Naskh dan Mansukh

Diskursus tentang naskh dan Mansukh dalam Alquran tidak dipungkiri sebagai salah satu kajian yang cukup rumit yang menyebabkan para ulama terbagi kepada dua kelompok. Satu kelompok mendukung adanya naskh dan kelompok lain menolak eksistensi naskh dalam Alquran.

Perdebatan tersebut menurut Quraish Shihab berawal dari perbedaan para ulama dalam menghadapi ayat-ayat Alquran yang mempunyai makna kontradiksi dengan ayat lainnya.[1]

Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran seperti itu tidak dapat dikompromikan, sedangkan sebagian lain menyatakan dapat dikompromikan. Perbedaan pendapat inilah yang melahirkan dua kelompok ulama seperti di atas.

A. Pengertian Naskh
Secara etimologi, kata naskh berasal dari bahasa Arab yakni naskha yang memiliki beberapa arti yakni:[2]
  1. Menghapuskan dan menghilangkan.
  2. Mengganti dan menukar.
  3. Menukil dan memindahkan.
  4. Memalingkan dan mengalihkan.
Dalam Alquran, kata naskh dengan berbagai variasinya ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 106, al-A’raf ayat 154, al-Hajj ayat 52 dan al-Jasiyah ayat 29.[3]

وما ارسلنا من قبلك من رسول ولا نبي الا اذا تمني القي الشيطن في امنيته فينسخ الله ما يلقي الشيطن ثم يحكم الله ءايته والله عليم حكيم
52. Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,

هذا كتبنا ينطق عليكم بالحق انا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون
29. (Allah berfirman): "Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya kami Telah menyuruh mencatat apa yang Telah kamu kerjakan".

Adanya berbagai macam arti kata naskh inilah yang membuat ulama merasa kesulitan dalam meilih kata yang paling tepat untuk kata naskh itu sendiri. az-Zarqani mengungkapkan beberapa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dalam menetapkan arti naskh.[4]

Secara terminologi, para ulamanpun berbeda pendapat tentang defenisi naskh. Ulama-ulama klasik, dalam mendefenisikan naskh berkisar pada:
  1. Pembatalan hukum oleh hukum yang datang kemudian.
  2. Pengkhususan yang umum oleh yang khusus.
  3. Menjelaskan yang mubham dan mujmal dengan penjelasan yang datang kemudian.
  4. Taqyid mutlaq, penetapan syarat bagi yang tidak bersyarat.[5]
Sementara ulama-ulama kontemporer melihat defenisi di atas terlalu luas, hingga perlu untuk mempersempit definisi tersebut untuk mewakili maksud dari naskh saja. Beberapa definisi naskh yang diajukan oleh ulama-ulama kontemporer adalah sebagai berikut:
  1. Mengangkat atau menghilangkan hukum syar’I yang dengan dalil syar’i.[6]
  2. Pembatalan penggunaan hukum syara’ dengan suatu ketentuan dalil yang datang kemudian. Pembatalan tersebut baik secara jelas atau samar, keseluruhan atau sebagian.[7]
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa naskh secara terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.

B. Pendapat Ulama Tentang Naskh
Dalam hal ini, ulama terbagi menjadi dua golongan yakni: pertama yang menerima adanya naskh dan kedua adalah golongan yang tidak menerima adanya naskh. Golongan yang pertama adalah jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa naskh dapat diterima oleh akal dan telah terjadi pada hukum syara’. Mereka mengemukakan dalil sebagai berikut:
  1. Bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung kepada alasan dan tujuan. Ia bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu lain.
  2. Adanya nash-nash Alquran dan Hadis yang menunjukkan kebolehan terjadi naskh seperti pada:
ما ننسخ من ءايه او ننسها نات بخير منها او مثلها الم تعلم ان الله علي كل شيء قدير
Ayat mana saja yang kami Naskhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Q.S. al-Baqarah: 106)
واذا بدلنا ءايه مكان ءايه والله اعلم بما ينزل قالوا انما انت مفتر بل اكثرهم لا يعلمون
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui. (Q.S. an-Nahl: 101)

Ibnu Katsir mengatakan tidak ada kemustahilan adanya naskh dan Mansukh atau pembatalan hukum sesuai yang ditunjukkan oleh kedua ayat tersebut.[8] Sementara al-Maraghi yang lebih rasional menyatakan bahwa hukum tidak diundangkan kecuali utuk kepentingan manusia, sementara kepentingan manusia berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, karena itu penggtantian hukum bisa saja terjadi sesuai dengan manfaat bagi manusia.[9]

Sementara, Subhi Shalih menganalogikan alasannya kepada proses turunnya Alquran secara berangsur-angsur sesuai kasus yang terjadi, sesuai kebutuhan dan kemampuan mukallaf untuk mengemban hukum tersebut[10]

Secara ringkas, alasan yang dikemukakan para ulama dalam menerima adanya naskh, nasikh dan Mansukh dalam Alquran berkisar pada kehendak mutlak Allah, kemasalahatan manusia dan fleksibilitas syariat Islam.

Adapun golongan selanjutnya yaitu golongan kecil ulama yang menolak adanya naskh dan Mansukh dalam Alquran, salah satunya adalah Abu Muslm al-Isfahani yang mengatakan bahwa naskh memang logis tapi tidak mungkin terjadi dalam syara’.[11] Pendapatnya ini didasarkan pada ayat:

لا ياتيه البطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.(Q.S. Fushilat: 42).

Di samping itu, mereka yang menolak naskh dalam Alquran beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan berikut:
  1. ketidaktahuan sehingga perlu mengganti atau membatalkan hukum dengan hukum yang lain.
  2. kesia-siaan dan permainan belaka.[12]
Para ulama yang menolak adanya naskh dalam Alquran mengajukan alasan sebagai berikut:
  1. kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang menjadi alasan menerima naskh pada dasarnya ditujukan bagi kaum Yahudi yang mengingkari Alquran, artinya kitab suci sebelum Alquran diganti dengan Alquran.
  2. Bila di dalam Alquran terdapat naskh, maka dalam Alquran terdapat kesalahan atau saling berlawanan, sebaliknya Alquran menyetbutkan: (Q.S. Fushilat : 42)
  3. Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh, seandainya ada, maka tentu beliau akan mengatakannya.
  4. Hadis-hadis yang digunakan untuk menaskh ayat Alquran seperti: “tidak ada wasiat bagi ahli waris” merupakan hadis ahad yang tidak sederajat dengan ayat Alquran.
  5. Pada kalangan yang menerima naskh sendiri tidak terdapat jumlah ayat yang disepakati telah dinaskh.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keinginan para ulama yang menolak naskh dalam Alquran berkisar pada keinginan menjaga kesucian Allah yang dari sifat-sifat yang tidak pantas dan mempertahankan kandungan Alquran.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, para ulama yang menolak adanyan naskh menempuh langkah mengkompromian terhadap ayat-ayat Alquran yang terlihat bertentangan.[13]

C. Kriteria dan Macam-Macam Naskh
Sebagian ulama yang menerima adanya naskh berpendapat bahwa naskh baru dapat dilakukan apabila:
  1. Terdapat dua ayat yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
  2. Harus diakui secara meyakinkan urutan turunnya ayat nasikh lebih akhir dibanding ayat yang Mansukh.
  3. Hukum yang manskuh tidak abadi, tapi bersifat semenara, karenanya ayat-ayat tertentu bisa saja dinaskh.[14]
Naskh dapat dibagi, dilihat dari segi keberlakuannya, kepada beberapa macam, yakni:

1. Mansukh tilawahya, yakni redaksi ayatnya dalam Alquran, akan tetapi hukumnya tetap berlaku. Seperti pada ayat rajam:

الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالا من الله
Orang tua laki-laki dan perempuan apabila mereka berdua berzina maka rajamlah keduanya…

2. Mansukh hukumnya, sementara redaksinya tetap ada di dalam Alquran, seperti (QS al-Baqarah: 240):

والذين يتوفون منكم ويذرون ازوجا وصيه لازوجهم متعا الي الحول غير اخراج فان خرجن فلا جناح عليكم في ما فعلن في انفسهن من معروف والله عزيز حكيم
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

3. Mansukh ayat dan hukumnya.
Dilihat dari jenis nasikh dan Mansukh, naskh dapat dibagi kepada beberapa macam, yakni:
  1. Naskh ayat Alquran dengan Alquran.
  2. Naskh Sunnah dengan Sunnah.
  3. Naskh Sunnan dengan Alquran.
  4. Naskh Alquran dengan Sunnah.[15]

D. Ayat-Ayat yang Dianggap Mansukh
Hingga kini di kalangan pendukung naskh tidak ada kesepakatan tenang jumlah ayat-ayat yang Mansukh. Ketidak sepakatan tersebut bila ditelusuri lebih lanjut tampak adanya pengurangan yang terus menerus dilakukan dalam menentukan jumlah ayat yang telah dinaskh.

An-Nahas seperti yang dikutip oleh ash-Shiddieqy mengatakan bahwa ayat-ayat yag telah dibatalkan hukumnya tapi redaksinya masih terdapat dalam Alquran berjumlah sekitar seratus ayat.[16] Ayat-ayat ini semakin menciut jumlahnya, dalam hitungan as-Syaukani jumlah yang ayat Mansukh hanya delapan ayat saja.[17]

Ada satu hal yang patut kita garis bawahi yaitu ketika mengamati proses penciutan jumlah ayat-ayat Alquran yang diaggap Mansukh, bahwa para ulama sekalipun mendukung adanya naskh dalam Alquran, tetap sangat berhati-hati dalam menentukan apakah suatu ayat dinaskh atau tidak, dan tentunya melalui proses yang panjang.

E. Perbedaan Naskh dengan Takhsis
Takhsis adalah pengkhususan dalil yang umum dengan dalil yang khusus. Implikasinya adalah membatasi hukum umum dan memberikan hukum khusus kepada sesuatu. Seperti dalil umum hukum “puasa Ramadhan wajib atas umat muslim ” kemudian dikhususkan dengan dalil lainnya, yakni “kecuali orang-orang yang sakit atau dalam perjalanan”. Cakupan umum dalil pertama atas semua umat muslim dibatasi oleh dalil kedua, bahwa tidak termasuk di dalam cakupan dalil tersebut orang-orang yang sakit atau dalam perjalanan. Senada dengan takhis adalah taqyid al-mutlak dan bayan al-mubham


Aplikasi dalil hukum yang pertama (amm) tetap berlaku selain bagi orang-orang yang sakit dan dalam perjalanan, meskipun telah muncul dalil hukum yang mengkhususkannya. Di sinilah salah satu letak perbedaan antara takhsis dengan naskh. Dalam Naskh, hukum yang telah mansukh tidak lagi berlaku selamanya.

Dari segi dalil yang mentakhsis yang amm, terdapat perbedaan dengan Naskh bahwa dalam Naskh tidak terdapat ayat yang diNaskh oleh ayat pada nomor ayat yang sama, artinya tidak ada ayat yang diNaskh oleh ayat yang persis datang setelahnya. Lain halnya dengan takhsis yang pada banyak ayat yang umum, takhsisnya terdapat di dalam ayat tersebut.

Perbedaan lainnya adalah keberadaan redaksinya, semua dalil al-amm meski telah ditakhsis tetap dapat dilihat redaksinya dalam Alquran, berbeda dengan ayat yang mansukh yang sebahagiannya tidak lagi terdapat dalam Alquran.

Kedua hal ini mengakibatkan pada perbedaan selanjutnya yakni kesepakatan para ulama pengkaji ilmu-ilmu Alquran atas adanya takhis berbeda dengan naskh yang masih diperdebatkan.

F. Hikmah Naskh
Dengan segala perdebatan tentang eksistensi Naskh dalam Alquran, dapat diuraikan beberapa hikmah adanya Naskh, yakni:
  1. Naskh menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung kepada alasan dan tujuan. Ia bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu lain.
  2. Adanya naskh menjadikan hukum Islam leboh fleksibel dalam arti bahwa hukum tidak diundangkan kecuali utuk kepentingan manusia, sementara kepentingan manusia berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, karena itu penggtantian hukum bisa saja terjadi sesuai dengan manfaat bagi manusia.
  3. Bahwa proses hukum yang diturunkan kepada manusia berangsur-angsur sesuai kasus yang terjadi, sesuai kebutuhan dan kemampuan mukallaf untuk mengemban hukum tersebut.
======================
Catatan Kaki
[1]M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Jakarta: Mizan, 1995), h. 143.
[2]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar Fikr, 1985), h. 805.
[3]Muhammad Fu’ad al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar Fikr, 1992), h. 87.
[4]Az-Zarqani, Manahil Irfan, jil. 2 (Beirut: t.t.), h. 175.
[5]Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah (Beirut: Dar Ma’arif, t.t.), h. 175.
[6]Az-Zarqani, Manahil Irfan,h. 177.
[7]Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 346.
[8]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, jil. I (Beirut: Dar Fikr, 1992), h. 188.
[9]Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar Fikr, t.t.),t h. 188.
[10]Subhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1988), h. 132.
[11]Quraish Shihab, Membumikan Alquran, h. 146.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Ahmad Dahlan Aziz (ed.), Ensiklopedi Islam, jil. IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, 1994), h. 19.
[15]Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz II (Mesir: Matb’ah Muhammad Abi Shabih, t.t.), h. 97.
[16]Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 232.
[17]Ibid.

======================
Daftar Pustaka

Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz II. Mesir: Matb’ah Muhammad Abi Shabih, t.t..

Aziz, Ahmad Dahlan (ed.), Ensiklopedi Islam, jil. IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, 1994.

Baqi, Muhammad Fu’ad, Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an. Beirut: Dar Fikr, 1992.

Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-Karim, jil. I. Beirut: Dar Fikr, 1992.

Khallaf, Abdul Wahab Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar Fikr, 1985.

Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar Fikr, t.t.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran. Jakarta: Mizan, 1995.

Shalih, Subhi, Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1988.

Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’a. (Beirut: Dar Ma’arif, t.t.

Zarqani, Manahil Irfan, jil. 2. Beirut: t.t.

Artikel Terkait:

comment 0 comments:

Post a Comment

Delete this element to display blogger navbar

 


© 2010 Invest Scenery is proudly powered by Blogger