sebagian yang lain dengan pukulan lonceng. Lalu bicaralah ‘Umar, tidakkah kalian bisa perintahkan seseorang untuk berteriak, shalat jama’ah! “Kemudian Nabi menerima pendapat tersebut dan mempraktekkannya.

Selanjutnya ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih Al-Anshary melihat cara adzan dalam mimpinya.[10] Maka ia pun datang dan menceritakannya kepada Nabi. Beliau berkata, “Benar-benar mimpi tesebut adalah mimpi yang benar”.


Lalu beliau memerintahkan ‘Abdullah untuk mengajarkan cara adzan tersebut kepada Bilal, sehingga ia bisa mengumandangkannya. Karena suaranya yang lebih tinggi dibandingkan dengan ‘Abdullah. Maka Bilal pun melantunkan adzan. Terdengarlah suara oleh ‘Umar bin al-Khaththah sehingga ia pun datang dalam keadaan menyeret jubahnya dan berkata, “Demi Allah, sungguh aku pun bermimpi seperti itu.” Maka ini menguatkan berita mimpi sebelumnya dan jadilah adzan sebagai salah satu syiar Islam sejak hari itu.

d. Membentuk Perlembagaan (Sahifah) Madinah
Langkah yang ketiga dan yang terpenting sekali ialah menggubal atau membentuk Perlembagaan Madinah. Perlembagaan ini diciptakan untuk menggabungkan seluruh masyarakat yang berada di sekitar kota Madinah itu, khususnya di antara golongan Islam dengan bukan Islam atau lebih tepat lagi orang Yahudi. Orang Yahudi pula terdiri daripada beberapa suku, iaitu lebih daripada sepuluh. Menerusi perlembagaan itu golongan dalam Islam dan bukan Islam serta kedua-duanya dapat disatukan di dalam satu persatuan yang lebih objektif dan mereka mempunyai peranan masing-masing sebagai anggota yang setia di dalam masyarakat itu. Perlembagaan Madinah ini telah mewujudkan sebuah masyarakat yang bersatu yang dikenali dengan nama Ummah.

Perlembagaan Madinah itu mengandungi lebih kurang 50 fasal dan tiap-tiap fasal itu mengandungi undang-undang yang teratur bagi tiap-tiap suku atau satu-satu golongan yang tertentu di samping perkara-perkara lain, sesuai untuk sebuah negara. Secara keseluruhannya kesemua fasal dalam perlembagaan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Nabi Muhammad sebagai ketua negara bagi semua penduduk Madinah, tidak kira orang Islam atau bukan Islam (Yahudi). Sebarang pertelingkahan yang penting untuk diselesaikan hendaklah dirujukan kepada ketua negara itu.
  2. Tiap-tiap golongan boleh menjalankan adat-istiadat atau tradisi mereka sendiri dengan bebas termasuklah soal-soal diet dan sebagainya.
  3. Tiap-tiap golongan boleh mengamalkan agama mereka masing-masing sebagaimana yang diperlukan dengan bebas. Tidak ada paksa memaksa dalam agama.
  4. Penduduk Madinah daripada golongan Islam dan bukan Islam (Yahudi) hendaklah sentiasa tolong menolong dan bekerjasama, terutamanya dalam soal-soal menghadapi pencerobohan luar dan sebagainya.
Dalam sejarah Islam dan juga sejarah dunia, Perlembagaan Madinah merupakan suatu kejayaan yang besar bagi Rasulullah dan sahabatnya. Ahli sejarah dunia manganggap bahwa Perlembagaan Madinah merupakan hasil yang dapat diketengahkan sebagai perbandingan bukan sahaja dalam bidang perundangan lama tetapi juga dalam perundangan modern. Banyak ulasan yang telah dibuat oleh ahli sejarah berhubungan dengan naskah perlembagaan itu.

Situasi Umum Madinah Sepeninggal Rasul
Dengan usianya penaklukan Mekkah, kepemimpinan Rasul di Madinah membuktikan bahwa bangsa Arab tidak mustahil disatukan. Begitupun kondisi Madinah sendiri dibawah naungan Dinullah[11] tanpa menafikan bahwa masih ada segelintir potensi ta’assub dan anti Islam khususnya dari kalangan Yahudi. Dari kalangan muslimin itu sendiri, juga masih ada “kerawanan” iman akibat latar belakang mereka memeluk islam yang tidak murni sehingga banyak yang kemudian murtad dan ingkar dalam berbagai macam bentuk. Begitupun dominasi Quraisy kembali terjadi karena “penyakit” lama mereka sebagai suku yang pernah berkuasa.

Hanya ada 3 penduduk kota yang masih tetap stabil menjalankan Islam, yaitu penduduk Mekkah, Madinah dan Thaif. Begitulah situasi terakhir Madinah dan sekitarnya sepeninggal Rasul yang untuk selanjutnya berada dibawah kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq dan seterusnya.[12]

===========
ENDNOTE:
[1] Muhawar Khalid, Kelengkapan Tarikh Muhammad, hal. 107
[2] Yusny Saby, Intisari Seminar Sehari Pendidikan Qurani Menuju Masyarakat Madani, Hut HMJ TKI. Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry di Aula Pascasarjana, 5 Desember 1998.
[3] W. Montgomery Watt Muhammad, Prophet and Statesman, Oxford University Press, Newyork, 1961, hal 84.
[4] Muhammad Al-Ghazali, Fiqhussirah, cet 8, Darul kutub Al-Hadistah, 1988, hal 152
[5] W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet …, hal. 84
[6] Munawar Khalid, Kelengkapan Tarikh …, hal 399
[7] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Cet. I, Universitas Indonesia Press, Jakarta 1995, hal 47
[8] Ilyas Ahmad, The Social Contract and The Islamic State, Lahoti Fine Art Press, India, 1981, hal. 126
[9] Perpindahan tersebut dalam banyak pengertian memberi kesan yang besar sekali kepada perkembangan sejarah Islam. Apabila Nabi Muhammad tiba sahaja di Yasrib baginda telah membuat beberapa perkara penting dan satu daripadanya ialah mengubah nama Yasrib kepada ‘Madinah’ yang berarti ‘Kota’, atau nama panjang ‘Madinah al Munawwarah’ (Kota Yang Bercahaya) ataupun ‘Madinah al-Nabi’ (Kota Nabi). Satu lagi perkara sejarah yang timbul dari perpindahan Nabi Muhammad ialah kelahiran Tahun Hijrah, iaitu kiraan tahun yang digunakan oleh dunia Islam hinggalah sekarang. Permulaan tarikh Hijrah seperti yang digunakan oleh orang-orang Islam telah dikira dari detik perpindahan Nabi Muhammad yang tersebut. Sebelum itu orang-orang Islam di Makkah telah menggunakan Tahun Gajah, iaitu tahun yang dikira dari penyebaran Abrahah ke Makkah, sebagai tahun kiraannya. Kesan perpindahan itu, yang berikutnya lahir setelah Nabi Muhammad membangunkan Negara Islam yang benar-benar berarti dan yang merupakan satu rangka contoh yang paling objektif sekali untuk umat Islam kemudian dan juga umat manusia seluruhnya.
[10] Syaikh Yahya Al-Hajuriy Hafidhahullah mengatakan :”Sahabat yang bermimpi adzan ada sekitar 11 orang, namun riwayat yang shahih hanya 2 orang, yaitu: 1. Umar bin Khatab, dan 2. Abdullah bin Zaid bin Rabbih, dan beliau yang kali pertama menceritakan mimpinya kepada Rasulullah sehingga dikenal dengan sebutan Shahibul Adzan”. Walalluhu a’lam.
[11] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Al Husna Zikra, Jaksel, hal 195
[12] Karen Amstrong, Muhamamd Sebagai Nabi (Sebuah Biografi Kritis), Cet. III, Risalah Gusti, Surabaya, Maret 2001 hal 305


===========
DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Al Husna Zikra, Jaksel

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Cet. I, Universitas Indonesia Press, Jakarta 1995

Ilyas Ahmad, The Social Contract and The Islamic State, Lahoti Fine Art Press, India, 1981

Karen Amstrong, Muhamamd Sebagai Nabi (Sebuah Biografi Kritis), Cet. III, Risalah Gusti, Surabaya, Maret 2001

Muhammad Al-Ghazali, Fiqhussirah, cet 8, Darul kutub Al-Hadistah, 1988

Muhawar Khalid, Kelengkapan Tarikh Muhammad

W. Montgomery Watt Muhammad, Prophet and Statesman, Oxford University Press, Newyork, 1961

Yusny Saby, Intisari Seminar Sehari Pendidikan Qurani Menuju Masyarakat Madani, Hut HMJ TKI. Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry di Aula Pascasarjana, 5 Desember 1998.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger